• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara geografis Provinsi Jawa Barat terletak antara 5050’-7050’ Lintang Selatan dan 104048’-108048’ Bujur Timur dengan batas wilayah sebelah Utara adalah Laut Jawa dan DKI Jakarta, sebelah Timur adalah Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan adalah Samudera Hindia dan sebelah Barat adalah Provinsi Banten.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3 717 397 hektar dengan lahan pertanian sebesar 2 735 734 ha. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berbatasan dengan laut sehingga wilayah Jawa Barat memiliki garis pantai cukup panjang, yaitu 755.83 km. Jawa Barat memiliki wilayah dengan pegunungan curam dibagian Selatan yakni 9.5% dari total luas wilayah Jawa Barat dengan ketinggian lebih dari 1500 mdpl, 36.48% merupakan wilayah lereng bukit yang landai di bagian tengah dengan ketinggian 10-1500 mdpl dan 54.03% wilayah dataran luas di bagian utara dengan ketinggian 0-10 mdpl (BPS 2014).

Jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 45 340 799 juta jiwa yang tersebar pada 17 kabupaten dan 9 kota di Jawa Barat. Kabupaten di Jawa Barat terdiri dari Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Bandung Barat. Kota di Jawa Barat terdiri dari Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar (BPS 2014).

Indikator Input dan Proses

Penduduk Jawa Barat pada tahun 2013 berjumlah 45 340 799 juta jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 23 201 905 jiwa (50.73%) dan jumlah penduduk perempuan sebesar 22 534 460 jiwa (49.27%). Kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1219.69 orang/km2 dan laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat tahun 2013 sebesar 1.77% lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk nasional yaitu sebesar 1.19% (BPS 2014). Berdasarkan undang-undang nomor 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, kepadatan penduduk lebih dari 401 orang/km2 termasuk kedalam kategori sangat padat.

Tiga wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kabupaten Bogor 5 202 097 jiwa (11.47%), Kabupaten Bandung 3 405 475 jiwa (7.51%) dan Kabupaten Bekasi 3 002 112 jiwa (6.62%). Wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Banjar yaitu 179 706 jiwa (0.39%). Sebagian besar penduduk Jawa Barat terpusat di daerah ibu kota DKI Jakarta yaitu Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dengan jumlah penduduk sebesar 13 749 807 jiwa (30.32%) dan ibu kota Provinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi dengan jumlah penduduk sebesar 8 023 750 jiwa (17.69%). Hal ini membuktikan bahwa penyebaran penduduk di Jawa Barat belum merata.

10

Sementara itu, daerah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak belum tentu memiliki luas lahan pertanian per kapita yang besar pula. Hal tersebut dapat dilihat dari luas lahan pertanian per kapita Kabupaten Bogor (0.03 ha), Kabupaten Bandung (0.04 ha) dan Kabupaten Bekasi (0.03 ha). Angka tersebut relatif lebih kecil dibandingkan luas lahan pertanian per kapita dari kabupaten lain yang ada di Jawa Barat. Tingginya jumlah penduduk cenderung semakin mempersempit luas lahan pertanian per kapita yang ada di Jawa Barat. Menurut Permentan nomor 07/permentan/OT.140/2/2012 tentang pedoman teknis kriteria dan persyaratan kawasan, lahan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan, sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia merupakan salah satu masalah akses sektor pertanian khususnya pangan terhadap sumber daya lahan.

Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi memiliki skor PPH ketersediaan pangan berturut-turut sebesar 64, 68.2 dan 36.8. Skor tersebut juga relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan Kabupaten Cianjur yang memiliki skor PPH 89.8 dengan luas lahan pertanian per kapita 0.11 ha, Kabupaten Sukabumi dengan skor PPH 85.7 dan luas lahan pertanian per kapita 0.13 ha serta Kabupaten Ciamis yang memiliki skor PPH 84.3 dengan luas lahan pertanian per kapita 0.13 ha (lihat Tabel 2). Data menunjukkan kecenderungan semakin tinggi luas lahan pertanian per kapita semakin baik pula skor PPH ketersediaan yang dimiliki, begitu pula dengan %AKE-nya. Dilihat dari capaian skor PPH masing-masing kabupaten/kota, ketersediaan pangan di Jawa Barat belum bisa dikatakan baik. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian nomor 65/OT.140/12/2010 tentang standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan bidang provinsi dan kabupaten/kota yang menyebutkan minimal pencapaian skor PPH sebesar 90. Secara rinci luas lahan pertanian di Jawa Barat sebesar 2 735 754 ha atau 73.59% dari luas wilayah Jawa Barat. Luas lahan berupa sawah sebesar 939 353 ha atau 34.34% dari luas lahan pertanian di Jawa Barat dan 65.66% merupakan luas lahan pertanian bukan sawah sebesar 1 796 401 ha. Figueroa dan Garcia (2002) menyatakan tingginya peningkatan jumlah penduduk dapat mengancam ketersediaan pangan di berbagai Negara berkembang khususnya ketika jumlah populasi dunia meningkat dua kali lipat pada 20-25 tahun mendatang.

Ilunanwati (2011) menyebutkan luas lahan pertanian per kapita minimal adalah 0.14 ha/kapita atau sebesar 1400 m2/kapita. Kabupaten Tasikmalaya merupakan satu-satunya daerah di jawa Barat yang memenuhi standar tersebut. Beberapa daerah seperti perkotaan memiliki nilai lebih kecil dari 0.01 ha/kapita sehingga pembulatan angka menghasilkan nilai 0.00 ha/kapita. Selain itu, nilai rata-rata luas lahan pertanian per kapita Jawa Barat yaitu 0.06 ha/kapita berada dibawah rata-rata nasional yaitu 19.04 ha/kapita (lihat Tabel 2). Hasil analisis indikator input dan proses menunjukkan Jawa Barat belum tahan pangan.

11 Tabel 2 Indikator Input dan Proses Ketahanan Pangan menurut Kabupaten/Kota di

Jawa Barat tahun 2013

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Luas Lahan Pertanian/Kapita (ha/kap) Ketersediaan Pangan Skor PPH %AKE Kab. Bogor 5202097 0.03 64.00 47.30 Kab. Sukabumi 2408417 0.13 85.70 118.00 Kab. Cianjur 2225313 0.11 89.80 153.80 Kab. Bandung 3405475 0.04 68.20 72.70 Kab. Garut 2502410 0.10 76.50 264.10 Kab. Tasikmalaya 1720123 0.14 82.10 189.00 Kab. Ciamis 1541600 0.13 84.30 167.40 Kab. Kuningan 1042789 0.09 76.10 172.80 Kab. Cirebon 2093075 0.03 66.40 82.30 Kab. Majalengka 1170505 0.09 71.30 241.40 Kab. Sumedang 1125125 0.10 77.40 180.70 Kab. Indramayu 1672683 0.10 84.30 241.90 Kab. Subang 1496886 0.11 81.40 194.20 Kab. Purwakarta 898001 0.08 83.30 115.20 Kab. Karawang 2225383 0.06 79.70 148.30 Kab. Bekasi 3002112 0.03 36.80 48.10

Kab. Bandung Barat 1588781 0.06 78.10 77.00

Kota Bogor 1013019 0.00 13.60 5.70 Kota Sukabumi 311822 0.01 29.40 25.50 Kota Bandung 2458503 0.00 4.70 4.00 Kota Cirebon 301728 0.00 11.80 6.60 Kota Bekasi 2570397 0.00 9.60 3.40 Kota Depok 1962182 0.00 11.80 4.10 Kota Cimahi 570991 0.00 7.40 3.60 Kota Tasikmalaya 651676 0.02 33.00 37.20 Kota Banjar 179706 0.05 71.40 83.10 Jawa Barat 45340799 0.06 56.80 103.40 Indikator Outcome

