• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SITUASI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DI JAWA BARAT TAHUN 2013 PANJI SEPTIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS SITUASI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DI JAWA BARAT TAHUN 2013 PANJI SEPTIAN"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS SITUASI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DI

JAWA BARAT TAHUN 2013

PANJI SEPTIAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi di Jawa Barat Tahun 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016 Panji Septian NIM I14110038

(4)

ii

ABSTRAK

PANJI SEPTIAN. Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi di Jawa Barat Tahun 2013. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan DRAJAT MARTIANTO.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis situasi ketahanan pangan dan gizi Jawa Barat tahun 2013. Desain penelitian adalah Cross sectional study dengan sampel sebanyak 26 kota/kabupaten yang ada di Jawa Barat. Hasil penelitian berdasarkan indikator ketahanan pangan dan gizi menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat belum tahan pangan dan gizi. Indikator ketahanan pangan dan gizi yang digunakan untuk evaluasi adalah indikator input berupa lahan pertanian, indikator proses berupa ketersediaan pangan, dan indikator outcome berupa konsumsi pangan dan status gizi. Uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara luas lahan pertanian per kapita dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) ketersediaan pangan (p = 0.000; r = 0.936), luas lahan pertanian per kapita dengan persentase Angka Kecukupan Energi (%AKE) ketersediaan pangan (p = 0.000; r = 0.896), %AKE ketersediaan pangan dengan %AKE konsumsi pangan terdapat hubungan (p = 0.022; r = 0.448), skor PPH konsumsi pangan dengan prevalensi stunting (p = 0.008; r = -0.509). Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara skor PPH ketersediaan pangan dengan skor PPH konsumsi pangan (p>0.05), proporsi Rumah Tangga (RT) tanpa fasilitas Buang Air Besar (BAB) dengan insidensi diare (p>0.05), insidensi diare dengan prevalensi stunting (p>0.05) dan %AKE konsumsi pangan dengan prevalensi stunting (p>0.05). Hubungan berbagai variabel tersebut dianalisis menggunakan analisis regresi linear dan didapatkan persamaan Y = 70.601-0.518x yang berarti penurunan skor PPH konsumsi pangan sebesar 0.518 meningkatkan prevalensi stunting sebesar 1%.

Kata kunci: ketahanan pangan dan gizi, ketersediaan pangan, konsumsi pangan, luas lahan pertanian per kapita

ABSTRACT

PANJI SEPTIAN. Analysis of Food and Nutrition Security in West Java 2013. Supervised by YAYUK FARIDA BALIWATI and DRAJAT MARTIANTO.

The purpose of the study was to analyze food and nutrition security in West Java in 2013. The study design was a cross sectional study with 26 city/regency in West Java as sample. The result showed that West Java Province is food and nutrition insecured. The food and nutrition security indicator implemented were input indicator such as agricultural area, process indicator such as food availability, and outcome indicator such as food consumption and nutritional status. There is significant correlation between agricultural area per capita and Dietary Diversity Score (DDS) of food availability (p = 0.000; r = 0.936), agricultural area per capita and percentage of energy adequacy level (%EAL) of food avalability (p = 0.000; r = 0.896), percentage of energy adequacy level (%EAL) of food avalability and percentage of energy adequacy level (%EAL) of food consumption (p = 0.022; r = 0.448), DDS of food consumption and stunting prevalence (p = 0.008; r = -0.509).

(5)

iii

Meanwhile, there is no significant correlation between DDS of food availability and DDS of food consumption (p>0.05), proportion of household without BAB facility and diarrhea incidence (p>0.05), diarrhea incidence and stunting prevalence (p>0.05), percentage of energy adequacy level of food consumption and malnutrition (p>0.05). Relationships of various variables were analyzed using linear regression analysis and obtained the equation Y = 70.601-0.518xwhich mean decrease 0.518 point DDS of food consumption can increase the prevalence of stunting by 1%.

Keywords: food and nutrition security, food availability, food consumption, land man ratio

(6)

iv

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

ANALISIS SITUASI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DI

JAWA BARAT TAHUN 2013

PANJI SEPTIAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

vi

Judul Skripsi : Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi di Jawa Barat Tahun 2013

Nama : Panji Septian NIM : I14110038

Disetujui oleh

Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS Pembimbing I

Dr Ir Drajat Martianto, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(9)
(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah ketahanan pangan, dengan judul Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi di Jawa Barat Tahun 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Yayuk Farida Baliwati MS dan Dr Ir Drajat Martianto MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para sahabat penulis di kontrakan Pondok Gizi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016 Panji Septian

(11)

viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 METODE 4

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 4

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 4

Pengolahan dan Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 9

Indikator Input dan Proses 9

Indikator Outcome 11

Hubungan Indikator Input dan Proses 14

Hubungan Antar Indikator Outcome 15

Perumusan Masalah dan Alternatif Program 17

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

(12)

ix

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan Sumber Data 5

2 Indikator Input dan Proses Ketahanan Pangan Menurut 11 Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013

3 Indikator Outcome Ketahanan Pangan 13

(Konsumsi Pangan dan Status Gizi) dan Insidensi Diare serta Fasilitas Sanitasi menurut Kabupaten/Kota

di Jawa Barat tahun 2013

4 Hubungan Luas Lahan Pertanian per Kapita dengan 14 Ketersediaan Pangan

5 Hubungan Ketersediaan Pangan dengan Konsumsi Pangan 15 6 Hubungan Konsumsi Pangan dengan Prevalensi Stunting 15 7 Hubungan Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB, 16

Insidensi Diare dan Prevalensi Stunting

8 Rumusan Masalah 17

9 Stratifikasi Kabupaten/Kota Berdasarkan Tingkat Prevalensi 19 Stunting dan Kualitas/Kuantitas Konsumsi Pangan

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Analisis Situasi Ketahan Pangan Kabupaten/Kota 4 di Provinsi Jawa Barat

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian 23 2 Hasil Uji Correlation Variabel Penelitian 23 3 Hasil Uji Linear Regression Model Summary 23

4 Hasil Uji Linear Regression ANOVA 24

(13)
(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (UU No 18 Tahun 2012). Selain infeksi penyakit, salah satu aspek ketahanan pangan yaitu konsumsi pangan juga merupakan hal yang mempengaruhi langsung status gizi seseorang.

Satu dari sekian banyak masalah di masyarakat diantaranya adalah masalah gizi. Masalah gizi merupakan salah satu dasar permasalahan yang ada di Indonesia. Status gizi penduduk menentukan kualitas sumberdaya manusia di suatu Negara. Masalah gizi dengan konsumsi pangan tidak dapat dipisahkan. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan status gizi penduduk sekaligus meningkatkan sumberdaya manusia yaitu dengan diberlakukannya sistem ketahanan pangan dan gizi yang terdiri dari empat aspek yaitu ketersediaan pangan, distribusi, konsumsi pangan dan tentu saja status gizi. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU No 18 Tahun 2012). Berdasarkan asas ketahanan pangan tersebut maka dilakukan lah penyelenggaraan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan dan melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.

Ketahanan pangan di pengaruhi beberapa faktor diantaranya lingkungan yang berkelanjutan, persediaan pangan yang memadai, dan dari segi sosial berupa preferensi pangan, budaya, pendidikan dan status ekonomi (Oshaug dan Haddad 2002). Perubahan lingkungan yang cepat mengubah hubungan antara manusia dan ekosistem. Perubahan ini menyangkut overpopulation, kehilangan sumber daya alam, kerusakan ekosistem yang berhubungan dengan industrialisasi dan pembangunan komersil serta perubahan iklim (Johns dan Eyzaguirre 2002). Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yakni 45 390 799 juta jiwa atau 18.22% dari jumlah penduduk Indonesia.

(15)

2

Populasi yang tinggi tentu memerlukan jumlah pangan yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat berturut-turut yaitu 1219 orang/km2 dan 1.77%. Nilai tersebut lebih besar daripada kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk nasional yaitu 130 orang/km2 dan 1.19% (BPS 2014). Hal tersebut tentu saja berdampak pada luas lahan yang berpotensi untuk menunjang ketersediaan pangan. Oleh karena itu perlu adanya analisis situasi dan solusi ketahanan pangan dan gizi.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis situasi ketahanan pangan dan gizi Provinsi Jawa Barat tahun 2013. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis karakteristik indikator input berupa lahan pertanian, indikator proses berupa ketersediaan pangan, indikator outcome berupa konsumsi pangan, status gizi dan analisis insidensi diare serta fasilitas sanitasi di 26 kota/kabupaten di Jawa Barat, (2) menganalisis hubungan antara indikator input, proses dan outcome ketahanan pangan di 26 kota/kabupaten di Jawa Barat, (3) merumuskan permasalahan ketahanan pangan dan gizi dan alternatif program.

