• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Imunohistokimia

Konsep dasar dari imunohistokimia adalah menunjukkan adanya antigen (Ag) di dalam jaringan oleh antibodi (Ab) yang spesifik. Ketika ikatan antigen dan antibodi terjadi, ikatan ini akan diperlihatkan dengan sebuah reaksi warna histokimia (Ramos-Vara 2005). Pada uji yang telah dilakukan, ikatan antigen antibodi divisualisasikan dengan pemberian chromogen DAB, dimana hasilnya terlihat dalam bentuk warna coklat spesifik pada jaringan. Reagen utama yang digunakan pada uji ini diperoleh dari Kit IHK komersial produksi DAKO dengan metode Labeled Streptavidin Biotin (LSAB). Metode ini menggunakan antibodi sekunder yang terbiotinilasi yang akan menghubungkan antibodi primer dengan

streptavidin-peroxidase conjugate. Satu antibodi primer akan berikatan dengan beberapa molekul streptavidin-peroxidase menyebabkan rasio enzim terhadap antibodi yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan sensitifitas uji (Key 2009).

Untuk mendapatkan hasil uji yang optimal, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhatikan. Aspek teknis tersebut antara lain ; proses demasking

antigen/antigen retrieval, penghambatan (blocking) peroksidase endogen pada jaringan dan penghambatan ikatan non spesifik antara antibodi primer dengan jaringan yang diwarnai. Seperti yang telah dijelaskan dalam metode penelitian, organ yang digunakan pada penelitian ini difiksasi di dalam buffered neutral

S/P (%) = X 100

(ODSampel - ODKontrol Negatif) (ODKontrol Positif - ODKontrol Negatif)

15

formalin (BNF). Proses ini dapat menyebabkan tertutupnya epitope/antigen permukaan oleh senyawa aldehyde yang terkandung dalam BNF, sehingga epitope

tersebut akan sulit diakses oleh antibodi primer yang digunakan (D’Amico, 2008). Usaha pembukaan kembali epitope disebut dengan proses demasking antigen atau antigen retrieval. Antigen retrieval akan meningkatkan konsistensi hasil melalui peningkatan sensitifitas deteksi epitope. Proses ini dilakukan dengan berbagai metode seperti penggunaaan bahan kimia dan proses fisika atau kombinasi keduanya. Salah satu contoh penggunaan bahan kimia adalah penggunaan buffer

sitrat, sedangkan pendekatan fisika bisa berupa proses pemanasan (D’Amico 2008; Kumar dan Rudbeck 2009). Pada pengujian yang telah dilakukan, antigen

retrieval dikerjakan dengan memanaskan jaringan dalam larutan buffer sitrat menggunakan microwave selama 5 (lima) menit.

Untuk menghindari munculnya warna coklat yang tidak spesifik sebagai pewarnaan latar belakang (background staining), perlu dilakukan penghambatan enzim peroksidase endogen yang ada pada jaringan. Penghambatan dilakukan dengan pemberian larutan H2O2 3% (dalam aquades) pada jaringan yang akan diwarnai, dimana larutan ini sudah tersedia dalam kit yang digunakan. Ikatan non spesifik antara reseptor Fc (FcRs) yang terdapat pada jaringan dengan bagian Fc dari antibodi primer juga dapat terjadi (Dagleish et al. 2010). Untuk menghilangkan ikatan non spesifik tersebut, telah digunakan FBS 1%, sehingga diharapkan dapat mengurangi ikatan non spesifik tersebut.

Dalam penelitian ini telah dikumpulkan organ limpa, paru-paru dan hati dari 162 ekor sapi potong eks impor. Hasil pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan bahwa, 62/162 (38,3 %) sampel sapi imunoreaktif terhadap antibodi

Coxiella burnetii (Tabel 2). Organ limpa yang imunoreaktif menunjukkan adanya warna coklat spesifik di dalam sitoplasma sel-sel makrofag dan sebagian besar terdapat di daerah pulpa merah (Gambar 1A). Deteksi antigen Coxiella burnetii

pada organ paru-paru juga terlihat pada sel-sel makrofag yang terdapat pada interstitium paru-paru dan di sekitar bronkhus (Gambar 1B). Begitu juga dengan organ hati yang menunjukkan adanya kehadiran antigen Coxiella burnetii pada sitoplasma sel makrofag di daerah porta (Gambar 1C).

Tabel 2 Jumlah Sampel Individu Sapi dan Hasil Pengujian Imunohistokimia Lokasi Pengambilan Jumlah Sampel

(Ekor)

Hasil Pengujian IHK Imunoreaktif (+) %

RPH. Kota Medan 101 40 39,6

RPH. Kab. Deli Serdang (DS)

RPH. NP 96 36 13 36,1

RPH. Tani Asli 25 9 36,0

Sub Total DS 61 22 36,1

Total 162 62 38,3

Menurut Woldehiwet (2004), rute utama infeksi Coxiella burnetii adalah melalui inhalasi (aerosol), dimana dosis infeksi yang dibutuhkan sangat rendah. Sementara rute ingesti dianggap sebagai rute alternatif yang jarang terjadi (Maurin dan Raoult 1999). Target sel infeksi Coxiella burnetii adalah sel-sel

16

monosit/makrofag yang tersebar pada berbagai organ tubuh (Shannon dan Heinzen, 2009; Angelakis dan Raoult 2010). Setelah multiplikasi primer pada limfonodus regional, akan disusul dengan terjadinya bakteremia (Woldehiwet 2004). Apapun rute infeksinya Coxiella burnetii mampu menyebar ke berbagai organ melalui jalur hematogen sehingga agen ini dapat dideteksi pada paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang dan saluran reproduksi. Infeksi penyakit ini biasanya dikontrol oleh respon immun melalui aksi sel limfosit T. Namun demikian, mekanisme respon immun berperantara sel ini tidak mampu menghilangkan agen penyakit ini dari induk semang yang terinfeksi (Maurin dan Raoult 1999). Pada fase kronis Coxiella burnetii mampu berreflikasi di dalam makrofag (Fournier et al. 1998).

Dari hasil pewarnaan IHK diketahui bahwa kehadiran antigen Coxiella burnetii pada organ yang imunoreaktif ditemukan pada sel-sel makrofag, baik pada limpa, paru-paru maupun hati. Hal ini sesuai dengan temuan Lepidi et al.

(2006), dimana antigen Coxiella burnetii ditemukan di dalam makrofag yang terdapat pada endokardium menggunakan metode IHK. Uji ini dilakukan pada kasus manusia yang mengalami endokarditis yang membuktikan terjadinya infeksi

Q fever kronis. Pada kasus hepatitis kronis yang disebabkan oleh Q fever, antigen

Coxiella burnetii juga ditemukan pada makrofag yang terdapat pada hati (Lepidi

et al., 2009). Penelitian Stein et al. (2005) pada mencit yang diinfeksi dengan

Coxiella burnetii membuktikan kehadiran antigen tersebut pada sel-sel makrofag paru-paru, hati dan limpa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun infeksi pada awalnya terjadi pada paru-paru namun kemudian dapat menyebar secara hematogen ke organ sistemik lainnya seperti hati dan limpa.

Pemeriksaan IHK yang dilakukan pada organ Kambing Mini Afrika Barat berhasil mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii pada 33 % sampel organ yang dikumpulkan. Antigen tersebut ditemukan pada limpa dan paru-paru, dimana lokasi antigen tersebut berada pada sitoplasma makrofag alveoli paru dan makrofag di daerah pulpa merah organ limpa (Emikpe et al. 2013). Norina et al.

(2011) melakukan penelitian pada organ kambing yang diduga terinfeksi Coxiella burnetii. Diagnosa awal dilakukan berdasarkan perubahan histopatologi yang temukan pada pewarnaan HE. Organ-organ yang memiliki perubahan yang mengarah pada infeksi Coxiella burnetii kemudian diuji dengan metode IHK. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 152 dari 197 ekor Kambing Boer positif terhadap Coxiella burnetii. Keberadaan antigen tersebut dapat ditemukan pada plasenta, limpa, hati, jantung, paru-paru dan ginjal.

