• Tidak ada hasil yang ditemukan

FOOD COPING STRATEGY RUMAH TANGGA YANG TINGGAL DI WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FOOD COPING STRATEGY RUMAH TANGGA YANG TINGGAL DI WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

FOOD COPING STRATEGY RUMAH TANGGA YANG TINGGAL

DI WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI

KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH

NUR SEPSIYANTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRACT

NUR SEPSIYANTI. Household Food Coping Strategy in Food Insecurity Area, Banjarnegara, Central Java. Under direction of DRAJAT MARTIANTO and DADANG SUKANDAR.

According to Food Insecurity Atlas, Banjarnegara is included of insecurity food area. In this area, there are food security household and food insecurity household. Food insecurity household is need the strategy to maintain the food intake. The general objective of this study is to analyze household food coping strategy in food insecurity area, Banjarnegara, Central Java. The specific objectives are to identify sosio-economic characteristics of household, to identify history of food insecurity in food security and food insecurity household, to analyze correlation of food coping strategy level with socio-economic characteristics of household and levels of household security. A descriptive analytic study with cross sectional approach was conducted on 2 areas (Pejawaran and Punggelan) of Banjarnegara. Sample was chosen with simple random sampling which consists of 300 household with children 2-5 years old. Data collected include : socio-economic characteristics of household, history of food insecurity,household food coping strategy, level of household food security, and nutritional status of under-five children. Descriptive analytic was carried to all variables followed by bivariate test using Spearman correlation. In correlated analysis, sosio-economic characteristics (parents education level, total of expenditure ), was significantly negative correlated with level of food coping strategy. The age of mother was significantly positive correlated with level of food coping strategy. Level of household food security was significantly negative correlated with level of food coping strategy.

Keywords : food coping strategy, household food security, under-five children nutritional status

(3)

RINGKASAN

NUR SEPSIYANTI. Food Coping Strategy Rumah Tangga yang Tinggal di Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan DADANG SUKANDAR.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis food coping strategy yang diterapkan pada rumah tangga di wilayah rawan pangan dan gizi kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Adapun tujuan khususnya adalah : 1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga; 2) Mengidentifikasi pengalaman rawan pangan pada rumah tangga yang tahan dan tidak tahan pangan; 3) Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan food coping strategy rumah tangga; 4) Menganalisis hubungan food coping strategy dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2009. Pemilihan Kabupaten Banjarnegara dilakukan secara purposive. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, dari kecamatan tersebut dipilih dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pejawaran Kecamatan Punggelan. Setiap kecamatan, diambil tiga desa yang sesuai dengan kondisi umum kecamatan. Sampel di setiap desa berjumlah 50 rumah tangga. Total sampel pada studi ini adalah 300 sampel (6 desa).

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Data yang terkumpul ditabulasi, diolah dan dianalisis. Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik korelasi Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara karakteristik dan keadaan sosiall ekonomi rumah tangga dengan tingkat kerumitan food coping strategy serta hubungan tingkat ketahanan pangan dengan tingkat kerumitan food coping strategy.

Sebagian besar rumah tangga sampel tergolong rumah tangga kecil (59,3%), baik di Pejawaran (58%) maupun di Punggelan (60.7%). Secara umum, usia ayah sampel berada pada kisaran 18-39 tahun (75.9%). Usia ibu sebagian besar berada pada usia 18-39 tahun (51.7%). Sebagian besar usia ibu di Pejawaran berada pada kisaran 18-39 tahun (89.3%), sama halnya dengan usia ibu di Punggelan (90.0%).

Sebagian besar tingkat pendidikan ayah (60.3%) dan ibu (62%) adalah tamat SD. Sebagian besar rumah tangga (65.7%) di wilayah penelitian memiliki pengeluaran total per kapita per bulan di antara Rp 50.000 sampai Rp 250000 dengan rata-rata pengeluaran total sebesar Rp 231852 per kapita per bulan. Rata-rata pengeluaran total per kapita per bulan pada rumah tangga di punggelan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga di Pejawaran.

Kepemilikan aset non-produktif pada rumah tangga berupa perhiasan emas dimiliki oleh 144 rumah tangga (48%). Alat elektronik yang paling banyak dimiliki oleh rumah tangga adalah televisi (75.7%), 44% rumah tangga memiliki radio, 31.7% memiliki handphone, 16.3 % memiliki magic jar , 23.7% memiliki VCD, 6% memiliki kulkas dan yang paling sedikit dimiliki rumah tangga, yaitu kipas angin (1%). Aset produktif (productive assets) yang dimiliki rumah tangga adalah rumah sendiri (78.3%), kebun (75.3%). mobil (3.3%), binatang ternak, seperti ayam (44.3%), kambing (37.3%), dan sapi (8.3%).

Sebagian besar rumah tangga pernah mengalami masa kekurangan pangan (48%), baik di Pejawaran (45.3%) maupun di Punggelan (45.3%). Secara

(4)

umum hal yang menyebabkan rumah tangga mengalami masa kekurangan pangan adalah karena penurunan daya beli terhadap pangan (61.8%). Food coping strategy merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan. Setiap rumah tangga mempunyai prioritas masing-masing dalam menentukan cara untuk mengatasinya. Upaya yang paling banyak dilakukan pertama kali ketika rumah tangga mengalami kesulitan dalam memperoleh pangan adalah dengan meminjam uang ke saudara (31.9%) dan meminjam uang pada orang lain (27.8%).

Sebagian besar rumah tangga (51.8%) telah melewati tahap divestasi dalam mengatasi keadaan kurangnya pangan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga memiliki tingkat kerumitan coping yang tinggi. Rumah tangga dengan tingkat tingkat kerumitan coping yang tinggi lebih banyak terdapat di Punggelan (61.3%).

Tingkat ketahanan pangan rumah tangga diukur berdasarkan tingkat konsumsi rumah tangga. Secara kuantitatif, terdapat 112 rumah tangga sangat rawan pangan (37.3 %), 95 rumah tangga rawan pangan (31.7%), serta 93 rumah tangga tahan pangan (31.0%).

Berdasarkan hasil perhitungan z-skor BB/U, status gizi balita pada rumah tangga sampel secara umum dalam kondisi gizi baik (68%), sementara masih terdapat balita yang mengalami gizi kurang (21.3%) maupun gizi buruk (10.3%). Prevalensi gizi baik lebih banyak terdapat di Kecamatan Punggelan (71.3%). Prevalensi gizi kurang tersebar merata, baik di Pejawaran maupun di Punggelan (21.3%). Prevalensi gizi buruk lebih banyak terdapat pada rumah tangga di Pejawaran (14%).

Berdasarkan indeksTB/U, sebagian besar anak balita pada rumah tangga sampel memiliki status gizi stunted (pendek) (54.3%). Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi stunting di atas 40%, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi.Berdasarkan indikator BB/TB, sebagian besar anak balita memiliki status gizi normal (86.3%). Prevalensi wasted dan severe wasted lebih banyak tersebar pada rumah tangga di Punggelan, yaitu berturut-turut sebesar 9.3% dan 2.7%.

