• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE Sterilisasi Eksplan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Hasil

Induksi Kalus

Induksi terhadap kalus tidak dijumpai pada media kontrol (MS) dan media MS+0.1 ppm kinetin. Media perlakuan MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin dengan MS+1 ppm 2,4-D tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam bobot kalus (Gambar 1).

Kalus yang terbentuk pada media dengan kombinasi MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin memberikan kalus yang lebih remah (friable) jika dibandingkan dengan media MS+1 ppm 2,4-D (Gambar 2).

Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai

Proses pembentukan kultur sel membutuhkan waktu yang cukup lama dari inokulasi hingga mencapai ukuran agregat (mikrokoloni) yang seragam. Secara umum dibutuhkan waktu kurang lebih 3-4 minggu sejak inokulasi media dengan kalus. Penggunaan kalus yang berukuran besar seringkali mengakibatkan jumlah agregat sel

pada setiap cawan petri dan diinkubasi selama 16 jam pada suhu 25 °C dalam gelap. Setelah itu, media pada tiap cawan petri diganti dengan media perlakuan sebanyak 2 mL.

Perlakuan berupa cekaman pH yaitu pH 5.8 (pH media pemeliharaan), pH 6.0, pH 4.0 dan pH 4.0+ 1,2 mM Al3+. Cekaman Al3+

diberikan dalam bentuk AlCl3. Tepat sebelum dilakukan penggantian media dengan media perlakuan, diambil sebanyak 100 µL media sebagai data jam ke 0. Selanjutnya penga-matan produksi H2O2 dilakukan pada jam ke 1, 3 dan 6 setelah penggantian media dengan media perlakuan. Pemberian cekaman Al3+ dengan konsentrasi 1,2 mM mengacu pada metode Anwar (1999) dan Mashuda (2006), yang menunjukkan bahwa antara perlakuan cekaman Al3+ pada konsentrasi 1,2 mM dan 1,6 mM tidak berbeda nyata.

Agitasi telah diketahui mampu meningkatkan produksi H2O2 pada kultur suspensi sel kedelai (Legendre et al. 1993a). Oleh karena itu induksi H2O2 diberikan secara endogen dengan praperlakuan agitasi selama 16 jam. Setelah inkubasi, dilakukan pengu-kuran dengan tahapan seperti disebutkan di atas. Tiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali.

Perlakuan Cekaman Al3+ dengan Aktivator Protein G

Mastoparan merupakan aktivator spesifik protein heterotrimerik G subunit α. Pemberian mastoparan hanya dilakukan pada perlakuan cekaman pH 4.0 dan pH 4.0+1.2 mM Al3+. Konsentrasi Mastoparan-7 (Sigma-Aldrich) yang digunakan sebesar 30 µM. Sebagai kontrol adalah media perlakuan cekaman pH 4.0 dan pH 4.0+1.2 mM Al3+ tanpa penam-bahan mastoparan. Pada jam ke 0, 1, 3 dan 6 dilakukan pengukuran H2O2 dan jumlah sel mati diukur pada jam ke 0 dan jam ke 6. Tiap perlakuan diulang sebanyak dua kali.

Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur Suspensi Sel.

Deteksi dan kuantifikasi terhadap kandungan H2O2 dilakukan menurut He et al. (2000) dan Suharsono et al. (2002b). Sebanyak 100 µL cairan medium diambil pada jam ke 0, 1, 3, dan 6 pada tiap perlakuan. Cairan medium kemudian direaksikan dengan 1 mL larutan penyangga Xylenol Orange (Dojindo) (Lampiran 2) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam. Sampel kemudian disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan sel-sel yang terbawa pada pengambilan sampel.

Absor-bansi diukur dengan spektrofotometer Cecil CE 2020 (Cecil Instrument Limited) pada λ 560 nm dengan menggunakan H2O2 sebagai standar.

Pengukuran Jumlah Sel Mati

Pengukuran terhadap jumlah sel yang mati dilakukan menurut Suharsono (2002a). Sebanyak 200 µL suspensi sel dari tiap perlakuan diambil pada jam ke 0 sebelum penggantian media dan jam ke 6 setelah per-lakuan. Suspensi sel diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 2 500 rpm selama 5 menit. Supernatan kemudian dibuang dan endapan sel diberi 1 mL larutan Evans blue (Sigma-Aldrich) 0.04% (b/v) dalam air dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang.

