Beberapa sampel tidak memiliki ketiga organ interna yang hendak diamati secara lengkap. Dari ketiga organ interna yang diamati, hanya organ paru-paru yang didapatkan lengkap dari kesepuluh sampel yang tersedia. Sampel organ hati hanya didapatkan 6 sampel sedangkan sampel organ usus hanya didapatkan 5 sampel.
Pewarnaan HE mewarnai sel jaringan dan sel radang dengan baik sehingga respon jaringan terhadap kerusakan dapat diamati. Respon granuloma sering ditemukan pada infeksi cendawan. Cendawan umumnya berukuran cukup besar sehingga sulit difagosit. Granuloma terbentuk guna melokalisir cendawan patogen (Songer dan Post 2005). Menurut Kauffman (2006) agen patogen dapat tidak ditemukan di dalam granuloma karena sudah terfagosit atau sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Beberapa cendawan dapat dilihat pada pewarnaan HE tetapi sulit untuk dibedakan dengan jaringan sekitarnya (Guarner dan Brandt 2011). Cendawan pathogen tidak ditemukan di seluruh sampel preparat pewarnaan HE yang tersedia.
Respon radang selain granuloma yang ditemukan antara lain degenerasi hidropis pada organ hati, pneumonia interstitialis dan hiperplasia epitel bronkiolus pada organ paru-paru, serta proliferasi sel goblet di organ usus. Keseluruhan hasil pengamatan untuk pewarnaan HE dapat dilihat di Tabel 1.
5
Gambar 1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel nekrotik (N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan mengalami pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x)
Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar buah
Kode sampel
Lesio pada Pewarnaan HE
Hati Paru-paru Usus 49 NE Pneumonia interstitialis NE 50 NE Granuloma, hiperplasia epitel
bronkiolus
Proliferasi sel goblet 53 Granuloma
multifokal
Radang multifokal, pneumonia interstitialis
NE 54 NE Granuloma, pneumonia
interstitialis
TAP 55 NE Hiperplasia epitel bronkiolus TAP
56 TAP TAP TAP
57 Degenerasi hidropik Pneumonia interstitialis NE 58 Granuloma multifokal Granuloma TAP 59 Granuloma multifokal
Granuloma, hiperplasia epitel bronkiolus
NE 60 TAP pneumonia interstitialis NE NE (not examined) menyatakan preparat tidak ada sehingga tidak teramati
TAP menyatakan bahwa tidak ada perubahan ditemukan
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, 3 dari 6 sampel hati yang tersedia memperlihatkan granuloma multifokal (Gambar 1). Sampel 57 tidak memiliki granuloma namun mengalami degenerasi hidropik, ditandai dengan pembengkakan sel dengan zona bening di sitoplasma dan sinusoid yang tidak tampak jelas. Menurut Bhardwaj et al. (2009) granuloma pada hati sering ditemukan dan dapat merupakan akibat dari kerusakan metabolisme pada hati, infeksi hati, atau mungkin tidak didukung oleh gejala klinis yang jelas.
6
Pada pewarnaan HE di sampel paru-paru, 7 dari 10 sampel memperlihatkan peradangan; 5 sampel diantaranya memiliki lesio granulomatosa sedangkan 4 memiliki pneumonia interstitialis. Sampel 51, 54, 58, dan 59 memiliki granuloma pada dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (Gambar 2). Sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag. Cendawan termasuk ke dalam agen infeksius yang dapat menyebabkan munculnya granuloma pada paru-paru (Mukhopadhyay dan Gal 2010). Sampel 53 memiliki fokus radang di interstitium paru-paru.
Satu-satunya lesio pada usus yang ditemukan adalah proliferasi sel goblet pada usus di sampel 50, namun tidak terdapat infiltrasi sel radang pada sampel tersebut. Proliferasi sel goblet dapat terjadi pada fase akut infeksi. Respon ini bertujuan memproduksi mucin yang dapat mencegah agen patogen berikatan dengan dinding usus (Kim dan Ho 2010).
Secara keseluruhan, hasil pewarnaan HE menunjukkan peradangan pada organ hati, paru-paru, serta usus. Peradangan terjadi pada lebih dari satu organ mengindikasikan adanya infeksi sistemik. Sampel yang mengalami radang pada hati atau usus juga mengalami radang pada paru-paru walaupun belum tentu sampel yang mengalami radang pada paru-paru memiliki radang pada hati atau usus. Hasil ini mengindikasikan peradangan berasal dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain.
