• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Q fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Q fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI Q FEVER PADA TERNAK RUMINANSIA

DI SUMATERA UTARA

SANGKOT SAYUTI NASUTION

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Sangkot Sayuti Nasution

(4)

RINGKASAN

SANGKOT SAYUTI NASUTION. Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan EKOWATI HANDHARYANI.

Salah satu penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia dan bersifat zoonosis adalah penyakit Q fever. Q fever merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia kecuali Selandia Baru. Infeksi pada sapi umumnya berlangsung asimtomatik tetapi dapat menyebabkan keguguran, subfertilitas dan metritis. Pada ruminansia kecil, infeksi dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas, dimana keguguran biasanya terjadi pada akhir kebuntingan. Dengan tidak spesifiknya gejala klinis yang ditimbulkan, sebagian besar kasus Q fever seringnya tidak dilaporkan dan tidak terdiagnosa. Hal ini berakibat pada terbatasnya informasi mengenai penyebaran penyakit ini. Mengingat sebagian besar kasus pada hewan berlangsung asimtomatik, diperlukan suatu usaha untuk mendeteksi agen penyebab penyakit ini melalui metode uji yang dapat membuktikan keberadaannya pada ternak ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, secara histopatologi dan serologi.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan deteksi penyakit, dimulai dengan pengambilan sampel organ sapi di RPH Kota Medan dan Deli Serdang (RPH Tani Asli dan RPH NP 96) serta pengumpulan sampel serum sapi, kambing dan domba dari 6 (enam) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo dan Labuhan Batu). Dalam tahap ini, sampel organ limpa, paru paru dan hati dikumpulkan dari 162 ekor sapi eks impor, sedangkan 184 sampel serum dikumpulkan dari 58 ekor sapi, 75 ekor kambing 51 ekor domba lokal. Selanjutnya dilakukan pengujian sampel di laboratorium dimana organ sapi yang diperoleh dievaluasi secara histopatologi menggunakan pewarnaan Imunohistokimia (IHK) untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii

dan Mayer’s Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk mendeskripsikan lesio histopatologi pada organ yang imunoreaktif dalam pengujian IHK. Imunohistokimia dikerjakan menggunakan kit komersial dengan metode LSAB produksi Dako®. Sampel serum sapi, kambing dan domba diuji dengan metode

Enzyme Linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap Coxiella burnetii. Kit ELISA yang digunakan adalah produksi ID.Vet dengan nama produk ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species.

(5)

hemosiderin, atrofi pulpa putih dan edema. Lesio yang terlihat pada paru-paru antara lain adalah pneumonia interstitialis, kongesti, hemoragi, edema, atelektasis, thrombus dan emfisema, infestasi parasit. Lesio pneumonia interstitialis ditandai dengan pelebaran septa interalveolar akibat infiltrasi oleh sel-sel radang limfosit, makrofag dan sedikit neutrofil. Lesio histopatologi pada organ hati antara lain ; adanya reaksi peradangan yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, makrofag, neutrofil, dan eosinofil umumnya ditemukan di daerah porta yang menunjukkan adanya portal triaditis. Sel-sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag serta sedikit kehadiran neutrofil dan eosinofil. Disamping itu ditemukan kongesti, degenerasi dan nekrosis hepatosit, serta fibrosis hepatis.

Pemeriksaan ELISA pada seluruh sampel serum sapi, kambing maupun domba lokal menunjukkan hasil negatif terhadap kehadiran antibodi Coxiella burnetii. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar hewan yang diuji belum pernah kontak dengan antigen

Coxiella burnetii. Dengan demikian secara tidak langsung belum ditemukan kehadiran Coxiella burnetii pada populasi hewan sapi, kambing dan domba lokal di Sumatera Utara.

Penelitian ini membuktikan adanya infeksi Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia khususnya pada sapi eks impor di Sumatera Utara. Namun demikian hasil pemeriksaan ELISA menunjukkan bahwa kasus Q fever pada sapi, kambing dan domba lokal belum ditemukan.

(6)

SUMMARY

SANGKOT SAYUTI NASUTION. Studies on Q Fever in Ruminants Livestock in North Sumatra. Supervised by AGUS SETIYONO dan EKOWATI HANDHARYANI.

Q fever is one of the animal diseases that can interfere the productivity of ruminants livestock and has zoonotic properties. Q fever is a worldwide distributed animal disease except for New Zealand. In cattle the infection of Q fever generally asymptomatic but may cause abortion, subfertility and metritis. In small ruminants the infection may cause abortion, stillbirth, retension of fetal membranes, endometritis and infertility, where the abortion usually occur in the last period of pregnancy. With no specific clinical signs, most cases of Q fever is often unreported and undiagnosed. This resulted in a lack of information about the spread of this disease. Because of majority of cases in animals appeared asymptomatic, required an effort to detect the causative agent of the disease through testing method that can prove its existence in ruminants. The aims of this study was to detect the presence of Coxiella burnetii antigens and antibodies as Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo and Labuhan Batu). In this stage, spleen, lung and liver samples were collected from 162 ex import cattles, while 184 serum samples were collected from 58 local cattles, 75 goats, and 51 sheep. Further stage, the samples were tested in the laboratory where the cattle organs evaluated histopathologically using Immunohistochemical staining (IHC) for the detection of Coxiella burnetii antigens and Mayer's Hematoxylin and Eosin (HE) to describe the histopathological lesions in organs that showed the immunoreactivity in IHC. Immunohistochemistry was performed using a commercial kit from Dako® with LSAB method. Serum samples of cattles, goats and sheep were tested by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) to detect the presence of antibodies to Coxiella burnetii. The ELISA kits that used were from ID.Vet with the product name ID Screen ® Q Fever Indirect Multi-Species.

(7)

pneumonia was characterized by widening of interalveolar septa due to infiltration by inflammatory cells such as lymphocytes, macrophages and neutrophils. Histopathological lesions in the liver such as inflammatory reaction characterized by infiltration of inflammatory cells such as lymphocytes, macrophages, neutrophils, and eosinophils were generally found in the portal area indicating portal triaditis. Inflammatory cells dominated by lymphocytes and macrophages with few neutrophils and eosinophils were also found. In addition, there were congestion, degeneration and necrosis of hepatocytes, and hepatic fibrosis.

The ELISA results in all serum samples of local cattles, goats and sheep were negative for the presence of antibodies against Coxiella burnetii. Based on these results, it can be concluded that the animals which tested most likely has no contact with Coxiella burnetii antigens. Thus indirectly the presence of Coxiella burnetii were not found in populations of local cattles, goats and sheep in North Sumatra.

The results indicated the presence of Q fever infection especially on ex import cattles in North Sumatra. However, the results of ELISA showed that the infection of Q fever in local cattles, goats and sheep were not found.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

STUDI Q FEVER PADA TERNAK RUMINANSIA

DI SUMATERA UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Studi Q fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara Nama : Sangkot Sayuti Nasution

NIM : B351120061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Drh Agus Setiyono, MS PhD Ketua

Prof Dr Drh Ekowati Handharyani, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Biomedias Hewan

Drh Agus Setiyono, MS PhD

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan ialah penyakit hewan menular Q fever, dengan judul Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Agus Setiyono, MS, Ph.D dan Ibu Prof Dr Drh Ekowati Handharyani, MSi selaku pembimbing, Bapak Prof Dr drh Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku penguji luar komisi serta Drh Mawar Subangkit, MSi yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala BPPSDMP Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang magister ini melalui fasilitas beasiswa yang telah diberikan. Penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Kepala Balai Veteriner Medan, Bapak Drh Suhirjan, Adinda Zulhajji, Bapak Sholeh, Bapak Kasnadi, Bapak Endang serta seluruh staf Laboratorium Patologi FKH IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Eka Ervika, MSi, Psikolog, Ananda M. Faiz Aqil Nasution dan M. Danish Afif Nasution serta seluruh keluarga, atas pengorbanan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Juni 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Coxiella bunetii 3

Patogenesis Q Fever 4

Q Fever pada Ternak Ruminansia 6

Deteksi Coxiella burnetii dengan Imunohistokimia 8 Deteksi Antibodi Terhadap Coxiella burnetii Dengan ELISA 9

