• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mikosis sistemik pada kelelawar buah: gambaran histopatologi organ interna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mikosis sistemik pada kelelawar buah: gambaran histopatologi organ interna"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Mikosis Sistemik Pada Kelelawar Buah: Gambaran Histopatologi Organ Interna. Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI.

Mikosis sistemik merupakan penyakit yang semakin penting karena jumlah populasi yang berisiko terjangkit penyakit ini semakin meningkat. Kelelawar buah memiliki potensi sebagai vektor mikosis sistemik. Tujuan penelitian ini adalah menemukan agen infeksi mikosis sistemik pada kelelawar buah dengan mengamati gambaran histopatologi paru, hati, dan usus. Sampel organ paru-paru, hati, dan usus diambil dari 10 ekor kelelawar buah kemudian diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS). Hasil pewarnaan HE mengindikasikan infeksi sistemik dengan adanya peradangan pada 7 dari 10 sampel paru-paru, 4 dari 6 sampel hati, dan 1 dari 4 sampel usus. Hasil pewarnaan PAS ditemukan organisme berbentuk bulat sampai ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding dan organisme bulat sampai ovoid tidak berkapsul tanpa budding. Keduanya diduga sebagai Blastomyces sp. dengan diferensial diagnosis Cryptococcus sp.. Evaluasi histopatologi menunjukkan bahwa 6 dari 10 sampel ditemukan organisme diduga sebagai Blastomyces sp.. Blastomikosis termasuk ke dalam penyakit zoonotik sehingga ada kemungkinan bahwa kelelawar buah dapat berperan sebagai vektor.

Kata kunci: Blastomyces, kelelawar buah, mikosis sistemik, Periodic Acid Schiff, zoonosis

ABSTRACT

GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Systemic Mycosis in Fruit Bats: Histopathology of Internal Organ. Supervised by EKOWATI HANDHARYANI.

Systemic mycoses recently have become increasingly important with the raising number of risk population whereas fruit bats are a potential vector of the disease. The aim of this research was to find systemic mycoses in fruit bats by examining the hystopatology of its lungs, liver, and guts. As many as 10 bats were sampled for organs. The respective organs were stained by Haematoxylin-Eosin (HE) stain and Periodic-Acid Schiff (PAS) stain. HE result signified systemic infection with 7 samples out of 10 exhibits lung lesions while 5 of them has liver lesions and 1 sample had gut lesion. PAS result revealed round unencapsulated positive cells with broad-based budding and round unencapsulate PAS-positive cells without budding. Based on the type of budding and the absence of capsule, both organism were suspected as Blastomyces sp. with the differential diagnoses of Cryptococcus sp.. Out of 10 samples, 6 were suspected to be infected by Blastomyces sp.. Blastomycosis is classified as zoonotic disease thus there is a possibility of fruit bats being the vector of this pathogen.

(2)

MIKOSIS SISTEMIK PADA KELELAWAR BUAH :

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INTERNA

GANITA KURNIASIH SURYAMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mikosis Sistemik pada Kelelawar Buah: Gambaran Histopatologi Organ Interna adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(5)
(6)

ABSTRAK

GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Mikosis Sistemik Pada Kelelawar Buah: Gambaran Histopatologi Organ Interna. Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI.

Mikosis sistemik merupakan penyakit yang semakin penting karena jumlah populasi yang berisiko terjangkit penyakit ini semakin meningkat. Kelelawar buah memiliki potensi sebagai vektor mikosis sistemik. Tujuan penelitian ini adalah menemukan agen infeksi mikosis sistemik pada kelelawar buah dengan mengamati gambaran histopatologi paru, hati, dan usus. Sampel organ paru-paru, hati, dan usus diambil dari 10 ekor kelelawar buah kemudian diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS). Hasil pewarnaan HE mengindikasikan infeksi sistemik dengan adanya peradangan pada 7 dari 10 sampel paru-paru, 4 dari 6 sampel hati, dan 1 dari 4 sampel usus. Hasil pewarnaan PAS ditemukan organisme berbentuk bulat sampai ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding dan organisme bulat sampai ovoid tidak berkapsul tanpa budding. Keduanya diduga sebagai Blastomyces sp. dengan diferensial diagnosis Cryptococcus sp.. Evaluasi histopatologi menunjukkan bahwa 6 dari 10 sampel ditemukan organisme diduga sebagai Blastomyces sp.. Blastomikosis termasuk ke dalam penyakit zoonotik sehingga ada kemungkinan bahwa kelelawar buah dapat berperan sebagai vektor.

Kata kunci: Blastomyces, kelelawar buah, mikosis sistemik, Periodic Acid Schiff, zoonosis

ABSTRACT

GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Systemic Mycosis in Fruit Bats: Histopathology of Internal Organ. Supervised by EKOWATI HANDHARYANI.

Systemic mycoses recently have become increasingly important with the raising number of risk population whereas fruit bats are a potential vector of the disease. The aim of this research was to find systemic mycoses in fruit bats by examining the hystopatology of its lungs, liver, and guts. As many as 10 bats were sampled for organs. The respective organs were stained by Haematoxylin-Eosin (HE) stain and Periodic-Acid Schiff (PAS) stain. HE result signified systemic infection with 7 samples out of 10 exhibits lung lesions while 5 of them has liver lesions and 1 sample had gut lesion. PAS result revealed round unencapsulated positive cells with broad-based budding and round unencapsulate PAS-positive cells without budding. Based on the type of budding and the absence of capsule, both organism were suspected as Blastomyces sp. with the differential diagnoses of Cryptococcus sp.. Out of 10 samples, 6 were suspected to be infected by Blastomyces sp.. Blastomycosis is classified as zoonotic disease thus there is a possibility of fruit bats being the vector of this pathogen.

(7)
(8)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

MIKOSIS SISTEMIK PADA KELELAWAR BUAH :

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INTERNA

GANITA KURNIASIH SURYAMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tema yang dipilih untuk penelitian yang dilaksanakan bulan November 2013 hingga November 2014 ini adalah mikosis sistemik, dengan judul Mikosis Sistemik pada Kelelawar Buah: Gambaran Histopatologi Organ Interna.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Prof Drh Ekowati Handharyani MSi PhD APVet selaku dosen pembimbing 1 atas bimbingan dan arahannya selama pembuatan karya tulis ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua serta saudara penulis atas segala dukungan dan doa demi kelancaran penulisan karya tulis ini.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kelelawar buah 2

Mikosis Sistemik 2

METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Alat dan Bahan 3

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Gambaran Histopatologi 4

Diagnosa Agen 8

Kelelawar sebagai agen penyebar Blastomyces 9

SIMPULAN DAN SARAN 10

Simpulan 10

Saran 10

DAFTAR PUSTAKA 10

LAMPIRAN 13

(15)

DAFTAR TABEL

1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus

kelelawar buah 5

DAFTAR GAMBAR

1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel nekrotik (N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan mengalami

pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x) 5

2 Organ paru-paru sampel 49. Lesio granuloma dekat dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (H). Terlihat adanya giant cell

multinuklear (G) (HE, perbesaran objektif 40x) 6

3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul serta tanpa budding (←)ditemukan di dalam sinusoid (PAS,

perbesaran objektif 100x) 7

4 Organ paru-paru sampel 3. Organisme ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding(←), terdapat pula variasi besar sel (PAS,

perbesaran 100x) 7

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur Pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) 13

