• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Banjarnegara

Kabupaten Banjarnegara terletak di antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’ - 109º45’50” Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas (BPS 2007).

Luas Kabupaten Banjarnegara adalah 106.970,997 Ha atau sekitar 3,29% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 m dpl sebesar 37,04%, kemudian antara 500-1000 m dpl sebesar 28.74%, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24.4% dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9.82%. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan : bagian utara, terdiri dari daerah pegunungan relief bergelombang dan curam; bagian tengah, terdiri dari wilayah dengan relief datar; bagian selatan, terdiri dari wilayah dengan relief curam (BPS 2007).

Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Banjarnegara sebanyak 4.269 mm per tahun dengan hari hujan 150, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pejawaran sebesar 2.282 mm per tahun dengan 156 hari hujan (BPS 2007).

Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak 910.513 jiwa, terdiri dari 454.986 laki-laki dan 455.527 perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km2. Kepadatan rumah tangga menurut kecamatan, tertinggi adalah Kecamatan Banjarnegara, Purworejo Klampok dan Rakit dengan kepadatan sebesar 546 rumah tangga per km2, 535 rumah tangga per km2 dan 441 rumah tangga per km2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 secara umum mengalami penurunan. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan.

Kecamatan Pejawaran

Kecamatan Pejawaran berbatasan langsung dengan tiga kecamatan dan satu kabupaten. Sebelah utara Kecamatan Pejawaran berbatasan dengan Kecamatan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagentan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Luas wilayah Kecamatan Pejawaran sekitar 5.224,97 km2 dan terdiri dari 17 desa.

Jumlah penduduk Kecamatan Pejawaran pada akhir tahun 2007 sebanyak 41.829 jiwa, terdiri dari 21.056 laki-laki dan 20.773 perempuan. Jumlah rumah tangga di Kecamatan Pejawaran sebanyak 11.929, dengan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 4.

Tingkat pendidikan rata-rata penduduk masih tergolong rendah, sebagian besar didominasi oleh tamatan SD (46%). Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah sebagai petani (66.7%) dan buruh tani (29.7%).

Kecamatan Punggelan

Kecamatan Punggelan terletak di antara 12º Lintang Utara dan 07º-31º Lintang Selatan, dan di antara 07º-12º Bujur Barat dan 02º-33º Bujur Barat dan 03º-81º Bujur Timur. Sebelah utara kecamatan Punggelan berbatasan dengan Kecamatan Pandanarum dan Kecamatan Kalibening, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wanadadi dan Kecamatan Rakit, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga.

Luas wilayah Kecamatan Punggelan sekitar 10.284 km2 dan terdiri dari 17 desa. Sebagian tanah di wilayah ini bergelombang dan berbukit, serta sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan.

Jumlah penduduk Kecamatan Punggelan pada akhir tahun 2007 sebanyak 70.877 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km2. Penduduk Kecamatan punggelan pada kelompok usia 5 sampai 9 tahun, baik laki-laki maupun perempuan merupakan kelompok umur tertinggi yang terdiri dari 4.142 jiwa laki-laki dan 3.973 jiwa perempuan, sedangkan pada balita lebih rendah, yaitu 3.679 untuk laki-laki dan 3.753 jiwa untuk perempuan disbanding kelompok umur di atasnya. Jumlah rumah tangga di kecamatan Punggelan sebanyak 18.057 dengan rata-rata anggota rumah tangga 3.9.

Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah bekerja di sektor pertanian (43.8%). Tingkat pendidikan di kecamatan Punggelan masih tergolong rendah, sebagian besar didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mencapai 55.85%.

Karakteristik dan Keadaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Karakteristik dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga yang dipelajari dalam penelitian ini meliputi besar rumah tangga, umur orang tua, pendidikan orang tua, pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga sampel dikelompokkan menurut dua kecamatan dari lokasi penelitian, yaitu kecamatan Pejawaran dan Punggelan. Dua kecamatan tersebut merupakan wilayah risiko rawan pangan. Kecamatan Pejawaran merupakan wilayah ketahanan pangan berisiko tinggi, sedangkan Punggelan merupakan wilayah ketahanan pangan berisiko sedang. Besar Rumah Tangga

Besar rumah tangga dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu rumah tangga kecil yang dikarakteristikkan oleh jumlah anggota ≤ 4 orang, rumah tangga sedang yang dikarakteristikkan oleh jumlah anggota 5 hingga 7 orang, serta rumah tangga besar yang dikarakteristikkan oleh jumlah anggota lebih dari 7 orang.