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi masyarakat merupakan salah satu faktor dalam peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Status gizi yang baik mampu memberikan dampak positif bagi perkembangan individu. Seseorang dengan status gizi baik memiliki harapan hidup lebih besar khususnya pada balita. Masyarakat dengan status gizi yang baik cenderung lebih tahan terhadap serangan penyakit sehingga mampu meningkatkan produktifitas kerja dan membantu membangun perekonomian Negara. Berkembangnya perekonomian Negara kearah yang lebih baik tentu berdampak pada pembangunan Negara yang lebih baik pula.

Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi. UNICEF menyebutkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi langsung status gizi individu, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, perlu ditunjang

(16)

3 dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.

Sarana kesehatan juga merupakan pendorong dan faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi terciptanya status gizi yang baik bagi masyarakat. Adanya sarana kesehatan yang memadai khusunya fasilitas sanitasi yang layak dan sesuai standar mampu mencegah terjadinya berbagai penyakit terutama diare yang banyak terjadi di daerah dengan fasilitas sanitasi yang kurang dan penduduk yang belum berperilaku hidup bersih dan sehat. Penyakit infeksi berupa diare juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita.

Seberapa besar jumlah dan seberapa banyak jenis pangan yang dikonsumsi menentukan status gizi individu yang sehat. Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat juga tergantung pada ketersediaan pangan yang ada. Ketersediaan pangan suatu daerah ditentukan oleh ada tidaknya lahan yang tersedia untuk kegiatan produksi pangan. Lahan pertanian merupakan hal yang berdampak langsung terhadap ketersediaan pangan selain stabilitas harga. Ketersediaan pangan yang berlimpah selain dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk suatu daerah juga mampu menghasilkan atau meningkatkan perekonomian suatu daerah dengan sistem ekspor suatu komoditi pangan. Pangan yang dikonsumsi masyarakat merupakan hasil pertanian yang bergantung pada kualitas lahan dan luas lahan yang ada. Semakin luas lahan pertanian yang ada diharapkan dapat memproduksi lebih banyak hasil pertanian dalam rangka memenuhi permintaan pangan masyarakat yang setiap tahunnya terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Semakin besar jumlah penduduk, kebutuhan lahan pertanian untuk pemenuhan konsumsi pangan penduduk juga akan semakin besar.

Maxwell dan Frankenberger (1992) merumuskan dua indikator yang dapat digunakan dalam pencapaian ketahanan pangan yang terbagi menjadi indikator proses dan indikator outcome. Indikator proses terbagi lagi menjadi indikator ketersediaan pangan yaitu indikator yang berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktik pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial dan indikator yang mencerminkan akses pangan yang meliputi pendapatan, akses terhadap kredit modal, dan strategi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sementara itu, indikator outcome terbagi menjadi indikator langsung yaitu konsumsi dan frekuensi pangan, indikator tidak langsung yaitu penyimpangan pangan dan status gizi. Berdasarkan pemikiran sistem ketahanan pangan dan gizi maka indikator tersebut meliputi luas lahan pertanian yang diukur dengan luas lahan pertanian per kapita sebagai indikator input, ketersediaan pangan yang diukur dengan skor PPH dan %AKE sebagai indikator proses, konsumsi pangan yang diukur dengan skor PPH dan %AKE sebagai indikator output, status gizi yang diukur dengan prevalensi stunting sebagai indikator outcome, serta variabel yang mempengaruhi status gizi yaitu penyakit infeksi dan fasilitas sanitasi. Kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

(17)

4

Keterangan:

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti

= Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka Analisis Situasi Ketahanan Pangan Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Barat

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional study dan dilaksasnakan di Bogor pada bulan Mei 2015 sampai Juni 2015. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive di 26 Kota/Kabupaten di Jawa Barat dengan pertimbangan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, adanya konversi lahan menjadi daerah industri, dan kemudahan akses data.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dalam bentuk electronic file dan hardcopy beberapa dokumen. Data yang dikumpulkan dan dianalisis mengenai data penduduk 26 kota/kabupaten di Jawa Barat tahun 2013, data konsumsi pangan 26 kota/kabupaten di Jawa Barat tahun 2013, data produksi pangan 26 kota/kabupaten di Jawa Barat tahun 2013, data tentang lahan pertanian

Lahan Pertanian Ketersediaan Pangan Fasilitas Sanitasi Status Gizi Konsumsi Pangan Pendapatan Stabilitas Harga Pangan Diare Pendidikan

(18)

5 di 26 kota/kabupaten di Jawa Barat tahun 2013, prevalensi stunting di Jawa Barat tahun 2013, insidensi diare di Jawa Barat tahun 2013, dan fasilitas sanitasi di Jawa Barat tahun 2013. Data tersebut diperoleh dari berbagai instansi terkait. Jenis dan sumber data dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data

No. Jenis Data Ukuran Yang

Digunakan

Sumber Data Tahun

1 Jumlah penduduk Jumlah Penduduk Jawa Barat Dalam Angka (Badan Pusat Statistika)

2014 2 Luas lahan pertanian Lahan Pertanian per

Kapita

Jawa Barat Dalam Angka (Badan Pusat Statistika)

2014 3 Produksi pangan Skor PPH dan %AKE Jawa Barat Dalam Angka

(Badan Pusat Statistika)

2014

4 Konsumsi pangan Skor PPH dan

%AKE

Survey Sosial Ekonomi Nasional (Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat)

2014

5 Prevalensi stunting Prevalensi Stunting RISKESDAS Dalam Angka Provinsi Jawa Barat (Kementerian Kesehatan)

2013

6 Insidensi diare Insidensi diare RISKESDAS Dalam Angka

Provinsi Jawa Barat (Kementerian Kesehatan)

2013

7 Fasilitas sanitasi Proporsi RT tanpa fasilitas BAB

RISKESDAS Dalam Angka Provinsi Jawa Barat (Kementerian Kesehatan)

2013

Pengolahan dan Analisis Data

Data luas lahan pertanian berupa lahan sawah dan bukan sawah diolah menjadi luas lahan per kapita atau land man ratio dengan cara menjumlahkan luas lahan sawah dan bukan sawah dibagi data jumlah penduduk. Luas lahan pertanian per kapita atau lanad man ratio bertujuan untuk mengetahui seberapa besar luas lahan pertanian yang tersedia untuk setiap orang dalam rangka menunjang persediaan pangan penduduk dalam perhitungan daya dukung pangan wilayah. Sementara itu, ketersediaan pangan 26 kota/kabupaten dianalisis menggunakan aplikasi Neraca Bahan Makanan (NBM) yang juga dikembangkan oleh MWA Training & Cunsulting. Data ketersediaan didapat dari Jawa Barat Dalam Angka 2014 hasil publikasi Badan Pusat Statistika pada masing-masing daerah di Provinsi Jawa Barat. Data ketersediaan yang dipakai disini adalah produksi bersih dari masing-masing kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat dengan asumsi tidak adanya impor, ekspor dan cadangan pangan daerah. Data tersebut di input pada sheet NBM mulai dari kelompok pangan padi-padian sampai dengan kelompok lain-lain yang kemudian akan menghasilkan ketersediaan pangan wilayah pada 9 kelompok pangan berupa padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain dengan satuan gram/kapita/hari. Analisis ini bertujuan untuk melihat ketersediaan pangan wilayah berdasarkan %AKE dan skor PPH pada sheet situasi ketersediaan.

Langkah-langkah penilaian ketersediaan pangan untuk menghitung Skor PPH adalah sebagai berikut:

(19)

6

1 Perhitungan total konsumsi energi dari kelompok pangan 1-9 yang dinyatakan dalam energi perkapita/hari;

2 Perhitungan kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1-9 terhadap total konsumsi energi;

3 Perhitungan kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1-9 terhadap angka kebutuhan gizi wilayah. Kontribusi energi dinyatakan dalam bentuk persen yaitu dengan cara membagi masing-masing energi kelompok pangan dengan AKE wilayah dikalikan 100%;

4 Perhitungan selisih berdasarkan kontribusi (%) energi terhadap AKG terhadap kontribusi (%) energi yang diharapkan;

5 Perhitungan Skor PPH melalui beberapa tahapan seperti: Mengalikan % konstribusi energi per AKE dengan bobot untuk mengisi kolom skor % AKE, memperhatikan batas skor maksimum dan jika skor AKE lebih dari skor maksimum maka skor yang diambil adalah skor maksimum, namun jika skor AKE kurang dari skor maksimum maka skor yang diambil adalah skor AKE, dan total skor PPH dihitung dengan menjumlahkan skor PPH dari kelompok pangan 1-9.