METODE PENELITIAN 10

Waktu dan Tempat 10

Bahan dan Alat 10

Metode 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Hasil Pengujian Imunohistokimia 14

Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi 18

Hasil Pengujian ELISA 25

Pembahasan umum 27

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 36

(14)

DAFTAR TABEL

1 Interpretasi Hasil Pengujian ELISA 14

2 Jumlah Sampel Individu Sapi dan Hasil Pengujian Imunohistokimia 15 3 Hasil Pengujian Imunohistokimia Berdasarkan Jenis Organ 16 4 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Limpa (HE) 20 5 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Paru-paru (HE) 22

6 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Hati (HE) 24

7 Jumlah Sampel Serum dan Hasil Pengujian ELISA 26

8 Ringkasan Hasil Pengujian IHK pada Sapi Eks Impor dan Hasil Pengujian ELISA pada Sapi, Kambing dan Domba Lokal 28

DAFTAR GAMBAR

1 Alur Penelitian 11

2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen Coxiella burnetii

pada sel-sel makrofag (panah) organ limpa (A), paru-paru (B) dan hati

(C). 17

3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B. Kongesti (panah), C. Akumulasi pigmen hemosiderin (panah), dan edema (kepala panah) ditandai dengan jarak antar sel yang melebar, D. Atrofi pulpa

putih (panah). 19

4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis ditandai oleh infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah hitam) dan limfosit (kepala panah) dan neutrofil (panah putih) pada jaringan interalveolar, B. Kongesti (panah), hemoragi (h) dan edema (kepala panah), C. Thrombus (panah), D. Emfisema (e), dan infestasi parasit

(panah). 21

5 Lesio Histopatologi Hati (HE). Peradangan pada daerah porta ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), B. Kongesti (panah) C. Fokus nekrosis disertai oleh infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), D.

Fibrosis (panah). 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Populasi Ternak Ruminansia di Sumatera Utara Tahun 2012 36

2 Hasil Pengujian Imunohistokimia (IHK) 37

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia dan bersifat zoonosis adalah penyakit Q fever. Q fever merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia kecuali Selandia Baru (Rodolakis 2006; Angelakis dan Raoult 2010). Pada Tahun 2009 wabah besar Q fever pernah terjadi di Belanda, yang menyerang lebih dari 2300 orang dan menyebabkan 6 orang meninggal dunia. Kasus tersebut diduga berasal dari peternakan kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii (Enserink 2010). Australia sebagai asal utama sapi impor ke Indonesia masih belum bebas dari penyakit ini. Cooper et al. (2011) membuktikan hal ini dengan melakukan kajian seroprevalensi pada sapi potong di Queensland Australia, dimana 16.8% sampel serum yang diperiksa seropositif terhadap Coxiella burnetii.

Di Indonesia, Q fever pertamakali dilaporkan pada sapi dimana sebanyak 189 serum sapi positif terhadap antibodi Coxiella burnetii (Kaplan dan Bertagna 1955). Miyashita et al. (2001) menemukan adanya kasus pneumonia yang disebabkan oleh Coxiella burnetii pada seorang penderita yang mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia. Mahatmi et al. (2007), berhasil mendeteksi agen penyakit ini pada 6,68 % sampel organ Sapi Brahman Cross, 5,7 % pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29 % pada organ Sapi Bali yang diperoleh di rumah potong hewan di Bali dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Namun demikian, informasi keberadaan penyakit ini pada daerah lainnya di Indonesia masih sangat terbatas.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara bekas Uni Soviet telah mengembangkan Coxiella bunetii sebagai senjata biologis (Jones et al. 2006). Q fever dianggap sebagai agen potensial dalam bioterorisme karena tingkat infektifitas dan stabilitasnya pada lingkungan serta berpotensi disebarkan melalui aerosol (OIE 2010). Amerika Serikat menempatkan Q fever

sebagai agen bioterorisme kategori B, dimana agen ini secara moderat mudah disebarkan (Guarner dan Zaki 2006; Raoult 2009; CDC 2013).

(16)

2

hepatitis dan manifestasi neurologis (Woldehiwet 2004; Porter 2011). Dengan tidak spesifiknya gejala klinis yang ditimbulkan, sebagian besar kasus Q fever

tidak dilaporkan dan tidak terdiagnosa (EFSA 2010).

Mengingat sebagian besar kasus pada hewan berlangsung asimtomatik, diperlukan suatu usaha untuk mendeteksi agen penyebab penyakit ini melalui metode uji yang dapat membuktikan keberadaannya pada ternak ruminansia. Pada penelitian ini dilakukan deteksi antigen Coxiella burnetii pada sampel organ yang telah difiksasi Buffered Neutral Formalin (BNF) menggunakan teknik Imunohistokimia (IHK). Aplikasi IHK untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii

telah banyak digunakan. Studi histopatologi dan IHK menunjukkan keberadaan antigen Coxiella burnetii pada plasenta kambing yang diinfeksi (Sanchez et al.

2006). Hal yang hampir sama dilakukan oleh Hansen et al. (2011) untuk melihat distribusi antigen Coxiella burnetii pada plasenta sapi. Norina et al. (2011) melakukan studi retrospektif dengan teknik IHK pada organ kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii, dan berhasil mendeteksi keberadaan agen tersebut pada berbagai organ seperti hati, limpa, paru-paru, plasenta, dan ginjal.

Lebih lanjut, pada penelitian ini juga dilakukan deteksi antibodi Coxiella burnetii,menggunakan metode Enzyme Linked Immunosarbent Assay (ELISA). Metode ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelberger et al. 2009; Rousset et al.2007). Teknik ini banyak digunakan dalam diagnosis veteriner karena relatif mudah dikerjakan terutama untuk tujuan screening sampel dalam skala besar.

Enzyme Linked Immunosarbent Assay merupakan teknik yang cukup handal dalam menunjukkan keberadaan antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Metode ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari

Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap Coxiella burnetii masih dapat dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi (Fournier et al.

1998).

Perumusan Masalah

Q fever yang disebabkan oleh Coxiella burnetii merupakan penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia serta bersifat zoonosis. Sampai saat ini penelitian mengenai kejadian dan penyebaran Q fever di Indonesiamasih jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan informasi mengenai penyebaran penyakit tersebut. Sumatera Utara merupakan provinsi yang memiliki populasi ternak ruminansia yang cukup tinggi dan merupakan salah satu daerah penerima sapi impor. Namun demikian, informasi keberadaan dan tingkat penyebaran penyakit Q fever di provinsi tersebut belum diketahui. Oleh sebab itu itu dibutuhkan penelitian yang bisa membuktikan keberadaan dan tingkat penyebaran penyakit tersebut.

(17)

3 kambing dan domba. Salah satu uji yang dapat mendeteksi antigen Coxiella burnetii pada organ adalah metode imunohistokimia. Sedangkan uji yang mampu mendeteksi keberadaan antibodi terhadap agen tersebut salah satunya adalah metode ELISA.

Imunohistokimia merupakan teknik yang dapat dipakai untuk mendeteksi keberadaan antigen tertentu pada jaringan dengan mereaksikannya dengan antibodi spesifik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Coxiella burnetii

bisa dideteksi pada sel-sel makrofag limpa, paru-paru dan hati. Dengan demikian jika antigen Coxiella burnetii terdapat pada sampel organ sapi yang dikumpulkan maka akan dapat dideteksi dengan teknik IHK yang digunakan. Antibodi terhadap

Coxiella burnetii terbentuk 3-4 minggu setelah munculnya gejala akut Q fever dan masih dapat dideteksi selama bertahun-tahun. Enzyme Linked Immunosorbent Assay adalah teknik yang mampu mendeteksi antibodi tersebut. Jika antibodi terhadap Coxiella burnetii terdapat pada sampel serum sapi, kambing dan domba yang dikumpulkan akan dapat di deteksi dengan teknik ELISA yang digunakan.

Dengan adanya hasil kedua uji ini maka akan diketahui keberadaan dan penyebaran penyakit Q fever di Sumatera Utara.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii

sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, secara histopatologi dan serologi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat berupa tersedianya informasi keberadaan

Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara. Secara spesifik penelitian ini menambah pengetahuan dan keterampilan khususnya dalam penggunaan metode IHK dan ELISA dalam mendeteksi Coxiella burnetii. Berdasarkan informasi yang diperoleh dapat dilakukan penelusuran balik (Traceback) terhadap asal ternak yang positif terhadap Coxiella burnetii sehingga dapat dilakukan usaha pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyakit ini pada populasi ternak lainnya. Informasi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai dasar dalam membuat kebijakan dan konsep pengendalian penyakit.