Jumlah anggota rumah tangga sampel berkisar antara 2 sampai 12 orang dengan rata-rata 5 orang. Sebagian besar rumah tangga sampel tergolong rumah tangga kecil (59,3%), sedangkan rumah tangga besar terdapat dalam jumlah paling kecil (4%).

Sebagian besar rumah tangga di Pejawaran tergolong rumah tangga kecil (58%), begitu pula dengan rumah tangga di Punggelan (60.7%). Rumah tangga sedang dan besar, lebih banyak terdapat di Pejawaran. Sebaran sampel berdasarkan besar rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 6 .

Tabel 6 Sebaran rumah tangga menurut besar rumah tangga Besar rumah tangga Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Kecil (≤4 orang) 87 58.0 91 60.7 178 59.3 Sedang (5-7 orang) 56 37.3 54 36.0 110 36.7 Besar (>7 orang) 7 4.7 5 3.3 12 4.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata±sd 4.65±1.40 4.50±1.44 4.58±1.42

Usia Orang Tua

Secara umum, usia ayah sampel berada pada kisaran 18-39 tahun (75.9%), dengan usia terendah 21 tahun dan usia tertinggi 56 tahun. Usia ibu sebagian besar juga berada pada usia 18-39 tahun (89.7%), hal ini menunjukkan sebagian orang tua memiliki usia dewasa muda (Hurlock 1980).

Tabel 7 Sebaran rumah tangga menurut usia orang tua

Usia Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Ayah 18-39 109 74.1 115 77.7 224 75.9 40-60 38 25.9 33 22.3 71 24.1 Total 147 100 148 100 295 100 Rata-rata±sd 34.7±7.3 34.8±7.4 34.7±7.3 Ibu 18-39 134 89.3 135 90.0 269 89.7 40-60 16 10.7 15 10.0 31 10.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata±sd 29.9±6.6 30.0±7.1 30.0±6.8

Berdasarkan Tabel 7 rata-rata usia ayah pada rumah tangga sampel di Pejawaran adalah 34.7 tahun, hampir sama halnya dengan rata-rata usia ayah di Punggelan, yaitu 34.8 tahun. Usia ayah pada kisaran 18-39 tahun, lebih banyak terdapat di Punggelan (77.7%). Hal ini menunjukkan bahwa usia ayah yang lebih muda, lebih banyak terdapat di Punggelan daripada di Pejawaran.

Rata-rata usia ibu di Pejawaran adalah 29.9 tahun, sedangkan di Punggelan adalah 30.0 tahun. Sebagian besar usia ibu di Pejawaran berada pada kisaran 18-39 tahun (89.3%), sama halnya dengan usia ibu di Punggelan (90.0%).

Pendidikan Orang Tua

Kategori pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Sebagian besar tingkat pendidikan ayah (60.3%) dan ibu (62%) adalah tamat SD.

Rata-rata lama sekolah ayah di Pejawaran adalah 5.7 tahun, sementara di Punggelan adalah 7.1 tahun. Ha ini menunjukkan tingkat pendidikan ayah di Punggelan lebih tinggi daripada di Pejawaran. Tingkat pendidikan ayah pada rumah tangga di Pejawaran, sebagian besar adalah tamat SD (69.4%), begitu pula dengan tingkat pendidikan ayah di wilayah Punggelan (51.4%). Tingkat pendidikan ayah yang mencapai perguruan tinggi sebesar 1.4% pada rumah tangga di Pejawaran dan 4.1% pada rumah tangga di Punggelan.

