• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekaburan Norma Hukum Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Kekaburan Norma Hukum Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

Menurut Lon L. Fuller dalam bukunya “The Morality of Law”, sistem hukum yang baik tidak akan pernah terwujud jika terdapat delapan sebab sebagai berikut: 21 1. Kegagalan untuk merumuskan suatu aturan, sehingga setiap masalah harus

diputuskan secara ad-hoc.

2. Kegagalan untuk mempublikasikan, atau setidaknya membuat pihak-pihak yang terkena mengetahui, aturan-aturan yang diharapkan dipatuhi.

3. Pemberlakuan aturan yang bersifat retroaktif, sehingga bukan saja dengan sendirinya gagal mengarahkan suatu perbuatan, tetapi juga mengakibatkan turunnya integritas aturan-aturan yang bersifat prospektif karena ia selalu terancam oleh perubahan aturan yang bersifat retrospektif.

4. Kegagalan untuk membuat aturan yang dapat dimengerti. 5. Pengundangan aturan-aturan yang saling bertentangan.

6. Adanya aturan-aturan yang mempersyaratkan hal-hal yang tak mungkin dipenuhi karena berada diluar kendali atau kemampuan pihak yang terkena aturan itu. 7. Terlalu sering dilakukan perubahan aturan sehingga subyek aturan itu tidak dapat

menentukan benar salah perbuatannya.

21

8. Kegagalan untuk menyesuaikan antara aturan yang telah diumumkan dan pelaksanaan yang sebenarnya dari aturan itu.

Sehingga Lon Fuller menyebutkan ada 8 syarat suatu hukum disebut baik, diantaranya: 22

1. Undang-undang dan peraturan hukum lain harus bersifat umum, tidak boleh berlaku khusus atau individu tertentu. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan sehingga tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad-hoc.

2. Setiap peraturan hukum harus dipublikasikan. Jika hukum/peraturan berbelit-belit dan sering berubah, sulit untuk mengetahui hukum yang berlaku.

3. Undang-undang dan peraturan tidak boleh berlaku surut. Misalnya, perusahaan tidak boleh dihukum karena mencemari lingkungan karena undang-undang perlindungan lingkungan belum ada.

4. Undang-undang harus bisa dimengerti, bahasanya mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit.

5. Sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif.

6. Hukum harus terjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya. Undang-undang yang memerintahkan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan tentu tidak baik sebagai hukum bahkan tidak adil.

7. Undang-undang harus memiliki stabilitas tertentu sepanjang waktu. Jika peraturan berubah-ubah maka sistem hukum tidak dapat berfungsi dengan baik. Ini terjadi di

22

negara-negara yang sering berganti pemerintahan karena partai politik kalah atau menang dalam pemilu.

8. Harus ada kesesuaian antara hukum dan cara melaksanakannya. Ganjaran bagi yang taat hukum dan sanksi bagi yang melanggar. Peraturan yang tidak dilaksanakan dengan konsekuen akan menjatuhkan martabat hukum itu sendiri.

Tidak dipenuhinya salah satu dari kedelapan hal tersebut menjadikan sistem hukum yang berlaku tersebut menjadi buruk, mengakibatkan bahwa sistem hukum yang berjalan tersebut tidak pantas untuk disebut dengan suatu sistem hukum yang layak, yang tidak dapat berlaku secara efektif dan baik. Menurut Fuller, hukum dan moralitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu Fuller membagi moralitas ke dalam moralitas kewajiban (morality of duty) dan moralitas aspirasi (morality of aspiration) yang menjadikannya hukum. Moralitas kewajiban adalah suatu ketentuan yang minimum harus ada dalam suatu masyarakat agar masyarakat tersebut dapat berjalan dengan baik. Sedangkan moralitas aspirasi memungkinkan manusia untuk mencapai hal yang terbaik dalam hidup manusia. Moralitas aspirasi ini dalam pandangan Fuller masih dapat dibagi Moralitas eksternal mengatur hal-hal yang ideal yang seharusnya ada sebagai substansi dari suatu aturan hukum yang ada dalam masyarakat, sedangkan moralitas internal adalah suatu proses, suatu moralitas

yang memungkinkan kehidupan manusia diatur dengan baik berdasarkan aturan-aturan hukum yang dibuat tersebut (the morality that makes law possibles).23

Penelusuran kekaburan norma hukum mengarah pada pengertian pakaian bekas yang dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif 6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran) terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas. Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat

23

Gunawan Widjaja, 2006, “Lon Fuller, Pembuatan Undang-Undang Dan Penafsiran Hukum”, Jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. 1, Juli 2006., h. 21-22.

diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….) sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui, dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang bekas adalah barang-barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak, terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.24

Apabila dipadu-padankan dengan makna pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:

1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh manusia;

2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena tidak laku dipasarkan; dan

3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh pemiliknya terdahulu.

24

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini sehingga tidak hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarng, kegiatan mupun objeknya, sehingga keberadaannya menjadi illegal di Indonesia.

BAB VI PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

1. Terjadi konflik norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Analisis hukum yang tepat untuk memecahkan konflik norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor adalah dengan menerapkan asas lex spesialis derogat legi generali karena ternyata Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015

Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu pasal 8 ayat (2). 2. Terjadi kekaburan norma hukum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Analisis hukum yang tepat untuk memecahkan kekaburan norma ini adalah dengan menelusuri pengertian pakaian bekas impor, sehingga menemukan kesimpulan bahwa tidak hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarang, kegiatan mupun objeknya, sehingga keberadaannya menjadi illegal di Indonesia.

6.2 SARAN

1. Tujuan dari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia, sehingga disarankan agar aparatur negara tetap menegakkan paraturan perundang-undangan. Terkait konflik norma, hendaknya diselesaikan dengan asas preverensi dan dilaksanakan peraturan perundang-undangan yang dimenangkan.

2. Kekaburan norma dapat menghambat penegakan hukumnya, untuk itu disarankan agar pembentuk peraturan perundang-undangan jelas menentukan dan mengatur pengertian otentikya sehingga tidak menimbulkan multi tafsir.