Pengolahan data konsumsi pangan menggunakan Software 2A. Aplikasi Manajemen Ketahanan Pangan yang dikembangkan oleh Badan Ketahanan Pangan yang bekerjasama dengan MWA Training & Consulting. Data yang diperoleh dari SUSENAS 26 Kota/Kabupaten di Jawa Barat yang berupa rata-rata konsumsi per kapita per minggu total wilayah pada masing-masing jenis pangan di input kedalam software. Analisis ini bertujuan untuk melihat tingkat konsumsi total wilayah berdasarkan %AKE serta melihat keberagaman konsumsi pangan berdasarkan skor PPH total wilayah pada masing-masing kota/kabupaten.

Langkah-langkah penilaian konsumsi pangan untuk menghitung Skor PPH adalah sebagai berikut:

1 Pengelompokkan pangan menjadi 9 kelompok yaitu: Padi-padian (meliputi beras dan olahannya, jagung dan olahannya, gandum dan olahannya), umbi-umbian (ubi kayu dan olahannya, ubi jalar, kentang, talas, dan sagu), pangan hewani (daging dan olahannya, ikan dan olahanya, telur, serta susu dan olahannya), minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak sawit, margarin, dan lemak hewani), buah/biji berminyak (kelapa, kemiri dan coklat), kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang mete, kacang tunggak, kacang lain, tahu, tempe, tauco, oncom, sari kedelai, kecap), gula (gula pasir, gula merah, sirup, minuman jadi dalam botol/kaleng), sayur dan buah (sayur segar dan olahannya, buah segar dan olahannya), dan lain-lain (aneka bumbu dan bahan minuman seperti terasi, cengkeh, ketumbar, merica, pala, asam, bumbu mask, terasi, teh dan kopi);

2 Pengkonversian bentuk, jenis dan satuan;

3 Perhitungan konsumsi energi menurut kelompok pangan yang meliputi beberapa tahapan yaitu perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM), kemudian menjumlahkan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi menurut kelompok pangan;

4 Perhitungan total konsumsi energi dari kelompok pangan 1-9 yang dinyatakan dalam energi perkapita/hari;

(20)

7 5 Perhitungan kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1-9 terhadap total

konsumsi energi;

6 Perhitungan kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1-9 terhadap angka kebutuhan gizi wilayah. Kontribusi energi dinyatakan dalam bentuk persen yaitu dengan cara membagi masing-masing energi kelompok pangan dengan AKE wilayah dikalikan 100%;

7 Perhitungan selisih berdasarkan kontribusi (%) energi terhadap AKG terhadap kontribusi (%) energi yang diharapkan;

8 Perhitungan Skor PPH melalui beberapa tahapan seperti: Mengalikan % konstribusi energi per AKE dengan bobot untuk mengisi kolom skor % AKE, memperhatikan batas skor maksimum dan jika skor AKE lebih dari skor maksimum maka skor yang diambil adalah skor maksimum, namun jika skor AKE kurang dari skor maksimum maka skor yang diambil adalah skor AKE, dan total skor PPH dihitung dengan menjumlahkan skor PPH dari kelompok pangan 1-9.

Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social Science) 16.0 for Windows. Tahap pertama yang dilakukan adalah cleaning data dan entry data. Analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat. Ketiga analisis tersebut digunakan untuk melakukan beberapa uji diantaranya uji normalitas untuk semua variabel. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran suatu data yang selanjutnya menentukan uji korelasi dan pengaruh yang dipilih. Uji korelasi dilakukan terhadap indikator input luas lahan pertanian berupa luas lahan pertanian per kapita dengan indikator proses berupa ketersediaan pangan (skor PPH dan %AKE), ketersediaan pangan (skor PPH dan %AKE) dengan indikator output berupa konsumsi pangan (skor PPH dan %AKE), konsumsi pangan (skor PPH dan %AKE) dengan indikator outcome berupa prevalensi stunting, fasilitas sanitasi (proporsi rumah tangga tanpa fasilitas BAB) dengan insidensi diare, dan insidensi diare dengan prevalensi stunting. Uji korelasi yang dilakukan adalah uji korelasi Pearson yaitu pada skor PPH konsumsi dengan prevalensi stunting, %AKE konsumsi dengan prevalensi stunting, proporsi rumah tangga tanpa fasilitas BAB dengan insidensi diare, insidensi diare dengan prevalensi stunting dan uji Spearman untuk menguji hubungan luas lahan per kapita dengan skor PPH ketersediaan, luas lahan per kapita dengan %AKE ketersediaan, skor PPH ketersediaan dengan skor PPH konsumsi, dan %AKE ketersediaan dengan %AKE konsumsi. Uji pengaruh dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dan menghasilkan formulasi program. Uji pengaruh dilakukan antara konsumsi pangan (skor PPH dan %AKE) dan insidensi diare terhadap prevalensi stunting

Permasalahan ketahanan pangan dan gizi serta alternatif program dianalisis dengan menginterpretasikan data terhadap standar yang ada yaitu minimal 0.14 ha/kapita untuk luas lahan pertanian per kapita atau land man ratio berdasarkan Ilunanwati (2011), skor PPH dan %AKE minimal 90 pada aspek ketersediaan dan konsumsi pangan berdasarkan Permentan No. 65 Tahun 2010 tentang standar pelayanan minimal, prevalensi stunting ≤ 20% berdasarkan WHO, perbandingan persentase nasional dengan Provinsi Jawa Barat untuk insidensi diare, dan semua penduduk mendapatkan fasilitas BAB sebagai fasilitas sanitasi berdasarkan Permenkes No. 3 Tahun 2014 tentang sanitasi total berbasis masyarakat.

(21)

8

Permasalahan yang diperoleh dari analisis situasi ketahanan pangan dan gizi dijadikan landasan dalam penentuan alternatif program.

Definisi Operasional

Indikator Input adalah sumber daya berupa lahan pertanian yang mempengaruhi persediaan pangan dan diukur dengan land man ratio yaitu luas lahan pertanian dibagi jumlah penduduk.

Indikator Proses adalah indikator berdasarkan pola pikir Maxwell (1992) yang mencerminkan persediaan pangan di 26 kabupaten/kota dilihat dari banyaknya jumlah produksi, cadangan maupun impor pangan dan data yang digunakan pada penelitian ini adalah data produksi bersih yaitu jumlah produksi pangan dikurangi penggunaan yang menggambarkan kemampuan produksi pangan wilayah untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dan diukur berdasarkan skor PPH dan %AKE.

Indikator Outcomeadalah indikator berdasarkan pola pikir Maxwell (1992) yang mencerminkan konsumsi pangan dan status gizi. Konsumsi pangan ini berupa jenis dan jumlah pangan yang dimakan dan diminum penduduk 26 kota/kabupaten di Jawa Barat dan diukur berdasarkan skor PPH dan %AKE. Lahan Pertanian adalah lahan yang terdiri dari lahan sawah dan lahan bukan sawah (huma, ladang, perkebunan, kolam, tambak, padang penggembalaan, hutan rakyat dan lain-lain) pada masing-masing kota/kabupaten.

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari 9 kelompok pangan (33.3% sumber tenaga, 33.3% sumber zat pembangun, 33.3% sumber zat pengatur) yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya serta dapat digunakan untuk menilai kualitas konsumsi pangan.

%AKE adalah jumlah persentase kalori dari 9 kelompok pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah atau biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, lain-lain terhadap Angka Kecukupan Energi Nasional.

Status Gizi adalah kondisi kesehatan seseorang yang dipengaruhi oleh asupan dan penggunaan zat gizi dan data yang digunakan pada penelitian ini adalah prevalensi stunting pada masing-masing kota/kabupaten di Jawa Barat tahun 2013.