Situasi konsumsi pangan di 26 kota/kabupaten di Jawa Barat belum bisa dikatakan baik. Hal ini mengacu pada standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan yang memiliki kriteria minimal untuk skor PPH adalah 90 dan %AKE sebesar 90%. Sementara, semua kota/kabupaten di Jawa Barat memiliki nilai dibawah standar pelayanan minimal (lihat Tabel 3). Purwaningsih (2008), Rachman dan Ariani (2008) mengatakan bahwa dari sisi kualitas, rata-rata kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia masih rendah dan didominasi oleh konsumsi sumber karbohidrat khususnya padi-padian. Ketidakseimbangan antara pola konsumsi

12

dengan ketersediaan pangan di masyarakat menjadi permasalahan utama diversifikasi pangan. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di setiap wilayah dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan. Sementara itu konsumsi pangan dilakukan oleh semua penduduk dan setiap saat dibutuhkan.

Data pada Tabel 3 menunjukkan daerah yang memiliki skor PPH konsumsi paling rendah yaitu Kabupaten Bandung Barat dengan skor 55.6 juga memiliki prevalensi stunting paling tinggi yaitu 52.5%. Rah et al. (2010) menyatakan kurangnya konsumsi pangan yang beragam merupakan predictor terjadinya stunting pada anak. Besarnya prevalensi stunting yang ada di Jawa Barat sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut WHO (2010) ada 4 cut-off point stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat yaitu kategori prevalensi rendah ≤ 20%, prevalensi sedang 20-29%, prevalensi tinggi 30-39% dan prevalensi sangat tinggi ≥ 40%. Sementara itu, di Jawa Barat tidak ada satu pun daerah yang memiliki prevalensi stunting dibawah 20%. Sebanyak 42.3% kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat termasuk kedalam kategori prevalensi tinggi yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar, sebanyak 38.5% termasuk kategori sangat tinggi yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kota Sukabumi, dan 19.2% kabupaten/kota termasuk kategori sedang yaitu Kabupaten Bogor, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Hasil menunjukkan lebih dari 80% kabupaten/kota di Jawa Barat tergolong prevalensi stunting tinggi dan sangat tinggi (lihat Tabel 3).

UNICEF dan WHO (2009) mengatakan bahwa 2.5 milyar penduduk dunia kurang mendapatkan fasilitas sanitasi yang layak. Setiap tahun, sekitar sembilan juta balita meninggal di dunia dan 1.5 juta diantaranya meninggal karena diare. Berdasarkan data diatas, rata-rata 3.87% balita di Jawa Barat mengalami diare dan rata-rata 6.35% rumah tangga di Jawa Barat belum memiliki fasilitas BAB. Cheng et al. (2012) menyatakan bahwa sanitasi berhubungan erat dengan kesehatan anak. Jika dilihat perbandingan rata-rata insidensi diare antara kabupaten dengan kota maka rata-rata insidensi diare di kota lebih besar yaitu 4.33% dibandingkan di kabupaten yaitu 3.62%. Hal ini disebabkan daerah rural lebih sering memanafaatkan pelayanan keasehatan seperti imunisasi, suplementasi, posyandu dan lain-lain. Selain itu, kontaminasi air dan aadanya slum area pada daerah urban menjadi penyebab insidensi diare yang lebih besar dibandingkan daerah rural. Ini sejalan dengan Rohmawati (2010) yang menyatakan persentase diare lebih besar terjadi pada daerah urban dibandingkan daerah rural. Sementara itu, proporsi rumah tangga yang mendapatkan fasilitas BAB berbanding terbalik dengan perbandingan insidensi diare antara kabupaten dan kota. Hal ini tidak sesuai dengan Waddington dan Snilsveit (2009) yang menyatakan intervensi berupa fasilitas sanitasi sangat efektif dalam mengurangi morbiditas diare. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya diare adalah umur anak, kebiasaan cuci tangan ibu, rendahnya edukasi kesehatan ibu, dan minum dari sumber air bersih (Rohmawati 2010).

Rata-rata insidensi diare di Jawa Barat yaitu 3.57%. Persentase tersebut lebih besar daripada rata-rata nasional yaitu 3.5%. Sementara proporsi rumah tangga

13 yang tidak memiliki fasilitas BAB yaitu 6.35% atau ada 6 rumah tangga per 100 rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB. Hal tersebut masih belum sesuai dengan Permenkes No. 3 tahun 2014 tentang sanitasi total berbasis masyarakat yang mengharuskan setiap rumah tangga memiliki fasilitas BAB. Hasil uraian indikator outcome menunjukkan Jawa Barat belum tahan pangan dan gizi.