TINJAUAN PUSTAKA

Coxiella bunetii

(18)

4

rickettsial fever” untuk menghindari konotasi negatif terhadap industri sapi dan

negara bagian Queensland. Penyebab Q fever ditemukan Tahun 1937 ketika Frank Macfarlane Burnet dan Mavis Freeman mengisolasi bakteri dari salah satu pasien Derrick. Bakteri ini awalnya diidentifikasi sebagai salah satu spesies Rickettsia. Selanjutnya, pada Tahun 1938 HR Cox dan Gordon Davis mengisolasi bakteri ini dari caplak di Montana Amerika Serikat (Fournier et al. 1998; Honarmand 2012). Sebagai penghargaan terhadap kedua penemu tersebut, agen penyebab penyakit tersebut saat ini diberi nama Coxiella burnetii.

Ada beberapa cara penularan penyakit ini baik pada hewan maupun manusia. Manusia dapat tertular terutama melalui aerosol yang terkontaminasi (Maurin dan Raoult 1999; Rodolakis 2006; Angelakis dan Raoult 2010), kontak langsung dengan sumber penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan, susu, luka yang terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999; Woldehiwed 2004). Lebih lanjut, Coxiella burnetii juga berpeluang ditularkan secara seksual (Porter et al.

2011).

Coxiella burnetii adalah bakteri gram negatif intraseluler obligat kecil yang tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan. Bakteri ini berbentuk batang pleomorfik kecil (lebar 0.4-1.0 µm, panjang 0.4-1.0 µm) yang memiliki membran mirip dengan bakteri gram negatif lainnya dan biasanya tidak bisa diwarnai dengan teknik pewarnaan gram (Maurin dan Raoult 1999). Bakteri ini berreflikasi di dalam vakuola parasitophorous dari sel inang eukariot dengan perkiraan waktu penggandaan 20-45 jam (Angelakis dan Raoult 2010). Organisme ini bisa berbentuk small cell variant (SCV) atau dalam bentuk large cell variant (LCV) (Angelakis dan Raoult 2010). Berdasarkan analisis sequensing rRNA 16S ditunjukkan bahwa, genus Coxiella termasuk dalam subdivisi dari gamma

proteobacteria bersama dengan genus Legionella, Francissella dan Rickettsiella

(Maurin dan Raoult 1999).

Coxiella burnetii memiliki variasi genetik yang disebut dengan variasi fase. Fenomena ini mirip dengan variasi kasar-halus pada enterobacteria yang disebabkan oleh hilangnya sebagian dari lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida bertindak sebagai determinan virulensi utama dari Coxiella burnetii. Ketika diisolasi dari hewan atau manusia Coxiella burnetii merupakan antigen fase I yang sangat infeksius. Setelah subkultur pada sel atau telur berembrio, modifikasi dari LPS menghasilkan pergeseran antigenik kedalam bentuk fase II yang kurang infeksius. Amano et al. 1987 menemukan bahwa fase II dari bakteri ini kehilangan komponen LPS galactosaminuonyl-α-(l-6)-glucosamine, virenose dan

dihydrohydroxystreptose. Modifikasi LPS ini membuat protein permukaan dapat diakses oleh antibodi (Fournier et al. 1998; Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Angelakis dan Raoult 2010; Porter et al. 2011).

Patogenesis Q Fever

Rute terpenting dari infeksi Q fever adalah inhalasi (aerosol) bakteri pada debu yang terkontaminasi, sementara rute oral dianggap sebagai rute sekunder. Pada saat terhirup atau termakan bentuk ekstraseluler dari Coxiella burnetii

(19)

5 Perlekatan bakteri fase I pada membran sel dimediasi oleh v3 integrin, sedangkan bakteri fase II dimediasi oleh v3 integrin dan reseptor CR3 (Capo

et al. 1999; Angelakis dan Raoult 2010). Fagolisosom terbentuk setelah fusi dari fagosom dan acidic lisosom dari sel. Fagolisosom-fagolisosom intraselular pada akhirnya bersatu sampai terbentuk sebuah vakuola besar yang unik. Coxiella burnetii telah beradaptasi dengan fagolisosom sel eukariot dan mampu memperbanyak diri dalam vakuola yang asam (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Porter et al.2011). Kondisi asam dibutuhkan bakteri ini untuk metabolisme termasuk asimilasi nutrien serta sintesis asam nukleat dan asam amino (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al.2011). Multifikasi Coxiella burnetii dapat berhenti oleh peningkatan pH fagolisosom oleh agen lisosomotrofik seperti chloroquine

(Porter et al. 2011)

Siklus intraseluler Coxiella burnetii menyebabkan terbentuknya dua tahap perkembangan dari bakteri ini yang dikenal dengan small cell variant (SCV) dan

large cell variant (LCV). Small cell variant adalah bentuk ekstraselular dari bakteri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, SCV dianggap secara metabolisme inaktif dan mampu bertahan pada kondisi ekstrim seperti terhadap panas, desikasi, pH rendah atau tinggi, desinfektan, produk kimia, tekanan osmotik, dan sinar ultraviolet. Kondisi ini menyebabkan bakteri ini mampu bertahan lama pada lingkungan walaupun tidak terdapat induk semang yang cocok. Small cell variant

dari Coxiella burnetii bersifat irreversibel (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al.2011)

Lebih lanjut, setelah terhirup atau termakan SCV menempel pada membran sel dan masuk ke dalam sel. Setelah fusi fagolisosom, keasaman dari vakuola yang baru terbentuk akan menginduksi aktivasi metabolisme SCV dan berkembang menjadi LCV (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al. 2011). Selama morfogenesis dari SCV kedalam bentuk LCV tidak terdapat peningkatan jumlah bakteri (Porter et al. 2011). LCV dianggap sebagai bentuk intraseluler aktif dari

Coxiella burnetii. Bentuk ini lebih pleomorfik dibanding SCV. Dinding selnya lebih tipis dan memiliki daerah filamentouse nucleoid yang lebih menyebar dan panjangnya bisa melebihi 1 µm (Porter et al. 2011). Pertumbuhan intraseluler relatif lambat dengan waktu penggandaan sekitar 8-12 jam (Porter et al. 2011).

Large cell variant dapat berdiferensiasi menjadi bentuk spore-like dengan pembelahan biner asimetris. Bentuk endogenous spore-like dapat berkembang dan mengalami perubahan metabolisme sampai akhirnya mencapai bentuk SCV, dan pada akhirnya sel akan pecah atau kemungkinan mengalami eksositosis untuk melepaskan bakteri resisten ke media ekstraseluler (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al. 2011).

Coxiella burnetii memiliki dosis infeksi yang sangat rendah. Infeksi dapat berlangsung meskipun oleh satu sel bakteri tersebut (Woldehiwet 2004). Target sel dari Coxiella burnetii adalah sel-sel monosit/makrofag (Shannon dan Heinzen 2009; Angelakis dan Raoult 2010). Setelah multiplikasi primer pada limfonodus regional, akan disusul dengan bakteremia (Woldehiwet 2004). Pada fase akut infeksi pada hewan, kehadiran Coxiella burnetii dapat ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah. Pada fase kronis dari infeksi tidak ada gejala yang terlihat (Maurin dan Raoult 1999). Pada Q fever yang bersifat kronis, Coxiella burnetii

(20)

6

Kontrol dari infeksi primer Q fever melibatkan respon immun beperantara sel dan pembentukan granuloma. Lesio granuloma memiliki sebuah ruang terbuka sentral dan sebuah cincin fibrin dan kemudian disebut sebagai doughnut granuloma (Angelakis dan Raoult 2010). Perubahan patologi pada marmut yang diinfeksi buatan dapat ditemukan pada organ yang berbeda beberapa hari setelah infeksi. Limpa dan limfonodus mesenterika dapat membengkak dan pada pengujian histologi paru-paru menunjukkan adanya infiltrasi sel sel mononuklear, sedangkan granuloma ditemukan pada hati, limpa dan sumsum tulang (Maurin dan Raoult 1999). Studi retrospektif yang dilakukan oleh Norina et al. (2011) pada kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii menunjukkan adanya radang granulomatosa pada paru-paru, hati dan limpa.