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mikosis sistemik merupakan salah satu penyakit yang sering lolos dari perhatian dokter hewan namun memiliki peran yang semakin signifikan akhir-akhir ini. Salah satu alasan pentingnya mikosis sistemik adalah karena beberapa agen mikosis sistemik bersifat zoonotik. Menurut Hussein et al. (2011) hewan memiliki peranan yang penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia karena dapat menjadi vektor atau membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi cendawan patogen untuk tumbuh. Oleh karena itu terdapat hubungan antara penyebaran penyakit ini pada manusia serta penyebaran penyakit ini pada hewan. Risiko penyebaran penyakit semakin meningkat akhir-akhir ini karena jumlah individu memiliki keadaan imunosupresi semakin tinggi. Contoh dari individu yang memiliki keadaan imunosupresi adalah penderita AIDS, penderita diabetes, dan individu yang mengkonsumsi obat-obatan yang menyebabkan kondisi imunosuppresif. Semakin rendah imunitas seseorang maka semakin mudah cendawan patogen menginfeksi. Mikosis sistemik sering diawali dari penyakit saluran pernapasan tanpa gejala klinis patognomonis sehingga dapat berujung pada pengobatan yang tidak tepat sasaran dan penyakit dapat berujung progresif (Randhawa 2000).

Mikosis sistemik juga dapat menginfeksi hewan produksi serta hewan kesayangan (Songer dan Post 2005). Infeksi mikosis sistemik pada hewan produksi dapat menyebabkan turunnya produksi hewan atau bahkan kematian sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi. Infeksi pada hewan kesayangan akan berdampak pada menurunnya kesejahteraan hidup hewan serta dapat menjadi penyebar penyakit tersebut.

Kelelawar buah merupakan salah satu hewan liar yang lazim ditemui ada diantara manusia dan hewan domestik. Hewan ini kadang beristirahat di bangunan serta tidak jarang memasuki perkebunan-perkebunan untuk mencari makan. Wilayah jelajah kelelawar buah pun sangat luas. Kelelawar buah yang ada di Sumatra dapat bermigrasi hingga Semenanjung Malaysia dan didapatkan pula data bahwa kelelawar buah bergerak dari Timor Leste ke Indonesia (Breed et al. 2010; Sendow et al. 2006). Kelelawar buah memiliki intestinal transit time yang rendah untuk mengurangi beban saat terbang (Fedman dan Hall 1985) sehingga sering berdefekasi saat terbang. Perilaku menjelajah serta defekasi ini dapat menjadikan kelelawar buah sebagai salah satu vektor agen penyakit yang potensial.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenesis mikosis sistemik pada kelelawar buah melalui pengamatan preparat histopatologi organ interna paru-paru, hati, dan usus dengan pewarnaan HE dan PAS.

Manfaat Penelitian

(17)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelelawar buah

Kelelawar buah dikenal pula sebagai codot atau kalong dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris fruit bat atau flying fox. Istilah ini pada umumnya digunakan untuk kelelawar pemakan buah bertubuh besar. Kelelawar buah mengacu pada famili Pteropodidae (Luzynski et al. 2009). Menurut Linnaeus (1758), taksonomi kelelawar buah antara lain:

Kingdom : Animalia

Famili Pteropodidae terdiri atas 42 genera dan sekitar 169 spesies (Nowak 1999). Kelelawar buah kecil memiliki panjang tungkai atas hanya 37mm sedangkan tungkai atas kelelawar besar dapat mencapai 220mm (Luzynski et al. 2009). Pteropodidae memiliki spesies kelelawar dengan tubuh terbesar (Luzynski et al. 2009; Nowak 1999). Pteropodidae termasuk vegetarian dan memakan buah, nektar, serta bunga (Nowak 1999). Lidah kelelawar buah termodifikasi untuk menghancurkan buah-buahan. Traktus gastrointestinal kelelawar buah sederhana dan makanan lewat dengan cepat (Nowak 1999). Kelelawar buah juga dapat berdefekasi saat terbang (Fedman dan Hall 1985; Luzynski et al. 2009) untuk mengurangi beban tubuh saat terbang.

Pteropodidae tersebar di daerah tropis serta subtropis di belahan bumi timur (Luzynski et al. 1999). Beberapa spesies memiliki wilayah jelajah yang sangat luas (Nowak 1999). Salah satu spesies Pteropodidae, Pteropus vampyrus, bergerak antara Timor-Leste dan Indonesia, serta antara Semenanjung Malaysia dan Sumatra (Breed et al. 2010; Sendow et al. 2006). Perilaku migrasi ini meningkatkan risiko menyebarkan penyakit yang dibawa oleh Pteropus vampyrus, diantaranya SARS, Ebola, Nipah, dan virus Hendra (Calisher et al. 2006).

Mikosis Sistemik

(18)

3 sistemik patogen oportunistik adalah candidiasis dan aspergillosis (Songer dan Post 2005).

Kebanyakan dari mikosis sistemik primer bersifat subklinis pada individu dengan imunitas normal. Pada individu yang terpapar dengan inokulum berjumlah besar atau mereka dengan imunitas kurang penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit mematikan atau terjadi reaktifasi dari foci laten di kemudian hari (Walsh dan Dixon 1996). Mikosis sistemik dapat menyebabkan problem kesehatan yang bervariasi mulai dari sakit pada organ pencernaan, penyakit kulit, penyakit bronkopulmonari, kelelahan, dan sebagainya. Menurut Walsh dan Dixon (1996) gerbang masuk paling umum dari cendawan adalah traktus respiratori, traktus gastrointestinal, dan pembuluh darah. Mikosis pernapasan yang berujung sistemik, terkecuali candidiasis dan kasus unik tertentu, tidak menular dari satu pasien ke pasien yang lain. Pasien terpapar oleh patogen secara inhalasi dengan menghirup spora dari agen patogen yang ada di lingkungan. Oleh karena itu, penyebaran mikosis sistemik patogen primer bersifat endemis (Walsh dan Dixon 1996; Songer dan Post 2005; Randhawa 2000).

Hewan memiliki peran penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia baik sebagai vektor dari cendawan patogen ataupun sebagai pembuat lingkungan prasyarat tumbuhnya cendawan (Hussein et al. 2011). Beberapa hewan juga rentan terhadap beberapa jenis mikosis sistemik tertentu. Anjing sangat rentan terhadap blastomikosis dikarenakan sifatnya yang suka mengendus tanah dan menggali lubang sehingga mudah terpapar spora infektif (Songer dan Post 2005). Penularan langsung dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi, pernah dilaporkan satu kasus dimana manusia terjangkit blastomikosis melalui gigitan anjing yang menderita disseminated blastomycosis (Gnann et al. 1983).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan November 2013 hingga November 2014.