Fasilitas Sanitasi adalah sarana berupa jamban sehat yaitu jamban yang memenuhi standar dan persyaratan kesehatan yang terdiri dari jamban komunal, leher angsa, plengsengan dan jamban cemplung dan ukuran yang digunakan pada penelitian ini berupa proporsi rumah tangga tanpa fasilitas sanitasi atau BAB. Diare adalah jenis penyakit infeksi berupa perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya yang dalam penelitian ini diukur dengan insidensi diare pada masing-masing kota/kabupaten di Jawa Barat tahun 2013.

(22)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara geografis Provinsi Jawa Barat terletak antara 5050’-7050’ Lintang Selatan dan 104048’-108048’ Bujur Timur dengan batas wilayah sebelah Utara adalah Laut Jawa dan DKI Jakarta, sebelah Timur adalah Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan adalah Samudera Hindia dan sebelah Barat adalah Provinsi Banten.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3 717 397 hektar dengan lahan pertanian sebesar 2 735 734 ha. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berbatasan dengan laut sehingga wilayah Jawa Barat memiliki garis pantai cukup panjang, yaitu 755.83 km. Jawa Barat memiliki wilayah dengan pegunungan curam dibagian Selatan yakni 9.5% dari total luas wilayah Jawa Barat dengan ketinggian lebih dari 1500 mdpl, 36.48% merupakan wilayah lereng bukit yang landai di bagian tengah dengan ketinggian 10-1500 mdpl dan 54.03% wilayah dataran luas di bagian utara dengan ketinggian 0-10 mdpl (BPS 2014).

Jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 45 340 799 juta jiwa yang tersebar pada 17 kabupaten dan 9 kota di Jawa Barat. Kabupaten di Jawa Barat terdiri dari Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Bandung Barat. Kota di Jawa Barat terdiri dari Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar (BPS 2014).

Indikator Input dan Proses

Penduduk Jawa Barat pada tahun 2013 berjumlah 45 340 799 juta jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 23 201 905 jiwa (50.73%) dan jumlah penduduk perempuan sebesar 22 534 460 jiwa (49.27%). Kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1219.69 orang/km2 dan laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat tahun 2013 sebesar 1.77% lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk nasional yaitu sebesar 1.19% (BPS 2014). Berdasarkan undang-undang nomor 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, kepadatan penduduk lebih dari 401 orang/km2 termasuk kedalam kategori sangat padat.

Tiga wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kabupaten Bogor 5 202 097 jiwa (11.47%), Kabupaten Bandung 3 405 475 jiwa (7.51%) dan Kabupaten Bekasi 3 002 112 jiwa (6.62%). Wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Banjar yaitu 179 706 jiwa (0.39%). Sebagian besar penduduk Jawa Barat terpusat di daerah ibu kota DKI Jakarta yaitu Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dengan jumlah penduduk sebesar 13 749 807 jiwa (30.32%) dan ibu kota Provinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi dengan jumlah penduduk sebesar 8 023 750 jiwa (17.69%). Hal ini membuktikan bahwa penyebaran penduduk di Jawa Barat belum merata.

(23)

10

Sementara itu, daerah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak belum tentu memiliki luas lahan pertanian per kapita yang besar pula. Hal tersebut dapat dilihat dari luas lahan pertanian per kapita Kabupaten Bogor (0.03 ha), Kabupaten Bandung (0.04 ha) dan Kabupaten Bekasi (0.03 ha). Angka tersebut relatif lebih kecil dibandingkan luas lahan pertanian per kapita dari kabupaten lain yang ada di Jawa Barat. Tingginya jumlah penduduk cenderung semakin mempersempit luas lahan pertanian per kapita yang ada di Jawa Barat. Menurut Permentan nomor 07/permentan/OT.140/2/2012 tentang pedoman teknis kriteria dan persyaratan kawasan, lahan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan, sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia merupakan salah satu masalah akses sektor pertanian khususnya pangan terhadap sumber daya lahan.

Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi memiliki skor PPH ketersediaan pangan berturut-turut sebesar 64, 68.2 dan 36.8. Skor tersebut juga relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan Kabupaten Cianjur yang memiliki skor PPH 89.8 dengan luas lahan pertanian per kapita 0.11 ha, Kabupaten Sukabumi dengan skor PPH 85.7 dan luas lahan pertanian per kapita 0.13 ha serta Kabupaten Ciamis yang memiliki skor PPH 84.3 dengan luas lahan pertanian per kapita 0.13 ha (lihat Tabel 2). Data menunjukkan kecenderungan semakin tinggi luas lahan pertanian per kapita semakin baik pula skor PPH ketersediaan yang dimiliki, begitu pula dengan %AKE-nya. Dilihat dari capaian skor PPH masing-masing kabupaten/kota, ketersediaan pangan di Jawa Barat belum bisa dikatakan baik. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian nomor 65/OT.140/12/2010 tentang standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan bidang provinsi dan kabupaten/kota yang menyebutkan minimal pencapaian skor PPH sebesar 90. Secara rinci luas lahan pertanian di Jawa Barat sebesar 2 735 754 ha atau 73.59% dari luas wilayah Jawa Barat. Luas lahan berupa sawah sebesar 939 353 ha atau 34.34% dari luas lahan pertanian di Jawa Barat dan 65.66% merupakan luas lahan pertanian bukan sawah sebesar 1 796 401 ha. Figueroa dan Garcia (2002) menyatakan tingginya peningkatan jumlah penduduk dapat mengancam ketersediaan pangan di berbagai Negara berkembang khususnya ketika jumlah populasi dunia meningkat dua kali lipat pada 20-25 tahun mendatang.

Ilunanwati (2011) menyebutkan luas lahan pertanian per kapita minimal adalah 0.14 ha/kapita atau sebesar 1400 m2/kapita. Kabupaten Tasikmalaya merupakan satu-satunya daerah di jawa Barat yang memenuhi standar tersebut. Beberapa daerah seperti perkotaan memiliki nilai lebih kecil dari 0.01 ha/kapita sehingga pembulatan angka menghasilkan nilai 0.00 ha/kapita. Selain itu, nilai rata-rata luas lahan pertanian per kapita Jawa Barat yaitu 0.06 ha/kapita berada dibawah rata-rata nasional yaitu 19.04 ha/kapita (lihat Tabel 2). Hasil analisis indikator input dan proses menunjukkan Jawa Barat belum tahan pangan.

(24)

11 Tabel 2 Indikator Input dan Proses Ketahanan Pangan menurut Kabupaten/Kota di

Jawa Barat tahun 2013 Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

(jiwa) Luas Lahan Pertanian/Kapita (ha/kap) Ketersediaan Pangan Skor PPH %AKE Kab. Bogor 5202097 0.03 64.00 47.30 Kab. Sukabumi 2408417 0.13 85.70 118.00 Kab. Cianjur 2225313 0.11 89.80 153.80 Kab. Bandung 3405475 0.04 68.20 72.70 Kab. Garut 2502410 0.10 76.50 264.10 Kab. Tasikmalaya 1720123 0.14 82.10 189.00 Kab. Ciamis 1541600 0.13 84.30 167.40 Kab. Kuningan 1042789 0.09 76.10 172.80 Kab. Cirebon 2093075 0.03 66.40 82.30 Kab. Majalengka 1170505 0.09 71.30 241.40 Kab. Sumedang 1125125 0.10 77.40 180.70 Kab. Indramayu 1672683 0.10 84.30 241.90 Kab. Subang 1496886 0.11 81.40 194.20 Kab. Purwakarta 898001 0.08 83.30 115.20 Kab. Karawang 2225383 0.06 79.70 148.30 Kab. Bekasi 3002112 0.03 36.80 48.10

Kab. Bandung Barat 1588781 0.06 78.10 77.00

Kota Bogor 1013019 0.00 13.60 5.70 Kota Sukabumi 311822 0.01 29.40 25.50 Kota Bandung 2458503 0.00 4.70 4.00 Kota Cirebon 301728 0.00 11.80 6.60 Kota Bekasi 2570397 0.00 9.60 3.40 Kota Depok 1962182 0.00 11.80 4.10 Kota Cimahi 570991 0.00 7.40 3.60 Kota Tasikmalaya 651676 0.02 33.00 37.20 Kota Banjar 179706 0.05 71.40 83.10 Jawa Barat 45340799 0.06 56.80 103.40 Indikator Outcome

Situasi konsumsi pangan di 26 kota/kabupaten di Jawa Barat belum bisa dikatakan baik. Hal ini mengacu pada standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan yang memiliki kriteria minimal untuk skor PPH adalah 90 dan %AKE sebesar 90%. Sementara, semua kota/kabupaten di Jawa Barat memiliki nilai dibawah standar pelayanan minimal (lihat Tabel 3). Purwaningsih (2008), Rachman dan Ariani (2008) mengatakan bahwa dari sisi kualitas, rata-rata kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia masih rendah dan didominasi oleh konsumsi sumber karbohidrat khususnya padi-padian. Ketidakseimbangan antara pola konsumsi

(25)

12

dengan ketersediaan pangan di masyarakat menjadi permasalahan utama diversifikasi pangan. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di setiap wilayah dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan. Sementara itu konsumsi pangan dilakukan oleh semua penduduk dan setiap saat dibutuhkan.

