• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tahap praproses dilakukan pembersihan data secara manual sehingga citra hanya memuat satu daun dangan latar belakang putih. Selanjutnya dilakukan perbaikan data. Pengubahan mode citra dari RGB menjadi biner kemudian dilakukan menggunakan fungsi local adaptive thresholding denganthresholdyang berubah secara dinamik pada citra.Hasil citra biner menunjukkan tekstur tulang daun yang cukup jelas dan merata. Gambar 9 menunjukkan contoh citra hasil praproses data.

Gambar 7 Pembagian citra (a) global (b) delapan local region

Menurut Backes dan Bruno (2008), Salah satu metode yang paling dikenal dan banyak digunakan untuk memperkirakan dimensi fraktal sebuah objek adalah metode BoxCounting. Hal ini dikarenakan karakteristiknyayangmudah dalam implementasi dan perhitungan yang sederhana.

Perhitungan dilakukan dengan membagi gambarmenjadi kotak-kotakpersegi (box) berukuran r. Nilai r adalah rasio antara ukuran piksel boxdan ukuran piksel citra terbesar. Nilai ini akan berubah terus sebesar 1/(2k)dengan k = 1, 2, 3,...dan seterusnya dengan 2k tidak lebih dari ukuran citra. Bila citra berukuran 2m x 2mmaka nilai k akan berhenti sampai m. Pada penelitian ini citra yang digunakan berukuran 256 x 256 atau 28x28 maka untuk r = 1/(21) = 1/2 ukuran piksel box sebesar setengah dari citra yaitu 128 piksel, untuk r = 1/(22) = 1/4 ukuran piksel box sebesar seperempat dari citra yaitu 64 piksel, dan seterusnya sampai k = 8. Kemudian dihitung nilai N(r) yaitu jumlah box yang melingkupi suatu objek ketika ukuran box sama dengan r. Semakin kecil ukuran r akan semakin banyak jumlah boxN(r). Ilustrasi pembagian box ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Citra biner dibagi menjadi persegi dengan ukuran yang berbeda-beda. Selanjutnya dibuat garis lurus berdasarkan nilai-nilai log (r) sebagai sumbu x dan nilai log (N(r)) sebagai sumbu y, kemudian dihitung kemiringan α dengan persamaan (5). Berdasarkan persamaan (4) maka nilai kemiringan α adalah dimensi fraktal dari citra. Pembagian Data Latih dan Data Uji

Seluruh data hasil ekstraksi dibagi menjadi data latih dan data uji. Data latih digunakan sebagai masukan pelatihan menggunakan

Probabilistic Neural Network (PNN) sedangkan data uji digunakan untuk menguji model hasil pelatihan. Proporsi data latih dan data uji yang digunakan masing-masing adalah 67% dan 33%.

Klasifikasi dengan Probabilistic Neural Network

Klasifikasi dilakukan dengan menggunakanProbabilistic Neural Network(PNN) yang memiliki empat lapisan yaitu lapisan masukkan, pola, penjumlahan, dan keluaran. Vektor ciri hasil ekstraksi data uji menjadi masukan pada PNN. Lapisan pola menggunakan nilai bias (σ) tetap yang dicari secara trial and errorsehingga mendapatkan akurasi terbaik. Lapisan keluaran memiliki 20 target kelas sesuai dengan jumlah jenis daun. Evaluasi Hasil Klasifikasi

Pengujian data dilakukuan oleh sistem, yaitu dengan penilaian tingat keberhasilan klasifikasi terhadap citra kueri. Evaluasi dari kinerja model klasifikasi didasarkan pada banyaknya data uji yang diprediksi secara benar dan tidak benar oleh model. Hal ini dapat dihitung menggunakan akurasi yang didefinisikan pada persamaan (9).

(9) Perangkat Keras dan perangkat Lunak

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah Processor AMD Turion X2technology RM-75 2.2 GHz, memori DDR1 RAM 1.75 GB, dan harddisk 250 GB. Perangkat lunak yang digunakan adalah Sistem operasi Windows XP Service Pack 2, dan MATLAB 7.0.4.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Praproses Data

Pada tahap praproses dilakukan pembersihan data secara manual sehingga citra hanya memuat satu daun dangan latar belakang putih. Selanjutnya dilakukan perbaikan data. Pengubahan mode citra dari RGB menjadi biner kemudian dilakukan menggunakan fungsi local adaptive thresholding denganthresholdyang berubah secara dinamik pada citra.Hasil citra biner menunjukkan tekstur tulang daun yang cukup jelas dan merata. Gambar 9 menunjukkan contoh citra hasil praproses data.