Tabel 3 Indikator Outcome Ketahanan Pangan (Konsumsi Pangan dan Status Gizi) dan Insidensi Diare serta Fasilitas Sanitasi menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013

Kabupaten/Kota Konsumsi Prevalensi Stunting (%) Insidensi Diare (%) Proporsi RT tidak memiliki fasilitas BAB (%) Skor PPH %AKE Kab. Bogor 63.80 84.40 28.30 5.50 10.80 Kab. Sukabumi 64.60 88.70 37.10 3.90 10.50 Kab. Cianjur 59.30 85.40 41.70 5.30 11.40 Kab. Bandung 65.00 88.50 40.70 5.60 3.40 Kab. Garut 56.10 77.00 37.80 2.80 1.90 Kab. Tasikmalaya 57.90 79.40 41.70 2.50 5.30 Kab. Ciamis 63.80 86.90 41.40 2.10 10.10 Kab. Kuningan 67.50 91.00 42.00 2.40 4.40 Kab. Cirebon 63.60 86.40 42.50 3.40 8.80 Kab. Majalengka 67.60 94.40 29.80 3.60 11.40 Kab. Sumedang 74.20 98.40 41.10 4.80 3.50 Kab. Indramayu 77.00 95.00 36.10 3.40 10.80 Kab. Subang 68.20 95.50 40.40 3.00 17.20 Kab. Purwakarta 70.50 96.30 33.90 3.80 6.30 Kab. Karawang 63.00 89.00 34.90 1.90 11.80 Kab. Bekasi 70.50 87.90 30.30 3.70 14.80 Kab. Bandung Barat 55.60 71.70 52.50 3.90

3.10 Kota Bogor 71.10 84.10 29.80 7.90 4.30 Kota Sukabumi 65.00 81.70 41.90 6.10 0.80 Kota Bandung 71.50 80.60 32.20 2.20 0.00 Kota Cirebon 67.80 80.80 28.40 3.00 2.20 Kota Bekasi 75.80 82.90 26.60 4.40 0.30 Kota Depok 76.90 86.70 25.70 3.90 0.10 Kota Cimahi 75.10 84.50 28.20 4.00 0.00 Kota Tasikmalaya 56.30 83.40 30.70 2.80 8.00 Kota Banjar 72.40 86.00 39.20 4.70 3.80 Rata-rata 66.90 86.40 35.96 3.87 6.35

14

Hubungan Indikator Input dan Proses

Hubungan Luas Lahan Pertanian per Kapita dengan Ketersediaan Pangan Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara luas lahan pertanian per kapita dengan skor PPH ketersediaan (p = 0.000; r = 0.936) dan luas lahan pertanian per kapita dengan %AKE ketersediaan (p = 0.000; r = 0.896). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas lahan pertanian per kapita maka semakin besar pula ketersediaan pangan. Hal ini sesuai dengan Remans et al. (2014) tanpa mempertimbangkan kemungkinan adanya gagal panen, bencana alam dan jumlah petani atau produsen pangan. Berbagai jenis pangan yang ada di masyarakat berasal dari produk pertanian. Sistem pertanian berkelanjutan yang mempertimbangkan kebutuhan pangan dan gizi penduduk perlu diterapkan. Salah satu caranya adalah dengan manajemen lahan pertanian. Peningkatan kesuburan tanah dan luas lahan yang tersedia menjadi hal yang penting dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas produk pertanian. Adanya luas lahan pertanian per kapita mampu mencerminkan seberapa besar luas lahan yang diperlukan dalam rangka pemenuhan pangan penduduk. Ini sejalan dengan FAO (2012) bahwa pertumbuhan produksi pertanian seiring dengan peningkatan luas lahan pertanian. Ariani et al. (2003) juga menyebutkan peningkatan produksi dan ketersediaan pangan dipengaruhi oleh luas lahan yang tersedia. Ilunanwati (2011) menyebutkan luas lahan pertanian pangan yang harus dipertahankan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk adalah 0.14 ha/kapita.