Secara umum tingkat pendidikan ibu lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan ayah. Rata-rata lama sekolah ibu adalah 6.8 tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah ayah, yaitu 6.4 tahun. Tingkat pendidikan ibu pada rumah tangga di Pejawaran sebagian besar adalah tamat SD (75.3%), sama halnya dengan tingkat pendidikan ibu di Punggelan (48.7%). Ibu yang tidak bersekolah lebih banyak terdapat di Pejawaran (6.1%) daripada di Punggelan (0.7%), sementara ibu dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi hanya terdapat di Punggelan (4%). Sebaran tingkat pendidikan orang tua disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran rumah tangga menurut tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Ayah Tidak sekolah 9 6.1 5 3.4 14 4.7 Tidak tamat SD 23 15.6 19 12.8 42 14.2 SD/sederajat 102 69.4 76 51.4 178 60.3 SMP/sederajat 8 5.4 26 17.6 34 11.5 SMA/sederajat 3 2 16 10.8 19 6.4 PT 2 1.4 6 4.1 8 2.7 Total 147 100 148 100 295 100 Rata-rata±SD 5.7±2.4 7.1±3.2 6.4±2.9 Ibu Tidak sekolah 6 4 1 0.7 7 2.3 Tidak tamat SD 12 8 16 10.7 28 9.3 SD/sederajat 113 75.3 73 48.7 186 62 SMP/sederajat 18 12 38 25.3 56 18.7 SMA/sederajat 1 0.7 16 10.7 17 5.7 PT 0 0 6 4 6 2 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata±SD 6.0±1.9 7.6±2.8 6.8±2.5

Pengeluaran rumah tangga

Sebagian besar rumah tangga (65.7%) di wilayah penelitian memiliki pengeluaran total per kapita per bulan di antara Rp 50.000 sampai Rp 250000 dengan rata-rata pengeluaran total sebesar Rp 231852 per kapita per bulan. Rata-rata pengeluaran total per kapita per bulan pada rumah tangga di punggelan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga di Pejawaran, yaitu sebesar Rp 278688. Sebaran rumah tangga dengan pengeluaran total per kapita per bulan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran rumah tangga menurut pengeluaran per kapita per bulan Pengeluaran/kap/bulan(Rp) Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % <50000 4 2.7 1 0.7 5 1.7 50000-250000 115 76.7 82 54.7 197 65.7 >250000 31 20.7 67 44.7 98 32.7 Total 150 100 150 100 300 100 Rata-rata±sd 185015±170957 278688±204287 231852±193809

Pengeluaran total sebuah rumah tangga terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan. Menurut den Hartog et al. 1995 diacu dalam Tanziha 2005, persen pengeluaran untuk pangan menunjukkan rumah tangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk pangan dari total pendapatan sebesar 70% atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30% pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70%.

Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman 1999/2000).

Sebagian besar rumah tangga (73.7%) memiliki pengeluaran pangan di antara 30% dengan 70% dari total pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga tergolong dalam rumah tangga berpendapatan menengah. Rata-rata pengeluaran untuk pangan pada rumah tangga di wilayah penelitian adalah sebesar Rp 114756. Sebaran rumah tangga berdasarkan pengeluaran pangan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran rumah tangga menurut pengeluran pangan per kapita perbulan Pengeluaran pangan per kapita Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % <30% 15 10.0 6 4.0 21 7.0 30-70% 112 74.7 109 72.7 221 73.7 >70% 23 15.3 35 23.3 58 19.3 Total 150 100 150 100 150 100 Rata-rata±SD 81752±49353 147760±71954 114756±4036

Kepemilikan Aset Rumah Tangga

Aset rumah tangga sangat penting diketahui karena terkait dengan penggunaan aset tersebut sebagai alat tukar dalam mengatasi kekurangan konsumsi pangan. Aset rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu aset

non-produktif dan aset non-produktif. Aset non-non-produktif adalah berupa simpanan rumah tangga yang mudah ditukarkan dengan uang. Aset non-produktif meliputi perhiasan emas, alat elektronik.

Kepemilikan aset non-produktif pada rumah tangga berupa perhiasan emas dimiliki oleh 144 rumah tangga (48%). Alat elektronik yang paling banyak dimiliki oleh rumah tangga adalah televisi (75.7%), 44% rumah tangga memiliki radio, 31.7% memiliki handphone, 16.3 % memiliki magic jar , 23.7% memiliki VCD, 6% memiliki kulkas dan yang paling sedikit dimiliki rumah tangga, yaitu kipas angin (1%).