Tabel 3 Hasil Pengujian Imunohistokimia Berdasarkan Jenis Organ

Jenis Organ Jumlah Sampel (Organ) Hasil Pengujian IHK Imunoreaktif (+) %

Limpa 162 61 37,7

Paru-Paru 162 12 7,4

17

Gambar 2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen Coxiella burnetii

pada sel-sel makrofag (panah) organ limpa (A), paru-paru (B) dan hati (C).

18

Deteksi antigen Coxiella burnetii menunjukkan hasil yang berbeda pada masing-masing jenis organ. Deteksi antigen tertinggi ditemukan pada limpa, disusul oleh paru-paru dan hati (Tabel 3). Perbedaan jumlah organ yang imunoreaktif pada limpa, paru-paru dan hati, kemungkinan berkaitan dengan rute infeksi, lama infeksi dan populasi makrofag pada masing-masing organ. Rute utama infeksi Coxiella burnetii adalah melalui jalur pernafasan (inhalasi), sementara jalur ingesti dianggap sebagai jalur sekunder. Tingginya temuan pada organ limpa kemungkinan berkaitan dengan fungsinya sebagai organ pertahanan, dimana fungsi limpa analog dengan limfonodus yang memiliki fungsi antara lain ; menyaring material asing dan mikroorganisme serta membuang eritrosit tua dan rusak. Proses ini berlangsung pada bagian pulpa merah dari limpa. Fagositosis material asing seperti bakteri yang berasal dari aliran darah dilakukan oleh sel-sel makrofag limpa sebagai bagian dari monocyte-macrofage system (Fry dan McGavin, 2006). Sementara itu, paru-paru diduga sebagai tempat infeksi awal

Coxiella burnetii sebelum beredar ke organ lainnya. Temuan antigen Coxiella burnetii pada organ paru-paru merupakan yang terbanyak setelah limpa.

Perbedaan temuan pada organ ini berguna secara diagnostik. Informasi ini dapat digunakan dalam memilih organ yang paling sesuai pada saat melakukan pengambilan sampel untuk tujuan pengujian. Keberhasilan pengujian IHK dalam deteksi antigen Coxiella burnetii membuktikan bahwa metode ini dapat dipakai dalam surveilan penyakit khususnya pada sampel organ yang difiksasi. Deteksi antigen Coxiella burnetii pada sampel organ sapi eks impor yang di kumpulkan di RPH menunjukkan telah adanya infeksi Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, khususnya pada populasi sapi asal ternak yang dipotong di RPH tersebut.

Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi

Pewarnaan HE digunakan untuk melihat lesio histopatologi yang kemungkinan bisa ditemukan pada sampel individu yang imunoreaktif. Berdasarkan pemeriksaan IHK diketahui bahwa tidak semua jenis organ yang berasal dari individu hewan imunoreaktif tersebut ditemukan agen Coxiella burnetii. Dari Tabel 3 terlihat antigen tersebut ditemukan pada 61 organ limpa, 12 paru-paru dan 2 organ hati. Namun demikian, semua organ yang berasal dari individu imonoreaktif telah diwarnai dengan HE dan dilakukan evaluasi histopatologi untuk melihat lesio pada organ.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sampel organ yang diambil berasal dari hewan sapi yang dipotong di RPH, sehingga sejarah penyakit masing-masing individu sapi tersebut tidak diketahui. Dengan demikian kemungkinan lesio-lesio yang ditemukan bukan hanya disebabkan oleh Coxiella burnetii tetapi dapat juga disebabkan oleh agen lain sebagai penyebab primer atau oleh adanya infeksi sekunder maupun infeksi campuran berbagai penyakit (coinfection). Evaluasi histopatologi dengan pewarnaan HE digunakan sebagai pendekatan terhadap lesio-lesio yang mungkin ditemukan pada organ yang diinfeksi oleh Coxiella burnetii. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji yang mampu membuktikan kehadiran antigen Coxiella burnetii pada jaringan seperti metode imunohistokimia yang telah dilakukan di atas.