Alat dan Bahan

(19)

4

Metode Penelitian

Organ hati, paru-paru, serta usus dari kelelawar didapatkan dalam keadaan telah terfiksasi dalam larutan BNF. Masing-masing organ diiris dengan ketebalan 3 mm, dimasukkan ke dalam basket, lalu diparafinisasi. Preparat diiris menggunakan mikrotom, diletakkan pada object glass, lalu difiksasi. Masing-masing organ disiapkan untuk pewarnaan HE dan PAS sehingga pengirisan untuk tiap preparat dilakukan dua kali. Irisan pertama dari seluruh preparat direhidrasi lalu diwarnai dengan pewarnaan HE sebelum kemudian didehidrasi kembali dan ditutup dengan cover glass. Irisan kedua dari seluruh preparat diwarnai menggunaan teknik pewarnaan PAS dengan counter stain haematoxylin lalu difiksasi dan ditutup dengan cover glass. Prosedur pewarnaan HE dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 1 dan prosedur pewarnaan PAS dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 2. Seluruh preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif sebesar 4, 10, 20, 40, dan 100 kali.

Prosedur Analisis Data

Pengamatan HE dilakukan untuk mencari perubahan tampilan organ, dilanjutkan dengan pengamatan PAS untuk mencari organisme patogen. Data disusun ke dalam tabel lalu dikaji secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Histopatologi

Beberapa sampel tidak memiliki ketiga organ interna yang hendak diamati secara lengkap. Dari ketiga organ interna yang diamati, hanya organ paru-paru yang didapatkan lengkap dari kesepuluh sampel yang tersedia. Sampel organ hati hanya didapatkan 6 sampel sedangkan sampel organ usus hanya didapatkan 5 sampel.

Pewarnaan HE mewarnai sel jaringan dan sel radang dengan baik sehingga respon jaringan terhadap kerusakan dapat diamati. Respon granuloma sering ditemukan pada infeksi cendawan. Cendawan umumnya berukuran cukup besar sehingga sulit difagosit. Granuloma terbentuk guna melokalisir cendawan patogen (Songer dan Post 2005). Menurut Kauffman (2006) agen patogen dapat tidak ditemukan di dalam granuloma karena sudah terfagosit atau sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Beberapa cendawan dapat dilihat pada pewarnaan HE tetapi sulit untuk dibedakan dengan jaringan sekitarnya (Guarner dan Brandt 2011). Cendawan pathogen tidak ditemukan di seluruh sampel preparat pewarnaan HE yang tersedia.

(20)

5

Gambar 1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel nekrotik (N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan mengalami pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x)

Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar buah

Kode sampel

Lesio pada Pewarnaan HE

Hati Paru-paru Usus 49 NE Pneumonia interstitialis NE 50 NE Granuloma, hiperplasia epitel

bronkiolus

54 NE Granuloma, pneumonia interstitialis

TAP

55 NE Hiperplasia epitel bronkiolus TAP

56 TAP TAP TAP

60 TAP pneumonia interstitialis NE NE (not examined) menyatakan preparat tidak ada sehingga tidak teramati

TAP menyatakan bahwa tidak ada perubahan ditemukan

(21)

6

Pada pewarnaan HE di sampel paru-paru, 7 dari 10 sampel memperlihatkan peradangan; 5 sampel diantaranya memiliki lesio granulomatosa sedangkan 4 memiliki pneumonia interstitialis. Sampel 51, 54, 58, dan 59 memiliki granuloma pada dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (Gambar 2). Sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag. Cendawan termasuk ke dalam agen infeksius yang dapat menyebabkan munculnya granuloma pada paru-paru (Mukhopadhyay dan Gal 2010). Sampel 53 memiliki fokus radang di interstitium paru-paru.

Satu-satunya lesio pada usus yang ditemukan adalah proliferasi sel goblet pada usus di sampel 50, namun tidak terdapat infiltrasi sel radang pada sampel tersebut. Proliferasi sel goblet dapat terjadi pada fase akut infeksi. Respon ini bertujuan memproduksi mucin yang dapat mencegah agen patogen berikatan dengan dinding usus (Kim dan Ho 2010).

Secara keseluruhan, hasil pewarnaan HE menunjukkan peradangan pada organ hati, paru-paru, serta usus. Peradangan terjadi pada lebih dari satu organ mengindikasikan adanya infeksi sistemik. Sampel yang mengalami radang pada hati atau usus juga mengalami radang pada paru-paru walaupun belum tentu sampel yang mengalami radang pada paru-paru memiliki radang pada hati atau usus. Hasil ini mengindikasikan peradangan berasal dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain.

Hasil pengamatan pewarnaan PAS pada organ hati menunjukkan bahwa pada sampel 53, 57, dan 59 ditemukan organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul, dan tidak ditemukan budding (Gambar 3). Bentukan organisme yang mirip dengan Gambar 3 ditemukan pula pada organ paru-paru sampel 56 dan 59 serta organ usus sampel 49.

Pengamatan pewarnaan PAS pada organ paru-paru pada sampel 53 menunjukkan organisme berbentuk bulat agak ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding (Gambar 4). Organisme dengan bentuk mirip dengan Gambar 4 juga ditemukan pada organ hati sampel 56 dan pada kripta usus sampel 50.

(22)

7

Gambar 3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul serta tanpa budding (←) ditemukan di dalam sinusoid (PAS, perbesaran objektif 100x)

Hasil keseluruhan pewarnaan PAS memperlihatkan organisme bulat hingga ovoid tidak berkapsul tanpa budding ditemukan pada 3 sampel hati, 2 sampel paru-paru, serta 1 sampel usus. Organisme bulat hingga ovoid dengan broad-based budding tidak berkapsul ditemukan pada 1 sampel hati, 1 sampel paru-paru, serta 1 sampel usus.

(23)

8

Diagnosa Agen

Berdasarkan hasil gambaran histopatologi pada pewarnaan HE dan PAS, cendawan yang ditemukan pada 6 dari 10 sampel diduga sebagai Blastomyces sp. Blastomyces memiliki ukuran besar 8-15 µm atau 5-20µm dengan dinding sel yang tebal dan tidak berkapsul (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Songer dan Post 2005). Blastomyces memiliki broad-based budding yang dianggap sebagai karakteristik tetapi tidak selalu dapat ditemukan (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Blastomyces dapat memperlihatkan variasi ukuran dan memiliki variasi berukuran kecil yang disebut microform (Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Ketiga ciri ini mirip dengan sel yang ditemukan pada organ paru-paru sampel 53, organ hati sampel 56, serta organ usus sampel 50.

Diferensial diagnosa dari Blastomyces adalah Cryptococcus. Cryptococcus dapat dibedakan dengan Blastomyces oleh keberadaan kapsul yang berupa area bening di sekitar sel serta budding yang bersifat narrow based budding (McVey et al. 2013). Blastomyces tanpa budding sulit untuk dibedakan dengan Cryptococcus. Selain itu, terdapat Cryptococcus atipikal yang tidak memiliki kapsul sehingga sulit dibedakan dengan Blastomyces (Guarner dan Brandt 2011). Oleh karena itu, golden standard bagi diagnosa cendawan dimorfik adalah dengan menumbuhkan cendawan tersebut dalam biakan untuk mendapatkan fase kapangnya (Songer dan Post 2005). Sel bulat hingga ovoid tidak berkapsul yang ditemukan pada sampel diduga lebih kuat sebagai Blastomyces karena ketidakberadaan kapsul serta ditemukannya broad-based budding pada organ lain di sampel yang sama untuk kasus sampel 53.

