• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil

PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian Barang “adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.” Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 4 menetapkan pengertian Barang “adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.” Terjadi penyempitan cakupan pengaturan dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur cakupan pengertian barang yang dapat dipergunakan juga oleh pelaku usaha. Hal ini untuk memisahkan ruang lingkup konsumen dengan pelaku usaha yang jelas diatur dalam Pasal 1 angka 2 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sehingga apabila barang (termasuk pakaian bekas impor) dipergunakan, dan tidak untuk diperdagangkan lagi, maka yang mempergunakan ini disebut konsumen. Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian resmi Impor “adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean.” Daerah Pabean dijelaskan dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang ini yaitu “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.” Selanjutnya Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan

pengertian resmi Importir adalah “orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor”. Di berbagai peraturan perundang-undangan setelah ditelusuri tidak ditemukan perbedaan pengertian terkait impor maupun importir, sehingga tidak diperlukan uraian atau komentar terkait pengertian impor maupun importir.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif 6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran) terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas. Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….) sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas. Hal inilah yang kemudian dapat diteliti lebih mendalam sehingga pemaknaan pakaian bekas menjadi jelas.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui, dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak, terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.2

Apabila dipadu-padankan dengan makna pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:

1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh manusia;

2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena tidak laku dipasarkan; dan

3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh pemiliknya terdahulu. Kebalikan dari bekas adalah baru, seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu mewajibkan setiap importir untuk mengimpor barang (termasuk pakaian bekas) dalam keadaan baru, sehingga pengertian baru adalah tidak bekas, dalam artian tidak pernah digunakan sebelumnya, tidak kadaluarsa, tidak mengalami lampau waktu (sisa), tidak mengalami kerusakan/tidak layak pakai.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian konflik adalah “pertentangan, percekcokan” sedangkan pertentangan berarti “berlawanan, perselisihan yang sangat (ketidak cocokan)”.3

Unsur-unsur konflik norma seperti yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati diantaranya:

1. Terjadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan perundang-undangan;

2. Peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut masih berlaku atau sama-sama diterapkan terhadap suatu kasus.4

2

W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 118.

3

Ibid, h. 610, dan h. 1251.

4

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. h.31.

Sehingga dapat pula dikatakan bahwa peraturan yang satu membolehkan terhadap perbuatan/objek sedangkan yang lain melarang.

Asas preferensi yang dikemukakan oleh I Dewa Gede Atmadja merupakan solusi yang dapat diterapkan terhadap konflik norma, diantaranya :

a. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru (ditetapkan kemudian) dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama (ditetapkan sebelumnya).

b. Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.

c. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.5

Hirarki yang dimaksud yaitu hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang-Undangan yang menetapkan bahwa:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Kekaburan, seperti yang ditemukan dalam penelusuran kamus umum bahasa Indonesia diartikan “keadaan kabur”, sedangkan kabur berarti “kurang tegas (jelas)”.6

Unsur-usur kekaburan orma hukum dapat ditarik sebagai berikut:

1. Norma hukum yang tidak jelas dalam pengaturannya; sehingga 2. Menimbulkan multi tafsir.

Kekaburan norma dapat diselesaikan melalui metode penafsiran hukum yaitu : penafsiran sistematis, penafsiran tata bahasa, penafsiran teleologi, penafsiran sejarah hukum, dst.7 Yang pada intinya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Interpretasi gramatika/ penafsiran tata bahasa, yaitu menafsirkan kata-kata yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dengan pemaknaan tata bahasa;

2. Interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang menggunakan aturan/ ketentuan lain untuk memaknai peraturan/ ketentuan yang dikaji.

3. Interpretasi sejarah hukum, yaitu penafsiran yang menggunakan sejarah lahirnya peraturan perudang-undangan untuk menemukan makna dari suatu aturan.

4. Interpretasi teologis, yaitu penafsiran yang menggunakan tujuan hukum sesuai dengan perkembangan sosiologis masyarakat saat terbentuknya peraturan untuk memaknai aturan yang dikaji.

5. Interpretasi antisipatif, yaitu penafsiran yang menggunakan nilai-nilai yang masih merupakan gagasan dalam rancangan peraturan perundang-undangan.

6. Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang mendobrak ketentuan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan perubahan pandangan masyarakat, sosial, nilai-nilai susila, serta perubahan kepentingan dan teknologi yang berkembang di masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan disini dinilai telah tidak sesuai dan patut diperbaharui.

7. Interpretasi ekstensif, yaitu menafsirkan secara luas makna yang tersurat dalam peraturan perundang-perundangan.

5

I Dewa Gede Atmadja, 2009, Op.Cit. h.33.

6

W.J.S. Poerwadarminta, Op.Cit, h. 502.

7

8. Interpretasi restriktif, yaitu menafsirkan secara sempit makna yang tersurat dalam peraturan perundang-undangan.

9. Interpretasi otentik, yaitu menafsirkan peraturan sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 8

3.2. Pembahasan

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan kepastian hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia. Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan ditemukan bahwa: “Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.”9

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu pada pasal 47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini. Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas (pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.

Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga berlaku asas preferensi

lex superior derogat legi inferiori. Namun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan turunan dari pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan sehingga berlaku Asas lex spesialis derogat

legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang

bersifat umum. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu pasal 8 ayat (2).

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini sehingga tidak hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarang, kegiatan maupun objeknya.

8

I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h. 42-46.

9

4. KESIMPULAN

Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor dengan syarat pengusaha wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor mengatur tarif bagi impor pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang perdagangan pakaian bekas impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex specialis derogat legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan peraturan mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan pada pihak-pihak yang mendukung penulisan makalah: 1. Rektor Universitas Udayana.

2. Ketua LPPM Universitas Udayana.

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. 4. Ketua UPPM Fakultas Hukum Universitas Udayana. 5. Bagian Keuangan FH Universitas Udayana.

6. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

5. DAFTAR PUSTAKA

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati., 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati.

Marzuki, Peter Mahmud., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group. Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.