Sel kemudian diendapkan pada kecepatan 2 500 rpm selama 5 menit, supernatan di-buang dan endapan sel dibilas dengan 1 mL larutan 100 µM CaCl2 (pH 5.6). Pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali untuk meng-hilangkan kelebihan zat pewarna Evans blue. Kemudian sel dicuci dengan 1 mL larutan 1% SDS (b/v) dalam metanol 50% (v/v) dan di-inkubasi selama 2 jam untuk mengeluarkan zat warna Evans blue dari dalam sel yang mati. Absorbansi dari zat pewarna Evans blue yang dilepaskan dari sel yang mati kemudian diukur dengan spektrofotometer pada λ 595 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Induksi Kalus

Induksi terhadap kalus tidak dijumpai pada media kontrol (MS) dan media MS+0.1 ppm kinetin. Media perlakuan MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin dengan MS+1 ppm 2,4-D tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam bobot kalus (Gambar 1).

Kalus yang terbentuk pada media dengan kombinasi MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin memberikan kalus yang lebih remah (friable) jika dibandingkan dengan media MS+1 ppm 2,4-D (Gambar 2).

Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai

Proses pembentukan kultur sel membutuhkan waktu yang cukup lama dari inokulasi hingga mencapai ukuran agregat (mikrokoloni) yang seragam. Secara umum dibutuhkan waktu kurang lebih 3-4 minggu sejak inokulasi media dengan kalus. Penggunaan kalus yang berukuran besar seringkali mengakibatkan jumlah agregat sel

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Media B obot k a lus ( g) 2,4-D + Kinetin 2,4-D

Gambar 1 Bobot kalus pada perlakuan berbagai ZPT (n = 50).

yang terlepas ke media sedikit sehingga memperlama waktu pembentukan suspensi sel.

Pada media MS organik minimal dengan 2 g/L Bacto Tryptone dan 3 ppm 2,4-D dan 0.1 ppm kinetin (pH 5.8), kultur suspensi sel mencapai volume sel 10% PCV setelah 12 hari (Gambar 3). Konsentrasi sel yang digunakan untuk penelitian ini mengacu kepada Legendre et al. (1992).

(a) (b)

Gambar 2 Kalus yang terbentuk pada media (a) MS+1 ppm 2,4-D ( = 50 mm) dan (b) MS+1 ppm 2,4-D+0.1 ppm Kinetin ( = 50 mm). 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Hari ke-% P C V

Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur Suspensi Sel

Pengukuran dilakukan pertama kali dengan kondisi praperlakuan inkubasi 16 jam tanpa agitasi dalam gelap, pada semua perlakuan pH media, yaitu pH 5.8 (pH media pemeliharaan), pH 6, pH 4 dan pH 4+ Al3+ 1.2 mM untuk melihat respon sel.

Pada media dengan pH 5.8, yang merupakan pH untuk media pemeliharaan kultur sel, tidak teramati perubahan drastis pada produksi H2O2 dari jam ke jam setelah penggantian media. Media dengan pH 6 menyebabkan fluktuasi terhadap produksi

H2O2 dimana tingkat produksinya menurun dari jam ke 1 hingga jam ke 3, kemudian meningkat sampai jam ke 6. Pada media dengan pH 4 dan pH 4+Al3+ secara umum terlihat memiliki kemiripan pola tingkat produksi H2O2, dimana terjadi penurunan produksi H2O2 pada jam ke 1 setelah peng-gantian media dengan media perlakuan. Pola tersebut diikuti dengan kenaikan tingkat produksi H2O2 pada jam ke 3 dan ke 6. Tingkat produksi H2O2 pada perlakuan media ber-pH 4 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pH 4+Al3+ (Gambar 4).

0 1 2 3 4 5 6 pH 5,8 pH 6 pH 4 pH 4+Al Media K o n sen trasi H 2 O2 M) Jam ke-0 Jam ke-1 Jam ke-3 Jam ke-6

Gambar 4 Produksi H2O2 pada berbagai pH media tanpa agitasi (n=3).