Hasil pengamatan pewarnaan PAS pada organ hati menunjukkan bahwa pada sampel 53, 57, dan 59 ditemukan organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul, dan tidak ditemukan budding (Gambar 3). Bentukan organisme yang mirip dengan Gambar 3 ditemukan pula pada organ paru-paru sampel 56 dan 59 serta organ usus sampel 49.
Pengamatan pewarnaan PAS pada organ paru-paru pada sampel 53 menunjukkan organisme berbentuk bulat agak ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding (Gambar 4). Organisme dengan bentuk mirip dengan Gambar 4 juga ditemukan pada organ hati sampel 56 dan pada kripta usus sampel 50.
Gambar 2 Organ paru-paru sampel 49. Lesio granuloma dekat dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (H). Terlihat adanya giant cell multinuklear (G) (HE, perbesaran objektif 40x)
7
Gambar 3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul serta tanpa budding (←) ditemukan di dalam sinusoid (PAS, perbesaran objektif 100x)
Hasil keseluruhan pewarnaan PAS memperlihatkan organisme bulat hingga ovoid tidak berkapsul tanpa budding ditemukan pada 3 sampel hati, 2 sampel paru-paru, serta 1 sampel usus. Organisme bulat hingga ovoid dengan broad-based budding tidak berkapsul ditemukan pada 1 sampel hati, 1 sampel paru-paru, serta 1 sampel usus.
Gambar 4 Organ paru-paru sampel 53. Organisme ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding(←), terdapat pula variasi besar sel (PAS, perbesaran 100x)
8
Diagnosa Agen
Berdasarkan hasil gambaran histopatologi pada pewarnaan HE dan PAS, cendawan yang ditemukan pada 6 dari 10 sampel diduga sebagai Blastomyces sp. Blastomyces memiliki ukuran besar 8-15 µm atau 5-20µm dengan dinding sel yang tebal dan tidak berkapsul (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Songer dan Post 2005). Blastomyces memiliki broad-based budding yang dianggap sebagai karakteristik tetapi tidak selalu dapat ditemukan (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Blastomyces dapat memperlihatkan variasi ukuran dan memiliki variasi berukuran kecil yang disebut microform (Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Ketiga ciri ini mirip dengan sel yang ditemukan pada organ paru-paru sampel 53, organ hati sampel 56, serta organ usus sampel 50.
Diferensial diagnosa dari Blastomyces adalah Cryptococcus. Cryptococcus dapat dibedakan dengan Blastomyces oleh keberadaan kapsul yang berupa area bening di sekitar sel serta budding yang bersifat narrow based budding (McVey et al. 2013). Blastomyces tanpa budding sulit untuk dibedakan dengan Cryptococcus. Selain itu, terdapat Cryptococcus atipikal yang tidak memiliki kapsul sehingga sulit dibedakan dengan Blastomyces (Guarner dan Brandt 2011). Oleh karena itu, golden standard bagi diagnosa cendawan dimorfik adalah dengan menumbuhkan cendawan tersebut dalam biakan untuk mendapatkan fase kapangnya (Songer dan Post 2005). Sel bulat hingga ovoid tidak berkapsul yang ditemukan pada sampel diduga lebih kuat sebagai Blastomyces karena ketidakberadaan kapsul serta ditemukannya broad-based budding pada organ lain di sampel yang sama untuk kasus sampel 53.
Infeksi Blastomyces sp. disebabkan oleh spora atau fragmen miselium yang terdapat di udara dan terhirup masuk ke dalam paru-paru (Songer dan Post 2005). Oleh karena itu, gangguan pernapasan dan munculnya lesio pada paru-paru termasuk ke dalam gejala blastomikosis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 7 sampel dari 10 sampel yang memiliki peradangan pada paru-paru. Dari 7 sampel tersebut, terdapat 4 sampel yang juga menunjukkan peradangan pada hati serta 1 sampel yang memperlihatkan peradangan pada usus. Hasil tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa infeksi awal dimulai dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Hasil tersebut juga mengindikasikan organ yang terserang setelah paru-paru dapat berbeda bergantung pada perkembangan penyakit. Apabila hanya paru-paru yang menampakkan peradangan, maka kemungkinan besar penyakit masih bersifat akut atau organisme patogen belum menyebar.