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik rumah tangga berupa usia ibu, tingkat pendidikan ayah dan ibu, serta pengeluaran rumah tangga merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kerumitan food coping strategy rumah tangga. Berdasarkan korelasi Spearman terdapat hubungan nyata yang positif antara usia ibu dengan food coping strategy rumah tangga (p<0,05), yang berarti semakin tinggi usia ibu, maka upaya yang dilakukan untuk mengatasi kekurangan pangan semakin rumit.

Koefisien korelasi tingkat pendidikan ayah maupun ibu bernilai negatif (p<0.01), yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan ayah atau ibu maka semakin ringan upaya yang dilakukan dalam mempertahankan asupan pangan rumah tangga. Total pengeluaran rumah tangga berhubungan nyata (p<0.01) dengan tingkat kerumitan food coping strategy, dengan koefisien korelasi bernilai negatif. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif (p<0.05) antara tingkat ketahanan pangan dengan kerumitan food coping strategy.

(5)

FOOD COPING STRATEGY RUMAH TANGGA YANG TINGGAL

DI WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI

KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH

HALAMAN JUDUL

Nur Sepsiyanti

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul : Food Coping Strategy pada Rumah Tangga yang Tinggal di Wilayah Rawan pangan dan gizi Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah

Nama : Nur Sepsiyanti NIM : I14050983

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si Dr. Ir. Dadang Sukandar, M. Sc. NIP. 196403241989031004 NIP. 195907251986091001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. NIP. 196212041989032002

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2009 ini adalah ketahanan pangan, dengan judul Food Coping Strategy pada Rumah Tangga yang Tinggal di Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kabupaten Banjarnega, Propinsi Jawa Tengah. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama masa perkuliahan dan juga selama proses penyelesaian skripsi ini, antara lain:

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, M. Sc selaku dosen pembimbing atas waktu, kesabaran, ilmu, dan bimbingannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi.

3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku pembimbing akademik yang dengan sabar memberikan perhatian serta bimbingan sejak penulis menjadi warga Departemen Gizi Masyarakat.

4. Ayahanda dan almarhumah ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, serta doa yang tidak ada habisnya. Kakak-kakakku tercinta (Aminah, Amir, Ani, Nda,dan Oppie), kakak-kakak iparku (Eko, Ayu, Nanan, dan Alvin) yang selalu memberikan dukungan yang terbaik bagi penulis, serta keponakan-keponakanku (Richyta, Nazla, dan Desta) yang selalu menghibur dengan kelucuannya.

5. Tim penelitian Banjarnegara, yaitu The Rainbow (Rama, Dede, Rizma, dan Esta), kakak- kakak asisten (Mba Yuli, Kak aqsa, Kak Aris, Mba Ira, The Meydina) dan teman-teman IKK (Endah, Chandri, Dinda) yang bersama-sama melewati suka dan duka penelitian.

6. Teman-teman Dietista 42 yang telah memberikan pengalaman berarti selama proses perkuliahan.

Bogor, September 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1986 dari Ayah Aming dan Ibu Maisaroh. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 99 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah satu tahun menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), akhirnya penulis memilih dan diterima di mayor Ilmu Gizi dengan minor Perkembangan Anak (Ilmu Keluarga dan Konsumen), Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti beberapa kegiatan organisasi, antara lain Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA), Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI), serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu juga penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Cimpaeun, kecamatan Cimanggis, Kota Depok pada bulan Juli hingga Agustus 2008 dan Internship bidang Dietetika di Rumah Sakit TNI LANUD Atang Sendjaja, Bogor pada bulan Maret 2009.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Karakteristik Rumah Tangga ... 4

Kepemilikan Aset Rumah Tangga ... 5

Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Metode Penghitungannya ... 6

Food Coping Strategy ... 12

Status Gizi Balita ... 13

KERANGKA PEMIKIRAN ... 16

METODE ... 18

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 19

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ... 19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 20

Definisi Operasional ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 24

Karakteristik dan Keadaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga ... 26

Besar Rumah Tangga ... 26

Usia Orang Tua ... 27

Pendidikan Orang Tua ... 28

Pengeluaran Rumah Tangga ... 28

Kepemilikan Aset Rumah Tangga ... 29

Pengalaman Rawan Pangan ... 32

Food Coping Strategy Rumah Tangga ... 39

Status Gizi Anak Balita ... 42

Analisis Hubungan Karakteristik dan Keadaan Sosial Ekonomi .. Rumah Tangga dengan Tingkat Kerumitan Food Coping Strategy……… ... 46

Analisis Hubungan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Tingkat Kerumitan Food Coping Strategy……… . 52

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(10)

DAFTAR TABEL

1 AKE berdasarkan umur dan jenis kelamin ... 10

2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi stunting dan wasting 14 3 Jenis dan cara pengumpulan data ... 19

4 Tahapan dan perilaku food coping strategy ... 21

5 Kategori status gizi balita berdasarkan baku WHO-NCHS ... 25

6 Sebaran rumah tangga menurut besar rumah tangga ... 26

7 Sebaran rumah tangga menurut usia orang tua ... 27

8 Sebaran rumah tangga menurut tingkat pendidikan orang tua ... 28

9 Sebaran rumah tangga menurut pengeluaranl per kapita per bulan .... 29

10 Sebaran rumah tangga menurut pengeluaran pangan per kapita per bulan ... 29

11 Sebaran rumah tangga menurut kepemilikan aset rumah tangga ... 31

12 Sebaran rata-rata jumlah aset yang dimiliki ... 32

13 Sebaran jenis makanan pokok yang dikonsumsi selama setahun terakhir ... 32

14 Data curah hujan Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan 33 15 Sebaran rumah tangga menurut sulit tidaknya memperoleh bahan makanan pokok selama setahun terakhir ... 34

16 Sebaran alasan sulitnya memperoleh bahan makanan pokok ... 34

17 Sebaran perubahan makanan pokok rumah tangga selama dua bulan terakhir ... 35

18 Sebaran pengalaman masa kekurangan pangan ... 35

19 Sebaran waktu terjadinya masa kekurangan pangan... 35

20 Sebaran rumah tangga menurut penyebab masa kekurangan pangan 37 21 Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 37

22 Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan ... 38

23 Sebaran tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan pengalaman rumah tangga ... 38

24 Sebaran prioritas food coping strategy rumah tangga ... 41

25 Sebaran rumah tangga menurut tingkat kerumitan coping ... 42

26 Karakteristik antropometri anak balita ... 42

27 Sebaran anak balita menurut status gizi (BB/U) ... 43

(11)

29 Sebaran anak balita menurut status gizi (BB/TB) ... 45 30 Sebaran status gizi balita berdasarkan tingkat kerumitan

food coping strategy ... 46 31 Sebaran besar rumah tangga menurut tingkat kerumitan food coping strategy ... 48 32 Sebaran usia ayah pada rumah tangga menurut tingkat kerumitan

food coping strategy ... 48 33 Sebaran usia ibu pada rumah tangga menurut tingkat kerumitan

food coping strategy ... 49 34 Sebaran tingkat pendidikan ayah pada rumah tangga menurut tingkat kerumitan food coping strategy ... 50 35 Sebaran tingkat pendidikan ibu pada rumah tangga menurut tingkat

kerumitan food coping strategy ... 51 36 Sebaran pengeluaran/kapita/bulan pada rumah tangga menurut

tingkat kerumitan food coping strategy... 52 37 Sebaran pengeluaran pangan/kapita/bulan pada rumah tangga menurut tingkat kerumitan food coping strategy ... 53 38 Hasil uji korelasi Spearmen antara karakteristik rumah tangga dengan tingkat kerumitan food coping strategy ... 53 39 Sebaran tingkat ketahanan pangan rumah tangga menurut tingkat