19 Pembacaan Sediaan Limpa

Deteksi antigen Coxiella burnetii pada uji IHK pada organ limpa menunjukkan jumlah yang paling tinggi. Sebanyak 61 organ limpa imunoreaktif terhadap antibodi anti Coxiella burnetii-FKH IPB dari 62 individu sapi yang imunoreaktif. Tingginya temuan pada organ limpa kemungkinan berkaitan dengan fungsinya sebagai organ pertahanan. Fungsi limpa analog dengan limfonodus yang berfungsi dalam menyaring material asing, mikroorganisme serta membuang eritrosit tua dan rusak. Proses ini berlangsung pada bagian pulpa merah dari limpa (Cesta 2006 ; Fry dan McGavin 2006 ; Suttie 2006).

Deskripsi lesio yang ditemukan pada organ limpa berupa infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan peningkatan sel-sel makrofag yang umumnya terlihat pada daerah pulpa merah (Gambar 1A). Lesio lain yang ditemukan antara lain kongesti (Gambar 1B), kehadiran pigmen hemosiderin (Gambar 1C), atrofi pulpa putih (Gambar 1D) dan edema (Gambar 1C). Hasil pembacaan lesio selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Namun demikian, lesio yang lebih khas berupa granuloma yang sering ditemukan pada infeksi akut Coxiella burnetii, tidak ditemukan pada limpa. Lesio granuloma bisa ditemukan pada limpa hewan percobaan yang diinfeksi dengan agen ini seperti yang terlihat pada marmut dan mencit (Maurin dan Raoult 1999; Stein et al. 2005) maupun pada hewan yang terinfeksi secara alami seperti yang ditemukan oleh Norina et al. 2011 pada kasus kambing boer.

Gambar 3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B. Kongesti (panah), C. Akumulasi pigmen hemosiderin (panah), dan edema (kepala panah) ditandai dengan jarak antar sel yang melebar, D. Atrofi pulpa putih (panah).

40 µm 40 µm

40 µm 80 µm

A B

D

C

20

Sebagian besar limpa yang dievaluasi menunjukkan infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan makrofag sehingga dapat dikatakan adanya peradangan limpa yang bersifat kronik aktif. Menurut Vally (2007) pada kondisi peradangan sistemik akan terjadi akumulasi sel-sel radang neutrofil pada marginal zone dan disekitar area sinus limpa. Di daerah inilah berlangsung destruksi bakteri dan pengolahan antigen lainnya disertai oleh sebuah pola migrasi tertentu, dimana benda asing dipindahkan dengan makrofag khusus menuju marginal zone dan kemudian disusul limfosit kecil mencapai germinal center. Makrofag limpa berfungsi dalam fagositosis material asing seperti bakteri yang berasal dari aliran darah sebagai bagian dari sistem monosit-makrofag limpa (Fry dan McGavin 2006). Coxiella burnetii sebagai bakteri intraseluler obligat dapat ditemukan di dalam makrofag dan dalam kondisi kronis dapat bermultiplikasi di dalam makrofag tersebut (Russell-Lodrigue et al. 2006 ; Fournier et al. 1998).

Atrofi pulpa putih dijumpai pada beberapa organ limpa yang dievaluasi dimana ukuran pulpa putih tampak mengecil. Atrofi/deplesi pulpa putih bisa diakibatkan oleh infeksi berat yang menyebabkan limfolisis pada tengah

germirmal center dan menghasilkan debris inti sel (kariolisis, karioreksis) (Vally 2007). Disamping itu atrofi pulpa putih juga dapat terjadi sebagai respon terhadap lemahnya stimulasi antigenik, toksin, pengobatan dengan zat antineoplasia, infeksi virus, radiasi, malnutrisi dan penyakit yang menyebabkan kekurusan (wasting/cachectic disease) (Fry dan McGavin 2006).