Infeksi Blastomyces sp. disebabkan oleh spora atau fragmen miselium yang terdapat di udara dan terhirup masuk ke dalam paru-paru (Songer dan Post 2005). Oleh karena itu, gangguan pernapasan dan munculnya lesio pada paru-paru termasuk ke dalam gejala blastomikosis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 7 sampel dari 10 sampel yang memiliki peradangan pada paru-paru. Dari 7 sampel tersebut, terdapat 4 sampel yang juga menunjukkan peradangan pada hati serta 1 sampel yang memperlihatkan peradangan pada usus. Hasil tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa infeksi awal dimulai dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Hasil tersebut juga mengindikasikan organ yang terserang setelah paru-paru dapat berbeda bergantung pada perkembangan penyakit. Apabila hanya paru-paru yang menampakkan peradangan, maka kemungkinan besar penyakit masih bersifat akut atau organisme patogen belum menyebar.

(24)

9 Songer dan Post (2005) Blastomyces memiliki kemampuan untuk mengelabui sistem pertahanan dan memasuki aliran darah lalu menyebar secara hematogenus ke organ lain. Organ-organ sering ditemukannya Blastomyces sp. antara lain paru-paru, kulit, sistem syaraf, saluran genitourinari, dan tulang (Bradsher 1997; Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Blastomyces sebelumnya tidak pernah ditemukan di usus, walau pernah ditemukan di organ selain yang disebutkan di atas, misalnya otot dalam bentuk abses intramuskular (Kapnadak dan Vinayak 2011).

Sampel nomor 56 memiliki organisme yang diduga Blastomyces di paru-paru dan hati tanpa memperlihatkan respon radang pada paru-paru-paru-paru. Pada infeksi umumnya, Blastomyces akan menimbulkan respon inflamasi yang menyebabkan peningkatan neutrofil dan sel-sel fagosit mononuklear pada paru-paru (Songer dan Post 2005). Pada individu dengan imunitas kurang atau menderita imunosupresi, blastomikosis sistemik dapat terjadi tanpa respon radang yang kuat namun organisme dapat ditemukan pada berbagai organ (Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Mukhopadhyay dan Gal (2010) menambahkan bahwa respon radang pada infeksi mikosis dapat berbeda dari biasanya dan memiliki tingkat keparahan bervariasi, tergantung pada pertahanan tubuh inang.

Kelelawar sebagai agen penyebar Blastomyces

Blastomikosis termasuk zoonosis. Blastomyces termasuk ke dalam agen patogen primer, yang berarti dapat menginfeksi individu imunokompeten. Infeksi akut Blastomyces umumnya bersifat self-limiting pada individu normal, namun dapat menjadi fatal pada individu dengan imun yang rendah, seperti pengonsumsi obat-obat kortikosteroid ataupun yang menderita penyakit imunosupresi. Infeksi kronis pun mungkin terjadi pada individu normal dengan pembentukan granuloma pada paru-paru dan atau pada organ lain (Songer dan Post 2005). Blastomyces juga dikenal dapat muncul kembali bertahun-tahun kemudian setelah terjadinya infeksi akut (El-zammar dan Katzenstein 2007; Kauffman 2006).

Blastomyces menginfeksi paru-paru melalui spora dan fragmen miseliumnya (Songer dan Post 2005). Penyebaran Blastomyces diketahui terbatas pada daerah dimana cendawan tersebut dapat ditemukan pada fase kapangnya. Kasus penyebaran Blastomyces tidak melalui inhalasi dilaporkan dalam satu kasus dimana Blastomyces menyebar ke manusia melalui gigitan anjing yang terinfeksi parah (Gnann et al. 1983). Blastomyces diduga memiliki hubungan dengan ekskreta hewan karena Blastomyces pernah ditemukan pada kotoran burung dara, tanah kandang ayam, serta tanah kandang keledai (Songer dan Post 2005).

(25)

10

Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih bebas dari agen patogen tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor bagi penyebaran blastomikosis.

Saran

Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk meneguhkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA

Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.

Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory Infection. 12 (3): 229 - 234.

Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without borders: long distance movements and implications for disease risk management. Ecohealth. 7(2): 204-212.

Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.

El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.

Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus (Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.

Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae): threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation Biology. 5(4):455-463.

Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).

Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.

(26)

11 Vienna (AT): ISAH. hlm 1209-1213. [diunduh 2014 Nov 11]. Tersedia pada http//.www.isah-so.org/documents/2011/pro_2011/files/volume_11/171.pdf Kapnadak SG dan Vinayak A. 2011. Blastomycosis as intramuscular abscess.

Respiratory Medicine. 4 (2011) 9-11.

Kauffman C. 2006. Endemic mycoses: blastomycosis, histoplasmosis, and sporotrichosis. Infectious Disease Clinics of North America. 20 (2006) 645 - 662.

Kim YS dan Ho SB. 2010. Intestinal goblet cells and mucins in helath and disease: recent insights and progress. Current Gastroenterology Reports. 12: 319- 330.

Luzynski KC, Sluzas E, Wallen M. 2009. Pteropodidae. University of Michigan [Internet]. [diunduh 2014 Desember 7]. Tersedia pada: http://animaldiversity.org/accounts/Pteropodidae/

McVey DS, Kennedy M, Chengappa MM. 2013. Veterinary Microbiology. Ed ke-3. New Jersey (US): Wiley-Blackwell.

Mukhopadhyay S dan Gal AA. 2010. Granulomatous lung disease: an approach to the differential diagnosis. Archives of Pathology & Laboratory Medicine. 134: 667-690.

Nowak RM. 1999. Walker's Mammals of the World. Volume 1. Baltimore (US): John Hopkins University Press.

Randhawa HS. 2000. Respiratory and systemic mycosis: an overview. Indian Journal of Chest Disease and Allied Science. 42 (4): 207-219.

Sendow I, Field HE, Curran J, Darminto, Morissy C, Meehan G, Buick T, Daniels P. 2006. Henipavirus in Pteropus vampyrus bats, Indonesia. Emerging Infectious Disease. 12 (4) 711-712.

Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease. Missouri (US): Elsevier Saunders.

(27)
(28)

13 Lampiran 1 Prosedur Pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE)

Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x)

Direhidrasi alkohol bertingkat (3 menit)

Dibilas air mengalir ± 3 detik

Direndam 15 menit dalam larutan Hematoxylin

Dibasuh dengan air

Dimasukkan ke dalam lithium karbonat 15-30 detik

Dibasuh kembali

Dimasukkan ke dalam larutan Eosin 15 menit

Dibasuh dengan air

Dehidrasi dengan alkohol bertahap dan xylol bertahap (tahapan dibalik)

(29)

14

Lampiran 2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)

Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x) Direhidrasi dalam alkohol bertingkat (3menit)

Dicuci dengan air (10 menit)

Dioksidasi dengan asam periodat 1% (5-10 menit) Dicuci aquades (3 menit, 3x)

Dimasukkan dalam Reagen Schiff (15-30 menit) Dicuci dengan air sulfit (3 menit, 3x)

Dicuci dengan aquades (5 menit, 3x) Diwarnai hematoxylin (beberapa detik)

Dicuci air mengalir (10-60 menit) Dicuci aquades (5 menit, 2x)

(30)

15

RIWAYAT HIDUP

Ganita Kurniasih Suryaman lahir di Bogor pada tanggal 26 Desember 1990 dari pasangan Asep Suryaman dan Dewi Ganevianti. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

(31)

10

Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih bebas dari agen patogen tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor bagi penyebaran blastomikosis.

