• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi Kemampuan Lignolitik Isolat Aktinomiset

Seleksi awal untuk mengidentifikasi kemampuan lignolitik isolat-isolat aktinomiset pada penelitian ini dilakukan dengan menambahkan komponen xenobiotik recalcitrant seperti azo-dyes dan tryphenylmethane dyes pada media Yeast Malt (YM). Senyawa azo-dyes yang digunakan pada penelitian ini ialah merah kongo dengan konsentrasi 200 mg/l. Dari 23 isolat aktinomiset, didapatkan 11 isolat aktinomiset yang dapat membentuk zona bening di sekitar koloni setelah diinkubasi selama 7 hari (Tabel 2, Gambar 5). Zona bening yang terbentuk berkisar antara 0.6-3.3 cm, sehingga diperoleh indeks lignolitik yang berkisar antara 0.2–0.5.

Tabel 2 Seleksi aktinomiset dengan merah kongo

Isolat Respon terhadap Merah kongo Nilai Indeks Lignolitik 1 - 0 5 - 0 6 - 0 8 + 0.2 9 - 0 10 + 0.25 11 - 0 12 - 0 15 - 0 16 + 0.3 24 - 0 25 + 0.5 32 - 0 34 + 0.28 35 + 0.22 37 - 0 39 + 0.34 42 + 0.28 43 + 0.23 B1 + 0.2 K10 - 0 T8 - 0 T13 + 0.3 Keterangan :

Seleksi lanjut dengan senyawa tryphenylmethane dyes yaitu fuchsin (50 mg/l). Fuchsin dikenal dengan nama lain rosaniline hydrochloride atau magenta. Isolat yang memiliki kemampuan mendegradasi merah kongo ditumbuhkan pada media padat yang mengandung fuchsin, didapatkan satu isolat setelah diinkubasi selama 7 hari, yaitu isolat 42 (Tabel 3). Hasil positif diperlihatkan dengan pemudaran warna (Gambar 6). Reaksi perubahan warna fuchsin terjadi cukup lambat yaitu setelah 30 hari gores. Pemudaran warna terjadi sangat jelas setelah 8 bulan inkubasi (Gambar 6d).

Tabel 3 Seleksi Aktinomiset dengan fuchsin

Isolat Respon terhadap Fuchsin 8 TT 10 TT 16 TT 25 TT 34 TT 35 TT 39 TT 42 Positif 43 TT B1 TT T13 TT Keterangan:

Positif : Tumbuh dan terjadi pemudaran warna TT : Tidak Tumbuh

Gambar 5 Respon isolat aktinomiset terhadap pewarna merah kongo a) tidak membentuk zona bening di sekitar koloni b) membentuk zona

Penapisan lignolitik dengan cara ini bersifat kualitatif. Nilai indeks lignolitik dan pemudaran warna pada media, dengan penambahan merah kongo dan fuchsin tidak menunjukkan jumlah aktivitas ALiP, sehingga diperlukan uji aktivitas ALiP secara kuantitatif.

Karakteristik Enzim Isolat 42 Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase

Isolat 42 di subkultur pada media DJMM (Deoxjin Maximal Medium) padat selama 7 hari, kemudian dipindahkan pada media DJMM cair untuk pengukuran aktivitas. Aktivitas enzim lignin peroksidase diukur pada hari ke 6, 8, dan 10 masing-masing sebesar 13.39 U/mg, 24.46 U/mg, dan 13.28 U/mg (Gambar 7).

a b d c 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 0 5 10 15 20 25 30 6 8 10 12 L og B iomassa keri ng (mg/ ml ) Akti vi tas L igni n Peroksi d ase (U/mg)

Waktu inkubasi (hari)

Aktivitas Lignin Peroksidase Biomassa (mg/mL)

Gambar 7 Aktivitas lignin peroksidase isolat 42 pada media DJMM cair Gambar 6 Respon isolat 42 terhadap pewarna fuchsin a) kontrol, b) 1 bulan setelah digores isolat 42, c) 2 bulan setelah digores isolat 42, d) 8 bulan setelah digores isolat 42

Aktivitas Enzim Xilanase

Isolat 42 di subkultur pada media xilan padat selama 7 hari dan dipindahkan pada media xilan cair untuk pengukuran aktivitas xilanase. Aktivitas xilanase diukur pada hari ke 5, 10, dan 15 dengan aktivitas masing-masing sebesar 0.038 U/ml, 0.055 U/ml, dan 0.034 U/ml.