0 1 2 3 4 5 6 pH 5,8 pH 6 pH 4 pH 4+Al Media K o n sen trasi H 2 O2 M) Jam ke-0 Jam ke-1 Jam ke-3 Jam ke-6

Gambar 5 Produksi H2O2 pada berbagai pH media dengan perlakuan agitasi selama 16 jam (n=3).

Pengamatan kemudian dilakukan pada kultur suspensi sel yang diberi praperlakuan agitasi selama 16 jam guna memberikan induksi H2O2 endogen pada sel kedelai.

Pada perlakuan inkubasi dengan praper-lakuan agitasi selama 16 jam, produksi H2O2

pada pH 5.8 cenderung konstan dari jam ke jam, dan pada pH 6 menunjukkan kecen-derungan kenaikan, maka hal sebaliknya justru teramati pada perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+. Pada kedua perlakuan tersebut, ter-amati adanya penurunan tingkat produksi H2O2 dari jam ke 1, untuk kemudian konstan

hingga jam ke 6. Tetapi tingkat produksi H2O2

pada perlakuan pH 4+Al3+ lebih rendah dibandingkan dengan pH 4 (Gambar 5). Perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+ pada inkubasi dengan praperlakuan agitasi maupun tidak terlihat cenderung menekan produksi H2O2, dan produksi H2O2 pada pH 4+Al3+ lebih rendah dari pH 4.

Oleh karena itu untuk melihat keter-libatan protein heterotrimerik Gα dalam regu-lasi produksi H2O2 karena cekaman Al3+, maka digunakan Mastoparan 7, suatu aktiva-tor Gα. Perlakuan dengan mastoparan

dila-kukan pada media dengan pH 4 dan pH 4+Al3+ dengan agitasi selama 16 jam.

Dengan pemberian mastoparan, didapati adanya kesamaan pola produksi H2O2 antara perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+, juga terlihat bahwa pemberian mastoparan tidak mengubah pola produksi H2O2 pada perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+ pada jam ke 1 dan ke 3, dimana

tingkat produksi H2O2 relatif sama dengan kontrol (tanpa mastoparan). Pada jam ke enam baru dijumpai adanya lonjakan produksi H2O2, yang berbeda dengan yang teramati pada kontrol (Gambar 6). 0 1 2 3 4

pH 4 pH 4+Mastoparan pH 4+Al pH 4+Al+Mastoparan Media K onsentrasi H 2 O2 M) Jam ke-0 Jam ke-1 Jam ke-3 Jam ke-6

Gambar 6 Produksi H2O2 pada media kontrol dan mastoparan 30 µM dengan perlakuan agitasi selama 16 jam (n=2).

Pengukuran Jumlah Sel Mati

Pewarnaan Evans blue adalah pewarnaan selektif guna mengidentifikasi sel yang telah mati. Sel yang mati akan berwarna biru, sedangkan sel yang hidup akan bewarna jernih (Gambar 7). Pengukuran terhadap jumlah sel yang mati dilakukan pada awal perlakuan (jam ke 0) dan setelah jam ke 6. Pada kontrol terlihat tidak terjadi peningkatan kematian sel yang signifikan, meskipun setelah 6 jam perlakuan tingkat kematian pada media pH 4+Al3+ lebih tinggi dibandingkan dengan media pH 4 (Gambar 8). Tetapi perlakuan pemberian 30 µM mastoparan menyebabkan peningkatan kematian sel yang signifikan pada jam ke 6 dibandingkan dengan kontrol (tanpa mastoparan). Namun tingkat kematian

sel pada media pH 4 lebih tinggi dibandingkan dengan media pH 4+Al3+ (Gambar 8).

Gambar 7 Sel yang telah diwarnai dengan 0,04 % Evans blue, (A) sel hidup, (B) sel mati ( = 50 µm). 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

pH 4 pH 4+Mastoparan pH 4+Al pH 4+Al+Mastoparan

Media

Intensitas kematian sel (A

bsorbansi = 595 nm)

Jam ke-0 Jam ke-6

Gambar 8 Tingkat kematian sel pada perlakuan kontrol dan mastoparan (n=2).