Saran

Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk meneguhkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA

Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.

Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory Infection. 12 (3): 229 - 234.

Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without borders: long distance movements and implications for disease risk management. Ecohealth. 7(2): 204-212.

Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.

El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.

Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus (Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.

Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae): threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation Biology. 5(4):455-463.

Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).

Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.

(32)

11 Vienna (AT): ISAH. hlm 1209-1213. [diunduh 2014 Nov 11]. Tersedia pada http//.www.isah-so.org/documents/2011/pro_2011/files/volume_11/171.pdf Kapnadak SG dan Vinayak A. 2011. Blastomycosis as intramuscular abscess.

Respiratory Medicine. 4 (2011) 9-11.

Kauffman C. 2006. Endemic mycoses: blastomycosis, histoplasmosis, and sporotrichosis. Infectious Disease Clinics of North America. 20 (2006) 645 - 662.

Kim YS dan Ho SB. 2010. Intestinal goblet cells and mucins in helath and disease: recent insights and progress. Current Gastroenterology Reports. 12: 319- 330.

Luzynski KC, Sluzas E, Wallen M. 2009. Pteropodidae. University of Michigan [Internet]. [diunduh 2014 Desember 7]. Tersedia pada: http://animaldiversity.org/accounts/Pteropodidae/

McVey DS, Kennedy M, Chengappa MM. 2013. Veterinary Microbiology. Ed ke-3. New Jersey (US): Wiley-Blackwell.

Mukhopadhyay S dan Gal AA. 2010. Granulomatous lung disease: an approach to the differential diagnosis. Archives of Pathology & Laboratory Medicine. 134: 667-690.

Nowak RM. 1999. Walker's Mammals of the World. Volume 1. Baltimore (US): John Hopkins University Press.

Randhawa HS. 2000. Respiratory and systemic mycosis: an overview. Indian Journal of Chest Disease and Allied Science. 42 (4): 207-219.

Sendow I, Field HE, Curran J, Darminto, Morissy C, Meehan G, Buick T, Daniels P. 2006. Henipavirus in Pteropus vampyrus bats, Indonesia. Emerging Infectious Disease. 12 (4) 711-712.

Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease. Missouri (US): Elsevier Saunders.

(33)

4

Metode Penelitian

Organ hati, paru-paru, serta usus dari kelelawar didapatkan dalam keadaan telah terfiksasi dalam larutan BNF. Masing-masing organ diiris dengan ketebalan 3 mm, dimasukkan ke dalam basket, lalu diparafinisasi. Preparat diiris menggunakan mikrotom, diletakkan pada object glass, lalu difiksasi. Masing-masing organ disiapkan untuk pewarnaan HE dan PAS sehingga pengirisan untuk tiap preparat dilakukan dua kali. Irisan pertama dari seluruh preparat direhidrasi lalu diwarnai dengan pewarnaan HE sebelum kemudian didehidrasi kembali dan ditutup dengan cover glass. Irisan kedua dari seluruh preparat diwarnai menggunaan teknik pewarnaan PAS dengan counter stain haematoxylin lalu difiksasi dan ditutup dengan cover glass. Prosedur pewarnaan HE dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 1 dan prosedur pewarnaan PAS dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 2. Seluruh preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif sebesar 4, 10, 20, 40, dan 100 kali.

Prosedur Analisis Data

Pengamatan HE dilakukan untuk mencari perubahan tampilan organ, dilanjutkan dengan pengamatan PAS untuk mencari organisme patogen. Data disusun ke dalam tabel lalu dikaji secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Histopatologi

Beberapa sampel tidak memiliki ketiga organ interna yang hendak diamati secara lengkap. Dari ketiga organ interna yang diamati, hanya organ paru-paru yang didapatkan lengkap dari kesepuluh sampel yang tersedia. Sampel organ hati hanya didapatkan 6 sampel sedangkan sampel organ usus hanya didapatkan 5 sampel.

Pewarnaan HE mewarnai sel jaringan dan sel radang dengan baik sehingga respon jaringan terhadap kerusakan dapat diamati. Respon granuloma sering ditemukan pada infeksi cendawan. Cendawan umumnya berukuran cukup besar sehingga sulit difagosit. Granuloma terbentuk guna melokalisir cendawan patogen (Songer dan Post 2005). Menurut Kauffman (2006) agen patogen dapat tidak ditemukan di dalam granuloma karena sudah terfagosit atau sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Beberapa cendawan dapat dilihat pada pewarnaan HE tetapi sulit untuk dibedakan dengan jaringan sekitarnya (Guarner dan Brandt 2011). Cendawan pathogen tidak ditemukan di seluruh sampel preparat pewarnaan HE yang tersedia.

(34)

5

Gambar 1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel nekrotik (N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan mengalami pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x)

Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar buah

Kode sampel

Lesio pada Pewarnaan HE

Hati Paru-paru Usus 49 NE Pneumonia interstitialis NE 50 NE Granuloma, hiperplasia epitel

bronkiolus

54 NE Granuloma, pneumonia interstitialis

TAP

55 NE Hiperplasia epitel bronkiolus TAP

56 TAP TAP TAP

60 TAP pneumonia interstitialis NE NE (not examined) menyatakan preparat tidak ada sehingga tidak teramati

TAP menyatakan bahwa tidak ada perubahan ditemukan

(35)

6

Pada pewarnaan HE di sampel paru-paru, 7 dari 10 sampel memperlihatkan peradangan; 5 sampel diantaranya memiliki lesio granulomatosa sedangkan 4 memiliki pneumonia interstitialis. Sampel 51, 54, 58, dan 59 memiliki granuloma pada dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (Gambar 2). Sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag. Cendawan termasuk ke dalam agen infeksius yang dapat menyebabkan munculnya granuloma pada paru-paru (Mukhopadhyay dan Gal 2010). Sampel 53 memiliki fokus radang di interstitium paru-paru.

Satu-satunya lesio pada usus yang ditemukan adalah proliferasi sel goblet pada usus di sampel 50, namun tidak terdapat infiltrasi sel radang pada sampel tersebut. Proliferasi sel goblet dapat terjadi pada fase akut infeksi. Respon ini bertujuan memproduksi mucin yang dapat mencegah agen patogen berikatan dengan dinding usus (Kim dan Ho 2010).

Secara keseluruhan, hasil pewarnaan HE menunjukkan peradangan pada organ hati, paru-paru, serta usus. Peradangan terjadi pada lebih dari satu organ mengindikasikan adanya infeksi sistemik. Sampel yang mengalami radang pada hati atau usus juga mengalami radang pada paru-paru walaupun belum tentu sampel yang mengalami radang pada paru-paru memiliki radang pada hati atau usus. Hasil ini mengindikasikan peradangan berasal dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain.