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Coping strategy rumah tangga berdasarkan tingkat ketidaktahanan

pangan rumah tangga ... 15

2 Food coping strategy pada rumah tangga di daerah rawan pangan ... 17

3 Dasar hubungan sosial rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan pangan ... 41

4 Sebaran anak balita menurut z-skor BB/U ... 43

5 Sebaran anak balita menurut z-skor TB/U ... 45

6 Sebaran anak balita menurut z-skor BB/TB ... 46

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta situasi pangan dan gizi ... 61 2 Hasil Korelasi Spearman variabel penelitian ... 62

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi yang menunjukkan terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang cukup baik dari segi kuantitas, kualitas, serta aman dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat sehingga setiap individu mempunyai akses untuk memperoleh pangan secara fisik maupun ekonomi (Soetrisno 1996 diacu dalam Amirian 2009)

Maxwell & Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dengan berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua kategori, yaitu secara langsung, yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi

Suryana (2004) mengungkapkan bahwa pada tahun 2003, di Indonesia terdapat kelompok defisit energi, baik tingkat berat,sedang, maupun ringan yang tidak kurang dari 127,9 juta jiwa atau 60% dari populasi. Sebagai perbandingan, pada tahun 2002 prevalensi defisit energi ini mencapai 133,6 juta. Lebih memprihatinkan lagi, sejumlah yang tidak kecil dari kelompok defisit ini termasuk kelompok yang rawan pangan, yaitu mereka yang hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% dari kecukupan energi. Menurut Martianto dan Ariani (2004), kebutuhan pangan masyarakat tidak bisa dikatakan terpenuhi sepanjang kecukupan energinya masih belum terpenuhi.

Keadaan di atas ini, menyebabkan perlunya dilakukan berbagai upaya bagi seseorang atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi yang baik dan hidup sehat. Rumah tangga dapat dikatakan tahan pangan bila kebutuhan pangannya dapat terpenuhi dan memenuhi syarat-syarat ketahanan pangan (Atmarita & Fallah 2004).

Menurut Azwar (2004), berdasarkan konsumsi energi, secara nasional belum memenuhi kecukupan sesuai rekomendasi AKG untuk konsumsi energi sebesar 2200 Kalori per kapita per hari. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata

(15)

wilayah di Indonesia masih tergolong rawan pangan, salah satunya adalah wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah.

Berdasarkan Food Insecurity Atlas yang dikembangkan oleh World Food Program dan Departemen Pertanian, pada tahun 1930-1940 dan 1961-1962 di beberapa wilayah di Propinsi Jawa Tengah termasuk Kabupaten Banjarnegara pernah mengalami sejarah kurang pangan. Berdasarkan peta situasi pangan dan gizi propinsi Jawa Tengah 2006 (Deptan 2007), Banjarnegara masih memiliki wilayah yang rumahtangganya dikategorikan beresiko rawan pangan dan gizi.

Kabupaten Banjarnegara memiliki wilayah tahan pangan maupun wilayah tidak tahan pangan. Di wilayah tidak tahan pangan sendiri terdapat rumah tangga yang tahan pangan maupun tidak tahan pangan. Rumah tangga tidak tahan pangan perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi yang baik dan hidup sehat. Davies (1993) diacu dalam Usfar (2002) mengungkapkan bahwa coping strategy merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan.

Setiap rumah tangga memiliki cara berbeda dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Untuk itulah penting dilakukan pengkajian mengenai strategi apa saja yang diterapkan oleh masyarakat Banjarnegara untuk mempertahankan diri di tengah kondisi Banjarnegara yang termasuk daerah rawan pangan dan gizi.

Tujuan Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis food coping strategy yang diterapkan pada rumah tangga di wilayah rawan pangan dan gizi kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah.

Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. 2. Mengidentifikasi pengalaman rawan pada rumah tangga yang tahan dan

tidak tahan pangan.

3. Menganalisis hubungan karakteristik dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga dengan tingkat kerumitan food coping strategy rumah tangga. 4. Menganalisis hubungan tingkat kerumitan food coping strategy dengan

(16)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tingkat ketahanan pangan rumah tangga serta food coping strategy yang dilakukan rumah tangga di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Informasi tersebut diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam merencanakan alternatif kebijakan dan program pangan dan gizi di wilayah untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, khususnya bagi masyarakat di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Rumah Tangga Besar Rumah Tangga

Menurut BKKBN (1998), besar rumah tangga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga, besar rumah tangga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu rumah tangga kecil, sedang, dan besar. Rumah tangga kecil adalah rumah tangga yang jumlah anggotanya kurang atau sama dengan 4 orang. Rumah tangga sedang adalah rumah tangga yang memiliki anggota antara lima sampai tujuh orang, sedangkan rumah tangga besar adalah rumah tangga dengan jumlah anggota lebih dari tujuh orang.

Besar rumah tangga memiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah pangan yang dikonsumsi dan pendistribusian konsumsi makanan antar anggota keluarga. Pemenuhan makanan keluarga yang sangat miskin akan lebih mudah jika harus diberi makan dalam jumlah sedikit (Suhardjo 1989).

Menurut Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988), hubungan antar laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Bagi keluarga miskin pemenuhan kebutuhan makanannya diberikan dalam jumlah sedikit. Proporsi pangan untuk keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5 sampai 6 orang mampu mencukupi pangan keluarga yang jumlah anggota keluarganya kurang dari 4 orang. Besar keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan. Kelaparan pada keluarga besar lebih mungkin terjadi dibandingkan pada keluarga kecil.

Harper (1988) mencoba menghubungkan antara besar rumah tangga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan rumah tangga dengan jumlah anak sedikit.lebih lanjut dikatakan bahwa rumah tangga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak badutanya lebih sering menderita gizi kurang.

Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung atau tidak langsung menentukan keadaan ekonomi keluarga. Demikian juga pendidikan istri di samping modal utama dalam perekonomian rumah tangga juga berperan dalam mengatur pola makan rumah tangga (Tarwotjo et al. 1988). Sanjur (1982)

(18)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga berhubungan positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi pangan keluarga dan pola pemberian makanan pada bayi dan anak.

Pendapatan

Salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan kuantitas pangan adalah pendapatan keluarga. Oleh karena itu, ada hubungan erat antara pendapatan dengan keadaan gizi dan kesehatan. Peningkatan pendapatan keluarga yang kecil bagi golongan miskin tidak akan mampu memperbaiki keadaan gizi secara efektif terutama untuk anak-anak (Berg 1986).

Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan rumah tangga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat pula mutunya.

Tingkat pendapatan orang miskin menurut Berg (1986) sebagian besar digunakan untuk membeli makanan. Semakin tinggi pendapatan pada keluarga miskin maka persentase uang yang digunakan untuk membeli makanan pun semakin besar pula. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli rendah sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berakibat buruk terhadap keadaan gizi. Pendapatan keluarga yang bertambah besar mengakibatkan perbaikan pada konsumsi pangan tetapi belum tentu kualitas makanan yang dibeli lebih baik.

Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan rumah tangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari total pendapatan sebesar 70% atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30% pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70% (den Hatog, van Staverev dan Broower 1995 dan Behrman 1995 dalam Tanziha 2005).

Kepemilikan Aset rumah tangga

Aset rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu non-productive assets dan productive assets. Non-productive assets adalah berupa simpanan rumah tangga dalam bentuk tabungan, perhiasan, perabot rumah tangga, dan asuransi yang mudah ditukarkan dengan uang. Productive assets adalah aset rumah tangga yang tidak mudah ditukarkan dengan uang, memiliki nilai yang lebih tinggi, serta memiliki peranan dalam pencapaian pendapatan rumah tangga

(19)

(Corbett, 1988; Frankenberger& Goldstein, 1991 dalam Maxwell&Frankerberger, 1992).

Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Metode Penghitungannya Setiap individu manusia Indonesia berhak memperoleh pangan yang cukup, aman dan bergizi. Hak asasi manusia atas akses pangan ini telah dinyatakan dalam Undang-Undang no. 7 tahun 1996 tentang pangan, bahwa ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah mutunya, aman, merata, terjangkau.

Menurut Azwar (2004), ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota rumah tangganya dalam jumlah yang cukup baik kuantitas dan kualitasnya termasuk kecukupan gizi terkaut dengan ketersediaan pangan atau sumber lain, harga pangan, dan daya beli rumah tangga serta pengetahuan gizi dan kesehatan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Soekirman (1999/2000) menjelaskan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya mengacu pada ketersediaan pangan (food availability), stabilitas harga pangan (food price stability), dan keterjangkauan pangan (food accessability). Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari hasil sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kemampuan penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan.

Maxwell dan Frankerberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indicator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan.

Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua

(20)

kategori, yaitu secara langsung, yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi.

Menurut Sukandar et. al. (2001) dalam Alfitri (2002), ukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersediaan pangan yang sesuai dengan norma gizi sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi dapat digunakan untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan.

Menurut Suhardjo, Hardinsyah dan Riyadi (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga ada empat, yaitu :

1. Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga 2. Pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga 3. Pengetahuan gizi

4. Tersedianya pangan

Menurut Moeloek (2000) dalam Alfitri (2002), tingkat kecukupan pangan rumah tangga tergantung pada kemampuan penduduk untuk memenuhi pangan agar mencukupi kebutuhan rumah tangga yang seimbang sesuai dengan tingkat pendapatan. Pendapatan rumah tangga tergantung pada kemampuan anggota rumah tangga memperoleh kesempatan kerja dan berpenghasilan yang cukup sesuai dengan tingkat produktivitas..

Keterkaitan pendapatan dan ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel yang sudah dikenal luas. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman 1999/2000).

Menurut data Susenas Jawa Tengah tahun 2005 (BPS 2006), pengeluaran untuk pangan bagi rumah tangga di pedesaan tercatat sebesar 57.36% dari pendapatan, dan bagi rumah tangga di perkotaan sebesar 48.9%. M.K. Bennet dalam Soekirman (1999/2000) menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan yang padat energi yang berasal dari hidrat arang, terutama padi-padian. Apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan

(21)

akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi

Selain pendapatan, tingkat ketahanan pangan rumah tangga akan terjamin atau terancam juga sangat tergantung apakah harga pangan yang ditetapkan “tinggi” atau “rendah” pada berbagai tingkat pendapatan, konsumsi pangan akan lebih tinggi pada harga yang “rendah” dan sebaliknya konsumsi akan lebih rendah pada tingkat harga yang “tinggi”.

Konsumsi Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-Undang Pangan 1996). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1988).

Konsumsi pangan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga, tersedianya pangan yang dipengaruhi oleh produksi dan pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga (Harper et al. 1986). Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik daripada makanan yang dikonsumsi secara tunggal (Suhardjo 1989).

Soekirman (2000) menjelaskan bahwa makanan yang tidak seimbang menyebabkan terjadi defisit atau surplus energi. Ketidakseimbangan makanan akan mengganggu fungsi tubuh yang berakibat negatif terhadap keadaan gizi dan kesehatan. Konsumsi pangan dapat mencerminkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya.

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), untuk menilai konsumsi energi rata-rata suatu rumah tangga diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata Keluarga. Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi

(22)

dari setiap anggota rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga itu sendiri.

Data konsumsi pangan rumah tangga diperoleh dengan metode Food Frequencies Questionaire (FFQ) selama seminggu. Menurut Hardinsyah & Martianto (1992), untuk menilai tingkat konsumsi energi diperlukan angka kecukupan energi rata-rata rumah tangga. Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi dari setiap anggota rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga itu sendiri. Secara sederhana proses tersebut menggunakan rumus :

AKGEK =ΣAKEI n

AKERK = Angka Kecukupan Energi Rata-rata Rumah Tangga (Kal/Kap/hari atau g/kap/hari)

AKEI = Angka Kecukupan Energi Individu n = Jumlah anggota rumah tangga

Tingkat kecukupan energi dihitung dengan membandingkan konsumsi dengan kecukupan yang dianjurkan dengan menggunakan rumus :

TKE = Rata-rata konsumsi energi aktual rumah tangga x 100% Rata- rata Angka Kecukupan Energi rumah tangga

Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu defisit berat jika rata-rata TKE rumah tangga <70%, atau rumah tangga tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% kecukupan energi yang dianjurkan, dikatakan defisit sedang jika rata-rata TKE rumah tangga 70-90%, sedangkan cukup jika rata-rata TKE rumah tangga >90 %.

(23)

Tabel 1 AKE berdasarkan umur dan jenis kelamin

No. Umur Berat (kg) Tinggi (cm) AKE

Anak 1 0-6 bl 6 60 550 2 7-11 bl 8.5 71 650 3 1-3 th 12 90 1000 4 4-6 th 18 110 1550 5 7-9 th 25 120 1800 Pria 6 10-12 th 35 138 2050 7 13-15 th 48 155 2400 8 16-18 th 55 160 2600 9 19-29 th 60 165 2550 10 30-49 th 62 165 2350 11 50-64 th 62 165 2250 12 65+ 62 165 2050 Wanita 13 10-12 th 38 145 2050 14 13-15 th 49 152 2350 15 16-18 th 50 155 2200 16 19-29 th 52 156 1900 17 30-49 th 55 156 1800 18 50-64 th 55 156 1750 19 65+ 55 156 1600 Hamil 20 Trimester 1 180 21 Trimester2 300 22 Trimester 3 300 Menyusui 23 6 bl pertama 500 24 6 bl kedua 550

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Survei Konsumsi Pangan Rumah Tangga

Konsumsi pangan rumah tangga adalah makanan dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi oleh angota rumah tangga. Survei konsumsi pangan rumah tangga dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat rumah tangga serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Metode pengukuran konsumsi pangan rumah tangga adalah pencatatan (food account), metode pendaftaran (food list), metode inventaris (inventoy method), dan

(24)

pencatatan makanan rumah tangga (household food record) (Supariasa et al. 2002).