Pengambilan patogen intraseluler oleh antigen presenting cells (APC) menyebabkan kehadiran antigen patogen pada permukaan sel induk semang. Kehadiran antigen ini disertai dengan ekspresi molekul costimulatory Sel T pada pemukaan APC. Kejadian ini menyebabkan mobilisasi Sel T spesifik antigen. Sel T yang teraktivasi dalam jumlah besar direkrut ke daerah infeksi dan menghasilkan sitokin peradangan seperti interferon gamma (IFN-γ) dan

tumornecrosis factor (TNF). Sitokin tersebut menstimulasi respon antimikrobial pada berbagai tipe sel yang mengkontrol infeksi. Sel T juga merekrut sel mononuklear limfosit dan limfoblas ke daerah infeksi dan membentuk granuloma yang secara efektif membatasi invasi patogen. Produksi spesies oksigen dan nitrogen reaktif (ROS dan RON) oleh sel sebagai respon terhadap IFN-γ, terlihat memainkan peranan penting dalam kontrol replikasi bakteri intraseluler. Infeksi

Coxiella burnetii sering menyebabkan lesio granulomatosa pada berbagai organ termasuk limpa, hati dan paru-paru (Shannon dan Heinzen 2009).

Antibodi terhadap Coxiella burnetii akan terbentuk 3-4 minggu setelah gejala Q fever akut, sebagian besar antibodi yang terbentuk adalah anti fase II yang diduga bersifat proteinaceouse. Faktanya, pembentukan anti fase II ini disertai pula dengan terbentuknya anti fase I pada tingkat yang rendah yang terutama ditujukan terhadap LPS, dan dianggap bernilai diagnostik pada Q fever

akut (Shannon dan Heinzen 2009). Pada fase kronis antibodi terhadap fase I akan terlihat meningkat (Fournier et al. 1998)

Q Fever pada Ternak Ruminansia

(21)

7 Infeksi pada hewan umumnya asimtomatik. Pada fase akut dari infeksi kehadiran Coxiella burnetii dapat ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah. Pada fase kronis dari infeksi tidak ada gejala yang terlihat (Maurin dan Raoult 1999). Pada sapi infeksi sering bersifat asimtomatik, tetapi dapat menyebabkan abortus, subfertilitas, metritis dan mastitis (Porter et al.2011). Pada studi yang dilakukan Plommet et al. dalam Agerholm (2013), ditemukan bahwa sapi yang dinfeksi Coxiella burnetii secara intradermal menunjukkan adanya respon deman 40-41 oC dalam 24-36 jam, yang disertai dengan adanya pneumonia yang sembuh dengan sendirinya. Infeksi pada ruminansia kecil dapat menyebabkan abortus, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas (Van den Brom dan Vellema 2009). Umumnya abortus terjadi pada periode akhir kebuntingan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005).

Hewan terinfeksi dapat mengeluarkan Coxiella burnetii pada produk kelahiran, urin, feses, dan susu. Pengeluaran agen ini bisa bertahan selama berbulan bulan (Arricau-Bouvey dan Rodolakis 2005). Studi yang dilakukan oleh Rousset el al.(2009) pada kambing perah yang terinfeksi menunjukkan adanya pengeluaran Coxiella burnetii pada mukus vagina, feses dan susu, dimana pada kambing yang tidak mengalami abortus ekskresi antigen masih terlihat pada 27 % sampel mukus vagina, 20 % pada feses, dan 31 % pada susu. Sedangkan pada kambing yang mengalami abortus ekskresi antigen masih terlihat pada 44 % sampel mukus vagina, 21 % pada feses, dan 38 % pada susu.

Guatteo et al.(2006) melakukan kajian mengenai rute pengeluaran

Coxiella burnetii oleh sapi perah yang terinfeksi. Pada studi ini terlihat bahwa pengeluaran melalui susu merupakan yang paling tinggi angka positif terhadap

Coxiella burnetii dibanding pada sampel feses dan mukus vagina. Meskipun demikian pengeluaran melalui feses dan mukus vagina masih memberikan akibat yang besar pada terjadinya kontaminasi terhadap lingkungan. Kruszewska dan Wierzbanowska (1997) pernah melaporkan adanya Coxiella burnetii pada semen sapi pejantan yang digunakan dalam inseminasi buatan. Studi pada kambing yang terinfeksi secara alami menunjukkan adanya abortus dan lahir mati, dimana pada hapusan (swab) vagina dan sampel susu, pengeluaran bakteri masih dapat ditemukan empat bulan setelah terjadinya wabah Coxiella burnetii (Berri et al.

2007). Data epidemiologi menunjukkan bahwa sapi lebih sering terinfeksi secara kronis dibandingkan pada domba dan secara persisten mengeluarkan bakteri

Coxiella burnetii. Tempat infeksi kronis pada sapi adalah uterus dan kelenjar ambing (Baca dan Paretky 1984).

Lebih lanjut Coxiella burnetii berkaitan erat dengan kejadian plasentitis (Hansen et al. 2011; Porter et al. 2011). Nekrosis plasenta dan bronchopneumonia pada fetus juga sangat erat kaitannya dengan kehadiran Coxiella burnetii pada trofoblas. Tidak seperti pada manusia dan sapi yang diinfeksi secara eksperimental, ruminansia yang terinfeksi secara alami jarang menunjukkan gejala respirasi dan jantung (Porter et al. 2011).

Beberapa studi menunjukkan bahwa kejadian Q fever pada kambing berhubungan dengan kejadian Q fever pada manusia (Shcimmer et al. 2009; Van den Brom dan Vellema 2009; Porter et al.2011). Di beberapa negara, kambing merupakan sumber utama infeksi terhadap manusia karena perkembangan peternakannya yang ekstensif dan kedekatannya dengan manusia (Porter et al.

(22)

8

keguguran, lahir mati dan lahir lemah, dua gejala klinis terakhir merupakan yang paling sering terlihat (Porter et al. 2011). Keguguran terjadi diakhir masa kebuntingan (Rousset et al. 2009). Frekuensi kejadian keguguran pada kambing lebih sering dibandingkan dengan domba (Porter et al. 2011)

Q fever pada domba dapat menyebabkan keguguran, sama dengan yang terjadi pada kambing (Berri et al.2007; Porter et al. 2011). Meskipun demikian infeksi kronis jarang terjadi pada domba. Domba terinfeksi mengeluarkan

Coxiella burnetii dari sekresi vagina, urin, feses dan susu. Infeksi alami pada domba menunjukkan bahwa, bakteri dapat diisolasi pada cairan vagina pada waktu lama setelah terjadinya keguguran. Dua kasus pada manusia yang terjadi di Prancis berhubungan dengan penggunaan pupuk dari feses domba. Pada domba tidak ditemukan gejala klinis meskipun hewan seropositif dan mengeluarkan bakteri pada fesesnya. Wabah Q fever yang terjadi di Bulgaria Tahun 2004 juga berkaitan dengan infeksi pada domba dan kambing (Porter et al. 2011).

Deteksi Coxiella burnetii dengan Imunohistokimia

Coxiella burnetii memiliki virulensi yang sangat tinggi sehingga hanya laboratorium yang memiliki fasilitas biosafety level 3 (BSL3) dan personil yang berpengalaman yang diperbolehkan melakukan manipulasi spesimen yang terkontaminasi agen ini dan menumbuhkan mikroorganisme ini dari sampel klinis (Fournier et al. 1998). Pada penelitian ini dilakukan deteksi antigen Coxiella burnetii pada berbagai sampel organ yang telah difiksasi dengan BNF, menggunakan teknik pewarnaan Imunohistokimia (IHK) sehingga diharapkan resiko zoonosis akan dapat dikurangi selama pengerjaan.