Hasil pengamatan pewarnaan PAS pada organ hati menunjukkan bahwa pada sampel 53, 57, dan 59 ditemukan organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul, dan tidak ditemukan budding (Gambar 3). Bentukan organisme yang mirip dengan Gambar 3 ditemukan pula pada organ paru-paru sampel 56 dan 59 serta organ usus sampel 49.

Pengamatan pewarnaan PAS pada organ paru-paru pada sampel 53 menunjukkan organisme berbentuk bulat agak ovoid tidak berkapsul dengan broad-based budding (Gambar 4). Organisme dengan bentuk mirip dengan Gambar 4 juga ditemukan pada organ hati sampel 56 dan pada kripta usus sampel 50.

(36)

7

Gambar 3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak berkapsul serta tanpa budding (←) ditemukan di dalam sinusoid (PAS, perbesaran objektif 100x)

Hasil keseluruhan pewarnaan PAS memperlihatkan organisme bulat hingga ovoid tidak berkapsul tanpa budding ditemukan pada 3 sampel hati, 2 sampel paru-paru, serta 1 sampel usus. Organisme bulat hingga ovoid dengan broad-based budding tidak berkapsul ditemukan pada 1 sampel hati, 1 sampel paru-paru, serta 1 sampel usus.

(37)

8

Diagnosa Agen

Berdasarkan hasil gambaran histopatologi pada pewarnaan HE dan PAS, cendawan yang ditemukan pada 6 dari 10 sampel diduga sebagai Blastomyces sp. Blastomyces memiliki ukuran besar 8-15 µm atau 5-20µm dengan dinding sel yang tebal dan tidak berkapsul (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Songer dan Post 2005). Blastomyces memiliki broad-based budding yang dianggap sebagai karakteristik tetapi tidak selalu dapat ditemukan (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Blastomyces dapat memperlihatkan variasi ukuran dan memiliki variasi berukuran kecil yang disebut microform (Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Ketiga ciri ini mirip dengan sel yang ditemukan pada organ paru-paru sampel 53, organ hati sampel 56, serta organ usus sampel 50.

Diferensial diagnosa dari Blastomyces adalah Cryptococcus. Cryptococcus dapat dibedakan dengan Blastomyces oleh keberadaan kapsul yang berupa area bening di sekitar sel serta budding yang bersifat narrow based budding (McVey et al. 2013). Blastomyces tanpa budding sulit untuk dibedakan dengan Cryptococcus. Selain itu, terdapat Cryptococcus atipikal yang tidak memiliki kapsul sehingga sulit dibedakan dengan Blastomyces (Guarner dan Brandt 2011). Oleh karena itu, golden standard bagi diagnosa cendawan dimorfik adalah dengan menumbuhkan cendawan tersebut dalam biakan untuk mendapatkan fase kapangnya (Songer dan Post 2005). Sel bulat hingga ovoid tidak berkapsul yang ditemukan pada sampel diduga lebih kuat sebagai Blastomyces karena ketidakberadaan kapsul serta ditemukannya broad-based budding pada organ lain di sampel yang sama untuk kasus sampel 53.

Infeksi Blastomyces sp. disebabkan oleh spora atau fragmen miselium yang terdapat di udara dan terhirup masuk ke dalam paru-paru (Songer dan Post 2005). Oleh karena itu, gangguan pernapasan dan munculnya lesio pada paru-paru termasuk ke dalam gejala blastomikosis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 7 sampel dari 10 sampel yang memiliki peradangan pada paru-paru. Dari 7 sampel tersebut, terdapat 4 sampel yang juga menunjukkan peradangan pada hati serta 1 sampel yang memperlihatkan peradangan pada usus. Hasil tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa infeksi awal dimulai dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Hasil tersebut juga mengindikasikan organ yang terserang setelah paru-paru dapat berbeda bergantung pada perkembangan penyakit. Apabila hanya paru-paru yang menampakkan peradangan, maka kemungkinan besar penyakit masih bersifat akut atau organisme patogen belum menyebar.

(38)

9 Songer dan Post (2005) Blastomyces memiliki kemampuan untuk mengelabui sistem pertahanan dan memasuki aliran darah lalu menyebar secara hematogenus ke organ lain. Organ-organ sering ditemukannya Blastomyces sp. antara lain paru-paru, kulit, sistem syaraf, saluran genitourinari, dan tulang (Bradsher 1997; Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Blastomyces sebelumnya tidak pernah ditemukan di usus, walau pernah ditemukan di organ selain yang disebutkan di atas, misalnya otot dalam bentuk abses intramuskular (Kapnadak dan Vinayak 2011).

Sampel nomor 56 memiliki organisme yang diduga Blastomyces di paru-paru dan hati tanpa memperlihatkan respon radang pada paru-paru-paru-paru. Pada infeksi umumnya, Blastomyces akan menimbulkan respon inflamasi yang menyebabkan peningkatan neutrofil dan sel-sel fagosit mononuklear pada paru-paru (Songer dan Post 2005). Pada individu dengan imunitas kurang atau menderita imunosupresi, blastomikosis sistemik dapat terjadi tanpa respon radang yang kuat namun organisme dapat ditemukan pada berbagai organ (Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Mukhopadhyay dan Gal (2010) menambahkan bahwa respon radang pada infeksi mikosis dapat berbeda dari biasanya dan memiliki tingkat keparahan bervariasi, tergantung pada pertahanan tubuh inang.

Kelelawar sebagai agen penyebar Blastomyces

Blastomikosis termasuk zoonosis. Blastomyces termasuk ke dalam agen patogen primer, yang berarti dapat menginfeksi individu imunokompeten. Infeksi akut Blastomyces umumnya bersifat self-limiting pada individu normal, namun dapat menjadi fatal pada individu dengan imun yang rendah, seperti pengonsumsi obat-obat kortikosteroid ataupun yang menderita penyakit imunosupresi. Infeksi kronis pun mungkin terjadi pada individu normal dengan pembentukan granuloma pada paru-paru dan atau pada organ lain (Songer dan Post 2005). Blastomyces juga dikenal dapat muncul kembali bertahun-tahun kemudian setelah terjadinya infeksi akut (El-zammar dan Katzenstein 2007; Kauffman 2006).

Blastomyces menginfeksi paru-paru melalui spora dan fragmen miseliumnya (Songer dan Post 2005). Penyebaran Blastomyces diketahui terbatas pada daerah dimana cendawan tersebut dapat ditemukan pada fase kapangnya. Kasus penyebaran Blastomyces tidak melalui inhalasi dilaporkan dalam satu kasus dimana Blastomyces menyebar ke manusia melalui gigitan anjing yang terinfeksi parah (Gnann et al. 1983). Blastomyces diduga memiliki hubungan dengan ekskreta hewan karena Blastomyces pernah ditemukan pada kotoran burung dara, tanah kandang ayam, serta tanah kandang keledai (Songer dan Post 2005).

(39)

10

Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih bebas dari agen patogen tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor bagi penyebaran blastomikosis.

Saran

Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk meneguhkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA

Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.

Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory Infection. 12 (3): 229 - 234.

Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without borders: long distance movements and implications for disease risk management. Ecohealth. 7(2): 204-212.

Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.

El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.

Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus (Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.

Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae): threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation Biology. 5(4):455-463.

Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).

Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.

(40)

10

Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih bebas dari agen patogen tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor bagi penyebaran blastomikosis.

Saran

Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk meneguhkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA

Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.

Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory Infection. 12 (3): 229 - 234.

Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without borders: long distance movements and implications for disease risk management. Ecohealth. 7(2): 204-212.

Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.

El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.

Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus (Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.

Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae): threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation Biology. 5(4):455-463.

Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).

Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.

(41)

13 Lampiran 1 Prosedur Pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE)

Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x)

Direhidrasi alkohol bertingkat (3 menit)

Dibilas air mengalir ± 3 detik

Direndam 15 menit dalam larutan Hematoxylin

Dibasuh dengan air

Dimasukkan ke dalam lithium karbonat 15-30 detik

Dibasuh kembali

Dimasukkan ke dalam larutan Eosin 15 menit

Dibasuh dengan air

Dehidrasi dengan alkohol bertahap dan xylol bertahap (tahapan dibalik)

(42)

14

Lampiran 2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)

Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x) Direhidrasi dalam alkohol bertingkat (3menit)

Dicuci dengan air (10 menit)

Dioksidasi dengan asam periodat 1% (5-10 menit) Dicuci aquades (3 menit, 3x)

Dimasukkan dalam Reagen Schiff (15-30 menit) Dicuci dengan air sulfit (3 menit, 3x)

Dicuci dengan aquades (5 menit, 3x) Diwarnai hematoxylin (beberapa detik)

Dicuci air mengalir (10-60 menit) Dicuci aquades (5 menit, 2x)

(43)

3 sistemik patogen oportunistik adalah candidiasis dan aspergillosis (Songer dan Post 2005).

Kebanyakan dari mikosis sistemik primer bersifat subklinis pada individu dengan imunitas normal. Pada individu yang terpapar dengan inokulum berjumlah besar atau mereka dengan imunitas kurang penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit mematikan atau terjadi reaktifasi dari foci laten di kemudian hari (Walsh dan Dixon 1996). Mikosis sistemik dapat menyebabkan problem kesehatan yang bervariasi mulai dari sakit pada organ pencernaan, penyakit kulit, penyakit bronkopulmonari, kelelahan, dan sebagainya. Menurut Walsh dan Dixon (1996) gerbang masuk paling umum dari cendawan adalah traktus respiratori, traktus gastrointestinal, dan pembuluh darah. Mikosis pernapasan yang berujung sistemik, terkecuali candidiasis dan kasus unik tertentu, tidak menular dari satu pasien ke pasien yang lain. Pasien terpapar oleh patogen secara inhalasi dengan menghirup spora dari agen patogen yang ada di lingkungan. Oleh karena itu, penyebaran mikosis sistemik patogen primer bersifat endemis (Walsh dan Dixon 1996; Songer dan Post 2005; Randhawa 2000).

Hewan memiliki peran penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia baik sebagai vektor dari cendawan patogen ataupun sebagai pembuat lingkungan prasyarat tumbuhnya cendawan (Hussein et al. 2011). Beberapa hewan juga rentan terhadap beberapa jenis mikosis sistemik tertentu. Anjing sangat rentan terhadap blastomikosis dikarenakan sifatnya yang suka mengendus tanah dan menggali lubang sehingga mudah terpapar spora infektif (Songer dan Post 2005). Penularan langsung dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi, pernah dilaporkan satu kasus dimana manusia terjangkit blastomikosis melalui gigitan anjing yang menderita disseminated blastomycosis (Gnann et al. 1983).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan November 2013 hingga November 2014.

Alat dan Bahan

(44)

4

Metode Penelitian

Organ hati, paru-paru, serta usus dari kelelawar didapatkan dalam keadaan telah terfiksasi dalam larutan BNF. Masing-masing organ diiris dengan ketebalan 3 mm, dimasukkan ke dalam basket, lalu diparafinisasi. Preparat diiris menggunakan mikrotom, diletakkan pada object glass, lalu difiksasi. Masing-masing organ disiapkan untuk pewarnaan HE dan PAS sehingga pengirisan untuk tiap preparat dilakukan dua kali. Irisan pertama dari seluruh preparat direhidrasi lalu diwarnai dengan pewarnaan HE sebelum kemudian didehidrasi kembali dan ditutup dengan cover glass. Irisan kedua dari seluruh preparat diwarnai menggunaan teknik pewarnaan PAS dengan counter stain haematoxylin lalu difiksasi dan ditutup dengan cover glass. Prosedur pewarnaan HE dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 1 dan prosedur pewarnaan PAS dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 2. Seluruh preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif sebesar 4, 10, 20, 40, dan 100 kali.

Prosedur Analisis Data

Pengamatan HE dilakukan untuk mencari perubahan tampilan organ, dilanjutkan dengan pengamatan PAS untuk mencari organisme patogen. Data disusun ke dalam tabel lalu dikaji secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Histopatologi

Beberapa sampel tidak memiliki ketiga organ interna yang hendak diamati secara lengkap. Dari ketiga organ interna yang diamati, hanya organ paru-paru yang didapatkan lengkap dari kesepuluh sampel yang tersedia. Sampel organ hati hanya didapatkan 6 sampel sedangkan sampel organ usus hanya didapatkan 5 sampel.

Pewarnaan HE mewarnai sel jaringan dan sel radang dengan baik sehingga respon jaringan terhadap kerusakan dapat diamati. Respon granuloma sering ditemukan pada infeksi cendawan. Cendawan umumnya berukuran cukup besar sehingga sulit difagosit. Granuloma terbentuk guna melokalisir cendawan patogen (Songer dan Post 2005). Menurut Kauffman (2006) agen patogen dapat tidak ditemukan di dalam granuloma karena sudah terfagosit atau sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Beberapa cendawan dapat dilihat pada pewarnaan HE tetapi sulit untuk dibedakan dengan jaringan sekitarnya (Guarner dan Brandt 2011). Cendawan pathogen tidak ditemukan di seluruh sampel preparat pewarnaan HE yang tersedia.

(45)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mikosis sistemik merupakan salah satu penyakit yang sering lolos dari perhatian dokter hewan namun memiliki peran yang semakin signifikan akhir-akhir ini. Salah satu alasan pentingnya mikosis sistemik adalah karena beberapa agen mikosis sistemik bersifat zoonotik. Menurut Hussein et al. (2011) hewan memiliki peranan yang penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia karena dapat menjadi vektor atau membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi cendawan patogen untuk tumbuh. Oleh karena itu terdapat hubungan antara penyebaran penyakit ini pada manusia serta penyebaran penyakit ini pada hewan. Risiko penyebaran penyakit semakin meningkat akhir-akhir ini karena jumlah individu memiliki keadaan imunosupresi semakin tinggi. Contoh dari individu yang memiliki keadaan imunosupresi adalah penderita AIDS, penderita diabetes, dan individu yang mengkonsumsi obat-obatan yang menyebabkan kondisi imunosuppresif. Semakin rendah imunitas seseorang maka semakin mudah cendawan patogen menginfeksi. Mikosis sistemik sering diawali dari penyakit saluran pernapasan tanpa gejala klinis patognomonis sehingga dapat berujung pada pengobatan yang tidak tepat sasaran dan penyakit dapat berujung progresif (Randhawa 2000).

