Trimester II dan trimester III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang telah dilaksanakan di instalasi rekam medis RSUP H. Adam malik dengan metode total sampling, tecatat sejak Januari 2016 - Juli 2019 di RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 59 rekam medis dengan diagnosa plasenta akreta yang masuk ke dalam kriteria inklusi dan selebihnya merupakan data rekam medik yang tidak lengkap dari tahun 2016 sebanyak 1 orang, tahun 2017 sebanyak 9 orang, tahun 2018 sebanyak 26 orang, dan tahun 2019 sampai bulan juli sebanyak 23 orang. Karakteristik subjek yang digunakan pada penelitian ini dapat dibedakan berdasarkan nama, usia, gravida, pendidikan, pekerjaan, Hb ibu, lama rawat, tipe operasi, plasenta akreta, riwayat SC, riwayat kuretase,
riwayat hipertensi, riwayat miomektomi, dan jenis tindakan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan jumlah plasenta akreta pertahun
Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kelompok kejadian plasenta akreta 4 tahun terakhir yang paling banyak terjadi pada kelompok tahun 2018 sebanyak 26 orang (44,1%), diikuti dengan kelompok tahun 2019 sebanyak 23 orang (39,0%), tahun 2017 sebanyak 9 orang (15,3%), dan yang paling sedikit pada tahun 2016 yaitu 1 orang (1,7%). Hal ini menunjukan selama Januari 2016 – Juli 2019 terjadi peningkatan plasenta akreta setiap tahunnya yang dikarenakan jumlah SC meningkat setiap tahunnya.
Tabel 4.2 Insidens SC pertahun
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa insidens SC 4 tahun terakhir terjadi peningkatan, pada tahun 2016 SC sebanyak 288 kasus (24,1%), pada tahun 2017 sebanyak 332 (27,8%), pada tahun 2018 sebanyak 368 (30,8%), dan pada tahun 2019 januari hingga akhir juli sebanyak 206 kasus (17,2%).
Tahun Frekuensi (n) Persentase (%)
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi karakteristik demografi
Karakteristik Demografi Frekuensi(n) Persentase (%) Usia kelompok usia yang terbanyak berisiko mengalami plasenta akreta yaitu usia 20-34 tahun sebanyak 40 oramg (67,8%), dan usia >35 tahun sebanyak 19 orang (32,2%). Dari hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa kejadian plasenta akreta lebih meningkat pada usia >35 tahun, usia merupakan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kondisi uterus ibu. Pada usia <20 tahun mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami plasenta aketa dikarenakan endometrium yang belum matang dan pada usia >35 tahun, juga berisiko mengalami plasenta akreta dikarenakan kondisi endometrium sudah mulai mengalami perubahan seperti skerosis pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan penurunan vaskularisasi dan mengakibatkan hipoksia jaringan (Qatrunnada el al, 2018). Semakin bertambahnya usia seorang wanita, maka hormon pengatur siklus reproduksi juga menurun, salah satunya hormon estrogen.
Fungsi salah satu hormon estrogen adalah meningkatnya aliran darah uterus dan estrogen yang dapat menyebabkan proliferai endometrium, apabila kadar estrogen rendah dan perkembangan endometrium tidak sempurna, maka aliran darah ke
uterus juga akan ikut menurun sehingga dapat mempengaruhi nutrisi dari ibu ke janin (Kurniawati dan Triyawati, 2014).
Dari tabel 4.2 berdasarkan gravida dapat dilihat bahwa kelompok gravida yang banyak terjadinya plasenta akreta yaitu gravida 3-5 sebanyak 46 orang (78,0%), yang paling sedikit yaitu gravida 1-2 sebanyak 13 orang (22,0), dan gravida >5 tidak ada (0%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan gravida yang lebih tinggi berisiko terjadinya plasenta akreta (Shi, 2018). Jumlah gravida yang tinggi berisiko terjadinya plasenta akreta dikarenakan vaskularisasi desidua yang jelek akibat persalinan yang berulang-ulang sehingga menyebabkan endometrium rusak dan aliran darah ke plasenta tidak cukup sehingga vili korialis akan berimplantasi langsung pada miometrium untuk mencari suplai pembuluh darah yang memadai sehingga jumlah gravida yang tinggi dapat menyebabkan plasenta akreta (Qatrunnada el al, 2018).