Dimensi fraktal menunjukkan seberapa besar objek mengisi ruang bidang citra. Dalam penelitian ini citra masukan ekstraksi yang berupa citra biner daun tumbuhan obat merepresentasikan tekstur tulang daun sekaligus bentuk daun. Keduanyalah yang akan menentukan nilai dari dimensi fraktal. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa dimensi fraktal untuk citra daun berkisar dari satu sampai dua sedangkan dimensi fraktal untuk citra daun setiap local region berkisar dari nol sampai dua.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 9 Hasil binerisasi local adaptive thresholding pada citra daun (a) Jarak Pagar, (b) Iler, (c) Mrambos dan (d) Bidani. a. Dimensi fraktal citra keseluruhan

Citra keseluruhan (global) daun memiliki ukuran 256 x 256 piksel dan ukuran box (r) untuk satu citra mulai dari 1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32, 1/64, 1/128, dan 1/256. Selanjutnya didapatkan delapan titik pada plot dimensi karena terdapat delapan ukuran box yang berbeda.Hasil dimensi fraktal merupakan kemiringan dari plot dimensi dengan kisaran nilaidari 1.4 sampai 1.75. Contoh grafik plot log (r) dan log (N(r)) dimensi fraktal pada global region ditunjukkan Gambar 10. b. Dimensi fraktal delapan local region

Pembagian citra menjadi delapan local region bertujuan menambah karakteristik fitur pada daerah ujung, tengah dan pangkal daun serta sisi kanan dan kiri daun. Distribusi dimensi fraktal (FD) pada local region ditunjukkan pada Gambar 11. Setelah dilakukan pembagian masing-masing bagiancitra akan berukuran 128 x 64 piksel, kemudian dihitung nilai dimensi fraktalnya. Nilai FD masing-masing local region merepresentasikan setiap objek pada bagian tersebut. Ukuran box (r) untuk setiap citra local region dimulai dari 1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32, 1/64, dan 1/128 sehingga terdapat tujuh titik dalam plot dimensi seperti Gambar 12 yang menunjukkan salah satu local region dari citra.

(a)

(b)

Gambar 10 Dimensi fraktal global pada daun (a) Jarak Pagar, dan (b) Bidani.

Gambar 11 Distribusi FD pada local region.

Gambar 12 Dimensi fraktal pada local region ke-3 citra Jarak Pagar.

Tabel 1 menunjukkan contoh nilai dimensi fraktal pada setiap local region. Terlihat bahwa setiap bagian memiliki dimensi fraktal yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu berkisar 1.4 sampai 1.7. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur yang mirip pada setiap bagian. Besarnya objek yang mengisi ruang bidang juga mempengaruhi dimensi fraktal. Pada FD pertama dan FD kedua yang diketahui sebagai ujung daun secara visual objek pada bagian ini lebih kecil daripada bagian lain. Kemudian jika dilihat nilai dimensinya yaitu FD 1 = 1.4848 dan FD 2 = 1.5906 ternyata lebih kecil dibandingkan bagian lain yang memiliki dimensi berkisar 1.6 ke atas. Dapat disimpulkan bahwa besarnya objek cukup mempengaruhi nilai dimensi fraktal.

Tabel 1 Nilai dimensi fraktal FD pada delapan local region daun Cincau Hitam (Mesona palustris) No Nilai FD No Nilai FD 1 FD 1 = 1.4848 2 FD 2 = 1.5906 3 FD 3 = 1.6751 4 FD 4 = 1.6392 5 FD 5 = 1.7357 6 FD 6 = 1.6908 7 FD 7 = 1.6730 8 FD 8 = 1.6596 c. Hasil vektor ciri

Untuk satu citra daun didapatkan vektor ciri yang terdiri atas sembilan elemen dimensi fraktal (FD)dengan FD pertama sampai FD kedelapan berasal dari setiap local region dan FD kesembilan berasal dari citra keseluruhan (global). Kesembilan elemen vektor ciri dimensi fraktal jika disajikan dalam grafik maka akan membentuk pola dimensi tertentu. Gambar 13 menunjukkan pola vektor dimensi fraktal pada dua contoh citra untuk dua kelas daun yang berbeda.