Aset produktif adalah aset rumah tangga yang tidak mudah ditukarkan dengan uang, memiliki nilai yang lebih tinggi, serta memiliki peranan dalam pencapaian pendapatan rumah tangga. Aset produktif meliputi rumah, lahan, alat transportasi, dan ternak.

Sebagian besar rumah tangga sudah memiliki rumah sendiri (78.3%), meskipun keadaan fisik rumah belum memadai dan 21.3% rumah tangga tidak memiliki rumah dan ikut dengan orang tuanya. Secara umum, mata pencaharian penduduk di wilayah penelitian berada pada sektor pertanian, sehingga sebagian besar rumah tangga memiliki lahan pertanian yang hasilnya dikonsumsi sendiri maupun dijual untuk menambah penghasilan. Jenis tanaman yang cocok ditanami di tanah mereka adalah jagung, kentang, wortel, kol, dan beberapa jenis sayuran lainnya. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang memiliki lahan sawah, yaitu sebanyak 27 rumah tangga memiliki sawah sendiri (9%) dan 6 rumah tangga memiliki sawah garapan (2%).

Kebun yang dimiliki rumah tangga, sebagian besar adalah milik sendiri (75.3%). Sebanyak 38 rumah tangga memiliki kolam yang digunakan untuk memelihara ikan. Alat transportasi merupakan aset yang tidak banyak dimiliki oleh rumah tangga, seperti mobil yang hanya dimiliki oleh 10 rumah tangga (3.3%). Biasanya mobil digunakan untuk mengangkut hasil panen dalam jumlah banyak. Motor dimiliki oleh lebih banyak rumah tangga, yaitu sebanyak 88 rumah tangga (29.3%).

Binatang ternak yang paling banyak dimiliki oleh rumah tangga adalah ayam (44.3%). Sebanyak 112 rumah tangga memiliki kambing (37.3%), dan sapi dimiliki oleh 25 rumah tangga (8.3%). Kepemilikan binatang ternak kambing maupun sapi biasanya digunakan sebagai alat penambah penghasilan, yaitu

dijual pada saat tertentu. Sebaran kepemilikan aset rumah tangga disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran rumah tangga menurut kepemilikan aset rumah tangga Jenis aset rumah tangga Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Aset non-produktif Perhiasan emas 58 38.7 86 57.3 144 48 Alat elektronik TV 113 75.3 114 76 227 75.7 Radio 73 48.7 59 39.3 132 44 Handphone 29 19.3 66 44 95 31.7 Magic Jar 7 4.7 42 28 49 16.3 VCD 17 11.3 54 36 71 23.7 Kulkas 0 0 18 12 18 6 Kipas angin 0 0 3 2 3 1 Aset produktif kepemilikan rumah rumah sendiri 112 74.7 123 82 235 78.3 rumah kontrakan/sewa 1 0.7 0 0 1 0.3 tidak punya rumah/ikut

orang tua/saudara 37 24.7 27 18 64 21.3 kepemilkan lahan Sawah sawah sendiri 1 0.7 26 17.3 27 9 sawah garapan 0 0 6 4 6 2 Kebun kebun sendiri 137 91.3 89 59.3 226 75.3 kebun garapan 6 4 6 4 12 4 kebun sewa 3 2 0 0 3 1 Kolam 20 13.3 18 12 38 12.7 Pekarangan 16 10.7 56 37.3 72 24 alat transportasi mobil 2 1.3 8 5.3 10 3.3 motor 25 16.7 63 42 88 29.3

ternak dan perikanan

ayam/itik 54 36 79 52.7 133 44.3

kambing 67 44.7 45 30 112 37.3

sapi 23 15.3 2 1.3 25 8.3

ikan 18 12 14 9.3 32 10.7

Tabel 12 Rata-rata jumlah aset yang dimiliki

Jenis aset Rata-rata (m

2 ) Pejawaran Punggelan Sawah sendiri 103.3 307 Sawah garapan 0 155.1 Kebun sendiri 3753.4 1981.5 Kebun garapan 186.3 239 Kebun sewa 38.2 0 Kolam 9.8 4.8 Pekarangan 15.5 31