Mikosis sistemik juga dapat menginfeksi hewan produksi serta hewan kesayangan (Songer dan Post 2005). Infeksi mikosis sistemik pada hewan produksi dapat menyebabkan turunnya produksi hewan atau bahkan kematian sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi. Infeksi pada hewan kesayangan akan berdampak pada menurunnya kesejahteraan hidup hewan serta dapat menjadi penyebar penyakit tersebut.

Kelelawar buah merupakan salah satu hewan liar yang lazim ditemui ada diantara manusia dan hewan domestik. Hewan ini kadang beristirahat di bangunan serta tidak jarang memasuki perkebunan-perkebunan untuk mencari makan. Wilayah jelajah kelelawar buah pun sangat luas. Kelelawar buah yang ada di Sumatra dapat bermigrasi hingga Semenanjung Malaysia dan didapatkan pula data bahwa kelelawar buah bergerak dari Timor Leste ke Indonesia (Breed et al. 2010; Sendow et al. 2006). Kelelawar buah memiliki intestinal transit time yang rendah untuk mengurangi beban saat terbang (Fedman dan Hall 1985) sehingga sering berdefekasi saat terbang. Perilaku menjelajah serta defekasi ini dapat menjadikan kelelawar buah sebagai salah satu vektor agen penyakit yang potensial.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenesis mikosis sistemik pada kelelawar buah melalui pengamatan preparat histopatologi organ interna paru-paru, hati, dan usus dengan pewarnaan HE dan PAS.

Manfaat Penelitian

(46)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelelawar buah

Kelelawar buah dikenal pula sebagai codot atau kalong dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris fruit bat atau flying fox. Istilah ini pada umumnya digunakan untuk kelelawar pemakan buah bertubuh besar. Kelelawar buah mengacu pada famili Pteropodidae (Luzynski et al. 2009). Menurut Linnaeus (1758), taksonomi kelelawar buah antara lain:

Kingdom : Animalia

Famili Pteropodidae terdiri atas 42 genera dan sekitar 169 spesies (Nowak 1999). Kelelawar buah kecil memiliki panjang tungkai atas hanya 37mm sedangkan tungkai atas kelelawar besar dapat mencapai 220mm (Luzynski et al. 2009). Pteropodidae memiliki spesies kelelawar dengan tubuh terbesar (Luzynski et al. 2009; Nowak 1999). Pteropodidae termasuk vegetarian dan memakan buah, nektar, serta bunga (Nowak 1999). Lidah kelelawar buah termodifikasi untuk menghancurkan buah-buahan. Traktus gastrointestinal kelelawar buah sederhana dan makanan lewat dengan cepat (Nowak 1999). Kelelawar buah juga dapat berdefekasi saat terbang (Fedman dan Hall 1985; Luzynski et al. 2009) untuk mengurangi beban tubuh saat terbang.

Pteropodidae tersebar di daerah tropis serta subtropis di belahan bumi timur (Luzynski et al. 1999). Beberapa spesies memiliki wilayah jelajah yang sangat luas (Nowak 1999). Salah satu spesies Pteropodidae, Pteropus vampyrus, bergerak antara Timor-Leste dan Indonesia, serta antara Semenanjung Malaysia dan Sumatra (Breed et al. 2010; Sendow et al. 2006). Perilaku migrasi ini meningkatkan risiko menyebarkan penyakit yang dibawa oleh Pteropus vampyrus, diantaranya SARS, Ebola, Nipah, dan virus Hendra (Calisher et al. 2006).

Mikosis Sistemik

(47)

3 sistemik patogen oportunistik adalah candidiasis dan aspergillosis (Songer dan Post 2005).

Kebanyakan dari mikosis sistemik primer bersifat subklinis pada individu dengan imunitas normal. Pada individu yang terpapar dengan inokulum berjumlah besar atau mereka dengan imunitas kurang penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit mematikan atau terjadi reaktifasi dari foci laten di kemudian hari (Walsh dan Dixon 1996). Mikosis sistemik dapat menyebabkan problem kesehatan yang bervariasi mulai dari sakit pada organ pencernaan, penyakit kulit, penyakit bronkopulmonari, kelelahan, dan sebagainya. Menurut Walsh dan Dixon (1996) gerbang masuk paling umum dari cendawan adalah traktus respiratori, traktus gastrointestinal, dan pembuluh darah. Mikosis pernapasan yang berujung sistemik, terkecuali candidiasis dan kasus unik tertentu, tidak menular dari satu pasien ke pasien yang lain. Pasien terpapar oleh patogen secara inhalasi dengan menghirup spora dari agen patogen yang ada di lingkungan. Oleh karena itu, penyebaran mikosis sistemik patogen primer bersifat endemis (Walsh dan Dixon 1996; Songer dan Post 2005; Randhawa 2000).

Hewan memiliki peran penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia baik sebagai vektor dari cendawan patogen ataupun sebagai pembuat lingkungan prasyarat tumbuhnya cendawan (Hussein et al. 2011). Beberapa hewan juga rentan terhadap beberapa jenis mikosis sistemik tertentu. Anjing sangat rentan terhadap blastomikosis dikarenakan sifatnya yang suka mengendus tanah dan menggali lubang sehingga mudah terpapar spora infektif (Songer dan Post 2005). Penularan langsung dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi, pernah dilaporkan satu kasus dimana manusia terjangkit blastomikosis melalui gigitan anjing yang menderita disseminated blastomycosis (Gnann et al. 1983).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan November 2013 hingga November 2014.

Alat dan Bahan

Gambar

Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar buah
Gambar 2 Organ paru-paru sampel 49. Lesio granuloma dekat dinding
Gambar 4 Organ paru-paru sampel 53. Organisme ovoid tidak berkapsul dengan
Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar buah
+3

Referensi

Dokumen terkait

Terlihat nilai turbiditas di seluruh stasiun pada saat air rendah cenderung lebih tinggi, hal ini menunjukkan bahwa di setiap stasiun penelitian telah terjadi laju erosi yang

Sedangkan berdasarkan usia 65-74 pola makan natrium tidak pernah sebanyak 4 responden, jenis kelamin perempuan memiliki pola makan lemak jarang sebanyak 19

Atmosfer dari planet merkurius terdiri dari gas natrium dan kalium yang sangat tipis sehingga kadang-kadang dikatakan bahwa planet ini tidak memiliki atmosfer.. Jarak

Berdasarkan hasil analisis nilai moral dalam novel Merdeka Sejak Hati menggunakan teori moralitas James Rachels, dapat disimpulkan bahwa keempat keutamaan teori

Berdasar hasil uji F terlihat nilai F hitung sebesar 8,077 dengan probabilitas 0,000 yang berarti bahwa independensi auditor, gaya kepemimpinan, komitmen

Dari hasil uji hipotesis menggunakan Uji Independent Samples T- Test dengan nilai p=0,015 ketentuan Ho ditolak Ha diterima bila nilai p<0,05 yang berarti bahwa terdapat

Model produk dalam penelitian pengembangan ini berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia (IPMKK) yang berbentuk tes pilihan ganda 5 alternatif jawaban

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang...