• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Q fever pada telur ayam di wilayah bogor ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat veteriner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Q fever pada telur ayam di wilayah bogor ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat veteriner"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH

BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN

MASYARAKAT VETERINER

TRIOSO PURNAWARMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2011

(3)

ABSTRACT

TRIOSO PURNAWARMAN. Study of Q Fever in Chicken Eggs in Bogor Area : Veterinary Public Health’s Point of View. Under the direction of I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU and AGUS SETIYONO

Every year, Indonesia imports cattle and meat from Australia. Australia is the first country in the world where Query fever (Q fever) disease in abattoir workers was discovered and it is still endemic. Q fever is a disease that can be transmitted through food (foodborne disease) and it is categorized as zoonoses emerging infectious disease. This disease is caused by Coxiella burnetii (C. burnetii), which is an obligate intracellular pathogen, pleomorphic, resistant to physic-chemistry conditions and potentially used as biological weapons. Transmission to humans occurs through inhalation of dust particles from feces, urine and wool; direct infection from infected animals or tissues such as the rest of abortion, the placenta and the blood; and through the digestive tract from consuming unpasteurized milk and eggs.

This research was aimed (1) to know

C. burnetii was detected serologically and molecularly in Bali cattle, Brahman cross cattle, sheep and goats in the area of Bali and Bogor. Therefore, it is necessary to do a deeper study about its existence on chicken and eggs in Indonesia. This is important because the research results in Japan, Korea and the Philippines in 2003-2004 showed that 4.2% eggs were positive DNA C. burnetii.

the existence of the DNA of C. burnetii in eggs, (2) to know the relationship between the presence of C. burnetii with the characteristics of the farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity), and (3) to determine the sensitivity and specificity of the nested polymerase chain reaction (nested PCR) method compared with PCR to detect the DNA of C. burnetii.

Qiao modified method for extracting DNA of C. burnetii in egg yolk is capable to produce a high concentration and high level of DNA purity.

Assessment of C. burneti DNA detection in 222 in commercial chicken eggs taken from sector 2 chicken farm and 130 local chicken eggs from sector 4 farm in Bogor area was done. The results shows that there wasn’t any C. burnetii DNA in 352 eggs sample which were tested with nested PCR method. It hadn’t been known the relation between farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity) and the existence of the DNA of C. burnetii.

The sensitivity of nested PCR method to detect the DNA of C. burnetii reached the limit of detection up to 300 pg or it is 50 times more sensitive than PCR. In addition, PCR and nested PCR has high specificity (conserved) to detect C. burnetii. Two pairs of

primers OMP1-OMP2 and OMP3-OMP4 are highly sensitive and specific of 21 strains C. burnetii and have been used as diagnostic method for Q fever disease in humans.

The results of this study can be used as initial information about the presence of C. burnetii in eggs in Bogor area. In order to determine the infection of C. burnetii in chicken farms, it is necessary to conduct further research, both serological and molecular, in egg-producing regions throughout Indonesia. Further research should be conducted in other poultry eggs such as quail and duck eggs. Besides that, it is necessary to do C. burnetii surveillance in imported cows from Australia so that a guidance control system to face the entry of exotic zoonoses into Indonesia can be compiled.

Key words: Coxiella burnetii, Chicken eggs, sensitivity and specificity, nested polymerase chain reaction.

(4)

ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan AGUS SETIYONO

Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi dan daging dari Australia. Australia merupakan negara pertama ditemukannya penyakit Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan dan sampai sekarang masih bersifat endemik. Q fever merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) dan dikategorikan sebagai emerging infectious disesase yang bersifat zoonosis. Penyakit ini disebabkan oleh Coxiella burnetii (C. burnetii) yang bersifat obligat patogen intraseluler, pleomorfik, tahan terhadap kondisi psikokimia dan berpotensi digunakan sebagai senjata biologis. Penularan ke manusia terjadi melalui inhalasi partikel debu yang berasal dari feses, urin dan wol yang terinfeksi; kontak langsung dari hewan atau jaringan terinfeksi seperti sisa abortus, plasenta dan darah serta melalui saluran pencernaan karena mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi.

Orang yang terinfeksi penyakit Q fever akan memperlihatkan gejala klinis seperti flu (flu like syndrome), pneumonia dan hepatitis. Apabila tidak segera diobati dengan baik sekitar 2-10% akan menjadi endokarditis. Kematian pada kasus kronis dapat mencapai 25-65%, sehingga dari kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapatkan perhatian yang serius.

C. burnetii sudah terdeteksi secara serologis dan molekuler pada sapi bali, sapi brahman cross, domba dan kambing di wilayah Bali dan Bogor, maka perlu dilakukan studi lebih mendalam tentang keberadaannya pada ayam dan telur di Indonesia. Hal ini penting karena dari hasil penelitian di Jepang, Korea dan Pilipina pada tahun 2003-2004 menunjukkan 4.2% positif DNA C. burnetii pada telur. Di Indonesia, telur merupakan sumber protein hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, harganya terjangkau dan gemar dikonsumsi dalam keadaan mentah atau setengah matang.

Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii.

Modifikasi metode Qiao untuk mengekstraksi DNA C. burnetii pada kuning telur mampu menghasilkan konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi.

Kajian dilakukan untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada 222 butir telur ayam ras yang diambil dari peternakan ayam sektor 2 dan 130 butir telur ayam lokal dari peternakan sektor 4 di wilayah Bogor. Hasil deteksi menunjukkan tidak ditemukan DNA C. burnetii pada 352 sampel telur yang diuji dengan metode nested PCR dan belum dapat diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii.

Sensitivitas metode nested PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii mencapai limit deteksi hingga ≥ 300 pg atau 50 kali lebih sensitif dibandingkan PCR. Selain itu PCR dan nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi C. burnetii. Dua pasang primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode diagnosa untuk penyakit Q fever pada manusia.

(5)

maupun molekuler di wilayah-wilayah penghasil telur di seluruh Indonesia dan juga mendeteksi pada telur unggas lainnya seperti telur burung puyuh dan bebek. Disamping itu perlu dilakukan surveilans C. burnetii terhadap sapi-sapi impor asal Australia sehingga dapat disusun pedoman sistim pengendalian menghadapi masuknya penyakit zoonosa baru ke Indonesia.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(7)

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH

BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN

MASYARAKAT VETERINER

TRIOSO PURNAWARMAN

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Penguji luar komisi pada ujian terbuka : drh. Pudjiatmoko, Ph.D

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto

(9)

Judul Disertasi

:

Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner

Nama : Trioso Purnawarman

NRP : P18600004

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu

Anggota Anggota

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. drh. Bambang Pontjo P., MS, Ph.D Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(10)

hidayahNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keberadaan mikroorganisma patogen pada pangan asal hewan, khususnya

telur yang dapat mempengaruhi keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dengan

topik Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor yang belum pernah diteliti di Indonesia.

Coxiella burnetii (C. burnetii) sebagai penyebab Q fever merupakan salah satu potensi

ancaman besar bagi kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh.

I Wayan Teguh Wibawan, MS, Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. H. Agus

Setiyono, MS, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberi perhatian, semangat serta

dorongan kepada penulis. Kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto yang telah

membantu memberikan DNA C. burnetii Nine Mile 2 ATCC (NM2) dan masukan

perbaikan metode ekstraksi dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada

Dr. Muharam Saepulloh yang telah membantu penelitian dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si

yang memberikan jurnal-jurnal untuk melengkapi disertasi ini. Kepada Prof. drh.