Pengalaman Rawan Pangan

Berdasarkan peta situasi pangan dan gizi propinsi Jawa Tengah tahun 2006 (Deptan 2007), Banjarnegara masih memiliki wilayah yang rumahtangganya dikategorikan berisiko rawan pangan dan gizi. Identifikasi pengalaman rawan pangan ditujukan untuk mengetahui kondisi kerawanan pangan kronis atau akut di wilayah tersebut dengan mengacu pada tahun 1930-1940 dan 1961-1962 di beberapa wilayah di Propinsi Jawa Tengah termasuk Kabupaten Banjarnegara pernah mengalami sejarah kurang pangan.

Selama satu tahun terakhir, makanan pokok rumah tangga adalah jagung dan beras. Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang cocok ditanam di lokasi penelitian, sehingga kebanyakan rumah tangga memperoleh jagung dari hasil kebun sendiri. Berbeda halnya dengan beras, rumah tangga memperolehnya dengan membeli di warung atau di pasar, karena tanaman padi tidak cocok ditanam di lokasi penelitian. Bagi rumah tangga yang tergolong miskin, beras yang mereka beli adalah beras raskin dari program pemerintah, yang ada setiap satu bulan sekali. Sebaran jenis makanan pokok yang dikonsumsi selama setahun terakhir oleh rumah tangga sampel disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran jenis makanan pokok yang dikonsumsi selama setahun terakhir

Jenis makanan pokok Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

Beras 4 2.7 144 96.0 148 49.3

Jagung 130 86.7 0 0.0 130 43.3

Beras dan jagung 16 10.7 6 4.0 22 7.3

Berdasarkan Tabel 13 terlihat perbedaan jenis makanan pokok antara rumah tangga di Pejawaran dengan Punggelan. Rumah tangga di Pejawaran, sebagian besar mengkonsumsi jagung sebagai bahan makanan pokok (86.7%), sedangkan rumah tangga di Punggelan lebih memilih beras sebagai bahan makanan pokok (96.0%). Tidak ada satu pun rumah tangga di Punggelan yang mengkonsumsi jagung saja sebagai makanan pokok, melainkan ada pergantian antara jagung dengan beras (4%). Sebagian besar rumah tangga di Pejawaran memiliki kebun sendiri (89%) dan ditanami jagung, sehingga inilah yang menyebabkan jagung menjadi pilihan untuk dikonsumsi sebagai makanan pokok. Produksi tanaman pangan berkaitan dengan curah hujan di kedua kecamatan tersebut. Tanaman jagung, sebagai makanan pokok masyarakat Pejawaran, biasanya ditanam pada saat menjelang musim kemarau atau pada saat bulan-bulan kering. Data curah hujan di Pejawaran maupun Punggelan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Data curah hujan Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan

Bulan

Penjawaran Punggelan

2007 2007

Curah hujan Hari hujan Curah hujan Hari hujan

Januari 192 14 205 9 Februari 538 25 357 21 Maret 638 24 376 22 April 300 22 382 16 Mei 80 22 184 11 Juni 21 8 225 9 Juli 10 2 31 4 Agustus 16 7 0 0 Sepember 17 4 0 0 Oktober 107 13 216 5 Nopember 134 20 438 16 Desember 201 22 817 20 Jumlah 2.254 183 3.231 133

Makanan pokok yang diperoleh rumah tangga berasal dari hasil kebun sendiri maupun dengan membeli. Konsumsi jenis pangan untuk setiap hari ini tidak mudah untuk diperoleh, hal ini ditunjukkan pada Tabel 15 bahwa sebanyak 145 rumah tangga (48.3%) mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan makanan pokok.

Tabel 15 Sebaran rumah tangga menurut sulit tidaknya memperoleh bahan makanan pokok selama setahun terakhir

Sulit pangan Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

Ya 67 44.7 78 52.0 145 48.3

Tidak 83 55.3 72 48.0 155 51.7

Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0

Sulitnya memperoleh bahan makanan pokok ini didasari oleh berbagai alasan dari masing-masing rumah tangga. Sebagian besar rumah tangga kesulitan memperoleh bahan makanan pokok dengan alasan tidak ada uang (55,9%).