Metode Pendaftaran Makanan (Food List Method)

Menurut Supariasa et al. (2002), metode pengukuran ini dilakukan dengan menanyakan dan mencatat seluruh bahan makanan yang digunakan rumah tangga selama periode survey dilakukan (1-7 hari). Pencatatan dilakukan berdasarkan jumlah bahan makanan yang dibeli, harga, dan nilai pembeliannya, termasuk makanan yang dimakan anggota keluarga di luar rumah. Metode ini tidak memperhitungkan bahan makanan yang terbuang, rusak, atau diberikan pada binatang piaraan.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara yang dibantu dengan formulir yang telah disiapkan, yaitu kuesioner terstruktur yang memuat daftar bahan makanan utama yang digunakan rumah tangga.

Langkah-langkah metode pendaftaran makanan :

1. Catat semua jenis bahan makanan atau makanan yang masuk ke rumah tangga dalam URT berdasarkan jawaban dari responeden selama periode survey

2. Catat jumlah makanan yang dikonsumsi masing-masing anggota rumah tangga, baik di rumah maupun di luar rumah

3. Jumlahkan semua bahan makanan yang diperoleh

4. Catat umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga yang ikut makan, 5. Hitung rata-rata perkiraan konsumsi bahan makanan sehari untuk rumah

tangga.

6. Bila ingin mengetahui perkiraan konsumsi per kapita, dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga.

Pengklasifikasian tingkat ketahanan pangan secara kuantitatif ditentukan dengan cut off jumlah kalori rumah tangga menurut Zeitlin& Brown (1990) dalam Purlika (2004), yaitu

1. Tahan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%).

2. Rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga antara 70-90% (70%≤TKE≤90%).

3. Sangat rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga kurang dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE<70%).

(25)

Food Coping Strategy

Hubungan antara penurunan produksi, pendapatan dan upah riil terhadap konsumsi pangan rumah tangga dan status gizi bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti redistribusi pendapatan sektor pemerintah dan swasta, akses terhadap tabungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya. Kesemuanya itu antara lain berkaitan dengan kemampuan rumah tangga dalam mempertahankan diri menghadapi krisis (coping strategies).

Informasi mengenai coping strategies menunjukkan bahwa krisis ekonomi telah membuat keluarga miskin menarik tabungan yang dimilikinya, menggadaikan barang-barang atau asset yang dimiliki, menambah jumlah jam kerja, atau menggantungkan pendapatan dari anggota masyarakat lainnya (community- based income-sharing traditions) agar terhindar dari keadaan yang lebih buruk (Soekirman 1999/2000).

Davies (1993) diacu dalam Usfar (2002), coping strategy merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan. Coping strategy merupakan cara memanfaatkan aset, tagihan, dan simpanan akses pangan yang dimiliki. Hal ini berbeda dengan “adaptasi”, yang membutuhkan perubahan permanen dalam cara memperoleh makanan. Tujuan dari coping strategy adalah mempertahankan tujuan rumah tangga, meliputi konsumsi pangan, kesehatan, status gizi, dan keamanan hidup (Maxwell & Smith 1992 diacu dalam Usfar 2002).

Coping strategy merupakan salah satu determinan ketahanan pangan. Namun menurut Frankenberger dan Goldstein (1990) diacu dalam Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa Coping strategy yang berhasil akan menyeimbangkan antara kebutuhan pangan saat ini dengan keberlanjutan pangan di masa yang akan datang sebagai salah satu syarat ketahanan pangan.

Menurut Suryana (2004), kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya.

Berdasarkan hasil penelitian Maxwell (1995), terdapat enam cara utama coping strategy menurut responden dari yang terendah hingga terberat, yaitu : 1. Mengkonsumsi pangan yang kurang disukai

(26)

2. Membatasi ukuran porsi makan

3. Meminjam pangan atau uang untuk membeli pangan

4. Maternal buffering, yaitu membatasi konsumsi pangan pribadi untuk memastikan anak mendapatkan cukup makanan

5. Mengurangi frekuensi makan 6. Menjalani hari tanpa makan

Menurut Martianto et al (2006), coping strategy rumah tangga diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tahap adaptasi dan divestasi. Tahap adaptasi dilakukan saat kondisi ketidaktahanan pangan rumah tangga berada pada tingkat sedang, sedangkan divestasi dilakukan saat kondisi ketidaktahanan pangan berada pada tingkat tinggi dan parah. Strategi yang dilakukan pada tahap adaptasi, antara lain perubahan pola diet, pengurangan frekuensi makan, konsumsi pangan yang tidak lazim, berhutang, serta mencari pekerjaan di tempat lain untuk sementara. Sedangkan pata tahap divestasi, strategi yang dilakukan antara lain menjual aset liquid dan aset produktif, migrasi (pindah selamanya). Keterkaitan antara coping strategy dengan tingkat ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 1.

Status Gizi Balita

Penilaian status gizi seseorang dapat ditentukan dengan berbagia cara, yaitu konsumsi pangan, biokimia, klinis, dan antropometri. Cara mana yang digunakan sangat tergantung pada tahapan kekurangan gizi dan tujuan penilaian status gizi (Khumaidi 1997). Dari beberapa cara tersebut, pengukuran antropometri adalah relatif paling sederhana dan banyak digunakan. Hal ini disebabkan prosedur pemeriksaan dengan antropometri lebih mudah dilakukan, di samping itu harga peralatannya relatif lebih murah. Dalam antropometri dapat dilakukan beberapa macam pengukuran, yaitu BB/U, TB/U, BB/TB, LLA/TB, dengan kategori yang ditentukan menurut baku tertentu (baku WHO-NCHS).

Berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. Indeks berat badan menurut umur lebih menggambarkan status gizi pada saat kini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight.

Tinggi badan menurut umur (TB/U) merefleksikan pertumbuhan linear yang telah dicapai. Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan pendek akibat patologi. Stunting

(27)

merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai proses pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan/atau kesehatan yang subnormal. Di negara berkembang yang prevalensi TB/U rendah tergolong tinggi, dapat diasumsikan bahwa kebanyakan anak yang pendek tersebut menderita stunted, sehingga sangat tepat menggunakan istilah stunting untuk menggambarkan TB/U rendah. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu.

Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merefleksikan berat badan dalam hubungannya dengan tinggi badan. Penggunaan indeks ini menguntungkan karena tidak memerlukan pengetahuan tentang umur anak yang seringkali sulit didapatkan di pedesaan.deskripsi yang tepat dari BB/TB rendah adalah thinness, suatu istilah yang tidak selalu bermakna patologi. Sebaliknya, istilah wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses berat yang baru saja terjadi, yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan, sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan/atau penyakit berat. Anak-anak juga bisa menjadi kurus akibat dari defisit makanan secara kronis atau penyakit.

Untuk mengukur status gizi balita, indeks BB/U dan TB/U merupakan pilihan yang tepat karena dapat cepat dimengerti, relatif mudah dilakukan, menggambarkan status gizi masa lalu, masa kini serta sensitif untuk menangkap perubahan cepat dari ketersediaan pangan dan kerawanan pangan. Pemantauan status gizi balita dapat dilakukan dengan indikator BB/U dan TB/U dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitung telah dilakukan menurut simpanga baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara z-score lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing indeks (Riyadi 2001). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei.

Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting

Klasifikasi beratnya masalah gizi Prevalensi underweight Prevalensi stunting Prevalensi wasting Rendah <10 <20 <5 Sedang 10-19 20-29 5-9 Tinggi 20-29 30-39 10-14 Sangat tinggi ≥30 ≥40 ≥15 Sumber : WHO 1995

(28)

Gambar 1 Coping Strategy Menghadapi Kerawanan Pangan (Martianto et al. 2006)

Perubahan Pola Diet

Pengurangan Frequency Makan

Konsumsi Pangan yang tidak lazim (umbi hutan, biji bakau, dll) Pinjam uang/beras dari Tetangga/Saudara

Mencari pekerjaan ditempat lain Pinjam uang/makanan dari warung

Menjual ternak

Menjual aset produktifs Menggadaikan tanah

Menjua lLahan Pindah (Selamanya)

Domes tic resources REVERSIBI LI TAS KOMITM EN Waktu SEDANG TINGGI PARAH PROGRAM PEMBANGUNAN TERINTEGRASI

MITIGASI BANTUAN PANGAN

TINGKAT KETIDAKTAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA

STRATEGI COPING RUMAHTANGGA

Adaptasi Divestasi

Perubahan Diet, Berhutang, Mencari pekerjaan ditempat lain (sementara)

Aset

Liquid AsetProduktif Migration n Low Low High High

Sources: Adapted from( Watts, 1983) and office of arid Lands Studies, The University of Arizona. 1991

(29)

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik sebuah rumah tangga akan mempengaruhi strategi dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Karakteristik rumah tangga itu antara lain besar rumah tangga, usia kepala rumah tangga dan istri, pendidikan kepala rumah tangga dan istri, serta pengeluaran. Karakteristik inilah yang akan diteliti hubungannya dengan tingkat kerumitan food coping strategy.

Konsumsi pangan rumah tangga menentukan tingkat kecukupan energi rata-rata rumah tangga. Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dikatakan kurang jika rata-rata TKE rumah tangga <70% atau rumah tangga tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% kecukupan energi dan dikatakan cukup jika rata-rata TKE rumah tangga 70-90%, serta dikatakan baik jika rata-rata TKE rumah tangga >90%. Tingkat konsumsi ini merupakan indikator untuk mengukur tingkat ketahanan pangan rumah tangga.

Menurut Suryana (2004), kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya

Rumah tangga di tengah kondisi rawan pangan melakukan berbagai macam strategi untuk mempertahankan dirinya untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan pangannya, hal ini disebut dengan food coping strategy. Pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga di tengah kondisi kekurangan pangan ini dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang yang diambil tergantung dari dukungan faktor sosial ekonomi dan masalah yang dihadapi rumah tangga. Bentuk-bentuk food coping yang dilakukan antara lain merubah kebiasaan makan, merubah frekuensi makan, menambah akses pangan, dan langkah drastis.

Perubahan kebiasaan makan berkaitan dengan pengalihan jenis pangan pokok utama ke jenis lain yang kurang disukai, seperti dari beras beralih ke jagung. Perubahan frekuensi makan berkaitan dengan pengurangan frekuensi makan dalam sehari. Tindakan penambahan akses terhadap pangan meliputi penjualan aset rumah tangga yang dimiliki, meminjam uang pada saudara atau orang lain. Tahap akhir dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tengah kondisi kekurangan pangan adalah mencari pekerjaan di tempat lain serta mengeluarkan anak dari sekolah.

(30)

Menurut kerangka pikir UNICEF (1998) faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah asupan pangan dan adanya penyakit. Tingkat ketahanan pangan berdampak pada status gizi balita. Rumah tangga yang tahan pangan ditunjukkan dengan tingkat konsumsi pangan yang baik, sehingga asupan gizi anggota keluarga, terutama balita dapat terpenuhi.

Gambar 2 Food coping strategy pada rumah tangga di daerah rawan pangan dan gizi

Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti Karakteristik dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga

1. Besar rumah tangga 2. Usia ayah dan ibu

3. Jenjang pendidikan ayah dan ibu

4. Pengeluaran

Pengalaman Rawan Pangan

Food Coping Strategy : Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Status Gizi Balita

(31)

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian dengan judul Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Kaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, kerja sama FEMA IPB dengan Neys van Hoogstraten Foundation (NHF), Belanda. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Penentuan tempat dipilih secara purposive. Berdasarkan peta ketahanan pangan yang dikembangkan oleh World Food Program dan Departemen Pertanian, pada tahun 2004/2005 dan peta situasi pangan dan gizi propinsi Jawa Tengah 2006 (Deptan 2007), Banjarnegara masih memiliki wilayah yang rumahtangganya dikategorikan beresiko rawan pangan dan gizi. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2009.

Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel pada studi ini adalah keluarga yang memiliki balita, dengan ayah, ibu, dan anak tinggal dalam rumah tangga yang sama. Survei pendahuluan dilakukan untuk melakukan sampling, yang akan mengelompokkan keluarga yang memiliki balita. Pemilihan sampel dengan metode acak sederhana dilakukan untuk memilih sampel dari kerangka sampel. Total sampel pada studi ini adalah 300 sampel (6 desa).

Pemilihan Kabupaten Banjarnegara dilakukan secara purposive, karena merupakan wilayah rawan pangan dan gizi. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, dari kecamatan tersebut dipilih dua kecamatan yang termasuk dalam wilayah berisiko tinggi rawan pangan, yaitu kecamatan Pejawaran, dan wilayah berisiko sedang, yaitu kecamatan Punggelan. Setiap kecamatan, diambil tiga desa yang sesuai dengan kondisi umum kecamatan. Sampel di setiap desa berjumlah 50 rumah tangga. Jumlah ini diambil karena sesuai dengan jumlah data yang dapat dianalisis secara statistik, yaitu ≥30 sampel. Selain itu setiap desa memiliki tingkat keragaman yang rendah sehingga persentase sampel yang diambil dari populasi balita di tiap desa sudah bisa mewakili kondisi balita secara umum di desa tersebut.

(32)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa keadaan umum wilayah Banjarnegara. Data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Data primer terdiri dari karakteristik sosial ekonomi rumah tangga (besar keluarga, umur orang tua, pengeluaran), kepemilikan aset rumah tangga, antropometri balita (berat badan dan tinggi badan), konsumsi pangan rumah tangga, tingkat ketahanan pangan rumah, serta food coping strategy rumah tangga.

Data sekunder meliputi keadaan umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari Kantor Kecamatan masing-masing lokasi penelitian. Tabel 3 merangkum jenis dan cara pengumpulan data yang diteliti.

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Data Cara pengumpulan data

1. Karakteristik rumah tangga

jumlah anggota rumah tangga, umur, pendidikan, dan pengeluaran

Wawancara menggunakan kuesioner

2. Kepemilikan aset rumah tangga

Kepemilikan rumah, lahan, hewan ternak dan ikan, serta barang berharga

Wawancara menggunakan kuesioner

3. Pengalaman rawan pangan masa kekurangan pangan

wawancara menggunakan kuesioner

4. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga

Konsumsi pangan selama seminggu

Wawancara menggunakan FFQ

5. Status gizi balita BB, TB, U

Pengukuran antropometri (BB dan TB) dengan penimbangan dan pengukuran

6. Food coping strategy Pelaksanaan coping strategy

Wawancara menggunakan kuesioner

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dengan proses pengolahan meliputi coding, entry, dan editing. Analisis secara deskriptif meliputi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, konsumsi pangan rumah tangga dan food coping strategy. Hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan food coping strategy serta hubungan Food coping strategy dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga dianalisis dengan korelasi Spearman.