Tabel 4 Hubungan Luas Lahan Pertanian per Kapita dengan Ketersediaan Pangan

Lahan Pertanian per Kapita

%AKE Ketersediaan Pangan

Skor PPH Ketersediaan Pangan ≥ 90% < 90% ≥ 90 < 90 ≥ 0.14 ha/kapita 1 0 0 1 < 0.14 ha/kapita 11 14 0 25 Total 12 14 0 26

Hubungan Ketersediaan Pangan dengan Konsumsi Pangan

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara skor PPH ketersediaan dengan skor PPH konsumsi (p>0.05) sedangkan %AKE ketersediaan dengan %AKE konsumsi terdapat hubungan (p = 0.022; r = 0.448). Uji hubungan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi pangan dilakukan dengan asumsi akses penduduk terhadap pangan lancar. Beragamnya pangan yang tersedia tidak menjamin beragam pula konsumsi pangan penduduk. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya dan persepsi pangan suatu penduduk. Budaya dan persepsi pangan menentukan jenis pangan yang dikonsumsi maupun yang tidak oleh suatu penduduk. Sementara itu, proporsi konsumsi sumber karbohidrat penduduk Indonesia lebih besar dibandingkan konsumsi pangan

15 lainnya. Hasil uji hubungan antara %AKE ketersediaan pangan dengan %AKE konsumsi pangan juga menunjukkan semakin besar ketersediaan energi maka semakin besar pula konsumsi energi. Tingginya konsumsi energi sebagian besar merupakan kontribusi dari tingginya konsumsi sumber pangan karbohidrat khususnya beras. Selain itu, tingginya kuantitas atau jumlah ketersediaan pangan suatu komoditas merupakan hasil dari tingginya permintaan penduduk terhadap pangan tersebut. Hal ini sejalan dengan Rosegrant (1997) dan Eickhout et al. (2006) yang menyatakan permintaan pangan serealia meningkat lebih dari 718 juta ton dengan meningkatnya konsumsi pangan per kapita menjadi 3050 kkal/hari pada tahun 2030. Sementara itu, 12 daerah atau 46.15% daerah yang ada di Jawa Barat memiliki %AKE ketersediaan pangan ≥ 90%. Hal tersebut menunjukkan Jawa Barat memiliki modal dasar persediaan pangan yang hampir setengahnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk. Hasil crosstabs dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5 Hubungan Ketersediaan Pangan dengan Konsumsi Pangan %AKE Ketersediaan

Pangan

%AKE Konsumsi Pangan

Total

%AKE ≥ 90% %AKE < 90%

%AKE ≥ 90% 5 7 12

%AKE < 90% 1 13 14

Total 6 20 26

Hubungan Antar Indikator Outcome

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Prevalensi Stunting

Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara skor PPH konsumsi dengan prevalensi stunting (p = 0.008; r = -0.509). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor PPH konsumsi maka semakin sedikit prevalensi stunting dengan asumsi distribusi atau akses pangan dalam rumah tangga lancar dan keluarga dalam keadaan sehat. Hubungan antara %AKE konsumsi dengan prevalensi stunting tidak terdapat hubungan (p>0.05; r = -0.113). Berdasarkan nilai koefisien korelasi, terdapat kecenderungan semakin besar %AKE konsumsi maka semakin sedikit prevalensi stunting.

Tabel 6 Hubungan Konsumsi Pangan dengan Prevalensi Stunting

Hubungan p r

Skor PPH konsumsi-stunting 0.008 -0.509

% AKE konsumsi-stunting 0.584 -0.113

Hubungan yang signifikan antara skor PPH konsumsi pangan dengan prevalensi stunting sesuai dengan Rah et al. (2010) yang menyatakan kurangnya konsumsi pangan yang beragam merupakan predictor terjadinya stunting pada anak.