Aktivitas Enzim Selulase

Isolat 42 memiliki aktivitas selulase. Pengukuran diawali dengan menginokulasi isolat 42 pada media CMC padat selama 7 hari kemudian dipindahkan pada media CMC cair. Pengukuran aktivitas selulase dilakukan oleh Astuti (2012) yang memperoleh aktivitas tertinggi pada hari ke-15 sebesar 0.048 U/ml. Selain itu, isolat 42 memiliki aktivitas selulase pada substrat spesifik CMCase, avisel, dan Fpase masing-masing sebesar 0.028 U/ml, 0.023 U/ml, dan 0.037 U/ml.

Delignifikasi Substrat Lignoselulosa oleh Aktinomiset Isolat 42

Tahap ini menggunakan empat biomassa lignoselulosa yaitu serbuk gergaji, Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), tongkol jagung, dan bagas tebu. Isolat 42 tumbuh pada permukaan substrat dengan warna koloni abu-abu (Gambar 9). Kolonisasi isolat 42 tampak jelas pada substrat tongkol jagung dan bagas tebu (Gambar 9 g-h). Kolonisasi memperlihatkan bahwa isolat 42 dapat memanfaatkan substrat dengan mendegradasi komponen pada substrat ini.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 5 7 9 11 13 15 17 L og B iomassa keri ng (mg/ ml ) Aktivitas xilanase (U/m l )

Waktu Inkubasi (hari)

aktivitas xilanase biomassa

Pemanfaatan substrat dengan mendegradasi komponen pada masing-masing biomassa lignoselulosa oleh isolat 42 didukung dengan terjadinya susut bobot setelah kultivasi (Gambar 10). Persentase susut bobot dihitung berdasarkan perbandingan bobot substrat setelah dan sebelum delignifikasi. Susut bobot (%) mengindikasikan perubahan komposisi komponen substrat akibat interaksi aktinomiset dengan substrat. Persentase susut bobot (%) pada bagas tebu, tongkol jagung, TKKS dan serbuk gergaji masing-masing sebesar 13.8%, 11.64%, 6.04%, dan 2.14%.

a b c d

e f g h

Gambar 9 Kultivasi biomassa oleh isolat 42 sebelum diinkubasi pada suhu ruang (a-d) dan setelah inkubasi 6 minggu (e-f). a & e: serbuk gergaji, b & f: TKKS, c & g: tongkol jagung, d & h: bagas tebu.

Gambar 10 Persentase susut bobot substrat setelah kultivasi 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

serbuk gergaji TKKS tongkol jagung bagas tebu

Susut bobot

(%

)

Perubahan Komponen Serat Substrat Setelah Kultivasi

Kultivasi aktinomiset pada substrat menyebabkan terjadinya pengurangan bobot substrat dan mengakibatkan komposisi komponen penyusun masing-masing substrat berubah (Tabel 4). Perubahan jumlah komponen substrat dikaitkan dengan kemampuan isolat 42 dalam mensekresikan beberapa enzim ekstraselular, yaitu lignin peroksidase (Gambar 7), xilanase (Gambar 8) dan selulase (Astuti 2012). Enzim yang dihasilkan dapat mengkatalisis masing-masing substrat dari komponen serat lignoselulosa sehingga terjadi degradasi komponen.

Penurunan kadar lignin dan holoselulosa terjadi pada masing-masing substrat (Gambar 11). Persentase penurunan kadar lignin tertinggi pada tongkol jagung sebesar 4.8%, kemudian bagas tebu, serbuk gergaji, dan TKKS masing-masing sebesar 1.26%, 0.03%, dan 0.005%.

0 1 2 3 4 5 6 7

Serbuk gergaji TKKS Tongkol jagung Bagas tebu

Penurunan kadar

lignin

(%

)

Substrat

Gambar 11 Penurunan lignin dan holoselulosa setelah kultivasi pada masing-masing substrat yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang

Tabel 4 Komposisi komponen substrat sebelum dan setelah kultivasi

Substrat % Lignin % Hemiselulosa % Selulosa % komponen Ekstraktif A B A B A B A B Serbuk gergaji 23.25 23.73 14.6 12.73 49.07 47.14 13.08 16.4 TKKS 22.32 23.75 19.18 9.84 45.42 46.44 13.08 19.97 Tongkol jagung 18.71 15.74 26.16 25.39 41.23 34.56 13.90 24.31 Bagas tebu 5.62 5.06 17.55 19.41 27.43 30.92 49.40 44.61 A : Sebelum kultivasi B : Setelah kultivasi

Persentase penurunan kadar hemiselulosa lebih tinggi dibandingkan penurunan kadar lignin dengan persentase pada masing-masing substrat sebesar 9.93% pada TKKS, 3.73% pada tongkol jagung, 2.14% pada serbuk gergaji, dan 0.82% pada bagas tebu (Gambar 12).

Penurunan kadar selulosa pada tongkol jagung, serbuk gergaji, TKKS, dan bagas tebu masing-masing sebesar 10.69 %, 2.94%, 1.78%, dan 0.78% (Gambar 13).

Kadar ekstraktif setelah kultivasi mengalami peningkatan pada serbuk gergaji, TKKS, dan tongkol jagung masing-masing sebesar 2.97 %, 5.68%, 7.57%, sedangkan terjadi penurunan pada bagas tebu sebesar 10.96% (Gambar 14). 0 2 4 6 8 10 12

Serbuk gergaji TKKS Tongkol jagung Bagas tebu

Penurunan kadar selulosa (% ) Substrat 0 2 4 6 8 10 12

Serbuk gergaji TKKS Tongkol jagung Bagas tebu

Penurunan kadar

hemiselulosa

(%

)

Substrat

Gambar 13 Penurunan selulosa setelah kultivasi pada masing-masing substrat yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang

Gambar 12 Penurunan hemiselulosa setelah kultivasi pada masing-masing substrat yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang

Struktur Mikroskopis Substrat Sebelum dan Setelah Kultivasi

Kemampuan isolat 42 dalam mendegradasi substrat didukung pula dari hasil pengamatan mikroskopis (Gambar 15-17). Pengamatan ini memperjelas adanya kerusakan struktur serat substrat yang disebabkan oleh aktivitas degradasi enzim ekstraselular.

Struktur serbuk gergaji sebelum dan setelah kultivasi isolat 42 dengan mikroskop tanpa polarisasi memperlihatkan struktur serat yang kompak dan tampak tidak ada perubahan (Gambar 15 a,c). Gambar diperjelas dengan mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan bagian-bagian serat dengan warna yang berbeda (Gambar 15 b,d). Bagian dengan warna keemasan memperlihatkan struktur dinding sel masih terlihat kompak, dan bagian dengan warna kemerahan menunjukkan struktur amorf serta bagian dengan warna biru menunjukkan struktur kristalin.

Struktur TKKS sebelum dan setelah kultivasi isolat 42 dengan mikroskop tanpa cahaya terpolarisasi memperlihatkan struktur yang masih kompak pula (Gambar 16 a,c). Dengan bantuan cahaya terpolarisasi terlihat adanya perbedaan (Gambar 16 b,d). Warna kebiruan pada serat sebelum kultivasi isolat 42 berada terselubung di dalam substrat sehingga tidak tampak begitu jelas, namun setelah kultivasi, warna kebiruan tersebut berserakan di sekitar substrat dan lebih terlihat jelas pada permukaan substrat, warna kebiruan menunjukkan struktur kristalin selulosa yang terlepas.

Struktur serat tongkol jagung sebelum dan setelah kultivasi isolat 42 dengan mikroskop tanpa polarisasi memperlihatkan adanya perbedaan (Gambar 17 a, c). Sebelum kultivasi, struktur fibril teratur dan sangat kompak. Namun, terjadi perubahan setelah kultivasi, struktur fibril terlihat acak dan berongga yang menunjukkan adanya indikasi degradasi oleh aktinomiset.

-15 -10 -5 0 5 10

Serbuk gergaji TKKS Tongkol jagung Bagas tebu Peningkatan kadar ekstraktif (% ) Substrat

Gambar 14 Peningkatan ekstraktif setelah kultivasi pada masing-masing substrat yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 15 Struktur mikroskopis serbuk gergaji perbesaran 200x: sebelum kultivasi (a-b) dan setelah kultivasi (c-d); menggunakan mikroskop cahaya (a-c) dan cahaya terpolarisasi (b-d)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 16 Struktur mikroskopis TKKS perbesaran 200x: sebelum kultivasi (a-b) dan setelah kultivasi (c-d); menggunakan mikroskop cahaya (a-c) dan cahaya terpolarisasi (b-d)

Struktur serat bagas tebu sebelum dan setelah kultivasi Isolat 42 tidak memperlihatkan banyak perubahan seperti pada tongkol jagung. Struktur serat pada bagas tebu lebih sederhana dibandingkan pada tongkol jagung. Namun degradasi serat bagas tebu oleh isolat 42 hanya ditunjukkan dengan adanya celah yang terbentuk pada serat setelah kultivasi (Gambar 18 a, c). Pengamatan dengan mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan adanya warna kebiruan yang menunjukkan selulosa kristalin pada serat sebelum dan setelah kultivasi Isolat 42 (Gambar 18 b, d).

Dari keempat substrat yang digunakan, substrat tongkol jagung terdegradasi lebih baik dibandingkan dengan substrat lain. Hasil diperjelas dengan pengamatan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Gambar 19). Substrat yang belum terdegradasi masih utuh dan tidak ada lubang yang terbentuk (Gambar 19a). Substrat yang telah terdegradasi diperlihatkan adanya lubang pada substrat tongkol jagung setelah kultivasi (Gambar 19 b). Kerusakan substrat dengan membentuk jaring-jaring diperjelas pada Gambar 19(c), (d), isolat 42 dapat mengkolonisasi permukaan substrat yang ditandai dengan adanya sel yang menempel pada permukaan substrat (tanda anak panah).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 17 Struktur mikroskopis tongkol jagung perbesaran 200x: sebelum kultivasi (a-b) dan setelah kultivasi (c-d); menggunakan mikroskop cahaya (a-c) dan cahaya terpolarisasi (b-d)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 18 Struktur mikroskopis bagas tebu perbesaran 200x: sebelum kultivasi (a-b) dan setelah kultivasi (c-d); menggunakan mikroskop cahaya (a-c) dan cahaya terpolarisasi (b-d)

Gambar 19 Struktur mikroskopik tongkol jagung dengan SEM a) sebelum delignifikasi perbesaran 5000x; setelah delignifikasi b)1650x c) 5700x d) 6200x

Pembahasan

Seleksi awal untuk mengidentifikasi kemampuan lignolitik isolat-isolat aktinomiset pada penelitian ini dilakukan dengan menambahkan komponen xenobiotik recalcitrant seperti azo-dyes dan tryphenylmethane dyes pada media Yeast Malt (YM) berupa merah kongo dan fuchsin. Aktinomiset berperan sebagai agen biodegradatif lingkungan yang dapat mensekresikan enzim ekstraselular untuk mendegradasi senyawa recalcitrant tersebut (Kang et al. 1999).

Seleksi pertama dilakukan dengan menumbuhkan 23 isolat aktinomiset pada media YM dengan penambahan merah kongo, dan didapatkan 11 isolat yang memiliki aktivitas peroksidase (Tabel 2) yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni (Gambar 5). Merah kongo merupakan azo-dyes yang termasuk ke dalamgolongan sulfonated azo dye, dengan nama IUPAC disodium 4-amino-3-[4-[4-(1-amino-4-sulfonato naphthalen-2-yl) diazenylphenyl] phenyl] diazenyl- naphthalene-1-sulfonate, dengan adanya gugus SO3H dan struktur dasar (-N=N-). Menurut Kang et al. (1999), Streptomyces mampu mendegradasi pewarna (dyes) dengan mensekresi enzim ekstraselular peroksidase. Aktivitas enzim ini akan menyebabkan pemudaran warna di sekitar koloni dengan terbentuknya zona bening.

Enzim ekstraselular peroksidase akan memutuskan struktur dasar merah kongo dengan penyerangan atom nitrogen (-N=N-), kemudian mengubah azo dye menjadi kation radikal yang rentan terhadap penyerangan nukleofilik oleh air atau hidrogen peroksida dan akan menghasilkan produk reaktif (intermediat) melalui reaksi redoks hingga memproduksi intermediet stabil (Goszczynski et al.1994, Gomare et al. 2008).

Seleksi lanjut dengan senyawa tryphenylmethane dyes yaitu fuchsin dengan konsentrasi 50 mg/l. Fuchsin dikenal dengan nama lain rosaniline hydrochloride, magenta, 4,4’-[(4-imino-2,5-cyclohexadien-I-ylidene)methylene]bis[benzeamine]. Isolat yang memiliki kemampuan mendegradasi merah kongo ditumbuhkan pada media padat mengandung fuchsin. Menurut Kang et al. (1999) isolat aktinomiset yang dapat tumbuh pada media dengan penambahan fuchsin menunjukkan bahwa isolat memiliki kemampuan dalam mengoksidasi senyawa fenol klorin (2,4 Dichlorophenol/DCP). Menurut Yee & Wood (1997) Streptomyces viridosporus T7 yang dapat mendegradasi DCP mensekresikan ALiP-P3 yang juga dapat mendegradasi lignin pada ikatan 1,2-diarylpropane (β-1) dan arylglyserol- β-aryl ether (β-O-4). Dari 11 isolat terpilih dari tahap sebelumnya hanya satu isolat yang dapat tumbuh setelah diinkubasi selama 7 hari, yaitu isolat 42 (Tabel 3). Hasil positif diperlihatkan dengan pemudaran warna yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Aktinomiset secara umum mampu mendegradasi lignin, namun reaksi perubahan warna terhadap fuchsin terjadi cukup lambat yaitu setelah 30 hari gores. Pemudaran warna fuchsin terjadi sangat jelas setelah 8 bulan inkubasi (Gambar 6d). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nidadavolu et al. (2013) bahwa fungi Fomitopsis feei mampu mendegradasi fuchsin dalam media cair dengan persentase pemudaran warna sebesar 98% setelah inkubasi 21 hari dan aktivitas lignin peroksidase tertinggi yaitu 42 U/ml. Fuchsin tergolong senyawa tryphenylmethane dyes. Selain fuchsin, Azmi et al. (1998) juga melaporkan aktinomiset dari spesies Nocardia corallina mampu mendegradasi empat

senyawa tryphenylmethane dyes lain yaitu kristal violet, metil violet, etil violet, dan victoria blue B.

Kemampuan isolat 42 mendegradasi senyawa azo dyes dan triphenylmethane dyes menjadikan isolat ini lebih potensial dibandingkan dengan isolat lain. Kemampuan ini mengindikasikan bahwa isolat 42 memiliki memiliki aktivitas enzim mirip peroksidase dan aktivitas oksidasi fenol-klorin. Menurut Kang et al. (1999) aktinomiset yang memiliki kedua kemampuan ini mempunyai kemiripan dengan enzim isoform Actinomycetes Lignin-Peroksidase- P3 (ALiP-P3) yang dikarakterisasi dari S. viridosporus. ALiP yang disekresikan oleh Streptomyces memiliki kemiripan dengan LiP yang dihasilkan oleh Phanerochaete chysosporium.

Lignin peroksidase (LiP) dapat mendegradasi dan memodifikasi senyawa aromatik recalcitrant yang bervariasi dan mengoksidasi sejumlah aromatik polisiklik dan senyawa fenolik (Mliki & Zimmermann 1992, Godden et al. 1992). Kang et al.(1999) menetapkan ALiP sebagai pendegradasi beberapa variasi struktur xenobiotik recalcitrant termasuk azo-dyes dan fenol klorin (chlorinated phenol).

Penapisan lignolitik isolat aktinomiset dengan cara ini bersifat kualitatif. Nilai indeks potensial (Tabel 2) dan pemudaran warna pada media dengan penambahan fuchsin tidak menunjukkan jumlah aktifitas ALiP, sehingga diperlukan uji aktivitas ALiP secara kuantitatif.

Astuti (2012) telah mengindentifikasi isolat 42 dan dinyatakan homolog dengan Streptomyces exfoliatus. Aktinomiset dari genus Streptomyces ini memiliki hifa vegetatif dan bersporulasi pada umur 7-14 hari. Menurut Ramachandra et al. (1987) beberapa aktinomiset dari golongan Streptomyces diketahui mampu mendegradasi lignoselulosa dengan cara mendegradasi lignin dan memotong karbohidrat. Aktinomiset yang menghasilkan enzim lignin peroksidase telah banyak diketahui, di antaranya Streptomyces cyaneus (Mliki & Zimmermann 1992), Streptomyces galur EC 22 dan Streptomyces thermoviolaceus (Mercer et al. 1996).

Selain enzim lignin peroksidase, beberapa aktinomiset memiliki kemampuan mendegradasi lignoselulosa akan memiliki enzim xilanase dan selulase karena lignoselulosa tersusun atas komponen organik hemiselulosa dan selulosa. Aktinomiset yang memiliki aktivitas selulase adalah Streptomyces ruber (El-Sersy et al. 2010). Karakterisasi enzim xilanase dan selulase perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat dalam mendegradasi substrat.

Kemampuan mendegradasi komponen bergantung pada aktivitas enzim yang dimiliki. Semakin besar aktivitas enzim maka akan semakin besar pula kemampuannya dalam mendegradasi komponen lignoselulosa. Menurut Adsul et al. (2004). Rasio enzim terhadap substrat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas hidrolisis substrat.

Pengukuran aktivitas lignin peroksidase untuk isolat 42 dilakukan dengan mensubkulturkan pada media Deoxjin Maximal Medium (DJMM) padat selama 7 hari kemudian dipindahkan pada media DJMM cair. Hal ini sesuai dengan penelitian Yee et al. (1996) yang mensubkultur Streptomyces viridosporus T7A pada media tersebut untuk meningkatkan produksi ALiP-P3 hingga 6 kali lipat. Komponen penting yang dapat meningkatkan produksi enzim ALiP-P3 adalah tepung jagung sebagai sumber karbon, kasein sebagai sumber nitrogen dan CaCO3

yang berkaitan dengan stabilitas molekul enzim dan menghasilkan enzim yang lebih tinggi dengan mengurangi ukuran biomassa.

Optimasi lignin peroksidase juga dapat dilakukan dengan penambahan sumber karbon sebagai induser seperti lignoselulosa, selulosa dan xilan (Macedo et al. 1999). Penggunaan yeast ekstrak juga mampu meningkatkan pertumbuhan sel dan aktivitas peroksidase (Lodha et al. 1991). Namun, penggunaan yeast ekstrak (0.5 g/l) dengan penambahan suplemen CMC (3 g/l) sebagai sumber karbon menyebabkan aktivitas lignin peroksidase menurun 83% dibandingkan tanpa CMC. Oleh karena itu, media DJMM diformulasikan dengan penambahan xilan. Hal ini didukung dari penelitian Tuncer et al. (2004) yang mengamati bahwa penambahan xilan pada media mampu menginduksi enzim ekstraselular endoxilanase dan lignin peroksidase pada Streptomyces sp. F2621 menjadi lebih tinggi dari medium dasar salt-yeast extract dan ballmilled wheat straw (BMWS).

Aktivitas enzim lignin peroksidase diukur berdasarkan laju pembentukan produk berwarna dari reaksi pengujian yang sebanding dengan konsentrasi enzim aktif. Enzim (E) akan dioksidasi oleh H2O2 menjadi intermediat enzimatik aktif yang disebut komponen I (Persamaan 1). Komponen I ini akan menerima fenol (PhOH) pada sisi aktif sehingga terjadi oksidasi menghasilkan komponen II (E2) dan fenol radikal (PhO.) yang dilepaskan ke larutan (Persamaan 2). Komponen II akan dioksidasi oleh molekul fenol kedua dan melepaskan fenol radikal lainnya dan kembali ke enzim awal (E), dengan demikian siklus sempurna (Persamaan 3). Perubahan warna dihasilkan dari reaksi fenol radikal yang bereaksi dengan aminoantipyrine (Am-NH2) dan hidrogen peroksida menghasilkan produk antipyrilquinoneimne berwarna merah muda (Persamaan 4, 5, dan 6) (Nicell & Wright 1997).