Bambang Pontjo P. MS, Ph.D selaku ketua program studi Sains Veteriner FKH IPB, Prof.

Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si sebagai

penguji luar komisi pada ujian tertutup serta drh. Pudjiatmoko, Ph.D dan Prof. Dr. drh. Hj.

Mirnawati Sudarwanto sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada para

kolega staf pengajar dan laboran di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB;

staf dan laboran di Laboratorium Terpadu FKH IPB; staf dan laboran di Laboratorium

Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH

IPB; staf dan laboran di Balai Besar Penelitian Veteriner serta para peternak ayam di

wilayah Bogor yang telah membantu penelitian ini. Terima kasih dan penghargaan

penulis sampaikan pula kepada kedua orang tua, mertua, drh. Rosy Roselina, Roby

Raditia Aryoputranto dan Renardi Purnama Putra, atas perhatian, nasehat serta doanya

selama ini.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan

kesehatan masyarakat.

Bogor, April 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara putra Bapak Bambang

Soeletter dan Ibu Sri Hartini serta dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 5 Oktober 1962.

Pendidikan dasar sampai menengah atas dijalani di Sekolah Dasar di Palembang

Sumatera Selatan tahun 1968-1974, Sekolah Menengah Pertama Perguruan Cikini

Jakarta tahun 1975-1977 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Jakarta tahun

1978-1981. Penulis menyelesaikan studi dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor pada tahun 1986. Pada tahun 1986-1988 penulis bekerja pada

perusahan perunggasan nasional di sektor pembibitan ayam sebagai manajer produksi.

Sejak tahun 1988 diangkat sebagai staf pengajar di Bagian Kesehatan Masyarakat

Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH

IPB. Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Sains (Strata 2) di program

pascasarjana IPB bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) pada tahun 1990-1994.

Sejak tahun 2000 melanjutkan pendidikan program Doktor (Strata 3) di Sekolah

Pascasarjana IPB bidang Sains Veteriner (SVT).

Penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi selama menjadi siswa di sekolah

menengah sampai mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dokter hewan bergabung

pada Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia dan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.

Pada tahun 1999-2002 menjadi Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kesehatan

Masyarakat Veteriner (Forkom Kesmavet) dan tahun 2002-2006 menjadi koordinator

komisi sanitasi lingkungan, Asosiasi Kesehatan Kesehatan Masyarakat Veteriner

(Askesmaveti). Pada tahun 2006 sampai sekarang sebagai anggota panitia teknis 67-03

bidang peternakan dan produk peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia serta pada tahun 2010

sampai sekarang sebagai koordinator bidang organisasi Masyarakat Ilmu Perunggasan

Indonesia (MIPI).

Beberapa tulisan yang telah dan akan diterbitkan pada beberapa jurnal nasional

antara lain tingkat kejadian residu formalin pada daging ayam yang dijual di pasar

tradisional di kota Bogor pada Jurnal Medis Veteriner Indonesia serta sensitivitas dan

spesifisitas nested polymerase chain reaction untuk mendeteksi DNA Coxiella burnetii

(12)

DAFTAR TABEL.………... xiv

DAFTAR GAMBAR.………

DAFTAR LAMPIRAN………..

xv

xvi

PENDAHULUAN.……… 1

TINJAUAN PUSTAKA

Q Fever.………...

Morfologi dan Karakteristik Coxiella burnetii..……….. Diagnosa Penyakit Q Fever………....

Q Fever pada Hewan.………... Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit..………. Patogenesis Q Fever..………. Gejala Klinis.……….

Q Fever pada Manusia.……… Epidemiologi dan Distribusi Penyakit……… Q Fever Sebagai Food-borne Disease………. Gejala Klinis.………. Pengendalian.………...

Q Fever di Indonesia ………...

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ………. Tahapan Penelitian ………...

5 5 8 11 11 12 12 13 13 15 16 16 19 20 20

DETEKSI Coxiella burnetii PADA TELUR AYAM RAS DAN LOKAL DI

WILAYAH BOGOR DENGAN METODE NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION

Abstrak ………

Abstract ………...

Pendahuluan ……….. Bahan dan Metode ……… Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan dan Saran ……….

25 25 25 27 31 34

SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK MENDETEKSI DNA Coxiella burnetii

Abstrak ………

Abstract ………...

Pendahuluan ……….. Bahan dan Metode ……… Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ……….

PEMBAHASAN UMUM ……….

(13)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan.………. Saran.………...

DAFTAR PUSTAKA.………...

LAMPIRAN.………..

Halaman

50 50

51

(14)

1 Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan ………..

1

2 Pengobatan Q fever pada manusia……….

17

3 Kriteria peternakan ayam………..

33

4 Gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan ayam

sektor 2 dan sektor 4………..

33

5 Perbandingan sensitivitas PCR dan nested PCR dalam mendeteksi DNA

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA……….

5

2 C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali……...

6

3 Antigen fase I dan fase II C. burnetii………..

7

4 Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia……….

17

5 Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor.………

20

6 Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis………...

31

7 Sensitivitas PCR dan nested PCR menggunakan konsentrasi DNA C. burnetii 75 ng/ µl sampai dengan 0.03 pg/µl.………

40

(16)

1 Asal sampel telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor………..

59

2 Asal sampel telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan

kota Bogor...

59

3 Hasil uji nested PCR telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor……

60

4 Hasil uji nested PCR telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan

kota Bogor………..

61

5 Kuesioner untuk peternak………

62

6 Pengelompokan dan pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi

sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan……….

64

7 Skoring (penilaian) faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene
(17)

PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini semakin baik, sehingga permintaan terhadap bahan pangan asal hewan yang aman (safe) dan layak (suitable) juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan permintaan daging

sapi empat tahun terakhir meningkat sebesar 10.7%, yaitu dari 356 863 ribu ton

pada tahun 2006 menjadi 399 535 pada tahun 2009. Untuk memenuhi

permintaan tersebut, maka impor sapi bakalan meningkat 24.1% dari 218 408

ekor pada tahun 2006 menjadi 271 043 ekor pada tahun 2009. Data

menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sapi rata-rata 650 000 ekor per

tahun yang sebagian besar berasal dari Australia (Apfindo 2010).

Perkembangan permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan

selama empat tahun terakhir disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan (Apfindo 2010)

Uraian Tahun

2006 2007 2008 2009

Permintaan daging (ton) Penyediaan daging dalam negeri (ton)

Selisih permintaan -penyediaan

- Dalam (ton) - Dalam (ekor)

356 863 256 831 -100 032 -708 945 370 813 245 213 -125 599 -890 147 385 035 249 925 -135 109 -957 547 399 535 264 446 -135 089 -957 402 Impor bakalan (ekor) 218 408 210 165 246 988 271 043

Australia merupakan negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha

dan Szyfres 2003). Sapi bakalan yang di impor dalam jumlah yang banyak, akan

menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada

hewan dan manusia ke Indonesia.

(18)

1977 Q fever termasuk kategori penyakit yang harus dilaporkan (notifiable disease), sedangkan di Amerika Serikat baru di mulai tahun 1999 (CFSPH

2007). Penyakit ini dapat pada manusia ditularkan melalui inhalasi partikel debu

(feses, urin, wol), kontak langsung (plasenta, sisa obortus), makanan (susu, telur)

dan air yang terkontaminasi 1-10 organisme (ID50, yaitu apabila orang terinfeksi

1-10 mikroorganisme Coxiella burnetii, maka 50% dari orang tersebut akan

menunjukkan gejala penyakit) (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003).

Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada

tahun 1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada 188 serum sapi

yang diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi C. burnetii

menggunakan metode cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan

Bertagna 1955). Penelitian berikutnya dilakukan Rumawas (1976) menunjukkan

bahwa dari 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya

dan Semarang ditemukan 4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT. Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian

penyakit Q fever pada pekerja di Indonesia secara seroepidemilogi. Hasil

penelitian yang dilakukan Ibrahim et al. (1999) memperoleh 20.8-51.9% positif antibodi terhadap spotted fever, 38% positif murine typhus, tetapi tidak menemukan Q fever pada serum tikus liar menggunakan metode indirect immunoflourescent antibody (IFA) di Jakarta dan Boyolali.

Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus

pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan

ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor

pada domba dan kambing menunjukkan masing-masing sebesar 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor sapi bali dan brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii serta pada

165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA C. burnetii

di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006).

Penyakit Q fever pada sapi, kambing dan domba sudah ditemukan

di Indonesia, maka kemungkinan penyebaran penyakit ini pada hewan lainnya

termasuk unggas, dapat terjadi. Penularan dari hewan ke hewan, baik antara

(19)

3

(Stomoxis sp., Musca sp.) yang bertindak sebagai vektor (Acha dan Szyfres 2003; Maurin dan Raoult 1999; Norlander 2000; Sonenshine et al. 2002).

Penyebaran penyakit Q fever dipermudah akibat penataan wilayah

subsektor peternakan di Indonesia yang masih belum tertata dengan baik. Di

beberapa wilayah di Indonesia, lokasi peternakan sapi, domba dan kambing

berdekatan dengan peternakan unggas, sehingga memudahkan terjadinya

penularan penyakit Q fever melalui kontak langsung, aerosol, maupun melalui

vektor. Penataan peternakan dalam satu wilayah harus tetap memperhatikan sistem pemisahan (zoning) dan jarak antara satu peternakan dengan peternakan lainnya untuk setiap jenis ternak.

Studi seroepidemiologi Q fever menggunakan metode CAT terhadap 25 peternakan ayam di distrik Nainital dan Ajmer, di negara bagian Uttar Pradesh

dan Rajasthan, India, ditemukan 78 sampel (13.24%) positif antibodi Q fever dengan titer 8 sampai 64. Ayam petelur atau layer (umur lebih dari 6 bulan) lebih

tinggi persentase positifnya dibandingkan dengan ayam grower, yaitu 19.74% :

5.55%. Selain itu dilaporkan bahwa pada pekerja peternakan ayam tersebut ditemukan positif antibodi Q fever sebesar 27.52% dengan metode CAT (Rarotra et al. 1978). Hasil penelitian To et al. (1998) menemukan 2% positif titer antibodi C. burnetii menggunakan metode CAT dan 1.1% positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR pada ayam di wilayah Fukuoka Jepang. Penelitian yang sama juga dilakukan pada peternakan ayam di Jepang bagian

tengah (Aichi, Shizuoka, Mie dan Gifu), didapatkan 7% positif antibodi IgG terhadap C. burnetii, dengan titer berkisar antara 16 sampai dengan 64 dengan metode IFA, tetapi dengan metode nested PCR tidak ditemukan DNA C. burnetii (Muramatsu et al. 2006).

Hasil penelitian pada telur ayam yang dilakukan di Jepang, Korea dan

Filipina menunjukkan bahwa dari bulan Juli 2003 sampai dengan Juni 2004

didapatkan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta

pada mayones yang dilakukan di Jepang dan Kanada dari bulan Maret 2003

(20)

Data tersebut diatas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang keberadaan penyakit Q fever di Indonesia, terutama pada ayam dan

bahan pangan asal unggas, khususnya telur. Hal ini penting dilakukan karena

sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang gemar mengkonsumsi

telur mentah atau setengah matang, karena disebabkan masih adanya

kepercayaan bahwa khasiatnya lebih baik bila dimakan dalam keadaan mentah

sebagai pelengkap jamu. Pelacakan keberadaan DNA C. burnetii pada telur

sudah sangat mendesak untuk dilakukan, karena sampai saat ini belum ada studi

atau kajian tentang ada tidaknya mikroorganisme C. burnetii dalam telur,

sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar merupakan sesuatu yang baru

di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik

lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii.

Hipotesis penelitian ini adalah (1) DNA C. burnetii dapat ditemukan pada

telur, (2) terdapat hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik

lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) metode nested

PCR merupakan metode deteksi yang sensitif dan spesifik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan informasi tentang

keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) dapat ditetapkan metode uji yang sensitif dan spesifik terhadap C. burnetii sebagai agen penyebab Q fever, serta

(3) dapat digunakan pemerintah sebagai signal awal sistem kewaspadaan dini (SKD), sehingga dapat disusun pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Q

Fever

Morfologi dan KarakterIstik

Coxiella burnetii

Nama Query fever (Q fever) pertama kali diusulkan tahun 1937 oleh Edward

Holbrook Derrick, setelah adanya gejala demam yang diderita pekerja rumah potong

hewan (RPH) di Brisbane Queensland Australia pada tahun 1935. Pada tahun 1938 Herald Rea Cox dan MacFarlane Burnett menemukan penyebabnya, yaitu Rickettsia burnetii (R. burnetii). Berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA R. burnetii yang dilakukan Maurin dan Raoult (1999), secara filogenik dekat dengan Francisella tularensis, Legionella pneumophila, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma, sedangkan yang lain subdivisi alpha (Rickettsia rickettsii, Erlichia cheffeensis, Bortonella henseloe, Brucella abortus, Afipia felis), subdivisi beta (Alcaligenes faecalis), subdivisi delta (Campylobacter jejuni) dan subdivisi epsilon (Helicobacter pylori). Tetapi karena mempunyai perbedaan diantara kelompok sub divisi gamma, maka Cornelius B. Philip mengusulkan genus tersendiri menjadi Coxiella burnetii (C. burnetii) yang merupakan penghargaan terhadap Herald Rea Cox dan MacFarlane

Burnett seperti pada Gambar 1 (Singleton dan Sainsbury 2006).

Francisella tularensis

Coxiella burnetii

Legionella pneumophila gamma

Escherichia coli

Pseudomonas aeruginosa

Rickettsia rickettsii

Erlichia cheffeensis

Proteobacteria Bortonella henseloe alpha

Brucella abortus

Afipia felis

Alcaligenes faecalis beta

Campylobacter jejuni delta

Helicobacter pylori epsilon

(22)

C. burnetii bersifat obligat patogen intraseluler, termasuk bacterial like organism,

memiliki membran seperti bakteri Gram negatif, namun sulit diamati dengan pewarnaan

Gram. Pewarnaan yang bisa digunakan adalah Gimenez dan Stamp (Maurin dan Raoult 1999; Willems et al. 1998; Zhang et al. 2004).

C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like), mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998; Heinzen et al. 1999; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii dapat bereplikasi menjadi dua kali setiap 20-45 jam di dalam vakuola parasitoforus sel eukariot inang (Angelakis dan Raoult 2010).

Gambar 2 C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali, bentuk kecil (k); bentuk besar (b) (

k

Fournier et al. 1998).

Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel

makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat di ekstraseluler dan diduga sebagai bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yakni antigen fase I dan fase II.

Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I lebih patogenik dibandingkan

dengan fase II. Perbedaan antara kedua bentuk fase antigen ini sangat penting di dalam

diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa

dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan

dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan pada fase II terlihat kasar dan tidak

ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al. 1998).

b

k

(23)

7

Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998).

Coleman et al. (2004) menyatakan bahwa susunan LPS pada mikroorganisme C. burnetii fase I dan fase II berbeda. Berdasarkan analisa electrospray ionization mass spectrometry menunjukkan bahwa pada fase I dan fase II terdapat lipid A yang sama. Lipid A tersebut tidak dapat mengaktifkan toll like receptor 2 (TLR-2) dan TLR-4. Hal ini berbeda dengan lipid A yang berasal dari E. coli yang mampu mengikat TLR-4, sehingga bila ada C. burnetii maka TLR-2 dapat sebagai penentu adanya infeksi dan

akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut di dalam sel inang.

Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan

dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronik, antibodi terhadap

antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000). Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa sekuen gen AdaA pada protein membran luar merupakan penanda untuk C. burnetii pada kasus akut serta berhubungan dengan faktor patogenitasnya. Menurut CDC (2005) bahwa pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan

meningkatnya antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I.

Berdasarkan hasil analisa restriction fragment length polymorphism (RFLP) C. burnetii dapat dibagi menjadi 6 grup. Grup I, II, III dihubungkan dengan keganasan

pada hewan, caplak atau isolat yang berasal dari manusia yang terinfeksi ke dalam

kelompok tipe akut, sedangkan grup IV dan V selalu dikaitkan dengan endokarditis pada

manusia yang dikelompokkan dalam tipe kronis. Grup VI merupakan isolat yang

diperoleh dari rodensia yang belum diketahui patogenisitasnya (Colemen et al. 2004). Pada hewan percobaan marmot, infeksi grup I (Nine Mile, African dan Ohio) akan

menunjukkan gejala akut yang jelas, grup V (G dan S) menunjukkan gejala ringan sampai

(24)

sedang, serta grup IV (Priscilla dan P) dan V (Dugway) tidak memperlihatkan gejala sama

sekali. Pada tikus infeksi grup I, IV, V dan VI semua menunjukkan gejala klinis yang jelas (Russell-Lodrigue et al. 2009).

Mikroorganisme C. burnetii mempunyai beberapa plasmid, yaitu QpH1, QpRS,

QpDG dan QpDV (Maurin dan Raoult 1999). Plasmid QpH1 ditemukan pada grup I, II

dan III; plasmid QpRS pada grup IV dan V, plasmid QpDG pada grup VI; serta plasmid QpDV pada strain French (Fournier et al. 1998).

Hasil analisa genom C. burnetii Nine Mile fase 1 yang sebesar 1 995 275 pb,

terdapat beberapa gen yang berpotensi dalam proses adesi dan invasi ke dalam sel inang

dan juga mempunyai kemampuan detoksikasi. Ukuran genom dari beberapa strain C. burnetii bervariasi antara 1.5-2.4 Mb (Maurin dan Raoult 1999).

Agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas,

kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi disinfektan, seperti 0.05% hipoklorit,

5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid

(CFSPH 2007). Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage pada suhu -20 ºC,

42 bulan pada susu segar yang disimpan pada suhu 4-6 ºC dan lebih dari 40 bulan pada

susu skim (CFSPH 2007). Oleh karena itu C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi digunakan sebagai ancaman teroris (bioterrorisme) (CDC 2005; Kagawa et al. 2003; Madariaga et al. 2003).

Diagnosa Penyakit Q

fever

Diagnosa yang akurat terhadap penyakit Q fever pada hewan dan manusia masih sulit dilakukan karena infeksi agen penyebab penyakit ini umumnya bersifat subklinis

serta memilki dua fase antigen yang sangat penting dalam peneguhan diagnosa. C. burnetii merupakan bakteri intraseluler yang pada fase akut dapat ditemukan di dalam

darah dan pada fase kronis terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat dalam organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Lorenz et al. 1998). Dalam fase akut antibodi

terhadap antigen fase II lebih tinggi dibandingkan dengan fase I dan umumnya dapat

terdeteksi selama minggu kedua sejak terinfeksi, sedangkan pada fase kronis antibodi terhadap antigen fase I bertahan lebih lama (Setiyono et al. 2005).

Metode diagnosa yang tepat harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain

sensitivitas, spesifisitas, jumlah sampel yang akan diuji, biaya yang diperlukan dan waktu

(25)

9

untuk mendeteksi antigen dalam jumlah sedikit atau respon imun yang kecil, sedangkan

spesifisitas pengujian berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antigen atau respon imun antigen yang sangat erat hubungannya (Fournier et al. 1998).

Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever disuatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).

Penggunaan teknik CAT pernah dilakukan di Indonesia terhadap 323 sampel

darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan ditemukan 4 sampel (1.2%) positif Q fever (Rumawas 1976). Adesiyun dan Cazabon (1996) mendapatkan 36 sampel (4.8%) positif C. burnetii dari serum darah ayam, sapi, babi,

kerbau, domba dan kambing di beberapa rumah potong di Trinidad. Sementara itu hasil penelitian Richards et al. (2003) mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia dengan metode

ELISA terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya.

Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah banyak,

waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitasnya

rendah. Adapun kekurangan dari teknik ELISA diantaranya sering menimbulkan reaksi

positif palsu. Hal ini disebabkan karena antigen standar yang digunakan umumnya

dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan antibodi dalam serum berikatan

dengan epitop-epitop lain yang ada dipermukaan sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005).

Field et al. (2000) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa

Q fever yaitu teknik ELISA dengan IFA. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa

teknik ELISA memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 88%, sedangkan

menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Penelitian yang sama juga

dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas

masing-masing 93.8% dan 83.3%. Teknik ELISA baik digunakan untuk tes skrining

dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifisitasnya dapat ditingkatkan dengan mengkombinasi dengan IFA. Hasil penelitian yang dilakukan Kennerman et al. (2010)

menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok) yang berumur antara 10-24 bulan

(26)

Laboratories, Broomfield, CO, USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan

memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta 7.9%

seropositif pada sapi (dari 571 ekor) di Albania.

Metode IFA merupakan metode yang direkomendasikan oleh banyak peneliti untuk mendapatkan gambaran seroprevalensi Q fever secara cepat dan luas. Hal ini

didasarkan keunggulan metode IFA antara lain cepat, sensitif, relatif murah serta tidak

ditemukan adanya reaksi silang dengan infeksi penyakit lain dan dapat dilakukan untuk

jumlah sampel yang banyak.