Tabel 16 Sebaran alasan sulitnya memperoleh bahan makanan pokok*) Alasan sulit pangan Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

Pangan tidak ada 36 53.7 8 10.3 44 30.3

Tidak ada uang 26 38.8 55 70.5 81 55.9

Harga naik 0 0.0 5 6.4 5 3.4

Pangan dan uang tidak ada 4 6.0 3 3.8 7 4.8 pangan dan uang tidak ada, serta harga naik 1 1.5 1 1.3 2 1.4 tidak ada uang dan harga naik 0 0.0 6 7.7 6 4.1

Total 67 100.0 78 100.0 145 100.0

*) persentase berdasarkan jumlah rumah tangga yang menjawab ya

Tidak adanya pangan juga merupakan alasan rumah tangga yang mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan makanan pokok (30.3%). Tidak adanya pangan biasanya disebabkan oleh gagal panen, sehingga cadangan pangan sudah habis digunakan dan tidak ada lagi pangan yang bisa dikonsumsi.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, beras merupakan bahan makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga (49.3%). Dalam dua bulan terakhir saat penelitian dilakukan, terdapat rumah tangga yang pernah mengubah makanan pokok, yaitu sebanyak tujuh rumah tangga (2.3%). Hal ini menunjukkan hanya sebagian kecil rumah tangga yang mengubah makanan pokoknya.

Tabel 17 Sebaran perubahan makanan pokok rumah tangga dua bulan terakhir Mengubah makanan pokok Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

Ya 0 0 7 4.7 7 2.3

Tidak 150 100 143 95.3 293 97.7

Total 150 100 150 100 300 100

Jenis makanan pokok yang diubah

Beras ke singkong 0 0 6 85.7 6 85.7

Beras ke jagung 0 0 1 14.3 1 14.3

Alasan perubahan makanan pokok

Penurunan daya beli/harga naik 0 0 6 85.7 6 85.7

Harga naik dan langka 0 0 1 14.3 1 14.3

Tabel 17 menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengubah makanan pokoknya hanya terdapat di Punggelan (4.7%). Sebanyak 85.7% dari rumah tangga yang mengubah makanan pokoknya memilih singkong sebagai bahan makanan pengganti beras, sedangkan 14.3% memilih jagung. Perubahan bahan makanan pokok ini disebabkan oleh penurunan daya beli rumah tangga terhadap beras serta langkanya bahan makanan pokok tersebut.

Berdasarkan peta situasi pangan dan gizi propinsi Jawa Tengah tahun 2006 (Deptan 2007), Banjarnegara masih memiliki wilayah yang rumahtangganya dikategorikan berisiko rawan pangan dan gizi. Satu hal yang penting diketahui adalah membandingkan laporan yang telah ada dengan kondisi rumah tangga yang sebenarnya.

Sesuai Tabel 18 paling banyak rumah tangga menyatakan tidak pernah mengalami masa kekurangan pangan (52%), namun hampir setengahnya pula pernah mengalami masa kekurangan pangan (48%). Persentase rumah tangga yang pernah mengalami masa kekurangan pangan di Pejawaran (45.3%) lebih rendah daripada rumah tangga di Punggelan (50.7%).

Tabel 18 Sebaran pengalaman masa kekurangan pangan Masa kekurangan pangan Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

Pernah 68 45.3 76 50.7 144 48.0

Tidak 82 54.7 74 49.3 156 52.0

Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0

Kejadian masa kekurangan pangan paling banyak dirasakan rumah tangga dalam waktu kurang dari satu tahun yang lalu, baik di Pejawaran (52.9%) maupun di punggelan (63.2%).