16

Skor PPH konsumsi merupakan suatu cara untuk mengetahui kualitas atau keberagaman konsumsi pangan penduduk. Stunting merupakan efek jangka panjang dari kurangnya asupan zat gizi makro maupun mikro. Sumber zat gizi tersebut didapat dari berbagai jenis pangan dan tidak ada satu jenis pangan yang mengandung seluruh zat gizi secara bersamaan yang dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu, penting mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam.

Hubungan RT Tanpa Fasilitas BAB, Insidensi Diare dan Prevalensi Stunting Uji hubungan antara proporsi rumah tangga tanpa fasilitas BAB dengan

insidensi diare dilakukan dengan asumsi bahwa pangan yang dikonsumsi keluarga aman, sumber air minum bebas dari cemaran dan keluarga dalam keadaan sehat. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara proporsi rumah tangga tanpa fasilitas BAB dengan insidensi diare (p>0.05). Hal ini tidak sesuai dengan Mengistie et al. (2013), Guerrant et al. (2012), Cheng et al. (2012), Waddington dan Snilsveit (2009), Emch (1999), dan Esrey et al. (1991) yang menyatakan bahwa sanitasi berhubungan erat dengan diare dan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas diare perlu peningkatan sanitasi yang layak. Diduga hal ini karena terjadinya diare dipengaruhi banyak faktor diantaranya frekuensi praktik cuci tangan pakai sabun, pemberian ASI eksklusif, budaya atau pola asuh ibu, sumber makanan dan minuman yang sehat serta aman. Hal ini sesuai dengan Emch (1999) dan Rohmawati (2010) yang menyatakan perlu adanya pertimbangan sosial-ekonomi serta sumber air yang bersih untuk minum.

Selain itu, hasil analisis korelasi Pearson antara insidensi diare dengan prevalensi stunting menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Uji hubungan ini dilakukan dengan asumsi konsumsi pangan sudah cukup dari segi kualitas dan kuantitas serta hygiene-sanitasi yang baik. Hal tersebut tidak sesuai dengan Brown (2003), Caulfield et al. (2004) yang menyatakan sebagian besar kematian yang terjadi pada balita yang mengalami masalah gizi disebabkan oleh diare dan Checkley et al. (2008) yang menyatakan diare berhubungan stunting dan tingginya diare meningkatkan risiko stunting. Selain diare, banyak hal yang menyebabkan stunting diantaranya rendahnya kesehatan dan gizi maternal, pendeknya jangka waktu kehamilan, hamil pada masa remaja yang kemudian mempengaruhi availabilitas zat gizi pada janin serta ketidakseimbangan praktik pemberian makan pada janin dan anak, jenis pekerjaan ayah dan ibu, dan kemiskinan (WHO 2014 dan Devi 2010).

Tabel 7 Hubungan Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB, Insidensi Diare dan Prevalensi Stunting

Hubungan p r

RT tanpa fasilitas

BAB-insidensi diare 0.374 -0.128

17

Perumusan Masalah dan Alternatif Program

Hubungan berbagai variabel dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Variabel yang dimasukkan pada analisis ini adalah konsumsi pangan berupa skor PPH dan %AKE, insidensi diare dan prevalensi stunting sehingga didapatkan persamaan Y = 70.601-0.518x dengan R2=0.228 dimana Y adalah prevalensi stunting, X adalah skor PPH konsumsi. Meskipun persamaan tersebut hanya mampu menjelaskan 22.8% masalah prevalensi stunting tetapi persamaan tersebut layak untuk digunakan berdasarkan nilai p uji ANOVA <0.05 yaitu p = 0.008. Persamaan tersebut dapat menjadi acuan dalam penentuan kebijakan terkait penurunan prevalensi stunting dengan meningkatkan peningkatan skor PPH konsumsi atau peningkatan kualitas konsumsi pangan penduduk serta penyusunan alternatif program yang akan dijalankan oleh pemerintah daerah Jawa Barat selanjutnya. Permasalahan lain yang ada di Jawa Barat meliputi luas lahan pertanian per kapita yang sempit, kualitas ketersediaan dan konsumsi pangan rendah, masih tingginya prevalensi stunting dan masih adanya rumah tangga yang belum mempunyai fasilitas BAB. Tabel rumusan masalah dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 8 Rumusan Masalah