Pembahasan Induksi Kalus

A

B

Pada penelitian ini kombinasi media MS dengan ZPT 1 ppm 2,4-D+0.1 ppm kinetin pada media inisiasi kalus mendapatkan kalus yang tidak hanya tumbuh cepat namun memi-liki karakteristik yang sesuai untuk kultur sel suspensi, yaitu kalus yang lebih remah ( friab-le) dibandingkan dengan perlakuan hanya de-ngan 1 ppm 2,4-D. Pemberian kombinasi ki-netin (kelompok sitokinin) dan 2,4-D (ke-lompok auksin) mampu meningkatkan pem-bentukan kalus.

Hal ini sesuai dengan Moore (1979) yang menyatakan bahwa kombinasi yang sesuai antara kedua ZPT tersebut dibutuhkan guna mendapatkan kalus yang remah. Bhojwani & Razdan (1996) menyatakan bahwa diferen-siasi akar dan tajuk lebih dipengaruhi oleh interaksi kuantitatif antara auksin dan sito-kinin, sehingga jika rasio antara kedua ZPT tersebut condong lebih tinggi ke salah satu zat akan memicu induksi akar atau tajuk. Namun jika rasio antar keduanya seimbang, maka yang terinduksi adalah kalus dengan sifat yang remah.

Auksin merupakan kelompok hormon yang menginduksi pembelahan dan peman-jangan sel, sedangkan sitokinin berperan da-lam merangsang pembelahan sel (Moore 1979). Interaksi diantara keduanya pada rasio yang sesuai menyebabkan pembelahan sel yang ekstensif. Efek pelemahan dinding sel oleh auksin, akan mempermudah dalam proses sitokinesis serta sintesis dinding sel. Karena dinding sel selalu dalam keadaan lemah, diduga hal inilah yang menimbulkan struktur kalus yang remah.

Kalus yang remah (friable) lebih sesuai untuk digunakan dalam pembuatan kultur suspensi sel (Bhojwani & Razdan 1996) dika-renakan sel-sel pada kalus tersebut tersusun longgar sehingga dengan agitasi rendah pada medium cair akan menyebabkan sel-sel ter-sebut terlepas satu sama lain dan membentuk agregat-agregat (mikrokoloni) sel yang lebih kecil. Dengan agitasi yang kontinyu diha-rapkan ukuran agregat tersebut akan menjadi lebih kecil sehingga membentuk suspensi sel yang lebih homogen.

Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai

Kultur suspensi sel dipelihara pada me-dium cair dengan konsentrasi 2,4-D yang le-bih tinggi, sebesar 3 ppm, dibandingkan dengan media induksi kalus. Peningkatan kon-sentrasi auksin ini semakin memperbesar rasio auksin/sitokinin, dan pada kultur suspensi sel menginduksi pembelahan sel yang cepat.

Auksin diketahui mampu menginduksi pem-belahan dan pemanjangan sel, ditambah dengan adanya sitokinin pada media semakin memperkuat induksi terhadap pembelahan sel yang cepat

Selain itu, penambahan sumber asam amino kompleks pada media (Bhojwani & Razdan 1996), telah diketahui mampu meng-induksi dispersi sel-sel pada kultur suspensi sel. Sumber asam amino kompleks yang digu-nakan adalah Bacto Tryptone. Faktor lain yang turut berperan adalah perlakuan agitasi dengan kecepatan yang sesuai, sehingga me-mungkinkan dispersi sel untuk mencapai kul-tur suspensi sel yang berukuran cukup halus.

Dari kurva tumbuh kultur suspensi sel kedelai yang dibuat, terlihat bahwa konsen-trasi sel yang dibutuhkan untuk penelitian ini, mengacu pada Legendre et al. (1992), tercapai pada hari ke 12 setelah subkultur (Gambar 3) Deteksi dan Kuantifikasi H2O2 pada Kultur Suspensi Sel

Pengukuran produksi H2O2 pada kultur setelah praperlakuan 16 jam inkubasi tanpa agitasi (Gambar 4) dan dengan praperlakuan agitasi selama 16 jam (Gambar 5) menun-jukkan adanya perubahan drastis pada tingkat produksi H2O2 dari perlakuan media ber-pH 6, pH 4 dan pH 4+Al3+, lebih disebabkan oleh perubahan nilai pH media, bukan dikarenakan tindakan subkultur. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat produksi H2O2 pada medium ber-pH 5.8 pada kedua praperlakuan yang cenderung konstan dari jam ke jam (Gambar 4 dan 5).