Dari tabel 4.2 berdasarkan pendidikan yang banyak mengalami plasenta akreta yaitu pendidikan menengah sebanyak 37 orang (62,7%), pendidikan tinggi sebanyak 14 orang (23,7%), dan yang paling sedikit pendidikan dasar sebanyak 8 orang (13,6%). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya. Demikian pula semakin tinggi pendidikan akan merangsang seseorang untuk selalu mempelajari hal-hal baru termasuk juga hal-hal yang menyangkut kesehatan dirinya (Notoatmodjo S, 2003). Apabila pengetahuan seorang ibu luas maka ibu dapat mengenali tanda-tanda risiko tinggi kehamilan sehingga dapat mencegah atau mengobati komplikasi kehamilan seperti ketuban pecah dini, preeklampsia berat, perdarahan, distosia bahu, kelainan letak janin, plasenta akreta, plasenta previa dll secara dini. Sebaliknya apabila pengetahuan ibu kurang terutama mengenai faktor risiko kehamilan maka akan meningkatkan risiko persalinan dengan tindakan sectio caecarea (Rahmawati, 2018). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan pengethuan dan perilaku juga semakin baik. Oleh karena itu dengan pendidikan yang makin tinggi, maka informasi dan pengetahuan yang diperoleh juga makin banyak, sehingga perubahan perilaku kearah yang baik diharapkan dapat terjadi.
Pendidikan yang semakin tinggi menyebabkan kemampuan ibu dalam mengatur
jarak kehamilan, jumlah anak, dan pemanfaatan fasilitas kesehatan dalam pemeriksaan kehamilan (antenatal care) dan proses persalinan (Rahmawati, 2018).
Dari tabel 4.2 berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pekerjaan yang banyak mengalami plasenta akreta yaitu IRT sebanyak 34 orang (57,6%), wiraswasta 12 orang (20,3%), PNS 10 orang (16,9%), dan yang sedikit yaitu swasta 3 orang (5,1%).
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi karakteristik klinis
Karakteristik Klinis Frekuensi(n) Persentase (%) Hb paling banyak yaitu Hb ibu 8-11 g/dl sebanyak 35 orang (59,3%), Hb >11 g/dl 16 orang (27,1%), dan yang sedikit yaitu Hb ibu <8 g/dl 8 orang (13,6%). Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perdarahan pervagina, pengaruh mual saat sedang hamil, kebutuhan akan zat besi yang bertambah karena pertumbuhan janin, kurangnya cadangan zat besi yang dimiliki oleh ibu hamil akibat menstruasi atau persalinan sebelumnya (Anggraeni el al, 2019). Anemia pada ibu hamil akan mengakibatkan pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur, terjadinya gawat janin dan berat badan bayi yang rendah (BBLR). Perdarahan antepartum disebabkan oleh kelainan plasenta, termasuk didalamnya plasenta previa, solusio plasenta dan vasa previa.
Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa atau ditransfer ke sel tubuh maupun organ yang vital termasuk uterus. Perdarahan
antepartum meningkat kejadiannya pada keadaan yang endometriumnya kurang baik, misalnya pada atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua. Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena plasenta belum lahir hingga atau melebihi 30 menit setelah bayi lahir. Hal itu disebabkan plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan (Astutik dan Ertiana, 2018).
Dari tabel 4.3 berdasarkan lama rawatan kasus plasenta akreta banyak lama rawatan <5 hari sebanyak 33 orang (55,9%), sedangkan >5 hari 26 orang (44,1%).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Qatrunnada, 2018) mengenai faktor risiko dan luaran maternal plasenta akreta yang menunjukan lama rawatan plasenta akreta > 7 hari. Lama perawatan untuk pasien post SC normalnya sekitar 5-7 hari atau sesuai dengan penyembuhan luka yan terjadi. Lukaan pada pasien SC terjadi pada dinding abdomen (kulit atau otot perut) dan dinding uterus.