Metode IFA digunakan untuk mendiagnosa Q fever fase akut maupun kronis pada

manusia berdasarkan titer immunoglobulin M (IgM), A (IgA) dan G (IgG) yang spesifik

terhadap C. burnetii fase I dan II (Fournier et al. 1998; Setiyono et al. 2005). IgM akan

berespon awal setelah C. burnetii masuk kedalam tubuh, kemudian setelah dua minggu

baru terbentuk IgG dan secara bertahap akan meningkat titernya di dalam darah sampai beberapa bulan dan setelah itu akan menurun (To et al. 1996).

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan teknik diagnosa yang paling sensitif dan spesifik saat ini. Nested PCR adalah salah satu aplikasi teknik PCR yang banyak digunakan untuk mendeteksi C. burnetii, walaupun masih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya perlu ketelitian yang tinggi dalam pengerjaannya, memerlukan primer yang spesifik dan biayanya relatif mahal (Kato et al. 1998; Zhang et al. 1998).

Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji serologis

(ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif dengan ELISA, 32%

positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Dari 7 ekor domba yang seronegatif,

dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa PCR mempunyai sensitivitas lebih tinggi dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001).

Perbandingan uji serologis dan molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut

menunjukkan bahwa apabila serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah

infeksi dapat didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ke tiga

sampai ke empat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya

untuk mengkonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003).

Penegakan diagnosa menggunakan satu uji serologis tidak cukup, diperlukan

(27)

11

Q

Fever

pada Hewan

Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit

Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing,

domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati,

kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Maurin dan Raoult 1999; Muskens et al. 2007; Parker et al. 2006). Burung dan rodensia merupakan pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing dan domba merupakan reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan

Vellema 2009). Di beberapa negara, anjing dan kucing juga merupakan sumber utama

penularan, hal ini sesuai dengan uji serologis yang mendapatkan seropositif pada anjing dan kucing berkisar antara 15-20% (Buhariwalla et al. 1996; Marrie 2000).

Kontaminasi C. burnetii di lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan,

terutama melalui cairan kelahiran, plasenta, feses dan urin secara terus menerus.

Kontaminasi tersebut bisa berlangsung beberapa bulan dan dilaporkan pada kambing

lebih lama dibandingkan domba, yaitu selama dua kali masa kebuntingan, oleh karena itu

kambing sering menjadi sumber infeksi ke manusia (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Hatchette et al. 2003). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi Q fever bersifat

laten (Kloppert et al. 2004).

C. burnetii dilaporkan telah ditemukan pada 40 spesies caplak di dunia, sehingga

caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar ke hewan

pelihara dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang terinhalasi. Disamping itu

penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak seksual karena agen

penyebab ditemukan pada semen sapi pejantan (Marrie 2000; Maurin dan Raoult 1999).

Sethi et al. (1978) melakukan penelitian pada ayam petelur leghorn putih umur 6 bulan, dengan menginfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung C. burnetii strain Nine Mile melalui oral dan intra peritoneal. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan titer antibodi dengan metode CAT mulai meningkat (1:512) pada 13 hari

setelah infeksi dan tertinggi (1:1024) pada 30 hari setelah infeksi, kemudian menurun (<1:8) setelah 90 hari infeksi. Ayam-ayam petelur leghorn putih yang terinfeksi C. burnetii

tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sampai dengan 90 hari. Pada 90 hari setelah

infeksi, C. burnetii tidak ditemukan pada limpa dan hati, tetapi masih dapat diidentifikasi

(28)

Patogenesis Q

fever

C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang yaitu lisosom yang bersifat asam. Pada manusia dan hewan target sel utama dari C. burnetii pada monosit atau

sel makrofrag. Jika infeksi terjadi melalui pernafasan maka makrofag alveolar berperan

aktif terhadap terjadinya infeksi akut, sedangkan bila melalui pencernaan, maka sel

kupffer dalam hati yang berperan terhadap infeksi C. burnetii. Bakteri intraseluler

umumnya menggunakan reseptor spesifik pada sel eukariotik seperti integrin untuk dapat menginvasi sel inang, khusus C. burnetii menggunakan reseptor CR-3. Secara alami C. burnetii fase I mempunyai kemampuan yang lemah untuk menempel pada sel inang

melalui monosit ataupun sel makrofag, tetapi mempunyai kemampuan untuk hidup dan

bertahan yang kuat bila sudah menembus dan masuk ke dalam sel-sel tersebut. Hal ini

disebabkan C. burnetii fase I menghambat reseptor CR-3 dan kemudian mengikat monosit melalui kompleks leucocyte response integrin (LRI) dan integrin associated protein (IAP). Sebaliknya fase II lebih mudah masuk ke dalam monosit atau sel makrofag tetapi secara cepat akan dibunuh melalui phagolisosomal pathway (Baca dan Paretsky

1983).

C. burnetii yang masuk ke dalam sel inang secara difusi pasif, akan terperangkap

dalam fagosom yang secara cepat akan berdifusi membentuk fagolisosom. Fagolisosom

akan membentuk vakuola besar yang dinamakan vakuola lisosomal sebagai tempat

persembunyian C. burnetii. C burnetii dapat beradaptasi dalam fagolisosom dan

berkembang baik dalam vakuola parasitoporus yang mempunyai pH 4.7-5.2 (Baca dan

Paretsky 1983). Asam yang terdapat didalam fagolisosom akan mengaktifkan enzim, sehingga sel C. burnetii akan berkembangbiak menjadi bentuk besar (large form/large cell variant) yang resisten setiap 8-12 jam (Maurin dan Raoult 1999).

C. burnetii merupakan bakteri asidofilik yang metabolismenya menjadi aktif bila suasana lingkungannya asam atau dengan adanya perubahan pH menjadi asam.

Perkembangan C. burnetii dapat dihambat dengan cara meningkatkan pH menjadi basa dengan menambahkan chloroquin. Suasana asam diperlukan oleh C. burnetii dalam

mendapatkan nutrisi untuk proses metabolisme seperti pembentukan asam nukleat dan

asam amino (Maurin dan Raoult 1999).

Gejala Klinis

(29)

13

ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah, sedangkan infeksi kronis tidak

menunjukkan gejala sama sekali (Maurin dan Raoult 1999).

Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rinitis, frekuensi

pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, plasentitis, endometritis, tidak fertil dan

beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery dan

Rodolakis 2005). Pada sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan pada

anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan Vellema 2009).

Di daerah endemik seperti California USA, kejadian abortus pada domba mencapai

18-55% dan sapi 82%, sedangkan di Kanada 0-35% pada domba dan 33-82% pada sapi

(CFSPH 2007). Beberapa peneliti mengatakan bahwa abortus pada domba dan kambing

terjadi pada akhir kebuntingan (Van den Brom dan Vellema 2009).

Q

Fever

pada Manusia

Epidemiologi dan Distribusi Penyakit

Infeksi Q fever pada manusia seringkali berhubungan dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak, pembeli dan pengunjung yang datang ke

peternakan; dokter hewan; pekerja di peternakan, rumah potong hewan, penyamakan

kulit, pengolahan daging, susu dan wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di

kebun binatang (Norlander 2000; Van den Brom dan Vellema 2009).

Penularan antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah,

sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual. Selain itu dilaporkan bisa tertular selama menangani keguguran dan outopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001).