Perubahan tingkat produksi H2O2 pada praperlakuan tanpa agitasi dan dengan pra-perlakuan agitasi selama 16 jam pada pH 6 tampak bertolak belakang. Pada praperlakuan tanpa agitasi pola produksi H2O2 menurun drastis dari jam ke 0 hingga jam ke 1, untuk seterusnya sama hingga jam ke 3, dan disusul kenaikan pada jam ke 6 (Gambar 4), sedang-kan dengan praperlakuan agitasi, pola pro-duksi yang dijumpai adalah kenaikan mulai dari jam ke 0 hingga jam ke 6 (Gambar 5). Hal lain yang teramati selain perbedaan pola produksi H2O2 adalah tingkat konsentrasi pada jam ke 0 pada praperlakuan agitasi lebih ting-gi dibandingkan dengan praperlakuan tanpa agitasi (Gambar 4 dan 5).

Namun bila kita membandingkan pola produksi H2O2 antara praperlakuan tanpa agi-tasi (Gambar 4) dan dengan agiagi-tasi (Gambar 5) hanya pada perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+, terlihat bahwa pola produksi H2O2 antara kedua praperlakuan tidak terlalu berbeda. Pada kedua perlakuan dijumpai penurunan

mulai dari jam ke 1 dan konstan sampai jam ke 6, dengan tingkat produksi pada perlakuan pH 4 lebih tinggi dibandingkan tingkat pro-duksi pada perlakuan pH 4+Al3+ (Gambar 5). Perbedaan yang mencolok adalah bahwa agitasi menyebabkan tingkat produksi H2O2

lebih tinggi pada tiap jam perlakuan diban-dingkan tanpa agitasi.

Agitasi merupakan salah satu faktor yang turut memicu produksi H2O2 pada kultur suspensi sel (Legendre et al. 1993a). Praper-lakuan sel dengan agitasi selama 16 jam akan meningkatkan konsentrasi H2O2 pada media pada jam ke 0 sebagaimana terlihat pada Gambar 5.

Tingginya konsentrasi H2O2 di media akibat praperlakuan agitasi menginduksi sel dan menyebabkan perubahan tingkat produksi H2O2 oleh sel. Pada perlakuan media ber-pH 6, kenaikan nilai pH media dari pH 5.8, meng-akibatkan sel meningkatkan produksi H2O2

mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Pada media ber-pH 4, penurunan nilai pH media menyebabkan penurunan tingkat produksi H2O2 mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Pada media pH 4+ Al3+, sel mendapat ceka-man tidak hanya penurunan nilai pH, namun juga keberadaan Al3+ pada media. Sel yang diberi perlakuan tersebut meresponnya dengan menekan tingkat produksi H2O2 sehingga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pH 4 (Gambar 5).

Menurut Jones & Kochian (1995) H2O2

merupakan senyawa yang mampu meng-induksi peningkatan kerja enzim Fosfolipase C (PLC). PLC sendiri merupakan protein yang berperan dalam transduksi sinyal dengan me-mecah fosfolipid menjadi DAG (Diasilgli-serol) dan IP3 (Inositol 1,4,5-trifosfat). Menu-rut Legendre et al. (1993b), IP3 berperan da-lam peningkatan produksi H2O2 pada kultur suspensi sel kedelai.

Salah satu efek toksisitas Al3+ yang telah dipelajari adalah efek penghambatannya ter-hadap Fosfolipase C (PLC) (Jones & Kochian 1995). Penghambatan tersebut tetap teramati bahkan bila PLC diinduksi dengan H2O2. Pada percobaan ini, induksi H2O2 diberikan secara endogen melalui praperlakuan agitasi. Diduga bahwa melalui penghambatan Al3+ terhadap aktivitas PLC ini, perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+ menurunkan tingkat produksi H2O2. Pada perlakuan pH 6 hal yang sebaliknya justru terjadi, dimana PLC yang terinduksi oleh keberadaan H2O2 semakin meningkatkan produksi H2O2.