Enzim lignin peroksidase yang dihasilkan oleh bakteri merupakan produk dari proses metabolisme primer (Gambar 7) (Godden et al. 1992). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Tuncer et al. (2004) yang menyatakan bahwa Streptomyces sp. F262 memproduksi enzim lignin peroksidase pada fase pertumbuhan. Pada penelitian ini, aktivitas tertinggi dihasilkan pada hari ke-8. Berdasarkan Ramachandra et al.(1987) aktivitas enzim lignin peroksidase akan mencapai puncak pada awal fase stasioner dan secara dramatis akan menurun ketika memasuki fase akhir stasioner. Aktivitas enzim lignin peroksidase optimal akan berbeda karena pengaruh nutrisi terutama sumber karbon. Tuncer et al. (1999) melakukan pengamatan pada aktinomiset termofilik, Thermoomonospora fusca BD25 yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan 0.6% (w/v) xilan diketahui bahwa aktivitas peroksidase dihasilkan pada fase pertumbuhan (48-96 jam), dan menurun perlahan setelah 7 hari inkubasi dengan aktivitas sebesar 12.08 U/ml.

Tuncer et al. (2004) menyatakan juga bahwa Streptomyces memiliki aktivitas lignoselulolitik berupa peroksidase, xilanase dan endoglukanase. Pada penelitian ini, Isolat 42 ditumbuhkan pada media xilan dan memiliki aktivitas yang diukur pada hari ke 5, 10 dan 15 (Gambar 8).

Produksi enzim xilanase oleh Streptomyces dihasilkan pada fase pertumbuhan (Tuncer et al. 2004). Dari Gambar 8 terlihat bahwa peningkatan dan penurunan aktivitas diimbangi dengan peningkatan dan penurunan biomassa. Aktivitas tertinggi ditunjukkan pada hari ke-10 dan menurun pada hari ke 15. Waktu produksi enzim dengan aktivitas tertinggi yang sama juga dilaporkan

Meryandini et al. (2006) dengan menggunakan isolat Streptomyces spp. SKK 1-8 dengan aktivitas yang lebih tinggi sebesar 0.65 U/ml.

Isolat 42 memiliki aktivitas enzim selulolitik, sebagaimana dilakukan oleh Astuti (2012) dengan aktivitas tertinggi pada hari ke-15. Isolat 42 memiliki aktivitas selulase pada substrat spesifik CMCase, avisel dan Fpase.Adanya ketiga aktivitas enzim spesifik menunjukkan kemampuan isolat dalam mendegradasi selulosa. Menurut Datshban et al. 2010 hidrolisis selulosa membutuhkan gabungan enzim endogukanase, eksoglukanase dan β-glukosidase yang bekerja secara sinergis.

Ogawa et al. (2007) dan Wang et al.(2008) menjelaskan bahwa isolat yang memiliki aktifitas spesifik pada CMCase menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki enzim endoglukanase. Substrat CMC akan didegradasi oleh enzim endoglukanase yang memutuskan ikatan selulosa dibagian internal area amorf. Aktivitas spesifik pada substrat avicel menunjukkan adanya enzim eksoglukanase yang memutuskan unit selobiosil dari ujung rantai selulosa, area yang diserang merupakan kristalin. FPase merupakan metode untuk menganalisis total aktivitas selulase (Dasthban et al. 2010).

Aktivitas selulase pada substrat CMCase yang dihasilkan isolat 42 lebih tinggi dibandingkan dengan avicel. Menurut Wang et al. (2008) enzim selulase yang dihasilkan merupakan endoglukanase yang menunjukkan aktivitas aviselase (eksoglukonase).