Setiap kelas akan membentuk pola dimensi yang berbeda-beda dan mencirikan kelas tersebut. Pada Gambar 13 daun A dan daun B memiliki pola yang berbeda. Daun B rata-rata berdimensi lebih kecil daripada daun A karena daun B memiliki bentuk yang lebih ramping. Pada dimensi yang ketujuh dan kedelapan dimensi daun B menurun cukup jauh karena pada local region tersebut hanya ditemukan sedikit objek yaitu pada daerah pangkal daun.

Hasil vektor ciri sangat bergantung pada data yang digunakan. Faktor pencahayaan dan keragaman bentuk daun dalam satu kelas cukup mempengaruhi hasil ekstraksi terutama

Gambar 13 Pola vektor dimensi fraktal pada dua kelas yang berbeda, A (Cincau Hitam) dan B (Lilin). pada tekstur tulang daun. Untuk dua citra daun dengan bentuk yang mirip bisa memiliki nilai dimensi yang jauh berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Citra daun a dan daun b memiliki perbedaan pada tekstur tulang daunnya. Citra daun b merupakan contoh citra yang kurang merepresentasikan tekstur dengan baik karena ada bagian daun yang kurang jelas. Oleh karena itu, pola dimensi fraktal kedua citra tersebut kurang mendekati satu sama lain walaupun berada dalam satu kelas yang sama.

Gambar 14. Pola vektor dimensi fraktal pada kelas Iler untuk dua daun yang berbeda.

Kemiripan pola vektor dimensi fraktal dalam satu kelas akan mengakibatkan kelas

0.5 0.7 0.9 1.1 1.3 1.5 1.7 1.9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 D ime ns i F ra kta l ( F D ) FD ke-x 0.5 0.7 0.9 1.1 1.3 1.5 1.7 1.9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 D ime ns i F ra kta l ( F D ) FD ke-x

tersebut lebih mudah dikenali dan sebaliknya. Tabel 2 pada halaman 9 menunjukkan hasil ekstraksi beberapa kelas dalam grafik vektor

dimensi fraktal yang setiap kelasnya diberikan empat contoh citra daun.

Tabel 2 Hasil dimensi fraktal pada lima kelas untuk empat sampel daun

Kelas Citra RGB Grafik gabungan dimensi fraktal

5 (Lilin) 6 (Daruju) 15 (Mrambos) 9 (Kumis Kucing)

Dari Tabel 2 terlihat bahwa kelas 15 (Mrambos) memiliki pola dimensi yang saling mendekati antar citra dalam satu kelas. Begitu pula dengan kelas 5 (Lilin), nilai dimensi pada local region rata-rata lebih kecil daripada kelas lain. Diantara semua kelas, kelas 6 yaitu daun Daruju memiliki bentuk yang tidak

biasa. Grafik dimensi antara keempat contoh daun pada kelas tersebut memiliki pola yang tidak terlalu mirip di bagian FD ke-1 dan FD ke-2 yaitu salah satunya bisa bernilai sangat kecil (di bawah 1.2). Kedua nilai tersebut merepresentasikan local region pada bagian ujung daun. Perbedaan ini terjadi karena pada 0 0.5 1 1.5 2 1 3 5 7 9 D im en si f ra k ta l (F D ) FD ke-x 0 0.5 1 1.5 2 1 3 5 7 9 D im en si f ra k ta l (F D ) FD ke-x 0 0.5 1 1.5 2 1 3 5 7 9 D im en si f ra k ta l (F D ) FD ke-x 0 0.5 1 1.5 2 1 3 5 7 9 D im en si f ra k ta l (F D ) FD ke-x h g f e l k j i p o n m t s r q

local region tersebut objek citra sangat kecil dibandingkan dengan citra yang lain. Diantara hasil ekstraksi pada seluruh kelas yang digunakan (Lampiran 1)pola seperti ini jarang terjadi, sehingga kelas 6 tersebut akan lebih mudah dikenali.

Pada kelas 9 (Kumis Kucing) terlihat bahwa pola dimensi antara keempat sampel tidak teratur (tidak membentuk pola yang sama) sehingga kurang mencirikan kelas tersebut. Hal ini terjadi akibat bentuk daun pada kelas 9 beragam dan pencahayaan yang berbeda-beda pada setiap citra daun.