Besar rumah tangga. Data besar rumah tangga diklasifikasikan berdasarkan BKKBN (1998), yaitu rumah tangga kecil adalah rumah tangga yang

(33)

jumlah anggotanya kurang atau sama dengan 4 orang. Rumah tangga sedang adalah rumah tangga yang memiliki anggota antara lima sampai tujuh orang, sedangkan rumah tangga besar adalah rumah tangga dengan jumlah anggota lebih dari tujuh orang.

Pendidikan orang tua. Data pendidikan orang tua meliputi pendidikan formal yang pernah ditempuh orang tuadan dikelompokkan menjadi enam, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, dan Perguruan tinggi.

Pengeluaran. Data pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran total dan pengeluaran pangan yang dihitung per kapita per bulan.

Kepemilikan aset. Aset rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu non-productive assets dan non-productive assets. Non-non-productive assets adalah berupa simpanan rumah tangga dalam bentuk tabungan, perhiasan, perabot rumah tangga, dan asuransi yang mudah ditukarkan dengan uang. Productive assets adalah aset rumah tangga yang tidak mudah ditukarkan dengan uang,

Food coping strategy. Data food coping strategy dikelompokkan menjadi dua tahapan, yaitu tahap adaptasi dan tahap divestasi. Tabel 3 merinci perilaku food coping strategy yang biasa dilakukan rumah tangga sesuai dengan tahapannya.

Tabel 4 Tahapan dan perilaku food coping strategy

Tahap coping Perilaku

Adaptasi

Divestasi

1. Mengalihkan pangan pokok utama ke jenis lain yang kurang disukai

2. Mengurangi frekuensi makan 3. Pinjam uang/makanan dari warung 4. Pinjam uang/beras dari tetangga/saudara 5. Mencari pekerjaan di tempat lain

6. Menjual aset tidak produktif 7. Menjual aset produktif 8. Menggadaikan tanah 9. Migrasi/pindah selamanya 10. Mengeluarkan anak dari sekolah

Tingkat kerumitan food coping strategy rumah tangga dikategorikan berdasarkan tahapan food coping strategy yang telah dilewati rumah tangga

(34)

selama mengatasi kekurangan pangan. Tingkat kerumitan dikategorikan menjadi rendah jika rumah tangga hanya melewati tahap adaptasi dan dikatakan tinggi jika rumah tangga telah melewati tahap divestasi.

Tingkat kerumitan food coping strategy dihubungkan dengan karakteristik dan keadaaan sosial ekonomi rumah tangga serta tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan menggunakan korelasi Spearman.

Tingkat kecukupan energi rumah tangga. Untuk menilai tingkat kecukupan energi rata-rata suatu rumah tangga diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-Rata Rumah Tangga. Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi dari setiap anggota rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga itu sendiri. AKE dapat dihitung dengan rumus (Hardinsyah&Martianto 1992) :

AKERK =ΣAKEI n

AKERK = Angka Kecukupan Energi Rata-rata Rumah Tangga (Kal/Kap/hari)

AKEI = Angka Kecukupan Energi Individu n = Jumlah anggota rumah tangga

Tingkat Kecukupan energi dihitung dengan membandingkan konsumsi dengan kecukupan yang dianjurkan dengan menggunakan rumus :

TKE = Rata-rata Konsumsi energi aktual rumah tangga x 100% Rata- rata Angka Kecukupan Energi rumah tangga

Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu defisit berat jika rata-rata TKE rumah tangga <70%, atau rumah tangga tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% kecukupan energi yang dianjurkan, dikatakan defisit sedang jika rata-rata TKE rumah tangga 70-90%, sedangkan cukup jika rata-rata TKE rumah tangga >90 %.

Tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan pada kecukupan intake energi rumah tangga yang didapat dari konsumsi pangan rumah tangga dengan metode Food Frequencies Questionaire (FFQ) selama seminggu

Pengklasifikasian tingkat ketahanan pangan secara kuantitatif ditentukan dengan cut off jumlah kalori rumah tangga menurut Zeitlin& Brown (1990) dalam Purlika (2004), yaitu :

(35)

1. Tahan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%).

2. Rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga antara 70-90% (70%≤TKE≤90%).

3. Sangat rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga kurang dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE<70%).

Status gizi balita. Penilaian status gizi balita dilakukan dengan cara perhitungan z-score, selanjutnya, hasil perhitungan z-skor diklasifikasikan berdasarkan baku NCHS-WHO yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kategori status gizi balita berdasarkan baku WHO-NCHS

Indeks z-score Kategori

BB/U z > 2 Gizi lebih

-2 ≤ z ≤ 2 Gizi baik -3 ≤ z < -2 Gizi kurang z < -3 Gizi buruk TB/U z ≥ -2 Normal z < -2 Pendek/ stunted BB/TB z > 2 Gemuk -2 ≤ z ≤+2 Normal -3 ≤ z < -2 Kurus/wasted z < -3 Sangat kurus

(sumber: baku WHO-NCHS oleh Riyadi 2001) Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

z-score = x- median SD Keterangan :

x = Berat badan (kg) untuk BB/U atau BB/TB Tinggi badan (cm) untuk TB/U

Median = Nilai median baku rujukan SD = Nilai simpang baku rujukan

Definisi Operasional

Aset adalah materi yang dimiliki rumah tangga yang dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan pangan baik itu dengan cara ditukar dengan uang (dijual) maupun yang memiliki peran dalam pencapaian pendapatan rumah tangga.

Food coping strategy adalah strategi yang dilakukan rumah tangga untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan

(36)

Adaptasi adalah tahapan food coping strategy yang meliputi perubahan pola diet, pengurangan frekuensi makan, konsumsi pangan yang tidak lazim, berhutang, serta mencari pekerjaan di tempat lain untuk sementara. Divestasi adalah tahapan food coping strategy yang meliputi menjual aset liquid dan aset produktif, migrasi (pindah selamanya).

Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan yang dinilai secara kuantitatif.

Rumah tangga sangat rawan pangan adalah kondisi rumah tangga dengan rata-rata TKE anggota rumah tangga <70%.

Rumah tangga rawan pangan adalah kondisi rumah tangga dengan rata-rata TKE anggota rumah tangga 70-90%.

Rumah tangga tahan pangan adalah kondisi rumah tangga dengan rata-rata TKE anggota rumah tangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%).

Pengeluaran pangan adalah pengeluaran yang dinilai dengan uang yang dikeluarkan oleh semua anggota rumah tangga untuk kebutuhan pangan dan non pangan dalam sebulan.

Status gizi balita adalah keadaan fisik anak di bawah umur lima tahun yang diukur secara antropometri dengan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB berdasarkan WHO-NCHS.

Tingkat kecukupan energi adalah penilaian yang digunakan untuk rumah tangga dengan membandingkan rata-rata konsumsi energi aktual rumah tangga dengan rata-rata angka kecukupan energi rumah tangga yang dinyatakan dalam persen.