Konsep dasar dari imunohistokimia adalah menunjukkan adanya antigen di dalam jaringan oleh antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut. Ketika ikatan antigen dan antibodi terjadi, ikatan ini akan diperlihatkan dengan sebuah reaksi warna histokimia yang terlihat dengan mikroskop cahaya biasa atau dengan fluorokrom dengan cahaya ultraviolet. Imunohistokimia telah menjadi sebuah metode yang kuat dan handal baik untuk diagnosa rutin dan penelitian dalam bidang kedokteran hewan (Ramos-Vara 2005).

Imunohistokimia memiliki peranan penting dalam diagnostik histopatologi (D’Amico et al. 2008). Spesifitas dan sensitifitas yang baik, produk reaksinya yang permanen, kegunaannya dalam jaringan yang diembeding dengan parafin membuat metode immunoperoxidase sebagai teknik yang banyak dipakai saat ini (Baumgartner et al. 1988). Lebih lanjut teknik ini dapat digunakan untuk mempelajari penyebaran dan patogenesis Coxiella burnetii dengan infeksi buatan pada hewan laboratorium serta infeksi alami pada hewan dan manusia pada jaringan yang telah diembeding dengan parafin (Baumgartner et al. 1988).

(23)

9 keberadaan antigen ini pada plasenta (Sanchez et al. 2006). Metode IHK juga telah digunakan untuk mendeteksi Coxiella burnetii pada kasus endokarditis (Lepidi et al. 2006) dan kasus hepatitis kronis yang disebabkan oleh agen ini (Lepidi et al. 2009). Studi retrospektif yang dilakukan oleh Norina et al.(2011) pada kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii menunjukkan teknik IHK mampu mendeteksi keberadaan agen tersebut pada berbagai organ seperti hati, limpa, paru-paru, plasenta, dan ginjal. Russell-Lodrigue et al. (2006) mampu membuktikan keberadaan antigen Coxiella burnetii pada organ limpa, paru-paru dan hati marmut yang di infeksi secara buatan melalui jalur pernafasan dengan metode IHK.

Deteksi Antibodi Terhadap Coxiella burnetii Dengan ELISA

Prinsip dasar dari ELISA adalah menggunakan enzim untuk mendeteksi adanya ikatan antigen dan antibodi. Enzim mengubah substrat (chromogen) tidak berwarna menjadi hasil yang berwarna yang mengindikasikan keberadaan ikatan antigen dan antibodi. Enzyme Linked Immunosorbent Assay dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam sampel tergantung bagaimana uji ini didisain (Ma et al. 2006).

Teknik ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelbergeret al. 2009; Rousset et al.2007). ELISA lebih dipilih dibanding Immunofluorescence Antibody Assay

(IFA) dan Complement Fixation Test (CFT) khususnya dalam diagnosis veteriner karena teknik ini mudah dikerjakan pada uji screening dengan sampel skala besar dan merupakan teknik yang cukup handal untuk menunjukkan keberadaan antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Teknik ELISA digambarkan lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dengan CFT dalam diagnosis Q fever. Metode ini diusulkan sebagai metode dalam melakukan survey seroepidemiologi. Teknik ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari

Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap Coxiella burnetii masih dapat dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi terjadi (Fournier

et al. 1998)

Aplikasi ELISA untuk mendeteksi antibodi Coxiella burnetii pada hewan ruminansia telah banyak digunakan. Teknik ELISA pernah digunakan dalam diagnosa serologis kambing perah yang mengalami gangguan reproduksi. Pada kasus ini, uji serologi yang dilakukan 6 (enam) bulan setelah keguguran menunjukkan adanya antibodi Coxiella burnetii (Berry et al. 2007). Nogareda et al. (2012) menggunakan ELISA dalam melihat dinamika seroprevalensi dari infeksi Coxiella burnetii dan serokonversi pada kelompok sapi perah yang terinfeksi Coxiella burnetii. Selanjutnya, investigasi yang dilakukan dengan ELISA pada kambing perah yang mengalami abortus menunjukkan seroprevalensi

Coxiella burnetii sebesar 74 %, 67 % dan 50 % pada sampel serum yang diambil pada hari ke 24, 130 dan 207 setelah abortus yang terakhir (Reichel et al. 2012).

Survey seroepidemiologi dengan teknik ELISA yang dilakukan pada peternakan domba di bagian selatan Marmara Turki menunjukkan bahwa 20 % (151/743) sampel serum seropositif terhadap Coxiella burnetii (Kennerman et al.

(24)

10

Queensland Australia menunjukkan 16.8 % seropositif Coxiella burnetii dengan teknik ELISA yang menggunakan antigen fase I maupun fase II dari bakteri (Cooper et al. 2011). Penelitian yang dilakukan di Al-Qossim City Iraq memperlihatkan 16 % seropositif terhadap Coxeilla burnetii dari 500 sampel serum ruminansia kecil (domba dan kambing) yang duji dengan ELISA (Kshash 2012). Hal ini menunjukkan teknik ini sangat berguna dalam diagnosis dan survey

serologis Q fever pada kelompok ternak ruminansia.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 sampai dengan Januari 2014 di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan, RPH Tani Asli dan RPH NP 96 Kabupaten Deli Serdang, Balai Veteriner Medan dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah organ limpa, paru-paru dan hati yang dikumpulkan dari ternak sapi eks impor di RPH Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang (RPH Tani Asli dan RPH NP 96) serta sampel serum sapi, kambing, dan domba lokal yang berasal dari 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara. Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi pengambilan sampel serum adalah ; Medan, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo dan Labuhan Batu. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada populasi ternak dan/atau manusia yang relatif tinggi.

Bahan dan peralatan yang dibutuhkan antara lain : buffered neutral formaline (BNF) 10%, poly l lysine, kit LSAB dari Dako®, polyclonal antibody terhadap Coxiella burnetii (Rabbit anti Coxiella burnetii FKH-IPB), phospate buffer saline (PBS), kit ELISA Q fever (ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species, ID.Vet), botol spesimen, microtube, gunting, skalpel, pisau, tissue processor, embedding center, microtome, ELISA reader, pisau microtome,

waterbath, gelas objek, dan lain-lain.

Metode

(25)

11 metode Enzyme Linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap Coxiella burnetii. Alur pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Besaran Sampel

Jumlah sampel individu sapi yang dikumpulkan sampel organnya di RPH dihitung berdasarkan jumlah pemotongan harian (23 ekor/hari di RPH Kota Medan dan 10 ekor/hari pada RPH Deli Serdang) yang dianggap sebagai populasi target dan asumsi prevalensi Q fever. Perhitungannya dilakukan menggunakan

software Win Episcope 2.0 dengan pendekatan deteksi penyakit. Asumsi yang dipakai adalah angka prevalensi 7% dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan asumsi di atas sampel yang harus dikumpulkan masing-masing adalah 20 ekor sapi di RPH Kota Medan dan 10 ekor sapi di RPH Deli Serdang. Untuk meningkatkan peluang deteksi antigen Coxiella burnetii maka pengambilan sampel dilakukan selama 5 (lima) hari berturut-turut sehingga jumlah sampel yang harus dikumpulkan adalah 150 ekor sapi.

Jumlah sampel serum sapi, domba dan kambing yang diambil di Kab/Kota yang dipilih dihitung menggunakan software dan pendekatan yang sama berdasarkan data populasi ternak sapi, kambing dan domba di Sumatera Utara, dimana asumsi prevalensi penyakit yang digunakan adalah 7% untuk sapi dan 6% untuk kambing dan domba dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan asumsi di atas sampel serum yang harus dikumpulkan masing-masing adalah ; 42 serum sapi, 49 serum kambing dan 49 serum domba sehingga jumlah keseluruhan sampel serum adalah 140.

Pengambilan Sampel

Sampel organ yang akan diambil berupa paru-paru, hati, dan limpa dengan ketebalan ± 1 cm, kemudian dimasukkan ke dalam Buffered Neutral Formalin

(BNF). Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis. Darah yang diambil sebanyak 3 ml yang ditempatkan di dalam tabung tanpa antikoagulan. Darah tersebut didiamkan sampai serum terpisah dari bekuan darah. Kemudian

Pengambilan Sampel

Serum Pengujian

Laboratorium Organ dalam

BNF 10% Histopatologi (HE, IHK)

ELISA

Analisis Data

(26)

12

dilakukan koleksi serum, ditempatkan dalam microtube dan disimpan pada 4 oC atau dibekukan pada freezer -20 oC.