Adanya luka post SC merupakan salah satu faktor yang memperpanjang penyembuhan dari luka post SC antara lain adalah suplai darah, infeksi dan iritasi.
Dengan adanya mobilisasi dini diharapkan akan menyebabkan perbaikan suplai darah sehingga berpengaruh terhadap kecepatan proses penyembuhan luka post SC. Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat, ibu post SC harus lebih banyak mengkonsumsi makanan kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin A dan C seta mineral yang sangat berperan dalam pembentukan jaringan baru pada proses penyemuhan luka (Yadianto, 2013).
Dari tabel 4.3 berdasarkan tipe operasi dapat dilihat tipe operasi pada kasus plasenta akreta banyak dilakukan pada tipe operasi elektif sebanyak 32 orang (57,2%), sedangkan tipe operasi emergensi sebanyak 27 orang (45.8%). Hal ini sejalan dengan pernyataan (Garmi dan Salim, 2012) yang menyatakan wanita dengan plasenta akreta lebih baik melakukan operasi dalam kondisi elektif dan terkontrol dari pada keadaan darurat tanpa persiapan. Untuk meminimalisasi terjadinya komplikasi perdarahan maka dilakukan dengan kondisi elektif dan biasanya dijadwalkan SC pada 34 atau 35 minggu kehamilan.
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi berdasarkan faktor risiko
Berdasarkan tabel 4.5 diperoleh bahwa faktor risiko yang tidak memiliki riwayat SC 3 orang (5,1%), yang memiliki riwayat SC 1 kali sebanyak 19 orang (32,2%), dan riwayat SC ≥ 2 kali sebanyak 37 orang (62,7%). Melahirkan dengan SC adalah melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus, sayatan inilah yang dapat mengakibatkan jaringan parut akan terbentuk, SC yang berulang memungkinkan terjadinya komplikasi, salah satu komplikasi yang potensial adalah plasenta abnormal (Anita, 2017). Riwayat SC ≥ 2 kali berisiko lebih besar terkena plasenta akreta yang diakibatkan jaringan parut akan terbentuk pada bekas SC dan akan mengakibatkan hipoksia jaringan, sehingga trofoblas akan menginvasi lebih dalam untuk mendapatkan suplai pembuluh darah yang memadai (Qatrunnada et al, 2018). Faktor kuatnya perlekatan plasenta disebabkan oleh adanya luka parut akibat persalinan yang berulang-ulang (Anita, 2017).
Riwayat SC juga berperan menaikkan tiga kali risiko plasenta akreta yang menyebabkan perdarahan pasca melahirkan hingga syok hipovolemik, embolisme cairan ketuban, koagulopati konsumtif dan menyebabkan kematian ibu (Rahmawati, 2018).
Faktor risiko Frekuensi (n) Persentase (%)
Riwayat SC
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi luaran persalinan
Dari tabel 4.6 dapat dilihat berdasarkan keadaan ibu setelah melahirkan terdapat ibu yang hidup sebanyak 59 orang (100%), dan tidak ada meninggal.
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi jenis tindakan
Jenis tindakan Frekuensi (n) Persentase (%)
SC 24 40,7
HIS 3 5,1
SC+HIS 32 54,2
Total (N) 59 100.0
Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa jenis tindakan yang banyak dilakukan pada kasus plasenta akreta yaitu tindakan SC+HIS sebanyak 32 orang (54,2%), dan SC sebanyak 24 orang (40,7%), sedangkan yang paling sedikit yaitu histerektomi 3 orang (5,1%). Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan (Goh dan Zalud, 2015) yang menyatakan caesarea tindakan plasenta akreta dan jika terjadi perdarahan yang pasif pervagina maka dilakukan histerektomi untuk pengangkatan rahim yang merupakan salah satu cara penanggulanggan plasenta akreta.
Luaran ibu Frekuensi (n) Persentase (%)
Hidup 59 100,0
Meninggal 0 0
Total (N) 59 100.0
BAB V