Langkah selanjutnya yang harus dila-kukan adalah pengukuran terhadap aktivitas

PLC dan kandungan IP3 intraseluler untuk melihat apakah benar penurunan atau kenaik-an produksi H2O2 pada perlakuan tersebut disebabkan oleh penurunan atau peningkatan aktivitas PLC dan konsentrasi IP3.

Perlakuan dengan penambahan mastopa-ran, suatu aktivator spesifik untuk protein heterotrimerik G subunit α (Pingret et al. 1998), tidak menimbulkan perbedaan yang nyata antara perlakuan pH 4 tanpa mastoparan (kontrol) dengan perlakuan pH 4+mastoparan pada jam ke 1 dan jam ke 3 setelah perlakuan. Namun pada jam ke 6 teramati adanya kenaik-an produksi H2O2 pada perlakuan dengan mastoparan (Gambar 6) dibandingkan dengan kontrol. Hal yang sama juga teramati bila kita membandingkan antara perlakuan pH 4+Al3+ tanpa mastoparan (kontrol) dengan perlakuan pH 4+Al3++mastoparan, dimana teramati adanya kenaikan produksi pada jam ke 6 setelah perlakuan (Gambar 6).

Protein heterotrimerik Gα bertindak se-bagai saklar dalam proses transduksi sinyal. Pada keadaan inaktif, protein G tersusun dari 3 subunit yaitu α, , dan , dengan subunit α mengikat GDP. Ketika teraktivasi oleh ligan yang terikat pada reseptor, protein G akan ter-disosiasi menjadi 2 bagian, yaitu subunit α yang akan melepaskan GDP dan mengikat GTP, dan subunit . Subunit α akan ber-asosiasi dengan efektor untuk meneruskan sinyal yang diterima, dalam prosesnya meng-hidrolisis GTP menjadi GDP, dan kembali bergabung dengan subunit . Mastoparan akan menginduksi protein G subunit α untuk melepaskan GDP dan mengikat GTP, serta mencegah subunit α untuk bergabung kembali dengan subunit (Higashijima et al. 1990). Hal ini mengakibatkan protein G yang telah menerima sinyal selalu berada dalam keadaan aktif, demikian pula dengan efektor yang ber-asosiasi dengan subunit α, mengakibatkan respon terhadap sinyal terus menerus berlang-sung.

Pola represi produksi H2O2 pada 3 jam pertama setelah pemberian cekaman diduga tidak melibatkan protein Gα, ditunjukkan dengan tidak terlihatnya perubahan terhadap pola produksi pada perlakuan yang diberi mastoparan dengan kontrol (Gambar 6). Pola yang teramati pada 3 jam pertama setelah cekaman juga tidak berbeda dengan pola yang teramati pada pengukuran awal dengan pra-perlakuan agitasi (Gambar 5) pada jam penga-matan yang sama. Kenaikan produksi H2O2

pada jam ke 6 pada kedua perlakuan yang ditambah mastoparan berbeda dengan yang dijumpai pada kedua kontrol pH 4 dan pH

4+Al3+. Hal ini mengindikasikan bahwa protein Gα terlibat dalam transduksi sinyal dari kedua cekaman tersebut mulai jam ke 6 setelah perlakuan.

Mashuda (2006) dan Suharsono & Suharsono (2006) telah melakukan pengamat-an terhadap pola ekspresi gen protein Gα pada kedelai yang mendapat cekaman pH 4 dan pH 4+1.6 mM Al3+ dengan interval waktu pengamatan 0, 8, 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Pola ekspresi gen protein Gα yang teramati pada perlakuan pH 4 menunjukkan tingkat ekspresi gen tertinggi pada jam ke 8, dan cenderung menurun setelahnya hingga jam ke 72. Pola ekspresi pada perlakuan pH 4+1.6 mM Al3+ juga menunjukkan tingkat ekspresi gen tertinggi pada jam ke 8, untuk kemudian stabil sampai dengan jam ke 48, dan menurun hingga jam ke 72 (Mashuda 2006). Tingkat ekspresi gen Gα lebih tinggi pada perlakuan pH 4+Al3+ dibandingkan dengan tingkat ekspresi pada perlakuan pH 4.