Data pada Tabel 3 menunjukkan daerah yang memiliki skor PPH konsumsi paling rendah yaitu Kabupaten Bandung Barat dengan skor 55.6 juga memiliki prevalensi stunting paling tinggi yaitu 52.5%. Rah et al. (2010) menyatakan kurangnya konsumsi pangan yang beragam merupakan predictor terjadinya stunting pada anak. Besarnya prevalensi stunting yang ada di Jawa Barat sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut WHO (2010) ada 4 cut-off point stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat yaitu kategori prevalensi rendah ≤ 20%, prevalensi sedang 20-29%, prevalensi tinggi 30-39% dan prevalensi sangat tinggi ≥ 40%. Sementara itu, di Jawa Barat tidak ada satu pun daerah yang memiliki prevalensi stunting dibawah 20%. Sebanyak 42.3% kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat termasuk kedalam kategori prevalensi tinggi yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar, sebanyak 38.5% termasuk kategori sangat tinggi yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kota Sukabumi, dan 19.2% kabupaten/kota termasuk kategori sedang yaitu Kabupaten Bogor, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Hasil menunjukkan lebih dari 80% kabupaten/kota di Jawa Barat tergolong prevalensi stunting tinggi dan sangat tinggi (lihat Tabel 3).

UNICEF dan WHO (2009) mengatakan bahwa 2.5 milyar penduduk dunia kurang mendapatkan fasilitas sanitasi yang layak. Setiap tahun, sekitar sembilan juta balita meninggal di dunia dan 1.5 juta diantaranya meninggal karena diare. Berdasarkan data diatas, rata-rata 3.87% balita di Jawa Barat mengalami diare dan rata-rata 6.35% rumah tangga di Jawa Barat belum memiliki fasilitas BAB. Cheng et al. (2012) menyatakan bahwa sanitasi berhubungan erat dengan kesehatan anak. Jika dilihat perbandingan rata-rata insidensi diare antara kabupaten dengan kota maka rata-rata insidensi diare di kota lebih besar yaitu 4.33% dibandingkan di kabupaten yaitu 3.62%. Hal ini disebabkan daerah rural lebih sering memanafaatkan pelayanan keasehatan seperti imunisasi, suplementasi, posyandu dan lain-lain. Selain itu, kontaminasi air dan aadanya slum area pada daerah urban menjadi penyebab insidensi diare yang lebih besar dibandingkan daerah rural. Ini sejalan dengan Rohmawati (2010) yang menyatakan persentase diare lebih besar terjadi pada daerah urban dibandingkan daerah rural. Sementara itu, proporsi rumah tangga yang mendapatkan fasilitas BAB berbanding terbalik dengan perbandingan insidensi diare antara kabupaten dan kota. Hal ini tidak sesuai dengan Waddington dan Snilsveit (2009) yang menyatakan intervensi berupa fasilitas sanitasi sangat efektif dalam mengurangi morbiditas diare. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya diare adalah umur anak, kebiasaan cuci tangan ibu, rendahnya edukasi kesehatan ibu, dan minum dari sumber air bersih (Rohmawati 2010).

Rata-rata insidensi diare di Jawa Barat yaitu 3.57%. Persentase tersebut lebih besar daripada rata-rata nasional yaitu 3.5%. Sementara proporsi rumah tangga

(26)

13 yang tidak memiliki fasilitas BAB yaitu 6.35% atau ada 6 rumah tangga per 100 rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB. Hal tersebut masih belum sesuai dengan Permenkes No. 3 tahun 2014 tentang sanitasi total berbasis masyarakat yang mengharuskan setiap rumah tangga memiliki fasilitas BAB. Hasil uraian indikator outcome menunjukkan Jawa Barat belum tahan pangan dan gizi.

Tabel 3 Indikator Outcome Ketahanan Pangan (Konsumsi Pangan dan Status Gizi) dan Insidensi Diare serta Fasilitas Sanitasi menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013

Kabupaten/Kota Konsumsi Prevalensi Stunting (%) Insidensi Diare (%) Proporsi RT tidak memiliki fasilitas BAB (%) Skor PPH %AKE Kab. Bogor 63.80 84.40 28.30 5.50 10.80 Kab. Sukabumi 64.60 88.70 37.10 3.90 10.50 Kab. Cianjur 59.30 85.40 41.70 5.30 11.40 Kab. Bandung 65.00 88.50 40.70 5.60 3.40 Kab. Garut 56.10 77.00 37.80 2.80 1.90 Kab. Tasikmalaya 57.90 79.40 41.70 2.50 5.30 Kab. Ciamis 63.80 86.90 41.40 2.10 10.10 Kab. Kuningan 67.50 91.00 42.00 2.40 4.40 Kab. Cirebon 63.60 86.40 42.50 3.40 8.80 Kab. Majalengka 67.60 94.40 29.80 3.60 11.40 Kab. Sumedang 74.20 98.40 41.10 4.80 3.50 Kab. Indramayu 77.00 95.00 36.10 3.40 10.80 Kab. Subang 68.20 95.50 40.40 3.00 17.20 Kab. Purwakarta 70.50 96.30 33.90 3.80 6.30 Kab. Karawang 63.00 89.00 34.90 1.90 11.80 Kab. Bekasi 70.50 87.90 30.30 3.70 14.80

Kab. Bandung Barat 55.60 71.70 52.50 3.90

3.10 Kota Bogor 71.10 84.10 29.80 7.90 4.30 Kota Sukabumi 65.00 81.70 41.90 6.10 0.80 Kota Bandung 71.50 80.60 32.20 2.20 0.00 Kota Cirebon 67.80 80.80 28.40 3.00 2.20 Kota Bekasi 75.80 82.90 26.60 4.40 0.30 Kota Depok 76.90 86.70 25.70 3.90 0.10 Kota Cimahi 75.10 84.50 28.20 4.00 0.00 Kota Tasikmalaya 56.30 83.40 30.70 2.80 8.00 Kota Banjar 72.40 86.00 39.20 4.70 3.80 Rata-rata 66.90 86.40 35.96 3.87 6.35

(27)

14

Hubungan Indikator Input dan Proses

Hubungan Luas Lahan Pertanian per Kapita dengan Ketersediaan Pangan Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara luas lahan pertanian per kapita dengan skor PPH ketersediaan (p = 0.000; r = 0.936) dan luas lahan pertanian per kapita dengan %AKE ketersediaan (p = 0.000; r = 0.896). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas lahan pertanian per kapita maka semakin besar pula ketersediaan pangan. Hal ini sesuai dengan Remans et al. (2014) tanpa mempertimbangkan kemungkinan adanya gagal panen, bencana alam dan jumlah petani atau produsen pangan. Berbagai jenis pangan yang ada di masyarakat berasal dari produk pertanian. Sistem pertanian berkelanjutan yang mempertimbangkan kebutuhan pangan dan gizi penduduk perlu diterapkan. Salah satu caranya adalah dengan manajemen lahan pertanian. Peningkatan kesuburan tanah dan luas lahan yang tersedia menjadi hal yang penting dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas produk pertanian. Adanya luas lahan pertanian per kapita mampu mencerminkan seberapa besar luas lahan yang diperlukan dalam rangka pemenuhan pangan penduduk. Ini sejalan dengan FAO (2012) bahwa pertumbuhan produksi pertanian seiring dengan peningkatan luas lahan pertanian. Ariani et al. (2003) juga menyebutkan peningkatan produksi dan ketersediaan pangan dipengaruhi oleh luas lahan yang tersedia. Ilunanwati (2011) menyebutkan luas lahan pertanian pangan yang harus dipertahankan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk adalah 0.14 ha/kapita.

Tabel 4 Hubungan Luas Lahan Pertanian per Kapita dengan Ketersediaan Pangan

Lahan Pertanian per Kapita

%AKE Ketersediaan Pangan

Skor PPH Ketersediaan Pangan ≥ 90% < 90% ≥ 90 < 90 ≥ 0.14 ha/kapita 1 0 0 1 < 0.14 ha/kapita 11 14 0 25 Total 12 14 0 26

Hubungan Ketersediaan Pangan dengan Konsumsi Pangan Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara skor PPH ketersediaan dengan skor PPH konsumsi (p>0.05) sedangkan %AKE ketersediaan dengan %AKE konsumsi terdapat hubungan (p = 0.022; r = 0.448). Uji hubungan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi pangan dilakukan dengan asumsi akses penduduk terhadap pangan lancar. Beragamnya pangan yang tersedia tidak menjamin beragam pula konsumsi pangan penduduk. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya dan persepsi pangan suatu penduduk. Budaya dan persepsi pangan menentukan jenis pangan yang dikonsumsi maupun yang tidak oleh suatu penduduk. Sementara itu, proporsi konsumsi sumber karbohidrat penduduk Indonesia lebih besar dibandingkan konsumsi pangan

(28)

15 lainnya. Hasil uji hubungan antara %AKE ketersediaan pangan dengan %AKE konsumsi pangan juga menunjukkan semakin besar ketersediaan energi maka semakin besar pula konsumsi energi. Tingginya konsumsi energi sebagian besar merupakan kontribusi dari tingginya konsumsi sumber pangan karbohidrat khususnya beras. Selain itu, tingginya kuantitas atau jumlah ketersediaan pangan suatu komoditas merupakan hasil dari tingginya permintaan penduduk terhadap pangan tersebut. Hal ini sejalan dengan Rosegrant (1997) dan Eickhout et al. (2006) yang menyatakan permintaan pangan serealia meningkat lebih dari 718 juta ton dengan meningkatnya konsumsi pangan per kapita menjadi 3050 kkal/hari pada tahun 2030. Sementara itu, 12 daerah atau 46.15% daerah yang ada di Jawa Barat memiliki %AKE ketersediaan pangan ≥ 90%. Hal tersebut menunjukkan Jawa Barat memiliki modal dasar persediaan pangan yang hampir setengahnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk. Hasil crosstabs dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5 Hubungan Ketersediaan Pangan dengan Konsumsi Pangan %AKE Ketersediaan

Pangan

%AKE Konsumsi Pangan

Total

%AKE ≥ 90% %AKE < 90%

%AKE ≥ 90% 5 7 12

%AKE < 90% 1 13 14

Total 6 20 26

Hubungan Antar Indikator Outcome

Hubungan Konsumsi Pangan dengan Prevalensi Stunting

Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara skor PPH konsumsi dengan prevalensi stunting (p = 0.008; r = -0.509). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor PPH konsumsi maka semakin sedikit prevalensi stunting dengan asumsi distribusi atau akses pangan dalam rumah tangga lancar dan keluarga dalam keadaan sehat. Hubungan antara %AKE konsumsi dengan prevalensi stunting tidak terdapat hubungan (p>0.05; r = -0.113). Berdasarkan nilai koefisien korelasi, terdapat kecenderungan semakin besar %AKE konsumsi maka semakin sedikit prevalensi stunting.

Tabel 6 Hubungan Konsumsi Pangan dengan Prevalensi Stunting

Hubungan p r

Skor PPH konsumsi-stunting 0.008 -0.509

% AKE konsumsi-stunting 0.584 -0.113

Hubungan yang signifikan antara skor PPH konsumsi pangan dengan prevalensi stunting sesuai dengan Rah et al. (2010) yang menyatakan kurangnya konsumsi pangan yang beragam merupakan predictor terjadinya stunting pada anak.

(29)

16

Skor PPH konsumsi merupakan suatu cara untuk mengetahui kualitas atau keberagaman konsumsi pangan penduduk. Stunting merupakan efek jangka panjang dari kurangnya asupan zat gizi makro maupun mikro. Sumber zat gizi tersebut didapat dari berbagai jenis pangan dan tidak ada satu jenis pangan yang mengandung seluruh zat gizi secara bersamaan yang dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu, penting mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam.

Hubungan RT Tanpa Fasilitas BAB, Insidensi Diare dan Prevalensi Stunting Uji hubungan antara proporsi rumah tangga tanpa fasilitas BAB dengan insidensi diare dilakukan dengan asumsi bahwa pangan yang dikonsumsi keluarga aman, sumber air minum bebas dari cemaran dan keluarga dalam keadaan sehat. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara proporsi rumah tangga tanpa fasilitas BAB dengan insidensi diare (p>0.05). Hal ini tidak sesuai dengan Mengistie et al. (2013), Guerrant et al. (2012), Cheng et al. (2012), Waddington dan Snilsveit (2009), Emch (1999), dan Esrey et al. (1991) yang menyatakan bahwa sanitasi berhubungan erat dengan diare dan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas diare perlu peningkatan sanitasi yang layak. Diduga hal ini karena terjadinya diare dipengaruhi banyak faktor diantaranya frekuensi praktik cuci tangan pakai sabun, pemberian ASI eksklusif, budaya atau pola asuh ibu, sumber makanan dan minuman yang sehat serta aman. Hal ini sesuai dengan Emch (1999) dan Rohmawati (2010) yang menyatakan perlu adanya pertimbangan sosial-ekonomi serta sumber air yang bersih untuk minum.

Selain itu, hasil analisis korelasi Pearson antara insidensi diare dengan prevalensi stunting menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Uji hubungan ini dilakukan dengan asumsi konsumsi pangan sudah cukup dari segi kualitas dan kuantitas serta hygiene-sanitasi yang baik. Hal tersebut tidak sesuai dengan Brown (2003), Caulfield et al. (2004) yang menyatakan sebagian besar kematian yang terjadi pada balita yang mengalami masalah gizi disebabkan oleh diare dan Checkley et al. (2008) yang menyatakan diare berhubungan stunting dan tingginya diare meningkatkan risiko stunting. Selain diare, banyak hal yang menyebabkan stunting diantaranya rendahnya kesehatan dan gizi maternal, pendeknya jangka waktu kehamilan, hamil pada masa remaja yang kemudian mempengaruhi availabilitas zat gizi pada janin serta ketidakseimbangan praktik pemberian makan pada janin dan anak, jenis pekerjaan ayah dan ibu, dan kemiskinan (WHO 2014 dan Devi 2010).

Tabel 7 Hubungan Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB, Insidensi Diare dan Prevalensi Stunting

Hubungan p r

RT tanpa fasilitas

BAB-insidensi diare 0.374 -0.128

(30)

17 Perumusan Masalah dan Alternatif Program

Hubungan berbagai variabel dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Variabel yang dimasukkan pada analisis ini adalah konsumsi pangan berupa skor PPH dan %AKE, insidensi diare dan prevalensi stunting sehingga didapatkan persamaan Y = 70.601-0.518x dengan R2=0.228 dimana Y adalah prevalensi stunting, X adalah skor PPH konsumsi. Meskipun persamaan tersebut hanya mampu menjelaskan 22.8% masalah prevalensi stunting tetapi persamaan tersebut layak untuk digunakan berdasarkan nilai p uji ANOVA <0.05 yaitu p = 0.008. Persamaan tersebut dapat menjadi acuan dalam penentuan kebijakan terkait penurunan prevalensi stunting dengan meningkatkan peningkatan skor PPH konsumsi atau peningkatan kualitas konsumsi pangan penduduk serta penyusunan alternatif program yang akan dijalankan oleh pemerintah daerah Jawa Barat selanjutnya. Permasalahan lain yang ada di Jawa Barat meliputi luas lahan pertanian per kapita yang sempit, kualitas ketersediaan dan konsumsi pangan rendah, masih tingginya prevalensi stunting dan masih adanya rumah tangga yang belum mempunyai fasilitas BAB. Tabel rumusan masalah dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 8 Rumusan Masalah

Indikator Standar/Ideal Kondisi Aktual Masalah Lahan pertanian

per kapita ≥ 0.14 ha/kapita 0.06 ha/kapita

Luas lahan pertanian per kapita masih sempit Kualitas ketersediaan pangan Skor PPH ≥ 90 56.80 Ketersediaan pangan belum beragam Kualitas

konsumsi pangan Skor PPH ≥ 90 66.90

Konsumsi pangan belum beragam Prevalensi Stunting < 30% 35.96% Prevalensi stunting masih tinggi

Fasilitas sanitasi Seluruh penduduk memiliki fasilitas

BAB

6.35% tidak memiliki fasilitas

BAB

Masih ada rumah tangga tidak memiliki fasilitas BAB

Sesuai dengan persamaan, meningkatnya skor PPH konsumsi dapat menurunkan prevalensi stunting. Tujuan kebijakan KUKP 2010-2014 untuk mendorong perilaku konsumsi pangan dengan program kegiatan berupa sosialisasi dan promosi serta kampanye diversifikasi konsumsi pangan melalui berbagai media massa cetak, elektronik dan secara langsung ke masyarakat serta memasukkan materi tentang pangan beragam, bergizi dan seimbang dalam kurikulum sekolah merupakan program pemerintah pusat dalam upaya peningkatan skor PPH konsumsi pangan. Program sosialisasi, promosi dan pemberian kurikulum tentang diversifikasi pangan dengan tambahan PHBS harus terus berkelanjutan agar masyarakat terbiasa dengan pola hidup sehat dan bersih dalam rangka mencegah terjadinya gizi buruk di masyarakat.

(31)

18

Selain itu, berdasarkan Oshaug dan Haddad (2002), Johns dan Eyzaguirre (2002) dan Hardono (2014) perlu dilakukan pengembangan produksi, industri dan konsumsi pangan lokal serta menyelaraskan kebijakan industri dan konsumsi pangan dengan kebijakan konsumsi pangan yang diikuti penyediaan produk pangan lokal yang mampu bersaing dengan produk asing,perlu adanya pemeliharaan gaya hidup dan pengetahuan lokal, konservasi alam liar dan sumberdaya yang dapat ditanami serta keberlanjutan lingkungan karena ketika akses penduduk terhadap sumberdaya alam yang krusial berkurang, kemungkinan penduduk menderita kurang energi-protein dan defisiensi zat gizi mikro.

Persentase pengeluaran penduduk miskin cenderung lebih besar untuk pangan sementara pangan yang bergizi baik identik dengan pangan yang mahal. Melihat hubungan antara ketidakmampuan masyarakat dari segi akses terhadap pangan dengan gizi maka perlu adanya peningkatan kemampuan petani dalam mengelola pertanian. Ketika petani mampu menyediakan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dengan menyediakan pangan yang bergizi, aman, enak, serta bergengsi, maka secara perlahan akan meningkatkan pendapatan petani itu sendiri dan meningkatkan disposable income daerah urban dan perekonomian daerah pedesaan.

Meningkatnya pendapatan penduduk mampu meningkatkan permintaan buah-buahan, sayuran dan pangan hewani yang kaya akan zat gizi. Selain itu meningkatnya pendapatan juga meningkatkan konsumsi gula, garam, lemak yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit jantung coroner, diabetes dan hipertensi. Hal ini meningkatkan permintaan produk rendah lemak, daging tanpa lemak, buah dan sayuran segar, serta lemak tak jenuh dan gizi masyarakat menjadi pendorong dalam peningkatan kualitas produk pertanian dalam mengembangkan berbagai produk yang sesuai preferensi konsumen.

Sementara itu, beberapa penelitian dan program intervensi telah fokus pada penyediaan mikronutrien seperti vitamin A atau mineral melalui diversifikasi hasil panen, dan manajemen lahan tetapi belum terdengar adanya program pemerintah dalam pemberian intervensi terkait masalah stunting. Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang terkadang terabaikan di masyarakat dan masih banyak masyarakat yang mengganggap stunting adalah hal yang lumrah dan oleh sebab itu pemerintah perlu mempertimbangkan adanya intervensi pada anak yang terkena stunting.

Kebijakan dan strategi yang akan diterapkan pemerintah perlu memperhatikan masing-masing kondisi daerah kabupaten/kota serta formulasi atau persamaan hasil regresi. Oleh karena itu, kabupaten/kota dikelompokkan menjadi empat strata berdasarkan tingkat kualitas konsumsi pangan (cut off point 90) dan prevalensi stunting pada balita (cut off point 32%) menurut target RANPG 2011-2015. Strata 1 adalah kabupaten/kota dengan prevalensi stunting <32% dan skor PPH ≥90, strata 2 adalah kabupaten/kota dengan prevalensi stunting <32% dan skor PPH tidak ada yang mencapai angka 90, strata 3 adalah kabupaten/kota dengan prevalensi stunting ≥32% dan skor PPH ≥90 dan strata 4 adalah kabupaten/kota dengan prevalensi stunting ≥32% dan skor PPH tidak ada yang mencapai angka 90 (lihat Tabel 9). Sesuai RANPG 2015-2019, kebijakan yang dapat diterapkan pada semua strata adalah melanjutkan penurunan prevalensi stunting pada balita dan meningkatkan keberagaman konsumsi pangan. Strategi yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut.

(32)

19 1. Promosi dan kampanye dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan sehingga terjadi diversifikasi konsumsi pangan;

2. Membuat produk bernilai gizi tinggi yang dapat diakses masyarakat secara ekonomi;

3. Fortifikasi zat gizi pada produk, seperti terigu, minyak goreng, garam; 4. Edukasi dan promosi terkait jajanan sehat;

5. Imunisasi dasar lengkap bagi bayi dan anak;

6. Mempromosikan ASI eksklusif dan pola makan gizi seimbang;

7. Suplementasi tablet besi-folat/ Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) bagi ibu hamil dan remaja putri;

8. Suplementasi vitamin A pada anak; 9. PMT pada ibu KEK;

10.Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui penimbangan di Posyandu dan pengisian kartu menuju sehat;

11.Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat;

12. Pelayanan berkelanjutan pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak baduta. Tabel 9 Stratifikasi Kabupaten/Kota Berdasarkan Tingkat Prevalensi Stunting dan

Kualitas/Kuantitas Konsumsi Pangan

Status Skor PPH Konsumsi

≥90 Skor PPH Konsumsi <90 Kebijakan Prevalensi stunting <32% Strata 1 - Strata 2 Kab. Bogor Kab. Majalengka Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Melanjutkan penurunan prevalensi stunting pada balita dan meningkatkan keberagaman konsumsi pangan Prevalensi stunting ≥32% Strata 3 - Strata 4 Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Subang Kab. Indramayu Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bandung Barat Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Banjar Mempercepat penurunan prevalensi stunting pada balita dan peningkatan konsumsi dan aksesibiltas pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat

(33)

20

Program diatas dapat diterapkan pada permasalahan strata 2 dan strata 4. Penanganan strata 4 lebih fokus pada percepatan penurunan prevalensi stunting dengan memantau secara lebih intensif implementasi program terkait dengan pengentasan masalah stunting, peningkatan aksesibiltas pangan berbasis sumberdaya lokal yang beragam, dan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan pada ibu dan anak sejak janin dalam kandungan, persalinan, neonatal, bayi dan anak baduta dengan paket intervensi gizi efektif.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Luas lahan pertanian per kapita di Jawa Barat sempit, kualitas ketersediaan dan konsumsi pangan masih rendah, prevalensi stunting masih tinggi, dan masih ada penduduk yang tidak memiliki fasilitas sanitasi. Terdapat hubungan antara luas lahan per kapita dengan ketersediaan panngan berupa skor PPH dan %AKE, %AKE ketersediaan dengan %AKE konsumsi pangan, dan skor PPH konsumsi pangan dengan prevalensi stunting. Tidak terdapat hubungan antara skor PPH ketersediaan dengan skor PPH konsumsi pangan, %AKE konsumsi pangan dengan prevalensi stunting, fasilitas sanitasi dengan insidensi diare, dan insidensi diare dengan prevalensi stunting. Persamaan hasil regeresi linear yaitu Y = 70.601-0.518x yang berarti penurunan skor PPH sebesar 0.518 akan menaikkan prevalensi stunting sebesar 1%. Kebijakan yang dapat diterapkan dalam rangka penanggulangan masalah yang ada yaitu mempercepat penurunan prevalensi stunting pada balita dan peningkatan konsumsi dan aksesibiltas pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Saran

Perlu adanya peningkatan luas lahan pertanian dan program diversifikasi pangan, percepatan penurunan prevalensi stunting, peningkatan hygiene-sanitasi serta meningkatkan ketersediaan pangan dan perubahan perilaku konsumsi pangan dalam rangka perbaikan status gizi penduduk.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. Jawa Barat Dalam Angka 2014.

[FAO] Food Agriculture Organization. 2012. World Agriculture Towards 2030/2050 [Internet]. (www.fao.org/economic/esa). Diakses pada tanggal 15 Februari 2015.

(34)

21 [RI] Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian.