Indikator Standar/Ideal Kondisi Aktual Masalah Lahan pertanian

per kapita ≥ 0.14 ha/kapita 0.06 ha/kapita

Luas lahan pertanian per kapita masih sempit Kualitas ketersediaan pangan Skor PPH ≥ 90 56.80 Ketersediaan pangan belum beragam Kualitas

konsumsi pangan Skor PPH ≥ 90 66.90 Konsumsi pangan belum beragam Prevalensi Stunting < 30% 35.96% Prevalensi stunting masih tinggi

Fasilitas sanitasi Seluruh penduduk memiliki fasilitas

BAB

6.35% tidak memiliki fasilitas

BAB

Masih ada rumah tangga tidak memiliki fasilitas BAB

Sesuai dengan persamaan, meningkatnya skor PPH konsumsi dapat menurunkan prevalensi stunting. Tujuan kebijakan KUKP 2010-2014 untuk mendorong perilaku konsumsi pangan dengan program kegiatan berupa sosialisasi dan promosi serta kampanye diversifikasi konsumsi pangan melalui berbagai media massa cetak, elektronik dan secara langsung ke masyarakat serta memasukkan materi tentang pangan beragam, bergizi dan seimbang dalam kurikulum sekolah merupakan program pemerintah pusat dalam upaya peningkatan skor PPH konsumsi pangan. Program sosialisasi, promosi dan pemberian kurikulum tentang diversifikasi pangan dengan tambahan PHBS harus terus berkelanjutan agar masyarakat terbiasa dengan pola hidup sehat dan bersih dalam rangka mencegah terjadinya gizi buruk di masyarakat.

18

Selain itu, berdasarkan Oshaug dan Haddad (2002), Johns dan Eyzaguirre (2002) dan Hardono (2014) perlu dilakukan pengembangan produksi, industri dan konsumsi pangan lokal serta menyelaraskan kebijakan industri dan konsumsi pangan dengan kebijakan konsumsi pangan yang diikuti penyediaan produk pangan lokal yang mampu bersaing dengan produk asing, perlu adanya pemeliharaan gaya hidup dan pengetahuan lokal, konservasi alam liar dan sumberdaya yang dapat ditanami serta keberlanjutan lingkungan karena ketika akses penduduk terhadap sumberdaya alam yang krusial berkurang, kemungkinan penduduk menderita kurang energi-protein dan defisiensi zat gizi mikro.

Persentase pengeluaran penduduk miskin cenderung lebih besar untuk pangan sementara pangan yang bergizi baik identik dengan pangan yang mahal. Melihat hubungan antara ketidakmampuan masyarakat dari segi akses terhadap pangan dengan gizi maka perlu adanya peningkatan kemampuan petani dalam mengelola pertanian. Ketika petani mampu menyediakan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dengan menyediakan pangan yang bergizi, aman, enak, serta bergengsi, maka secara perlahan akan meningkatkan pendapatan petani itu sendiri dan meningkatkan disposable income daerah urban dan perekonomian daerah pedesaan.

Meningkatnya pendapatan penduduk mampu meningkatkan permintaan buah-buahan, sayuran dan pangan hewani yang kaya akan zat gizi. Selain itu meningkatnya pendapatan juga meningkatkan konsumsi gula, garam, lemak yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit jantung coroner, diabetes dan hipertensi. Hal ini meningkatkan permintaan produk rendah lemak, daging tanpa lemak, buah dan sayuran segar, serta lemak tak jenuh dan gizi masyarakat menjadi pendorong dalam peningkatan kualitas produk pertanian dalam mengembangkan berbagai produk yang sesuai preferensi konsumen.

Sementara itu, beberapa penelitian dan program intervensi telah fokus pada penyediaan mikronutrien seperti vitamin A atau mineral melalui diversifikasi hasil panen, dan manajemen lahan tetapi belum terdengar adanya program pemerintah dalam pemberian intervensi terkait masalah stunting. Stunting merupakan salah satu

Dokumen terkait