Identifikasi Citra

Identifikasi citra dilakukan dengan klasifikasi menggunakan Probabilistic Neural Network (PNN). Hasil ekstraksi 600 citra tumbuhan obat menggunakan dimensi fraktal Box Countingmenghasilkan vektor-vektor citra tumbuhan obat. Vektor-vektor tersebut menjadi masukan bagi klasifikasi citra menggunakan PNN.

Klasifikasi dilakukan dengan membagi data latih dan data uji masing-masing 67% dan 33% (20 data latih dan 10 data uji). Kelas target dari klasifikasi berjumlah 20 kelas. Masukkan PNN menggunakan bias sebesar 0.08. Akurasi yang dihasilkan adalah 67%. Perbandingan akurasi setiap kelas dapat dilihat pada Gambar 15 serta confussionmatrix untuk 20 kelas disajikan dalam Lampiran 3.

Gambar 15 Grafik akurasi identifikasi setiap kelas citra tumbuhan obat. Dari Gambar 15, kelas 3 (Iler), 5 (Lilin), 6 (Daruju), dan 15 (Mrambos) memiliki akurasi mencapai 100% yang berarti selalu terklasifikasikan dengan benar. Hasil ekstraksi kelas 5, 6, dan 15 dapat dilihat pada Tabel 2. Secara visual kelas-kelas yang memiliki akurasi tinggi adalah citra daun yang memiliki tekstur tulang daun sangat jelas atau yang

memiliki bentuk yang cukup berbeda dengan yang lainnya seperti kelas 6 (Daruju).

Kelas-kelas yang memiliki akurasi yang rendah adalah kelas 9 (Kumis Kucing), 10 (Sambang Darah), dan 18 (Gadung Cina) dengan akurasi masing-masing 30%, 30%, dan 20%. Hasil ekstraksi kelas 9 telah menunjukkan pola dimensi yang tidak seragam (Tabel 2). Kelas dengan akurasi rendah rata-rata memiliki pencahayaan yang kurang baik dan bentuk daun yang sangat beragam dalam satu kelas dipengaruhi oleh sudut pengambilan citra yang berbeda-beda seperti pada Gambar 16.

Gambar 16 Contoh kelas citra yang memiliki akurasi terendah (Gadung Cina). Identifikasi Sistem dengan Hasil Tiga Kelas Teratas

Sistem dibangun dengan menggunakan MATLAB 7.04. Untuk meningkatkan performa, identifikasi dilakukan dengan mengambil tiga kelas yang memiliki probalilitas tertinggi sebagai hasilnya. Kelas pertama adalah kelas dengan probabilitas maksimum (hasil PNN yang sebenarnya), kelas kedua adalah kelas dengan probabilitas tertinggi urutan kedua, begitu pula kelas ketiga yang memiliki probabilitas tertinggi urutan ketiga. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengguna apabila hasil identifikasi ke kelas pertama tidak menunjukkan kelas yang tepat, mengingat akurasi hasil PNN masih dibawah 70%.

Untuk mengetahui apakah hasil identifikasi pada sistem menunjuk ke kelas yang benar pengguna dapat melihat keterangannya pada jendela Identifikasi. Apabila hasil yang ditampilkan adalah kelas yang berbeda dengan kueri (salah idensifikasi), maka pengguna dapat memilih kelas kedua teratas dari hasil identifikasi. Begitu pula halnya apabila kelas kedua teratas menujukkan hasil yang salah, pengguna masih dapat memilih kelas tiga teratas.

Pengujian sistem ini dilakukan dengan menghitung akurasi dari tiga kelas teratas. Untuk setiap urutan kelas jumlah prediksi yang benar diberi bobot masing-masing yaitu 1 untuk kelas pertama, 2/3 untuk kelas kedua, 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 Akurasi Kelas

dan 1/3 untuk kelas ketiga. Hasil akurasi dengan memperhitungkan tiga kelas teratas sebesar 86.19%.Gambar 17 pada halaman 11

menunjukkan antarmuka sistem pada tahap ekstraksi dan identifikasi. Antarmuka tahap pelatihan data disajikan pada Lampiran 2.

Gambar 17 Antarmuka sistem, (a) tahap ekstraksi dan (b) tahap identifikasi pada kelas 6.

Dokumen terkait