Norlander (2000) melaporkan bahwa insidensi penyakit Q fever di Asia sudah

banyak diketahui, yaitu Thailand, Jepang dan Cina. Di Thailand tahun 2003 dilaporkan

mencapai 1.3% kasus pada manusia (umur 15-62 tahun, atau rata-rata 42 tahun). Di

Amerika Serikat rata-rata 58.4 kasus per tahun dan 67% kasus di California (CFSPH

2007).

Menurut NNDSS (2003) antara tahun 1991-2001 di Australia terjadi 6597 kasus

atau rata-rata 650 kasus per tahun pada manusia. Di Australia selatan pada tahun 1990 hingga Agustus 2001 dilaporkan terdapat 177 kasus Q fever, yaitu 155 (87.6%) kasus

terjadi pada laki-laki dan 147 (83.1%) kasus terjadi pada usia produktif (20-49 tahun).

Dari kasus ini, 90 kasus (50.8%) terjadi pada pekerja di pabrik pengolahan daging, diikuti

oleh 57 kasus (32.2%) pada pekerja yang kontak dengan hewan. Tercatat 17 kasus

(30)

berinteraksi dengan pabrik pengolahan daging (pengunjung, penghubung). Sampai saat

ini kasus pada anak-anak belum pernah dilaporkan (CDC 2001). Laporan lain

menyatakan rasio tertular laki-laki:perempuan adalah 75%:25% dan umumnya penderita berusia lebih dari 40 tahun (Maurin dan Raoult 1999). Hasil penelitian Ergas et al. (2006) menyatakan bahwa penyakit Q fever bentuk akut umumnya terjadi pada musim panas pada penderita yang rata-rata berusia 42.7±17.3 tahun dengan perbandingan rasio

laki-laki:perempuan adalah 1.6:1.

Pada bulan Mei 2007 terjadi 182 kasus kejadian pneumonia yang disebabkan

infeksi C. burnetii di Belanda dan kemudian pada tahun 2008 terdapat 1000 kasus pada

manusia dengan gejala seperti demam, lelah, lemah dan berkeringat pada malam hari. Hasil pemeriksaan lebih lanjut ditemukan 65% menderita pneumonia. Infeksi C. burnetii pada manusia tahun 2007 dan 2008 di Belanda dilaporkan disebabkan karena adanya

kasus abortus pada peternakan kambing perah. Adanya kejadian infeksi C. burnetii tersebut, maka sejak tahun 2008 penyakit Q fever pada ruminansia kecil di Belanda wajib dilaporkan (notifiable disease) (Delsing dan Kullberg 2008; Schimmer et al. 2008).

Menurut Rarotra et al. (1978) kasus Q fever juga ditemukan 27.52% positif

antibodi C. burnetii pada pekerja peternakan ayam di India, dan sebanyak 6.38%

memperlihatkan gejala demam. Pada peternakan ayam tersebut secara serologi juga

ditemukan antibodi terhadap C. burnetii. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja peternakan ayam beresiko tinggi terhadap infeksi Q fever.

Penelitian yang dilakukan di Australia menyebutkan bahwa 30% mereka yang bekerja di peternakan dan RPH berisiko terserang Q fever. Hal yang sama ditemukan pada 58 orang pekerja pada tiga peternakan domba di Italia yang mempunyai seroprevalensi 45-53% positif antibodi C. burnetii (Marrie 2003).

Tiga orang wisatawan Jepang yang berasal dari wilayah Hyogo, Tottori dan Aichi

merasakan demam, badan pegal dan ngilu pada persendian setelah melakukan

perjalanan inspeksi ke peternakan sapi dan RPH di Australia dan New Zealand selama 11

hari pada bulan September 2001. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya

gangguan fungsi hati dan trombositonemia, sedangkan dari pemeriksaan serologi dengan

menggunakan IFA maupun ELISA ditemukan peningkatan titer antibodi IgM dan IgG empat kali lipat. Ketiga pasien tersebut didiagnosa Q fever dan sembuh setelah dilakukan pengobatan yang sesuai (Setiyono 2003).

(31)

15

imunosupresan karena menderita penyakit tertentu, misalnya AIDS, kanker, limpoma,

tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung, gangguan ginjal kronis atau penerima

transplan organ.

Q

Fever

sebagai

Food-borne Disease

Transmisi C. burnetii ke manusia terjadi secara aerosal atau inhalasi melalui ’fomite’ atau partikel debu yang terkontaminasi sekret kelahiran yang mengering, jaringan

plasenta, darah, feses dan urin. Selain itu kontak langsung dengan hewan atau jaringan

terinfeksi atau tertular, bulu (wol), kulit, sisa abortus, plasenta, darah, feses, urin serta

melalui saluran pencernaan akibat mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003; Muramatsu et al. 2006).

Hasil penelitian menyatakan bahwa apabila sapi perah terinfeksi C. burnetii maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu (Maurin dan Raoult 1999; Kim et al. 2005). Hal ini merupakan salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolakis et al. 2009).

Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif DNA C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo menggunakan

metode nested PCR. Di Swiss ditemukan 17 sampel (4.7%) positif DNA C. burnetii dari

359 sampel susu sapi, tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan kambing menggunakan metode nested PCR (Fretz et al. 2007).

Sejak burung ditetapkan sebagai salah satu host spectrum dari C. burnetii, maka

apabila ayam terinfeksi dapat membawa agen penyebab ke manusia melalui telur mentah

yang terkontaminasi (Hirai dan To 1998). Sethi et al. (1978) menemukan bahwa C. burnetii dapat diisolasi pada selaput kuning telur dari embrio ayam (chicken embryo

yolk sac). Hasil percobaan pada ayam petelur leghorn putih umur 6 bulan yang diinfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung C. burnetii strain Nine Mile secara oral dan intra peritoneal, C. burnetii dapat ditemukan di dalam telur (ditularkan

secara transovarial). Hal yang sama juga dilaporkan Sobeslavsky dan Syrucek (1959)

bahwa C. burnetii dapat ditularkan secara transovarial setelah unggas (Gallus galus domesticus) diinfeksi mikroorganisme tersebut melalui oral.

Penelitian pada telur ayam di Jepang, Korea dan Filipina pada tahun 2003-2004

menemukan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta pada

(32)

melakukan penelitian pada 504 sampel telur ayam yang di masuk ke Swiss, dan dilaporkan tidak menemukan DNA C. burnetii pada semua sampel menggunakan metode nested PCR.

Gejala Klinis

Orang yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinik yang

tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis (38%) dan beberapa

penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala dari penyakit lain. Gejala akut umumnya seperti flu (flue like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue), pegal-pegal, sakit tenggorok, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan bobot badan. Penyakit Q fever yang tidak diobati dalam

kurun waktu dua minggu, maka dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), radang hati

(hepatitis), infeksi kulit (kudis), hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis,

uveitis, tromboplebitis, artritis, pleuritis dan pankreatitis. Pada wanita hamil yang

terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir

prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan

(Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada

kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008).

Apabila 6-12 bulan tanpa pengobatan yang efektif, maka 2-10% (1-5%) dari kasus

akut akan menjadi kronis, yaitu endokarditis, infeksi osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique syndrome) dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al. 2008). Manifestasi gejala penyakit Q fever pada manusia

sangat bervariasi (lihat pada Gambar 4). Kematian pada penderita kasus kronis bisa

mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular).

Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan sering mengalami kelelahan yang panjang

disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah dan waktu

tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu

bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; CDC 2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita penyakit Q fever akut ditandai

dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel darah putih cenderung rendah sampai

(33)
[image:33.612.150.494.71.309.2]

17

Gambar 4 Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q

fever

pada manusia

(

CDC 2005).

Masa inkubasi penyakit Q fever bervariasi mulai 2-5 minggu (1-4 minggu) dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis infeksi C. burnetii

(Maurin dan Roault 1999). Dilaporkan bahwa orang yang terinfeksi 1-10 sel mikroorganisme C. burnetii dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis (CFSPH 2007).

Pengendalian

NNDSS (2003) melaporkan bahwa sejak tahun 2000-2003 dilakukan upaya pencegahan penyakit ini, yaitu melakukan program vaksinasi Q fever pada pekerja di

Industri pengolahan daging dan RPH, sedangkan pada tahun 2001-2004 dilaksanakan

pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah).

Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikkan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Ackland et al. 1994; Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever. Hal ini penting karena vaksinasi Q Vax akan dapat menimbulkan kekebalan awal yang optimum (Anonim 2003).

Studi yang dilakukan di Australia bagian selatan menunjukkan bahwa durasi vaksin 3. Penyakit :

Pneumonia Endokarditis Pankreatitis Hepatitis Osteoartritis

1. Jalan masuk : Melalui aerosol dari sapi, kambing atau domba yang terinfeksi

2. Penyebaran : Hematogenus (melalui darah)

(34)

Q Vax dapat memberikan kekebalan pada hewan dan manusia selama lima tahun (Ackland et al. 1994; Waag et al. 2002).

Penelitian yang dilakukan Rodolakis et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian vaksin Q fever fase 1 (Coxevax® CEVA Santé Animale Libourne France) pada sapi perah

dara, efektif dimulai umur 3-4 bulan (vaksinasi pertama) dan kemudian di booster

(vaksinasi kedua) sebelum dilakukan inseminasi buatan untuk memperoleh titer antibodi yang tinggi dan dapat mencegah terjadinya shedding C. burnetii. Pada kejadian penyakit Q fever di Belanda, maka pada akhir tahun 2008 dilakukan pencegahan dengan

memberikan vaksin Coxevax® kepada domba dan kambing yang tidak bunting (Delsing dan Kullberg 2008; Schimmer et al. 2008).

Penyakit Q fever dapat diobati dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kejadian penyakit, kelompok umur, dosis dan lama pemberian (lihat Tabel 2).

[image:34.612.79.538.367.556.2]

.

Tabel 2 Pengobatan Q fever pada manusia (Carcopino et al. 2007; Madariaga et al. 2003; Maurin dan Raoult 1999; Nourse et al. 2004; Rolain et al. 2003)

Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999). Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi adalah (1) memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko; (2) disposal

(prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa obortus dan fetus; (3) karantina ternak yang akan diimpor; (4) outoclave dan

disinfeksi peralatan laboratorium; (5) pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C

selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C selama

5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C Kejadian

Penyakit

Kelompok Pengobatan Waktu

Akut

Dewasa

Doksisiklin 200 mg per hari 14 hari Fluoroquinolon 200 mg atau

pefloksasin 400 mg (3 kali per hari)

14-21 hari

Rifamisin 1200 mg per hari 21 hari Wanita hamil Trimetoprim 320 mg atau

sulfametoksazol 1600 mg per hari

> 5 minggu

Anak-anak Doksisiklin 100 mg per hari 10-14 hari

Kronis

Dewasa Doksisiklin 100 mg per hari > 18 bulan Hidroksikloroquin 600 mg per hari

Anak-anak Trimetoprim 160 mg atau

sulfametoksazol 800 mg per hari

(35)

19

selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie

2000; Mine 2008).

Q

Fever

di Indonesia

Beberapa studi, kajian dan penelitian tentang keberadaan Q fever di Indonesia

telah dilakukan sejak tahun 1955 terhadap 188 serum sapi yang diperiksa secara

serologis dan ditemukan positif antibodi C. burnetii menggunakan CAT (Kaplan dan

Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) pada 323 sampel

darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode CAT.

Penelitian Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari penderita

pneumonia yang pernah tinggal di Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan Richards et al. (2003) dan mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya menggunakan metode ELISA.

Hasil seroprevalensi di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif

masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan penelitian pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii serta pada kambing dan domba 3.64% positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR di

Bali dan Bogor (Mahatmi 2006).

C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukannya pada hewan

ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan penularan

kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di beberapa wilayah di

Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada data serologis dan molekuler bahwa C. burnetii sudah ditemukan pada hewan ruminansia di pulau Jawa dan Bali.

Dari segi kesehatan masyarakat veteriner, penyakit Q fever dapat dikelompokkan sebagai emerging atau re-emerging zoonosis yang disebabkan C. burnetii (Vaidya 2008).

Mikrorganisme ini dilaporkan mampu menularkan sejauh 18.3-20 km dari sumber infeksi yang dibawa oleh angin (oerosal transmission), mempunyai dosis infeksi yang rendah (low infectious dose), stabil di lingkungan dan beberapa kondisi psikokimia (stable in the environment) serta berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) apabila 5 kg C. burnetii disebarkan di suatu wilayah dengan populasi penduduk sebesar 5 juta, maka

(36)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2005 sampai dengan Maret 2010. Sampel

telur diambil dari peternakan ayam petelur komersial ras (sektor 2) sebanyak 222 butir

dan dari peternakan ayam lokal (sektor 4) sebanyak 130 butir di wilayah Bogor.

Pengujian sampel telur dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran

Hewan IPB dan Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT) Bagian Mikrobiologi Medik

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB. Untuk pengujian sensitivitas

dan spesifisitas metode uji dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini pada intinya dibagi atas tiga tahap yaitu tahap verifikasi metode ekstraksi DNA Coxiella burnetii (C. burnetii) dari sampel telur dan alat diagnostik nested polymerase chain reaction (nested PCR); tahap pengujian sampel serta pengujian

sensitivitas dan spesifisitas metode. Tahap verifikasi metode ekstraksi DNA C. burnetii

dari kuning telur dengan menggunakan modifikasi metode Qiao (2005). Tahap

[image:36.612.97.490.517.699.2]

selanjutnya melakukan deteksi DNA C. burnetii pada sampel telur yang diambil dari peternakan ayam petelur ras dan lokal dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998). Tahap akhir adalah pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode untuk mengetahui batas limit deteksi metode nested PCR yang digunakan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor. Verifikasi metode ekstraksi DNA

dari telur

Akurasi nested polymerase chain reaction (nested PCR)

Pengujian sampel telur

Sensitivitas dan spesifisitas metode

- Informasi keberadaan DNA C. burnetii pada telur

(37)

21

Modifikasi Metode Qiao (2005) untuk Mengekstraksi DNA

C. burnetii

dari

Kuning Telur

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan kemurnian DNA C. burnetii yang diperoleh dari hasil ekstraksi kuning telur menggunakan modifikasi metode Qiao.