Pada sampel 50, walau ditemukan granuloma pada paru-paru, tidak ditemukan cendawan pada organ paru-paru tersebut. Cendawan yang diduga sebagai Blastomyces pada sampel 50 justru ditemukan pada kripta duodenum. Menurut Kauffman (2006) pada infeksi sistemik atau disseminated blastomycosis, organisme dapat ditemukan di organ lain tanpa diketemukan di paru-paru dengan ataupun tanpa lesio. Kemungkinan besar infeksi pada sampel 50 merupakan infeksi kronis dan sistemik. Hal ini dapat terjadi karena Blastomyces di paru-paru sudah terfagosit dan hanya meninggalkan granuloma tanpa ditemukannya organisme tersebut di daerah nekrosa (Kauffman 2006). Penemuan Blastomyces di usus dapat diduga diakibatkan penyebaran agen secara hematogen. Menurut
9 Songer dan Post (2005) Blastomyces memiliki kemampuan untuk mengelabui sistem pertahanan dan memasuki aliran darah lalu menyebar secara hematogenus ke organ lain. Organ-organ sering ditemukannya Blastomyces sp. antara lain paru-paru, kulit, sistem syaraf, saluran genitourinari, dan tulang (Bradsher 1997; Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Blastomyces sebelumnya tidak pernah ditemukan di usus, walau pernah ditemukan di organ selain yang disebutkan di atas, misalnya otot dalam bentuk abses intramuskular (Kapnadak dan Vinayak 2011).
Sampel nomor 56 memiliki organisme yang diduga Blastomyces di paru-paru dan hati tanpa memperlihatkan respon radang pada paru-paru-paru-paru. Pada infeksi umumnya, Blastomyces akan menimbulkan respon inflamasi yang menyebabkan peningkatan neutrofil dan sel-sel fagosit mononuklear pada paru-paru (Songer dan Post 2005). Pada individu dengan imunitas kurang atau menderita imunosupresi, blastomikosis sistemik dapat terjadi tanpa respon radang yang kuat namun organisme dapat ditemukan pada berbagai organ (Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Mukhopadhyay dan Gal (2010) menambahkan bahwa respon radang pada infeksi mikosis dapat berbeda dari biasanya dan memiliki tingkat keparahan bervariasi, tergantung pada pertahanan tubuh inang.
Kelelawar sebagai agen penyebar Blastomyces
Blastomikosis termasuk zoonosis. Blastomyces termasuk ke dalam agen patogen primer, yang berarti dapat menginfeksi individu imunokompeten. Infeksi akut Blastomyces umumnya bersifat self-limiting pada individu normal, namun dapat menjadi fatal pada individu dengan imun yang rendah, seperti pengonsumsi obat-obat kortikosteroid ataupun yang menderita penyakit imunosupresi. Infeksi kronis pun mungkin terjadi pada individu normal dengan pembentukan granuloma pada paru-paru dan atau pada organ lain (Songer dan Post 2005). Blastomyces juga dikenal dapat muncul kembali bertahun-tahun kemudian setelah terjadinya infeksi akut (El-zammar dan Katzenstein 2007; Kauffman 2006).
Blastomyces menginfeksi paru-paru melalui spora dan fragmen miseliumnya (Songer dan Post 2005). Penyebaran Blastomyces diketahui terbatas pada daerah dimana cendawan tersebut dapat ditemukan pada fase kapangnya. Kasus penyebaran Blastomyces tidak melalui inhalasi dilaporkan dalam satu kasus dimana Blastomyces menyebar ke manusia melalui gigitan anjing yang terinfeksi parah (Gnann et al. 1983). Blastomyces diduga memiliki hubungan dengan ekskreta hewan karena Blastomyces pernah ditemukan pada kotoran burung dara, tanah kandang ayam, serta tanah kandang keledai (Songer dan Post 2005).
Hasil penelitian menunjukan bahwa 6 dari 10 kelelawar diduga terinfeksi blastomikosis. Seluruh kelelawar buah berasal dari satu koloni yang sama sehingga infeksi oleh Blastomyces sp. kemungkinan besar terjadi di tempat kelelawar buah tersebut biasa berkumpul bergerombol. Keadaan tersebut memudahkan agen patogen untuk menginfeksi individu dalam jumlah besar. Hal ini berarti daerah tempat berkumpul kelelawar buah tersebut mungkin terdapat Blastomyces. Kelelawar buah biasa berkumpul bergerombol di pepohonan ataupun di bangunan berdampingan dengan manusia (Luzinsky et al. 2009). Habitat yang berdampingan ini dapat meningkatkan risiko penularan Blastomyces sp. pada manusia.