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Sampel organ yang sudah terfiksasi dipotong dengan ketebalan 3 mm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue casset. Organ yang ada di dalam casset

dimasukkan ke dalam Automatic Tissue Processor yang berisi reagen dengan urutan ; alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 96 %, alkohol absolut I, alkohol absolut II, alkohol absolut III, xylol I, xylol II, parafin I dan parafin II. Proses tersebut memakan waktu sekitar 24 jam dengan tujuan dehidrasi, clearing, dan impregnasi jaringan. Setelah proses tersebut, jaringan yang ada di dalam casset dipindahkan ke dalam cetakan yang telah berisi sedikit parafin dan organ disusun agar tepat berada di tengah cetakan. Parafin cair kemudian ditambahkan sampai cetakan hampir penuh. Proses pembuatan blok parafin tersebut dikerjakan pada alat

paraffin embedding console. Cetakan yang telah berisi organ dan parafin cair dikeringkan dengan mendinginkannya di atas alat frozen tissue embedding machine. Selanjutnya jaringan dalam blok parafin dipotong dengan rotary microtome dengan ketebalan 3-5 µm. Irisan jaringan kemudian diapungkan pada

waterbath dan diambil dengan gelas objek. Irisan jaringan yang telah menempel pada gelas objek dikeringkan dan dimasukkan ke dalam inkubator selama 1 malam dengan suhu 50-60 oC.

Imunohistokimia

Pewarnaan imunohistokimia digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen Coxiella burnetii pada berbagai organ yang diambil. Imunohistokimia dikerjakan menggunakan Kit LSAB dari Dako®. Adapun prosedur pewarnaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

Organ pada blok parafin di potong dengan ketebalan 3-5 µm dan ditempelkan pada gelas objek yang telah lapisi dengan poly l lysine 1 %. Selanjutnya dilakukan deparafinasi menggunakan xylene serta rehidrasi dengan alkohol bertingkat dan aquades. Untuk tujuan antigen retrieval, jaringan yang sudah direhidrasi dipanaskan dalam buffer sitrat menggunakan microwave selama 5 menit, kemudian dicuci dengan Phospate Buffered Saline Tween 20 (PBST) selama 3x5 menit. Proses dilanjutkan dengan blocking endogenouse peroxidase

menggunakan H2O2 3 % selama 30 menit, kemudian dicuci dengan PBST 3x5 menit. Blocking ikatan non spesifik dilakukan menggunakan fetal bovine serum

(27)

13 menggunakan alkohol bertingkat dan clearing dengan xylol. Jaringan dalam gelas objek kemudian di-mounting dengan permount dan diberi cover glass. Gelas objek yang berisi jaringan yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya. Organ yang diuji dinyatakan imunoreaktif apabila terdapat warna coklat spesifik pada jaringan, dan disebut non imunoreaktif apabila tidak ditemukan warna coklat spesifik pada jaringan.

Pewarnaan Hematoksilin Eosin

Pewarnaan rutin Hematoksilin dan Eosin (HE) digunakan untuk mengevaluasi organ yang dikumpulkan. Pewarnaan ini digunakan untuk melihat lesio histopatologi yang ada pada organ sehingga bisa dideskripsikan. Adapun prosedur pewarnaan HE adalah sebagai berikut :

Gelas objek yang berisi organ dilakukan proses deparafinasi dan rehidrasi dengan merendamnya di dalam xylol I dan II masing-masing 2 menit dilanjutkan dengan perendaman pada alkohol 96 % dan 80 % masing-masing 1 menit. Selanjutnya dilakukan perendaman pada aquades selama 1 menit. Pewarnaan dimulai dengan memasukkannya ke dalam pewarna Mayer’s hematoksilin selama 8 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 30 detik. Jaringan yang telah diwarnai dengan hematoksilin tersebut dimasukkan ke dalam larutan lithium karbonat selama 30 detik dan dicuci kembali dengan air mengalir selama 2 menit. Pewarnaan dilanjutkan dengan perendaman jaringan pada eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 30-60 detik. Untuk tujuan dehidrasi jaringan kemudian dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat 70 %, 80 %, 96 % dan alkohol absolut masing-masing sepuluh celupan. Setelah proses di atas selanjutnya dilakukan clearing dengan xylol I, II, dan III masing-masing 2 menit. Jaringan yang telah terwarnai tersebut kemudian di-mounting dengan permount

dan ditutup dengan cover glass. Jaringan yang sudah terwarnai siap diperiksa di bawah mikroskop cahaya.

Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Metode ELISA dipakai dalam menguji kemungkinan adanya antibodi terhadap Coxiella burnetii dalam sampel serum sapi, kambing dan domba. Prosedur pengerjaannya disesuaikan dengan petunjuk produsen Kit ELISA yang akan digunakan. Adapun Kit ELISA yang digunakan adalah produksi ID.Vet dengan nama produk ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species. Prosedur ELISA yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sebanyak 90 µl dilution buffer 2 ditambahkan ke dalam setiap microwell. Kemudian 10 µl kontrol negatif ditambahkan pada microwell A1 dan B1, 10 µl kontrol positif pada microwell C1 dan D1 dan 10 µl sampel serum pada sisa

microwell lainnya dan diinkubasikan selama 45 menit pada suhu 21±5 oC. Selanjutnya microwell dikosongkan dan dicuci dengan 300 µl washing solution

(28)

14

kondisi gelap. Stop solution dengan volume 100 µl ditambahkan pada setiap

microwell untuk menghentikan reaksi. Selanjutnya dilakukan pembacaan optical density (OD) pada panjang gelombang 450 Nm menggunakan ELISA reader. Adapun interpretasi hasil dilakukan dengan perhitungan sbb :

Tabel 1 Interpretasi Hasil Pengujian ELISA

Nilai S/P (%) ≤ 40 40-50 ˃50

Interpretasi Negatif Dubius Positif

Analisis data

Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft ExcelMS Office 2006. Hasil pengolahan data disajikan secara deskriptif melalui tabel hasil pengujian IHK, tabel hasil pengujian ELISA serta tabel jumlah lesio pada pembacaan sediaan histopatologi organ limpa, paru-paru dan hati. Selanjutnya ditampilkan gambar distribusi antigen pada organ yang imunoreaktif pada pengujian IHK dan gambar deskripsi lesio histopatologi yang ditemukan pada organ yang diwarnai dengan HE.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian Imunohistokimia

Konsep dasar dari imunohistokimia adalah menunjukkan adanya antigen (Ag) di dalam jaringan oleh antibodi (Ab) yang spesifik. Ketika ikatan antigen dan antibodi terjadi, ikatan ini akan diperlihatkan dengan sebuah reaksi warna histokimia (Ramos-Vara 2005). Pada uji yang telah dilakukan, ikatan antigen antibodi divisualisasikan dengan pemberian chromogen DAB, dimana hasilnya terlihat dalam bentuk warna coklat spesifik pada jaringan. Reagen utama yang digunakan pada uji ini diperoleh dari Kit IHK komersial produksi DAKO dengan metode Labeled Streptavidin Biotin (LSAB). Metode ini menggunakan antibodi sekunder yang terbiotinilasi yang akan menghubungkan antibodi primer dengan

streptavidin-peroxidase conjugate. Satu antibodi primer akan berikatan dengan beberapa molekul streptavidin-peroxidase menyebabkan rasio enzim terhadap antibodi yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan sensitifitas uji (Key 2009).

Untuk mendapatkan hasil uji yang optimal, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhatikan. Aspek teknis tersebut antara lain ; proses demasking

antigen/antigen retrieval, penghambatan (blocking) peroksidase endogen pada jaringan dan penghambatan ikatan non spesifik antara antibodi primer dengan jaringan yang diwarnai. Seperti yang telah dijelaskan dalam metode penelitian, organ yang digunakan pada penelitian ini difiksasi di dalam buffered neutral

S/P (%) = X 100

(29)

15

formalin (BNF). Proses ini dapat menyebabkan tertutupnya epitope/antigen permukaan oleh senyawa aldehyde yang terkandung dalam BNF, sehingga epitope

tersebut akan sulit diakses oleh antibodi primer yang digunakan (D’Amico, 2008). Usaha pembukaan kembali epitope disebut dengan proses demasking antigen atau antigen retrieval. Antigen retrieval akan meningkatkan konsistensi hasil melalui peningkatan sensitifitas deteksi epitope. Proses ini dilakukan dengan berbagai metode seperti penggunaaan bahan kimia dan proses fisika atau kombinasi keduanya. Salah satu contoh penggunaan bahan kimia adalah penggunaan buffer

sitrat, sedangkan pendekatan fisika bisa berupa proses pemanasan (D’Amico 2008; Kumar dan Rudbeck 2009). Pada pengujian yang telah dilakukan, antigen

retrieval dikerjakan dengan memanaskan jaringan dalam larutan buffer sitrat menggunakan microwave selama 5 (lima) menit.