[UNICEF/WHO] The United Nations Children’s Fund/World Health Organization. Diarrhoea: Why Children Are Still Dying and What Can Be Done. 2009. New York (USA): UNICEF/WHO.

[WHO] World Health Organization. WHA Global Nutrition Targets 2025: Stunting Policy Brief. 2014. WHO.

Ariani M, Malian AH, Mardianto S. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Brown KH. 2003. Diarrhea and malnutrition. The Journal of Nutrition. 03: 0022-3166.

Caulfield LE, Onis M, Blossner M, Black RE. 2004. Undernutrition as an underlying cause of child deaths associated with diarrhea, pneumonia, malaria, and measles. Am J Clin Nutr. 80:193–8.

Checkley W, Buckley G, Gilman RH, Assis AMO, Guerrant RL, Morris SS, Molbak K, Branth PV, Lanata CF, Black RE. 2008. Multi-country analysis of the effects of diarrhoea on childhood stunting. International Journal of Epidemiology. 37:816–830.

Cheng JJ, Wallace CJS, Watt S, Newbold BK, Mente A. 2012. An ecological quantification of the relationships between water, sanitation and infant, child, and maternal mortality. Environmental Health. 11:4.

Devi M. 2010. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita di pedesaan. Teknologi dan Kejuruan. 33(2): 183-192.

Eickhout B, Bouwman AF, Van Zeits H. 2006. The role of nitrogen in world food production and environmental sustainability. Agric Ecosyst Environ. 116: 4-14. Emch M. 1999. Diarrheal disease in Matlab, Bangladesh. Social Science and

Medicine. 49:519-530.

Esrey SA, Potash JB, Roberts L, Shiff C. 1991. Effects of improved water supply and sanitation of ascariaris, diarrhea, dracunculiasis, hookworm infection, schistosomiasis, and thracoma. Bulletin of World Health Organization. 69(5): 609-621.

Figueroa R, Garcia RR. 2002. “Nutrition and Population” In Nutrition: A Foundation for Development. Geneva: ACC/SCN.

Guerrant RL, Deboer MD, Moore SR, Scharf SJ, Lima AAM. 2012. The impoverished gut—a triple burden of diarrhoea, stunting and chronic disease. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 10: 220–229.

Hamid Y, Setiawan B, Suhartini. 2013. Analisis pola konsumsi pangan rumah tangga: studi kasus di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan provinsi Kalimantan Timur. AGRISE. 13(3).

Hardono GS. 2014. Strategi pengembangan diversifikasi pangan lokal. Analisis Kebijakan Pertanian. 12(1): 1-17.

Ilunanwati, E. 2011. Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Johns T, Eyzaguirre PB. 2002. “Nutrition and The Environment” In Nutrition: A Foundation for Development. Geneva: ACC/SCN.

(35)

22

Maxwell S, Frankenberger TR. 1992. Households Food Security: Concepts, Indicators, Measurement. New York (USA): UNICEF dan IFAD Pr.

Mengistie B, Berhane Y, Worku A. 2013. Prevalence of diarrhea and associated risk factors among children under-five years of age in Eastern Ethiopia: A cross-sectional study. Open Journal of Preventive Medicine. 3(7): 446-453.

Oshaug A, Haddad L. 2002. “Nutrition and Agriculture” In Nutrition: A Foundation for Development. Geneva: ACC/SCN.

Purwaningsih Y. 2008. Ketahanan pangan: Situasi, permasalahan, kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 9(1): 1 – 27.

Rachman HPS, Ariani M. 2008. Penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia: Permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program. Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2):140-145.

Rah JH, Akhter N, Semba RD, de Pee S, Bloem MW, Campbell AA, Moench-Pfanner R, Sun K, Badham J, Kraemer K. 2010. Low dietary diversity is a predictor of child stunting in rural Bangladesh. European of Journal Clinical Nutrition. 64: 1393-1398.

Remans R, Wood SA, Saha N, Anderman TL, DeFries RS. 2014. Measuring nutritional diversity of national food supplies. Global Food Security. 3:174–182. Rohmawati N. 2010. Factors associated with diarrhea among under-five years old children in Banten Province Indonesia: A secondary analysis of Indonesian national socio-economic survey 2007 and basic health research 2007 [tesis]. Thailand: Chulalongkorn University.

Rosegrant MW. 1997. Water Resources in The 21st Century: Challenges and Implication for Action. Food, Agriculture and The Environment Discussion Paper #20. Washington DC: International Food Policy Research Institute. Santosa IGN, Adnyana GM, Dinata IKK. 2011. Di dalam: Santosa IGN, editor.

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Ketahan Pangan Beras. Seminar Nasional Budidaya Pertanian; 2011 Juli 7; Bengkulu, Indonesia.

Waddington H, Snilstveit B. 2009. Effectiveness and sustainability of water, sanitation, and hygiene intervention in combating diarrhea. Journal of Development Effectiveness. 1(3): 295-335.

(36)

23

LAMPIRAN

Tabel 10 Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian

Variabel Shapiro-Wilk Statistik df Sig. Skor PPH Ketersediaan .807 26 .000 %AKE Ketersediaan .915 26 .035 Skor PPH Konsumsi .954 26 .286 %AKE Konsumsi .977 26 .809 Lahan Pertanian/kapita .909 26 .000 Insidensi Diare .937 26 .114

Proporsi RT Tanpa Fasilitas BAB .930 26 .076

Prevalensi Stunting .929 26 .074

Tabel 11 Hasil Uji Correlation Variabel Penelitian

Hubungan p r Lahan-skor PPH 0.000 0.936 Lahan-%AKE 0.000 0.896 Skor PPH ketersediaan-skor PPH konsumsi 0.055 -0.380 %AKE ketersediaan-%AKE konsumsi 0.022 0.448

Skor PPH konsumsi-stunting 0.008 -0.509

% AKE konsumsi-stunting 0.584 -0.113

RT tanpa fasilitas

BAB-insidensi diare 0.374 -0.128

Insidensi diare-stunting 0.706 -0.708

Tabel 12 Hasil Uji Linear Regression Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate 1 .537a .288 .191 5.94143 2 .535b .286 .224 5.81877 3 .509c .259 .228 5.80656

a. Predictors: (Constant), %AKE Konsumsi, Insidensi Diare, Skor PPH Konsumsi b. Predictors: (Constant), %AKE Konsumsi, Skor PPH Konsumsi

Gambar

Gambar 1 Kerangka Analisis Situasi Ketahanan Pangan Kota/Kabupaten di  Provinsi Jawa Barat
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data
Tabel 3 Indikator Outcome Ketahanan Pangan (Konsumsi Pangan dan Status Gizi)  dan  Insidensi  Diare  serta  Fasilitas  Sanitasi  menurut  Kabupaten/Kota  di  Jawa Barat tahun 2013
Tabel 4 Hubungan Luas Lahan Pertanian per Kapita dengan Ketersediaan Pangan
+6

Referensi

Dokumen terkait

9 Setiap orang yang telah menjadi anak Allah, tidak berbuat dosa lagi, sebab hidup baru yang diberikan Allah kepadanya, ada di dalam dia.. Ia tidak dapat terus berbuat dosa sebab

Mayoritas perawat mengetahui bidang organisasi profesi PPNI, memiliki sikap yang mendukung tetapi belum disertai dengan tindakan yang aktif ikut serta

– Memberi penjelasan tentang distribusi chi kuadrat, tujuan dan penggunaan uji chi kuadrat pada kondisi atau kasus yang tepat Tujuan Instruksional KhususB. Mahasiswa

Dari beberapa permasalahan diatas, maka penulisan tugas akhir ini dibuat untuk mengembangkan media pembelajaran dengan menggunakan adobe flash CS6 pada materi kalkulus

VISI, MISI, DAN NILAI KAMI Our Vision, Mission, and Values KEUNGGULAN KAMI Our Expertise PRODUK KAMI Our Products PROYEK KAMI Our Projects 04 06 08 10 12 14 16.. Sarana Metal Indah

Untuk menganalisis kinerja keuangan dan memperoleh bukti empiris Beta fundamental berpengaruh signifikan positif terhadap return saham pada perusahaan

Skenario kedua adalah timbulan sampah terlayani dikurangi dengan timbulan sampah yang masuk dalam upaya reduksi bank sampah dan komposter.. Pada skenario ketiga, timbulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada novel Dendam si Yatim Piatu karya sintha Rosse mengenai aktualisasi diri tokoh utama dan nilai pendidikan,