10
Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih bebas dari agen patogen tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanPemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor bagi penyebaran blastomikosis.
Saran
Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk meneguhkan diagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.
Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory Infection. 12 (3): 229 - 234.
Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without borders: long distance movements and implications for disease risk management. Ecohealth. 7(2): 204-212.
Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.
El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.
Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus (Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.
Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae): threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation Biology. 5(4):455-463.
Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).
Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.
Hussein AAa, Mohamed MAA, Moharram AM, Abdul-Kader HA, Oraby NHM. 2011. Epidemiological studies on zoonotic deep mycoses between animals and man in Assiut Governorate, Egypt [Internet]. [2011 Jul 3-7, Vienna].
10
Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih bebas dari agen patogen tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanPemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor bagi penyebaran blastomikosis.
Saran
Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk meneguhkan diagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.
Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory Infection. 12 (3): 229 - 234.
Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without borders: long distance movements and implications for disease risk management. Ecohealth. 7(2): 204-212.
Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.
El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.
Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus (Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.
Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae): threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation Biology. 5(4):455-463.
Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).
Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.
Hussein AAa, Mohamed MAA, Moharram AM, Abdul-Kader HA, Oraby NHM. 2011. Epidemiological studies on zoonotic deep mycoses between animals and man in Assiut Governorate, Egypt [Internet]. [2011 Jul 3-7, Vienna].
13 Lampiran 1 Prosedur Pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE)
Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x)
Direhidrasi alkohol bertingkat (3 menit)
Dibilas air mengalir ± 3 detik
Direndam 15 menit dalam larutan Hematoxylin
Dibasuh dengan air
Dimasukkan ke dalam lithium karbonat 15-30 detik
Dibasuh kembali
Dimasukkan ke dalam larutan Eosin 15 menit Dibasuh dengan air
Dehidrasi dengan alkohol bertahap dan xylol bertahap (tahapan dibalik)
14
Lampiran 2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x) Direhidrasi dalam alkohol bertingkat (3menit)
Dicuci dengan air (10 menit)
Dioksidasi dengan asam periodat 1% (5-10 menit) Dicuci aquades (3 menit, 3x)
Dimasukkan dalam Reagen Schiff (15-30 menit) Dicuci dengan air sulfit (3 menit, 3x)
Dicuci dengan aquades (5 menit, 3x) Diwarnai hematoxylin (beberapa detik)
Dicuci air mengalir (10-60 menit) Dicuci aquades (5 menit, 2x)
3 sistemik patogen oportunistik adalah candidiasis dan aspergillosis (Songer dan Post 2005).
Kebanyakan dari mikosis sistemik primer bersifat subklinis pada individu dengan imunitas normal. Pada individu yang terpapar dengan inokulum berjumlah besar atau mereka dengan imunitas kurang penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit mematikan atau terjadi reaktifasi dari foci laten di kemudian hari (Walsh dan Dixon 1996). Mikosis sistemik dapat menyebabkan problem kesehatan yang bervariasi mulai dari sakit pada organ pencernaan, penyakit kulit, penyakit bronkopulmonari, kelelahan, dan sebagainya. Menurut Walsh dan Dixon (1996) gerbang masuk paling umum dari cendawan adalah traktus respiratori, traktus gastrointestinal, dan pembuluh darah. Mikosis pernapasan yang berujung sistemik, terkecuali candidiasis dan kasus unik tertentu, tidak menular dari satu pasien ke pasien yang lain. Pasien terpapar oleh patogen secara inhalasi dengan menghirup spora dari agen patogen yang ada di lingkungan. Oleh karena itu, penyebaran mikosis sistemik patogen primer bersifat endemis (Walsh dan Dixon 1996; Songer dan Post 2005; Randhawa 2000).
Hewan memiliki peran penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia baik sebagai vektor dari cendawan patogen ataupun sebagai pembuat lingkungan prasyarat tumbuhnya cendawan (Hussein et al. 2011). Beberapa hewan juga rentan terhadap beberapa jenis mikosis sistemik tertentu. Anjing sangat rentan terhadap blastomikosis dikarenakan sifatnya yang suka mengendus tanah dan menggali lubang sehingga mudah terpapar spora infektif (Songer dan Post 2005). Penularan langsung dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi, pernah dilaporkan satu kasus dimana manusia terjangkit blastomikosis melalui gigitan anjing yang menderita disseminated blastomycosis (Gnann et al. 1983).