Untuk menghindari munculnya warna coklat yang tidak spesifik sebagai pewarnaan latar belakang (background staining), perlu dilakukan penghambatan enzim peroksidase endogen yang ada pada jaringan. Penghambatan dilakukan dengan pemberian larutan H2O2 3% (dalam aquades) pada jaringan yang akan diwarnai, dimana larutan ini sudah tersedia dalam kit yang digunakan. Ikatan non spesifik antara reseptor Fc (FcRs) yang terdapat pada jaringan dengan bagian Fc dari antibodi primer juga dapat terjadi (Dagleish et al. 2010). Untuk menghilangkan ikatan non spesifik tersebut, telah digunakan FBS 1%, sehingga diharapkan dapat mengurangi ikatan non spesifik tersebut.

Dalam penelitian ini telah dikumpulkan organ limpa, paru-paru dan hati dari 162 ekor sapi potong eks impor. Hasil pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan bahwa, 62/162 (38,3 %) sampel sapi imunoreaktif terhadap antibodi

Coxiella burnetii (Tabel 2). Organ limpa yang imunoreaktif menunjukkan adanya warna coklat spesifik di dalam sitoplasma sel-sel makrofag dan sebagian besar terdapat di daerah pulpa merah (Gambar 1A). Deteksi antigen Coxiella burnetii

pada organ paru-paru juga terlihat pada sel-sel makrofag yang terdapat pada interstitium paru-paru dan di sekitar bronkhus (Gambar 1B). Begitu juga dengan organ hati yang menunjukkan adanya kehadiran antigen Coxiella burnetii pada sitoplasma sel makrofag di daerah porta (Gambar 1C).

Tabel 2 Jumlah Sampel Individu Sapi dan Hasil Pengujian Imunohistokimia

Lokasi Pengambilan Jumlah Sampel

(30)

16

monosit/makrofag yang tersebar pada berbagai organ tubuh (Shannon dan Heinzen, 2009; Angelakis dan Raoult 2010). Setelah multiplikasi primer pada limfonodus regional, akan disusul dengan terjadinya bakteremia (Woldehiwet 2004). Apapun rute infeksinya Coxiella burnetii mampu menyebar ke berbagai organ melalui jalur hematogen sehingga agen ini dapat dideteksi pada paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang dan saluran reproduksi. Infeksi penyakit ini biasanya dikontrol oleh respon immun melalui aksi sel limfosit T. Namun demikian, mekanisme respon immun berperantara sel ini tidak mampu menghilangkan agen penyakit ini dari induk semang yang terinfeksi (Maurin dan Raoult 1999). Pada fase kronis Coxiella burnetii mampu berreflikasi di dalam makrofag (Fournier et al. 1998).

Dari hasil pewarnaan IHK diketahui bahwa kehadiran antigen Coxiella burnetii pada organ yang imunoreaktif ditemukan pada sel-sel makrofag, baik pada limpa, paru-paru maupun hati. Hal ini sesuai dengan temuan Lepidi et al.

(2006), dimana antigen Coxiella burnetii ditemukan di dalam makrofag yang terdapat pada endokardium menggunakan metode IHK. Uji ini dilakukan pada kasus manusia yang mengalami endokarditis yang membuktikan terjadinya infeksi

Q fever kronis. Pada kasus hepatitis kronis yang disebabkan oleh Q fever, antigen

Coxiella burnetii juga ditemukan pada makrofag yang terdapat pada hati (Lepidi

et al., 2009). Penelitian Stein et al. (2005) pada mencit yang diinfeksi dengan

Coxiella burnetii membuktikan kehadiran antigen tersebut pada sel-sel makrofag paru-paru, hati dan limpa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun infeksi pada awalnya terjadi pada paru-paru namun kemudian dapat menyebar secara hematogen ke organ sistemik lainnya seperti hati dan limpa.

Pemeriksaan IHK yang dilakukan pada organ Kambing Mini Afrika Barat berhasil mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii pada 33 % sampel organ yang dikumpulkan. Antigen tersebut ditemukan pada limpa dan paru-paru, dimana lokasi antigen tersebut berada pada sitoplasma makrofag alveoli paru dan makrofag di daerah pulpa merah organ limpa (Emikpe et al. 2013). Norina et al.

(2011) melakukan penelitian pada organ kambing yang diduga terinfeksi Coxiella burnetii. Diagnosa awal dilakukan berdasarkan perubahan histopatologi yang temukan pada pewarnaan HE. Organ-organ yang memiliki perubahan yang mengarah pada infeksi Coxiella burnetii kemudian diuji dengan metode IHK. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 152 dari 197 ekor Kambing Boer positif terhadap Coxiella burnetii. Keberadaan antigen tersebut dapat ditemukan pada plasenta, limpa, hati, jantung, paru-paru dan ginjal.

Tabel 3 Hasil Pengujian Imunohistokimia Berdasarkan Jenis Organ

Jenis Organ Jumlah Sampel (Organ) Hasil Pengujian IHK Imunoreaktif (+) %

Limpa 162 61 37,7

Paru-Paru 162 12 7,4

(31)

17

Gambar 2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen Coxiella burnetii

(32)

18

Deteksi antigen Coxiella burnetii menunjukkan hasil yang berbeda pada masing-masing jenis organ. Deteksi antigen tertinggi ditemukan pada limpa, disusul oleh paru-paru dan hati (Tabel 3). Perbedaan jumlah organ yang imunoreaktif pada limpa, paru-paru dan hati, kemungkinan berkaitan dengan rute infeksi, lama infeksi dan populasi makrofag pada masing-masing organ. Rute utama infeksi Coxiella burnetii adalah melalui jalur pernafasan (inhalasi), sementara jalur ingesti dianggap sebagai jalur sekunder. Tingginya temuan pada organ limpa kemungkinan berkaitan dengan fungsinya sebagai organ pertahanan, dimana fungsi limpa analog dengan limfonodus yang memiliki fungsi antara lain ; menyaring material asing dan mikroorganisme serta membuang eritrosit tua dan rusak. Proses ini berlangsung pada bagian pulpa merah dari limpa. Fagositosis material asing seperti bakteri yang berasal dari aliran darah dilakukan oleh sel-sel makrofag limpa sebagai bagian dari monocyte-macrofage system (Fry dan McGavin, 2006). Sementara itu, paru-paru diduga sebagai tempat infeksi awal

Coxiella burnetii sebelum beredar ke organ lainnya. Temuan antigen Coxiella burnetii pada organ paru-paru merupakan yang terbanyak setelah limpa.

Perbedaan temuan pada organ ini berguna secara diagnostik. Informasi ini dapat digunakan dalam memilih organ yang paling sesuai pada saat melakukan pengambilan sampel untuk tujuan pengujian. Keberhasilan pengujian IHK dalam deteksi antigen Coxiella burnetii membuktikan bahwa metode ini dapat dipakai dalam surveilan penyakit khususnya pada sampel organ yang difiksasi. Deteksi antigen Coxiella burnetii pada sampel organ sapi eks impor yang di kumpulkan di RPH menunjukkan telah adanya infeksi Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, khususnya pada populasi sapi asal ternak yang dipotong di RPH tersebut.

Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi

Pewarnaan HE digunakan untuk melihat lesio histopatologi yang kemungkinan bisa ditemukan pada sampel individu yang imunoreaktif. Berdasarkan pemeriksaan IHK diketahui bahwa tidak semua jenis organ yang berasal dari individu hewan imunoreaktif tersebut ditemukan agen Coxiella burnetii. Dari Tabel 3 terlihat antigen tersebut ditemukan pada 61 organ limpa, 12 paru-paru dan 2 organ hati. Namun demikian, semua organ yang berasal dari individu imonoreaktif telah diwarnai dengan HE dan dilakukan evaluasi histopatologi untuk melihat lesio pada organ.