Namun pada penelitian tersebut tidak dilakukan pengamatan terhadap ekspresi gen Gα antara jam ke 0 sampai jam ke 8. Sesuai dengan hasil penelitian ini, timbul dugaan bahwa ekspresi gen Gα pada cekaman pH 4 dan pH 4+Al3+ mulai meningkat setelah 3 jam sejak pemberian cekaman, ditunjukkan dengan adanya kenaikan produksi H2O2 pada jam ke 6.

Hal ini didukung dengan hasil penga-matan terhadap tingkat produksi H2O2 pada perlakuan pH 4 dan pH 4+Al3+ dengan penambahan mastoparan yang dilakukan pada 0, 1, 3, 6, dan 8 jam setelah perlakuan (data tidak dipublikasikan). Pola produksi pada jam ke 0 hingga jam ke 6 tidak berbeda dengan pola yang teramati pada gambar 6 untuk perla-kuan pH 4 dan pH 4+Al3+. Namun pada jam ke 8 dijumpai kenaikan produksi H2O2 yang sangat besar pada kontrol pH 4+Al3+, sedang-kan pada kontrol pH 4 tingkat produksinya sama dengan jam ke 6. Penambahan mastopa-ran meningkatkan produksi H2O2 pada jam ke 8 pada perlakuan pH 4, namun dengan tingkat produksi H2O2 lebih rendah dibandingkan tingkat produksi H2O2 pada perlakuan pH 4+Al3+.

Pengukuran terhadap tingkat produksi H2O2 pada perlakuan cekaman pH 4 dan pH 4+ Al3+ yang diberi penghambat protein Gα akan sangat menunjang dalam meneliti peranan protein heterotrimerik Gα dalam proses transduksi sinyal dari cekaman pH rendah dan Al3+.

Sebagaimana kita ketahui membran plas-ma tidak permeabel terhadap

senyawa-senyawa polar dan ion, namun permeabel ter-hadap senyawa-senyawa non polar. Karena Al3+ adalah ion maka Al3+ tidak dapat menem-bus membran dengan mudah. Oleh karena itu sinyal keberadaan Al3+ hanya dapat diterima oleh reseptor yang berada di membran. Secara umum terdapat tiga jenis reseptor yang terle-tak di membran. Reseptor ini berperan dalam transduksi sinyal terhadap ligan yang tidak mampu menembus fosfolipid. Ketiga reseptor tersebut antara lain reseptor terkait protein G, reseptor terkait enzim, dan reseptor terkait kanal ion (Trewavas 2000).

Jika dugaan bahwa transduksi sinyal pada awal cekaman, yaitu 3 jam pertama tidak melibatkan protein Gα benar, maka transduksi sinyal cekaman pH rendah (pH 4) dan cekaman Al3+ (pH 4+Al3+) mungkin melalui salah satu diantara kedua reseptor selain protein G, sebagaimana disebutkan di atas.

Kawano et al. (2004) mendapati bahwa cekaman Al3+ dengan konsentrasi yang tinggi menyebabkan penghambatan terhadap kanal ion Ca2+, sedangkan pada konsentrasi Al3+

yang rendah dijumpai adanya peningkatan aktivitas kanal ion Ca2+. Kanal ion Ca2+ ber-fungsi untuk melewatkan ion Ca2+ dari luar membran plasma ke sitosol atau dari tempat penyimpanan Ca2+ intraseluler ke sitosol. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di sitosol dapat menyebabkan kenaikan produksi ROS (Reactive Oxygen Species), salah satunya adalah H2O2, dan peningkatan konsentrasi H2O2 dapat menyebabkan peningkatan kon-sentrasi ion Ca2+ di sitosol (Mahalingam & Fedoroff 2003). Hal yang sebaliknya terjadi

Dokumen terkait