Hasil memperlihatkan kemampuan isolat 42 menghasilkan lignin peroksidase, xilanase dan selulase. Hal ini membuktikan bahwa isolat 42 merupakan Streptomyces yang memiliki potensi sebagai sumber enzim untuk degradasi biomassa lignoselulolitik.

Biomassa lignoselulosa mengandung komponen heterogen kompleks dari komponen organik yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif. Setiap tumbuhan memiliki persentase komponen yang bervariasi (Tabel 1). Biomassa lignoselulosa yang digunakan pada tahap delignifikasi merupakan Agro-industrial residues berupa serbuk gergaji, TKKS, tongkol jagung dan bagas tebu. Biomassa ini memiliki kandungan selulosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan hemiselulosa dan lignin sehingga memiliki potensi yang cukup baik untuk diubah menjadi beragam produk yang memiliki nilai tambah (Vassilev et al. 2012, Howard et al .2003).

Pemanfaatan biomassa lignoselulosa mengalami permasalahan dalam proses pemisahan antar komponennya, terutama lignin. Ikatan lignin yang kuat menghalangi penetrasi enzim dalam proses hidrolisis sehingga menurunkan kinerja enzim (Mosier et al. 2005). Dengan demikian, perlu dilakukan proses praperlakuan yang dikenal dengan delignifikasi (penghilangan lignin). Penelitian ini mengkaji kemampuan isolat 42 dalam mendelignifikasi lignin pada substrat serbuk gergaji, TKKS, tongkol jagung dan bagas tebu.

Isolat 42, yaitu Streptomyces dikultivasi pada masing-masing substrat dengan metode fermentasi padat (Solid State Fermentation/SSF). Penggunaan metoda fermentasi ini disesuaikan dengan peran Streptomyces sebagai agen pengomposan dan menggunakan substrat Agro-industrial residu yang tidak larut (non-soluble material), sebagai pendukung fisik dan sumber nutrisi (Couto & Sanroman 2006; Pandey 2003).

Isolat 42 memiliki hifa yang menyerupai atribut pada fungi dan tumbuh pada permukaan substrat (Gambar 9). Menurut Ward (1989); Couto & Sanroman (2006); Pandey (2003) SSF sesuai untuk mikroorganisme berfilamen seperti yeast dan fungi yang tumbuh pada permukaan substrat sehingga disebut “Solid substrates bed” dengan substrat yang basah dan tidak ada jumlah air bebas (free water) atau terbatas dengan Water actvity (aw) berkisar 0.7. Water actvity (aw) substrat merupakan penghubung sebagai parameter dasar untuk transfer massa air dan solut (solutes)menuju sel mikrob.

Ukuran substrat yang digunakan pada penelitian ini diperkecil hingga 40 mesh. Menurut Ward (1989) ukuran partikel substrat merupakan faktor penting dalam penggunaan metode SSF untuk mengoptimasikan rongga antar partikel agar transfer gas dan panas lebih mudah. Panas dihasilkan dari aktivitas mikrob selama fermentasi dan dapat mendenaturasi enzim yang dihasilkan dari proses ini (Singhania et al. 2009).

Kemampuan isolat 42 dalam mengkolonisasi masing-masing substrat diperlihatkan dengan pertumbuhan koloni Streptomyces pada permukaan substrat dengan warna koloni abu-abu (Gambar 9). Kolonisasi memperlihatkan bahwa isolat 42 dapat memanfaatkan substrat dengan mendegradasi komponen pada substrat tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Godden et al.(1992) yang menyatakan bahwa aktinomiset yang ada ditanah merupakan saprofit biodegradatif aerobik dengan substrat utama adalah biomassa tumbuhan. Menurut Tuomela et al. (2000) kemampuan mikrob dalam mengasimilasi bahan organik tergantung dengan kemampuanya dalam memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mendegradasi komponen substrat, semakin kompleks substrat yang digunakan maka semakin komplek enzim yang dibutuhkan. Isolat 42 memiliki kemampuan lignoselulolitik dengan menghasilkan enzim lignin peroksidase, xilanase dan selulase (Gambar 7; 8; Astuti 2012). Keberadaan enzim ini membantu isolat dalam mendegradasi komponen organik yang kompleks dari

Dokumen terkait