Tabel 19 Sebaran waktu terjadinya masa kekurangan pangan Masa kekurangan pangan Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

< 1 tahun lalu 36 52.9 48 63.2 114 79.2

1-5 tahun lalu 28 41.2 25 32.9 53 36.8

> 5 tahun lalu 4 5.9 3 3.9 7 4.9

Total 68 100.0 76 100.0 144 100.0

Secara umum hal yang menyebabkan rumah tangga mengalami masa kekurangan pangan adalah karena tidak ada uang untuk membeli pangan (61.8%). Sebagian besar mata pencaharian rumah tangga berada pada sektor pertanian, sehingga penghasilan atau pun sumber pangan mereka ditentukan dari hasil panen maupun dari hasil buruh tani yang memiliki ketidakpastian pendapatan, baik dari upah harian maupun dari besarnya risiko gagal panen. Kegagalan panen inilah yang menjadi salah satu penyebab rumah tangga mengalami masa kekurangan pangan (20.1%), karena peluang gagal usaha tani rumah tangga sampel adalah 3:1.

Selain tidak ada uang penyebab lainnya adalah kondisi ayah yang sakit sehingga sumber penghasilan berkurang, hasil panen yang tidak mencukupi, ayah meninggal dan penyebab lainnya yang disajikan pada Tabel 20.

Rumah tangga di Pejawaran mengalami masa kekurangan pangan saat terjadi gagal panen (33.8%) dan tidak ada uang (33.8%). Hal ini disebabkan oleh banyaknya rumah tangga yang bergantung pada hasil kebunnya sendiri. Beda halnya dengan rumah tangga di Punggelan yang sebagian besar memperoleh bahan pangannya dari membeli, sehingga tidak ada uang merupakan penyebab terjadinya masa kekurangan pangan bagi rumah tangga tersebut.

Tabel 20 Sebaran rumah tangga menurut penyebab masa kekurangan pangan Penyebab Pejawaran Punggelan Total

n % n % n %

Gagal panen 23 33.8 6 7.9 29 20.1

Tidak ada uang 23 33.8 66 86.8 89 61.8

Ayah sakit 3 4.4 0 0.0 3 2.1

Belum panen 3 4.4 0 0.0 3 2.1

Hasil penen tidak cukup 4 5.9 0 0.0 4 2.8

Gagal panen dan tidak ada uang 2 2.9 3 3.9 5 3.5 Hasil panen tidak cukup dan tidak ada uang 7 10.3 0 0.0 7 4.9

Suami meninggal 1 1.5 0 0.0 1 0.7

Anak sakit 0 0.0 1 1.3 1 0.7

Mulai hidup pisah dari orang tua 1 1.5 0 0.0 1 0.7 Orang tua meninggal, menghidupi adik 1 1.5 0 0.0 1 0.7

Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat ketahanan pangan adalah dengan menggunakan pengukuran tingkat konsumsi energi. Berdasarkan perhitungan konsumsi energi rumah tangga yang diperoleh dengan menggunakan Food Frequencies Questionaire (FFQ), terlihat bahwa rata-rata rumah tangga mengkonsumsi energi sebanyak 1404 Kal/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi di Punggelan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata konsumsi pada rumah tangga di Pejawaran.

Sebanyak 112 rumah tangga (37.3%) memiliki tingkat kecukupan energi kurang dari 70% dari AKE. Rumah tangga yang memiliki tingkat kecukupan energi 70-90% AKE adalah sebanyak 95 (31.7%), serta yang memiliki tingkat kecukupan di atas 90% AKE adalah sebanyak 93 rumah tangga (31.0%). Sebagian rumah tangga di Pejawaran (50.0%) memiliki tingkat kecukupan energi kurang dari 70%. Kondisi rumah tangga di Punggelan lebih baik dibandingkan dengan di Pejawaran, karena persentase rumah tangga terbesar (38.7%) memiliki tingkat kecukupan energi yang cukup, yaitu lebih dari 90% AKE. Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat kecukupan energi disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan energi Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Defisit berat(<70%) 75 50.0 37 24.7 112 37.3 Defisit sedang (70-90%) 40 26.7 55 36.7 95 31.7 Cukup (>90%) 35 23.3 58 38.7 93 31.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata±SD 1220±496 1587±620 1404±590

Menurut Zeitlin & Brown (1990) dalam Purlika (2004), rumah tangga dengan tingkat kecukupan energi kurang dari 70% AKE berada pada golongan rumah tangga sangat rawan ketahanan pangan. Rumah tangga yang rawan

Dokumen terkait