Tabel 4 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Limpa (HE)

Organ Lesio Jumlah

Limpa Infiltrasi sel-sel radang Neutrofil Makrofag Kongesti

Pigmen hemosiderin Atrofi pulpa putih Edema 55/62 25/62 14/62 14/62 4/62 3/62

Pigmen hemosiderin ditemukan pada 14/62 sediaan limpa yang imunoreaktif. Hemosiderin merupakan bentuk penyimpanan besi, dan merupakan pigmen yang memiliki arti penting pada limpa. Hemosiderin umumnya hanya berada di dalam makrofag, namun apabila bertahan dalam waktu yang lama akumulasi hemosiderin bisa melapisi serat jaringan ikat. Hemosiderin dianggap penting apabila jumlahnya telah menyebabkan kerusakan jaringan dan fibrosis yang kemudian disebut dengan hemosiderosis. Peningkatan jumah besi pada limpa merupakan salah satu perubahan limpa yang mengindikasikan kondisi anemia hemolitika (Vally 2007 ; Suttie 2006).

Lesio lain yang ditemukan adalah adanya kondisi kongesti dan edema. Kongesti adalah tergenangnya darah di dalam pembuluh darah vena. Kongesti pada limpa umumnya diakibatkan oleh gangguan sirkulasi sistemik dan portal. Secara mikroskopik sinus mengalami dilatasi dan diisi oleh sel darah merah,

germinal center terlihat menjauh satu sama lain dan trabekula telihat menipis (Vally 2007). Edema bisa merupakan konsekuensi dari adanya kongesti. Edema

21 ditandai dengan merenggangnya jarak antar sel-sel limpa dalam bentuk ruang kosong. Edema disebabkan oleh ganguan sirkulasi seperti adanya kongesti, yang terjadi akibat gangguan sistemik dan porta (Vally 2007).

Pembacaan Sediaan Paru-Paru

Pemeriksaan IHK menunjukkan 12 organ paru-paru imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii dari 62 individu sapi yang imunoreaktif. Hal ini diduga berkaitan dengan rute infeksi yang lebih sering melalui jalur inhalasi (aerosol). Lesio yang terlihat pada paru-paru antara lain adalah pneumonia interstitialis (Gambar 2A), kongesti (Gambar 2B), hemoragi (Gambar 2B), edema (Gambar 2B), atelektasis, thrombus (Gambar 2C), emfisema (Gambar 2D), dan infestasi parasit (Gambar 2D). Hasil pembacaan lesio pada organ paru-paru dapat dilihat pada Tabel 5.

Pada pengamatan yang dilakukan lesio pneumonia interstitialis ditandai dengan pelebaran septa interalveolar akibat infiltrasi oleh sel-sel radang limfosit, makrofag dan sedikit neutrofil. Dilihat dari jenis sel radangnya peradangan

paru-Gambar 4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis ditandai oleh infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah hitam) dan limfosit (kepala panah) dan neutrofil (panah putih) pada jaringan interalveolar, B. Kongesti (panah), hemoragi (h) dan edema (kepala panah), C. Thrombus (panah), D. Emfisema (e), dan infestasi parasit (panah). 40 µm 80 µm 80 µm 80 µm

h

e

A B

D

C

22

paru umumnya telah berjalan kronis atau kronik aktif yang biasanya disebabkan oleh agen yang sulit difagositosis dan infeksi yang berjalan persisten. Coxiella burnetii adalah salah satu agen yang sulit difagositosis dan bisa berlangsung persisten. Infeksi Coxiella burnetii sering berjalan kronis dan secara persisten mengeluarkan agen tersebut melalui feses dan urin (Maurin dan Raoult 1999).