Penelitian ini dilakukan dengan mengganti beberapa bahan-bahan untuk ekstraksi seperti PBS (phosphat buffer saline), Tris bufer, Np-40, Tween-20 dan Triton X-100

diganti dengan GenomicprepTM

Larutan hasil ekstrasi diukur konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperoleh.

Pengukuran dilakukan dengan cara sebelum digunakan cuvet spektrofotometer dicuci

dengan larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q. Larutan DNA dalam mikrotub cell-tissue DNA isolation kit (Amersham Biosciences) yang terdiri dari larutan lisis (cell lysis solution), larutan pengendap protein (protein precipitation solution) dan DNA hydration solution. Modifikasi metode Qiao sudah diverifikasi oleh Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto di Justus Liebig University Gissen

Jerman. Ekstrasi kuning telur dilakukan dengan cara sebelum telur dibuka, kerabang

telur didisinfeksi dengan alkohol 70%. Putih telur dipisahkan dari kuning telur

menggunakan kertas saring steril. 100 µl kuning telur dimasukkan ke dalam mikrotub eppendorf 1.5 ml yang berisi 300 µl larutan lisis (cell lysis solution) dan dihomogenkan

dengan vortex. Tambahkan 5 µl proteinase K (50 mg/ml), dihomogenkan selama 30 detik dan setelah itu diinkubasi 55 ºC dalam waterbath selama 3 jam. Tambahkan 2 µl RNase A solution dan diinkubasi 37 ºC selama 30 menit. Tambahkan 100 µl larutan pengendap protein (protein precipitation solution), dihomogenkan selama 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar selama 15 menit. Tambahkan 500 µl kloroform

dingin, dihomogenkan 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar selama 5 menit.

Sentrifus pada 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Sebanyak 300 µl supernatan

(lapisan bening) diambil dan dipindahkan ke mikrotub baru. Tambahkan 500 µl

isopropanol dingin, dibolak-balik sampai terlihat benang-benang putih dan disentrifus

14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati

dengan mikropipet. Endapan putih yang diperoleh ditambahkan 500 µl etanol 70% dingin

melalui dinding mikrotub dan disentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit.

Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet dan endapan dibiarkan

(38)

dikondisikan pada suhu 60 ºC selama 3 menit dan kemudian dihomogenkan agar DNA

terlarut secara merata. Setelah disentrifus beberapa detik diletakkan diatas es. Sebanyak 190 µl hydration solution yang telah ditambahkan dengan 10 µl larutan DNA dimasukkan

ke dalam spektrofotometer. Untuk menghitung konsentrasi DNA maka digunakan rumus :

konsentrasi DNA (µg/ml) = A260 x 50 x 200 (faktor pengenceran), sedangkan tingkat

kemurnian DNA dihitung dengan membagi nilaiOD260 dengan OD280.

Deteksi

C. burnetii

pada Telur dengan Metode

Nested Polymerase Chain

Reaction

(

Nested

PCR)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya DNA C. burnetii pada telur ayam dengan metode nested PCR.

Larutan DNA yang akan digunakan sebagai sampel merupakan hasil pengukuran

konsentrasi dan kemurnian DNA menggunakan elektroforesis. Primer oligonukeotida

yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5’-AGT AGA AGC ATC CCA

AGC ATT G-3’), OMP2 (5’-TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3’), OMP3 (5’-GAA

GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3’) dan OMP4 (5’-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3”), yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kD.

Amplifikasi DNA pertama dilakukan dalam volume 30 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM

(Vivantis), 0.5 µl primer OMP1 100 µM, 0.5 µl primer OMP2 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 5 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturut-turut, yaitu temperatur 94 °C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 °C, 1 menit, pelekatan (annealing) pada temperatur 54 °C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 °C, 1 menit selama 36 kali siklus serta

temperatur 72 °C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Hasil PCR disimpan pada Amplifikasi kedua yaitu campuran reaksi dan kondisinya

sama dengan amplifikasi pertama kecuali primer dan DNA template. Primers digunakan OMP3 dan OMP4 serta 5 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template. Kontrol positif adalah 5 µl dari DNA C. burnetii

Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel

(39)

23

agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan DNA molecular weight standards (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan

100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, dilihat hasilnya menggunakan UV illumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid. Hasil nested PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya

produk yang spesifik dari primer internal (OMP3-OMP4) yang menghasilkan fragmen 438

pb.

Sensitivitas dan Spesifisitas

Nested Polymerase Chain Reaction

(

Nested

PCR) untuk Mendeteksi DNA

C. burnetii

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas

metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii.

Untuk menentukan tingkat optimasi (optimalisasi) nested PCR dan PCR dalam mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii, maka pengujian dilakukan dengan mengukur konsentrasi awal DNA menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi DNA dibuat menjadi

150 nano gram/µl (ng/µl), sehingga diperoleh konsentrasi akhir dalam reaksi PCR sebesar 75 ng/µl. DNA C. burnetii tersebut diencerkan menjadi 30 ng/µl, 15 ng/µl, 3 ng/µl,

300 piko gram/µl (pg/µl), 30 pg/µl, 3 pg/µl, 0.3 pg/µl dan 0.03 pg/µl. Masing-masing

konsentrasi tersebut diamplifikasi dengan menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4) untuk nested PCR dan satu pasang primer eksternal

(OMP1-OMP2) untuk PCR.

Untuk mengetahui tingkat spesifitas metode nested PCR, maka dilakukan pendeteksian terhadap bakteri seperti Brucella abortus ATCC 23452, Escherichia coli

ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 dan Campylobacter jejuni ATCC 33291. Bakteri-bakteri tersebut merupakan satu kelompok dengan C. burnetii dari famili Proteobacteria.

Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 50 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi

MgCl2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1100 µM, 0.5 µl

primer OMP2 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 25 µl sampel DNA

(5 pg/µl). Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 °C, 3 menit

Gambar

Tabel 1   Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan (Apfindo 2010)
Gambar 2    C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000  kali,  et al.
Gambar 3  Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998).
Gambar 4   Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia (CDC 2005).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dalam ketentuan tersebut mengatur mengenai tata cara yang harus ditempuh oleh calon pendiri perseroan untuk mengalihkan hak dan/atau kewajiban yang timbul dan akan timbul

Arthritis gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan kristal monosodium

Pengujian pengaruh faktor budaya terhadap komitmen Dari hasil perhitungan diperoleh hasil t hitung = 2,271, lebih besar dari t tabel 1,985, maka Ho ditolak sehingga

Selain energi, lemak dan protein yang akan dihitung, untuk lebih mengetahui Angka Kecukupan Gizi lebih lengkap agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk strategi ketahanan

Bentuk Soal No Soal 3.2 Memahami prinsip-prinsip pengendalian kontaminasi X / 1  Pengertian tentang Kontaminasi C1 Menjelaskan pengertian tentang Kontaminasi PG 

Karakteristik-karakteristik epigenetis upper viscerokranium sampel laki-laki Melolo memperlihatkan karakteristik-karakteristik yang unik, perbedaan terhadap sampel tengkorak

396 Kota Yogyakarta 15046002011151 1761 LUSIA ENJANG KRISMARTANTI TK MATER DEI MARSUDIRINI Guru Kelas PAUD/TK

Di sini kedua-duanya merupakan kegiatan dalam perawatan peralat an mesin yang berhubungan dengan dengan kegiatan proses produksi, kegiatan inspeksi adalah dalam rangka