(33)

19 Pembacaan Sediaan Limpa

Deteksi antigen Coxiella burnetii pada uji IHK pada organ limpa menunjukkan jumlah yang paling tinggi. Sebanyak 61 organ limpa imunoreaktif terhadap antibodi anti Coxiella burnetii-FKH IPB dari 62 individu sapi yang imunoreaktif. Tingginya temuan pada organ limpa kemungkinan berkaitan dengan fungsinya sebagai organ pertahanan. Fungsi limpa analog dengan limfonodus yang berfungsi dalam menyaring material asing, mikroorganisme serta membuang eritrosit tua dan rusak. Proses ini berlangsung pada bagian pulpa merah dari limpa (Cesta 2006 ; Fry dan McGavin 2006 ; Suttie 2006).

Deskripsi lesio yang ditemukan pada organ limpa berupa infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan peningkatan sel-sel makrofag yang umumnya terlihat pada daerah pulpa merah (Gambar 1A). Lesio lain yang ditemukan antara lain kongesti (Gambar 1B), kehadiran pigmen hemosiderin (Gambar 1C), atrofi pulpa putih (Gambar 1D) dan edema (Gambar 1C). Hasil pembacaan lesio selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Namun demikian, lesio yang lebih khas berupa granuloma yang sering ditemukan pada infeksi akut Coxiella burnetii, tidak ditemukan pada limpa. Lesio granuloma bisa ditemukan pada limpa hewan percobaan yang diinfeksi dengan agen ini seperti yang terlihat pada marmut dan mencit (Maurin dan Raoult 1999; Stein et al. 2005) maupun pada hewan yang terinfeksi secara alami seperti yang ditemukan oleh Norina et al. 2011 pada kasus kambing boer.

Gambar 3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B. Kongesti (panah), C. Akumulasi pigmen hemosiderin (panah), dan edema (kepala panah) ditandai dengan jarak antar sel yang melebar, D. Atrofi pulpa putih (panah).

40 µm 40 µm

40 µm 80 µm

A

B

(34)

20

Sebagian besar limpa yang dievaluasi menunjukkan infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan makrofag sehingga dapat dikatakan adanya peradangan limpa yang bersifat kronik aktif. Menurut Vally (2007) pada kondisi peradangan sistemik akan terjadi akumulasi sel-sel radang neutrofil pada marginal zone dan disekitar area sinus limpa. Di daerah inilah berlangsung destruksi bakteri dan pengolahan antigen lainnya disertai oleh sebuah pola migrasi tertentu, dimana benda asing dipindahkan dengan makrofag khusus menuju marginal zone dan kemudian disusul limfosit kecil mencapai germinal center. Makrofag limpa berfungsi dalam fagositosis material asing seperti bakteri yang berasal dari aliran darah sebagai bagian dari sistem monosit-makrofag limpa (Fry dan McGavin 2006). Coxiella burnetii sebagai bakteri intraseluler obligat dapat ditemukan di dalam makrofag dan dalam kondisi kronis dapat bermultiplikasi di dalam makrofag tersebut (Russell-Lodrigue et al. 2006 ; Fournier et al. 1998).

Atrofi pulpa putih dijumpai pada beberapa organ limpa yang dievaluasi dimana ukuran pulpa putih tampak mengecil. Atrofi/deplesi pulpa putih bisa diakibatkan oleh infeksi berat yang menyebabkan limfolisis pada tengah

germirmal center dan menghasilkan debris inti sel (kariolisis, karioreksis) (Vally 2007). Disamping itu atrofi pulpa putih juga dapat terjadi sebagai respon terhadap lemahnya stimulasi antigenik, toksin, pengobatan dengan zat antineoplasia, infeksi virus, radiasi, malnutrisi dan penyakit yang menyebabkan kekurusan (wasting/cachectic disease) (Fry dan McGavin 2006).

Tabel 4 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Limpa (HE)

Organ Lesio Jumlah

Pigmen hemosiderin ditemukan pada 14/62 sediaan limpa yang imunoreaktif. Hemosiderin merupakan bentuk penyimpanan besi, dan merupakan pigmen yang memiliki arti penting pada limpa. Hemosiderin umumnya hanya berada di dalam makrofag, namun apabila bertahan dalam waktu yang lama akumulasi hemosiderin bisa melapisi serat jaringan ikat. Hemosiderin dianggap penting apabila jumlahnya telah menyebabkan kerusakan jaringan dan fibrosis yang kemudian disebut dengan hemosiderosis. Peningkatan jumah besi pada limpa merupakan salah satu perubahan limpa yang mengindikasikan kondisi anemia hemolitika (Vally 2007 ; Suttie 2006).

Lesio lain yang ditemukan adalah adanya kondisi kongesti dan edema. Kongesti adalah tergenangnya darah di dalam pembuluh darah vena. Kongesti pada limpa umumnya diakibatkan oleh gangguan sirkulasi sistemik dan portal. Secara mikroskopik sinus mengalami dilatasi dan diisi oleh sel darah merah,

(35)

21 ditandai dengan merenggangnya jarak antar sel-sel limpa dalam bentuk ruang kosong. Edema disebabkan oleh ganguan sirkulasi seperti adanya kongesti, yang terjadi akibat gangguan sistemik dan porta (Vally 2007).

Pembacaan Sediaan Paru-Paru

Pemeriksaan IHK menunjukkan 12 organ paru-paru imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii dari 62 individu sapi yang imunoreaktif. Hal ini diduga berkaitan dengan rute infeksi yang lebih sering melalui jalur inhalasi (aerosol). Lesio yang terlihat pada paru-paru antara lain adalah pneumonia interstitialis (Gambar 2A), kongesti (Gambar 2B), hemoragi (Gambar 2B), edema (Gambar 2B), atelektasis, thrombus (Gambar 2C), emfisema (Gambar 2D), dan infestasi parasit (Gambar 2D). Hasil pembacaan lesio pada organ paru-paru dapat dilihat pada Tabel 5.

Pada pengamatan yang dilakukan lesio pneumonia interstitialis ditandai dengan pelebaran septa interalveolar akibat infiltrasi oleh sel-sel radang limfosit, makrofag dan sedikit neutrofil. Dilihat dari jenis sel radangnya peradangan

paru-Gambar 4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis ditandai oleh infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah hitam) dan limfosit (kepala panah) dan neutrofil (panah putih) pada jaringan interalveolar, B. Kongesti (panah), hemoragi (h) dan edema (kepala panah), C. Thrombus (panah), D. Emfisema (e), dan infestasi parasit (panah).

40 µm 80 µm

80 µm 80 µm

h

e

A

B

Gambar

Gambar 1. Alur Penelitian
Gambar 2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen
Gambar 3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B
Gambar 4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, sumber lain menerangkan bahwa WhatsApp adalah aplikasi pesan instan untuk smartphone. Jika dilihat dari fungsinya WhatsApp hampir sama dengan aplikasi SMS

Penelitian ini fokus pada aspek etika dalam Professional Judgment yang muncul sebagai konsekuensi perubahan dari Rule Based menjadi Priciple Based dalam

Standar kompetensi merupakan unsur – unsur kemampuan seseorang yang dapat diukur melalui pengetahuan, pengalaman kerja, pendidikan dan latihan, sikap, motivasi,

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai transformasi identitas radio pada radio PRFM 107,5 Bandung dari format radio lifestyle menjadi radio news ini,

Tanggung jawab hukum dokter dalam malpraktik administrasi berupa pelanggaran terhadap ketentuan administrasi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Pelanggaran

Dalam penelitian ini, dilakukan analisa secara analitis, numerik dan eksperimen model SPAR (skala 1:125) di laboratorium Hidrodinamika ITS dalam kondisi free floating

¾ Retensio urin adalah tidak adanya proses berkemih spontan 6 jam setelah kateter menetap dilepascan atau dapat berkemih spontan dengan sisa urin > 200 ml pada pasien pasca

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah terdapat: (1) pengaruh pendekatan PMRI terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik; (2) pengaruh antara