Perubahan pada paru-paru yang bisa ditemukan pada kasus Q fever dapat berupa pneumonia interstitialis dimana terdapat infiltrasi sel-sel radang terutama makrofag, limfosit dan sedikit neutrofil serta eksudat pada alveol. Fibrin, eritrosit serta sel-sel radang mononukleus bisa ditemukan pada eksudat alveolar. Meskipun demikian, lesio ini bukanlah merupakan perubahan spesifik. Perubahan ini bisa juga disebabkan oleh infeksi penyakit lainnya (Maurin dan Raoult, 1999). Temuan pada mencit dan marmut yang diinfeksi Coxiella burnetii juga mempelihatkan lesio pneumonia interstitialis yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang monukleus terutama makrofag dan limfosit pada paru-paru (Stein et al. 2005; Russell-Lodrigue et al. 2006). Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru yang dilakukan oleh pada kasus infeksi alami Coxiella burnetii pada kambing menunjukkan adanya edema insterstitialis, infiltrasi sel-sel radang limfosit dan makrofag, fokal nekrosis intraalveolar, hemoragi dan pneumonia interstitialis yang parah (Norina et al. 2011).

Ada beberapa penyebab lain yang bisa menimbulkan lesio pneumonia interstitialis pada sapi antara lain ; infeksi virus (misalnya Bovine Respiratory Sincytial Virus, Bovine Herpes Virus-1), migrasi larva parasit (Dictyocaulus viviparus), mekanisme immun, gas toksik, dan kondisi lingkungan. Pneumonia interstitialis pada peternakan sapi potong juga bisa disebabkan oleh pemberian

melengestrol acetate pada heifer untuk menekan estrus. Lesio ini juga bisa disebabkan oleh endotoksin yang dihasilkan oleh infeksi bakteri gram negatif (Panciera dan Confer 2010).

Tabel 5 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Paru-paru (HE)

Organ Lesio Jumlah

Paru-paru Peneumonia Interstitialis Infiltrasi sel-sel radang Neutrofil Limfosit Makrofag Eosinofil Kongesti Edema Hemoragi Thrombus Emfisema 25/62 13/62 24/62 22/62 2/62 20/62 17/62 10/62 4/64 4/64

Kongesti pada paru-paru merupakan lesio yang cukup banyak ditemukan. Kongesti ditandai dengan akumulasi darah di dalam lumen pembuluh darah paru-paru. Pada pengamatan juga terlihat bahwa kongesti sering disertai oleh adanya edema. Kongesti pada paru-paru umumnya disebabkan oleh gagal jantung dan peradangan yang mengakibatkan stagnasi darah di dalam pembuluh darah

paru-23 paru, serta menyebabkan terjadinya edema dan keluarnya darah ke ruang alveol (Lopez 2006 ; Caswell dan Williams 2007).

Edema terjadi akibat pengeluaran cairan dari pembuluh darah ke insterstitium melebihi kemampuan sistim limfatik dan alveol untuk mengambil kembali cairan tersebut. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal yang dikelompokkan menjadi edema kardiogenik dan nonkardiogenik (permiability type) (Lopez 2006; Caswell dan Williams 2007). Penyebab edema kardiogenik dapat berupa gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan tekanan osmotik darah akibat hipoalbuminemia serta terganggunya fungsi saluran limfatik. Sedangkan edema yang bersifat non kardiogenik disebabkan oleh pembukaan yang berlebihan dari endothelial gaps dan kerusakan blood-air barrier. Tipe edema non kardiogenik ini sering merupakan bagian dari respon peradangan akibat mediator peradangan seperti leukotrienes, platelet-activating factor, sitokin, dan vasoactive amines yang dilepaskan oleh neutrofil, makropag, sel mast, limfosit, dan sel-sel endotel (Lopez 2006; Caswell dan Williams 2007). Pada sebagian sediaan paru-paru yang diamati temuan ini diduga disebabkan oleh gangguan permiabilitas pembuluh darah akibat adanya infeksi Coxiella burnetii

dibuktikan dengan ditemukannya agen ini pada 12 sediaan paru-paru pada pemeriksaan IHK.

Lesio hemoragi juga ditemukan pada sediaan paru-paru, dimana darah keluar dari pembuluh darah dan terdapat pada ruang alveol. Hemoragi dapat terjadi akibat adanya trauma, koagulopati, tromboemboli, disseminated intravascular coagulation (DIC), vaskulitis, kongesti berat, hemangiosarcoma, atau sepsis (Lopez 2006; Caswell dan Williams 2007). Temuan hemoragi ini bisa dikelirukan oleh terisapnya darah pada saat dilakukan pemotongan arteri karotis dan trakhea pada proses pemotongan hewan (Lopez 2006).