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Banjarnegara

Kabupaten Banjarnegara terletak di antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’ - 109º45’50” Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas (BPS 2007).

Luas Kabupaten Banjarnegara adalah 106.970,997 Ha atau sekitar 3,29% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 m dpl sebesar 37,04%, kemudian antara 500-1000 m dpl sebesar 28.74%, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24.4% dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9.82%. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan : bagian utara, terdiri dari daerah pegunungan relief bergelombang dan curam; bagian tengah, terdiri dari wilayah dengan relief datar; bagian selatan, terdiri dari wilayah dengan relief curam (BPS 2007).

Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Banjarnegara sebanyak 4.269 mm per tahun dengan hari hujan 150, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pejawaran sebesar 2.282 mm per tahun dengan 156 hari hujan (BPS 2007).

Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak 910.513 jiwa, terdiri dari 454.986 laki-laki dan 455.527 perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km2. Kepadatan rumah tangga menurut kecamatan, tertinggi adalah Kecamatan Banjarnegara, Purworejo Klampok dan Rakit dengan kepadatan sebesar 546 rumah tangga per km2, 535 rumah tangga per km2 dan 441 rumah tangga per km2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 secara umum mengalami penurunan. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan.

(38)

Kecamatan Pejawaran

Kecamatan Pejawaran berbatasan langsung dengan tiga kecamatan dan satu kabupaten. Sebelah utara Kecamatan Pejawaran berbatasan dengan Kecamatan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagentan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Luas wilayah Kecamatan Pejawaran sekitar 5.224,97 km2 dan terdiri dari 17 desa.

Jumlah penduduk Kecamatan Pejawaran pada akhir tahun 2007 sebanyak 41.829 jiwa, terdiri dari 21.056 laki-laki dan 20.773 perempuan. Jumlah rumah tangga di Kecamatan Pejawaran sebanyak 11.929, dengan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 4.

Tingkat pendidikan rata-rata penduduk masih tergolong rendah, sebagian besar didominasi oleh tamatan SD (46%). Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah sebagai petani (66.7%) dan buruh tani (29.7%).

Kecamatan Punggelan

Kecamatan Punggelan terletak di antara 12º Lintang Utara dan 07º-31º Lintang Selatan, dan di antara 07º-12º Bujur Barat dan 02º-33º Bujur Barat dan 03º-81º Bujur Timur. Sebelah utara kecamatan Punggelan berbatasan dengan Kecamatan Pandanarum dan Kecamatan Kalibening, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wanadadi dan Kecamatan Rakit, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga.

Luas wilayah Kecamatan Punggelan sekitar 10.284 km2 dan terdiri dari 17 desa. Sebagian tanah di wilayah ini bergelombang dan berbukit, serta sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan.

Jumlah penduduk Kecamatan Punggelan pada akhir tahun 2007 sebanyak 70.877 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km2. Penduduk Kecamatan punggelan pada kelompok usia 5 sampai 9 tahun, baik laki-laki maupun perempuan merupakan kelompok umur tertinggi yang terdiri dari 4.142 jiwa laki-laki dan 3.973 jiwa perempuan, sedangkan pada balita lebih rendah, yaitu 3.679 untuk laki-laki dan 3.753 jiwa untuk perempuan disbanding kelompok umur di atasnya. Jumlah rumah tangga di kecamatan Punggelan sebanyak 18.057 dengan rata-rata anggota rumah tangga 3.9.

(39)

Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah bekerja di sektor pertanian (43.8%). Tingkat pendidikan di kecamatan Punggelan masih tergolong rendah, sebagian besar didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mencapai 55.85%.

Karakteristik dan Keadaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Karakteristik dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga yang dipelajari dalam penelitian ini meliputi besar rumah tangga, umur orang tua, pendidikan orang tua, pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga sampel dikelompokkan menurut dua kecamatan dari lokasi penelitian, yaitu kecamatan Pejawaran dan Punggelan. Dua kecamatan tersebut merupakan wilayah risiko rawan pangan. Kecamatan Pejawaran merupakan wilayah ketahanan pangan berisiko tinggi, sedangkan Punggelan merupakan wilayah ketahanan pangan berisiko sedang. Besar Rumah Tangga

Besar rumah tangga dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu rumah tangga kecil yang dikarakteristikkan oleh jumlah anggota ≤ 4 orang, rumah tangga sedang yang dikarakteristikkan oleh jumlah anggota 5 hingga 7 orang, serta rumah tangga besar yang dikarakteristikkan oleh jumlah anggota lebih dari 7 orang.

Jumlah anggota rumah tangga sampel berkisar antara 2 sampai 12 orang dengan rata-rata 5 orang. Sebagian besar rumah tangga sampel tergolong rumah tangga kecil (59,3%), sedangkan rumah tangga besar terdapat dalam jumlah paling kecil (4%).

Sebagian besar rumah tangga di Pejawaran tergolong rumah tangga kecil (58%), begitu pula dengan rumah tangga di Punggelan (60.7%). Rumah tangga sedang dan besar, lebih banyak terdapat di Pejawaran. Sebaran sampel berdasarkan besar rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 6 .

Tabel 6 Sebaran rumah tangga menurut besar rumah tangga Besar rumah tangga Pejawaran Punggelan Total

n % n % n % Kecil (≤4 orang) 87 58.0 91 60.7 178 59.3 Sedang (5-7 orang) 56 37.3 54 36.0 110 36.7 Besar (>7 orang) 7 4.7 5 3.3 12 4.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata±sd 4.65±1.40 4.50±1.44 4.58±1.42

Gambar

Tabel 1 AKE berdasarkan umur dan jenis kelamin
Tabel  2  Klasifikasi  masalah  gizi  berdasarkan  prevalensi  underweight,  stunting  dan wasting
Gambar 1 Coping Strategy Menghadapi Kerawanan Pangan (Martianto et al. 2006) Perubahan Pola Diet
Gambar 2 Food coping strategy pada rumah tangga di daerah rawan pangan dan  gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bau Daging dan Performa Itik akibat Pengaruh Perbedaan Galur dan Jenis Lemak serta Kombinasi Komposisi Antioksidan (Vitamin A, C dan

Perkembangan dana transfer sejak tahun 2002-2011 yang berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) meningkat cukup tajam baik

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa gender tidak memoderasi pengaruh pendapatan terhadap pengelolaan keuangan pribadi Antara laki – laki dan perempuan tidak

Hasil pengujian alat menggunakan sumber Cs- 137 dan Co-60 dapat untuk mencari aktivitas sumber, jarak kendali, jarak awas, jarak aman dan waktu pekerja pada

adalah Analisis Harvard dan Pemberdayaan Longwe dengan menggunakan lima dimensi yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol, maka dalam proses pelaksanaan

Untuk pengoperasian yang dikenakan pada tubuh, perangkat ini telah diuji dan memenuhi pedoman paparan RF FCC untuk digunakan dengan aksesori yang tidak mengandung logam dan

Seperti pada kasus perbudakan yang dilakukan oleh militan ISIS terhadap kaum perempuan etnis Yazidi.. ISIS tercatat telah membabat habis hak asasi wanita dengan menjadikan

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kandungan nutrisi dan pengaruh subtitusi tepung usus ayam sebagai pengganti sumber protein hewani pada pakan buatan