Pembacaan Sediaan Hati

Pemeriksaan IHK menunjukkan 2 organ hati yang imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii. Pengamatan organ hati dilakukan pada 62 individu yang imunoreaktif meskipun tidak semua organ hati pada individu imunoreaktif tersebut ditemukan kehadiran Coxiella burnetii berdasarkan pemeriksaan IHK. Lesio histopatologi yang ditemukan pada organ hati dengan pewarnaan HE antara lain adalah; adanya reaksi peradangan yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, makrofag, neutrofil, dan eosinofil umumnya ditemukan di daerah porta yang menunjukkan adanya portal triaditis. Sel-sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag dan sedikit kehadiran neutrofil dan eosinofil. Disamping itu ditemukan kongesti, degenerasi dan nekrosis hepatosit, serta fibrosis hepatis. Lesio-lesio tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Menurut Maurin dan Raoult (1999) indikasi adanya infeksi Coxiella burnetii pada hati umumnya ditandai dengan lesio granulomatosa. Disamping itu ditemukan pula perubahan lain seperti portal triaditis, hiperplasia sel-sel Kupffer

dan degenerasi lemak. Perubahan histopatologi yang bisa ditemui berupa nekrosis sel-sel hepatosit yang bersifat fokal, dan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri dari makrofag, limfosit dan neutrofil. Lesio yang lebih khas ditunjukkan oleh adanya ruangan kosong (central clear space) dan cincin fibrin yang terdapat diantara granuloma atau di pinggir granuloma yang disebut dengan doughnut granuloma

24

Tabel 6 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Hati (HE)

Organ Lesio Jumlah

Hati Infiltrasi sel-sel radang Neutrofil Limfosit Makrofag Eosinofil Kongesti Degenerasi hepatosit Nekrosis hepatosit Fibrosis 2/62 35/62 14/62 2/62 15/62 9/62 6/62 41/62

Pada pembacaan sediaan hati tidak ditemukan adanya lesio granuloma tersebut. Namun demikian ditemukan adanya portal triaditis, fokus nekrosis dan infiltrasi sel-sel radang limfosit dan makrofag. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi yang telah berlangsung kronis. Lesio granuloma jarang ditemukan pada kasus infeksi Coxiella burnetii yang bersifat kronis, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya respon immun oleh sel-sel T. Lesio dominan yang Gambar 5 Lesio Histopatologi Hati (HE). Peradangan pada daerah porta ditandai

dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), B. Kongesti (panah) C. Fokus nekrosis disertai oleh infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), D. Fibrosis (panah). 40 µm 40 µm 40 µm 80 µm

A B

D

C

25 ditemukan pada infeksi kronis pada hati adalah hepatitis reaktif yang tidak spesifik, infiltrasi sel-sel radang limfositik dan fokus nekrosis (Maurin dan Raoult, 1999). Temuan peradangan yang tinggi pada daerah porta terkait dengan adanya aliran darah dari vena porta yang berasal dari saluran pencernaan dan memberikan konsekuensi kemungkinan masuknya mikroba dan zat toksik lain yang termakan atau diproduksi oleh flora normal di dalam usus (Cullen 2006). Rute penularan

Coxiella burnetii bisa juga melalui jalur ingesti ini akibat termakannya bakteri ini pada pakan yang terkontaminasi.

Disamping itu pada pengamatan sediaan hati ditemukan lesio fibrosis yang cukup tinggi. Fibrosis merupakan ciri terjadinya kerusakan hati kronis (Cullen 2006). Fibrosis yang ditemukan masih terbatas pada area yang kecil dan umumnya berlokasi di daerah porta. Fibrosis bisa disebabkan oleh aktivasi sel

stellate untuk memproduksi kolagen akibat reaksi peradangan yang menghasilkan

proinflamatory cytokines seperti tumor necroses factor dan interlekuin-1, atau

Dokumen terkait