HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen GHR|SSpI
Proses amplifikasi gen GHR|SSpI pada sapi FH di KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BPPT SP Cikole, BIB Lembang, dan BBIB Singosari dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Produk amplifikasi gen GHR|SSpI yang didapatkan adalah sepanjang 230 bp. Hal ini sesuai dengan Khatib et al. (2009) yang menyatakan bahwa produk hasil amplifikasi gen GHR|SSpI exon 8 adalah sepanjang 230 bp. Hasil amplifikasi gen GHR|SSpI sepanjang 230 bp pada gel agarose 1,5 % disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen GHR|SSpI Sepanjang 230 bp pada Gel Agarose 1,5 %. M (Marker) dan 1-13 (Sampel)
Amplifikasi gen GHR|SSpI berhasil 96% atau sebanyak 312 sampel dari jumlah semua sampel yang diteliti yaitu 325 sampel. Ketidakberhasilan amplifikasi dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti suhu annealing (penempelan primer), jumlah komponen pereaksi yang digunakan, kualitas dan kuantitas DNA hasil ekstraksi (Muladno, 2002). Posisi penempelan primer pada sekuen GHR|SSpI (Gen Bank Kode Akses. EF207442) disajikan pada Gambar 6. Suhu annealing sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses ampilifikasi DNA. Suhu annealing merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer pada situs pemotongan DNA selama proses ampilifikasi berlangsung. Suhu annealing yang dipakai pada penelitian ini adalah pada suhu 60o C selama 45 detik.
Forward
1983 ttccagtttc catggttctt aattattatc tttggaatac ttgggctagc agtgacaat|a
2043 tttttactca tattttctaa acagcaaagg taagtgtgat ataacctact ctgatatgtt 3003 ttgccagtta tttagcaaat gtccatgttt ccattttttg tttgatgttt tcttttgtga 3063 atcctgagtg aagtgtttca tcaacccagt gaaacgttat cgctctacat ttacatcttt 4023 gttgtgtcca cagagagaca acacaggtct cagttttatc tggaaagttg cataggatgt reverse
Alel T: 5’---agtgacAAT|ATTttta----3’ Alel A: 5’---agtgacAATATAttta----3’
Keterangan : Alel T mempunyai basa T pada posisi basa ke 2044 Alel A mempunyai basa A pada posisi basa ke 2044
Gambar 6. Posisi Penempelan Primer (cetak tebal) pada Sekuen Gen Growth Hormone Receptor Terjadi Mutasi pada Situs Pemotongan SspI (aat|att)
Pendeteksian keragaman gen GHR|SSpI exon 8 pada sapi FH menggunakan metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism). PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007). Pemotongan fragmen tersebut dilakukan dengan menggunakan enzim restriksi SSpI dengan buffer G. Suhu inkubasi enzim ini adalah 37o C. Enzim ini memotong situs aat|att yang pada produk PCR berada pada basa ke 2042. Enzim SSpI tidak akan mengenali situs pemotongan apabila terjadi mutasi pada sekuen gen. Khatib et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi mutasi pada basa ke- 2044 di sekuen gen GHR|SSpI. Mutasi adalah suatu perubahan struktur kimia gen yang berakibat perubahan fungsi gen. Mutasi yang terjadi adalah perubahan asam amino phenylalanine yang mengkodekan alel T menjadi asam amino tyrosine yang mengkodekan alel A (Komisarek et al., 2010). Mutasi yang terjadi merupakan mutasi substitusi transversi dimana terjadi perubahan basa pirimidin (T-C) berubah menjadi basa purin (A-G). Mutasi ini bersifat non-synonimus atau mutasi yang menyebabkan perubahan asam amino. Mutasi ini menyebabkan produk amplifikasi tidak akan dikenali oleh enzim dan tidak akan terpotong. Mutasi pada gen GHR telah diasosiasikan sebagai Larontype dwarfism pada manusia (Godowski et al., 1989),
sex-linked dwarfism pada ayam (Burnside et al., 1992), sifat pertumbuhan pada sapi pedaging (Hale et al., 2000) dan sifat produksi susu pada sapi Holstein (Aggrey et al., 1999). Hasil pemotongan fragmen GHR oleh SSpI menghasilkan tiga genotipe yaitu AA (230 bp), AT (230 bp, 200 bp, 30 bp), dan TT (200 bp, 30 bp) (Khatib et al., 2009). Gen GHR pada sapi perah mempengaruhi sifat produksi susu (Aggrey et al., 1999). Hasil pemotongan fragmen GHR oleh SspI pada gel agarose 2 % disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Visualisasi Hasil PCR-RFLP pada Gen GHR|SSpI pada Gel Agarose 2% dengan Genotype AA (230 bp), AT (230 bp, 200 bp, 30 bp) dan
TT (200 bp, 30 bp)
Keragaman gen GHR|SSpI pada sapi Friesian Holstein untuk setiap lokasi diilustrasikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik Keragaman Gen GHR|SSpI Exon 8 pada Sapi Friesian Holstein Setiap Populasi
Genotipe yang banyak terdapat pada sapi FH di BPPT SP Cikole adalah genotipe TT (45/81) yang diikuti dengan genotipe AT (28/81) dan terakhir adalah genotipe AA (8/81). Sapi FH di daerah KPSBU Pasir Kemis memiliki jumlah genotipe TT dan AT yang sama yaitu (42/95) kemudian genotipe paling sedikit adalah genotipe AA (11/95). Genotipe terbanyak pada daerah KPSBU Cilumber adalah genotipe AT (49/94) kemudian diikuti dengan genotipe TT (42/94) dan terakhir adalah genotipe AA (3/94). Genotipe TT pada sapi FH di BBIB Singosari merupakan genotipe terbanyak (17/32) kemudian diikuti genotipe AT (15/32) dan tidak terdapat genotipe AA. Sapi FH di BIB Lembang memiliki genotipe TT sebanyak 9 dan hanya memiliki 1 genotipe AT dari jumlah 10 sampel.
Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GHR|SSpI
Hasil analisis nilai frekuensi genotipe dan alel gen GHR|SSpI pada sapi FH di setiap populasi dapat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Alel pada Sapi FH di Setiap Populasi
Populasi Genotipe Alel
AA AT TT A T
BPPT SP Cikole (81) 0,099 (8) 0,346 (28) 0,556 (45) 0,272 0,728 KPSBU Pasir Kemis (95) 0,116 (11) 0,442 (42) 0,442 (42) 0,337 0,663 KPSBU Cilumber (94) 0,032 (3) 0,447 (42) 0,521 (49) 0,255 0,745 BBIB Singosari (32) 0,000 (0) 0,469 (15) 0,531 (17) 0,234 0,766 BIB Lembang (10) 0,000 (0) 0,100 (1) 0,900 (9) 0,050 0,950
Total (312) 0,071 (22) 0,410 (128) 0,519 (162) 0,276 0,724
Keterangan : (…) = jumlah sampel
Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah genotipe yang muncul pada suatu populasi. Frekuensi genotipe dan alel merupakan parameter dasar untuk mempelajari proses terjadinya evolusi karena perubahan genetik pada sebuah populasi biasanya digambarkan dengan adanya perubahan pada frekuensi alel (Nei dan Kumar, 2000). Tabel 2. menunjukkan bahwa frekuensi genotipe total dari sapi FH di semua populasi sebesar 0,071 untuk genotipe AA, 0,410 untuk genotipe AT, dan 0,519 untuk genotipe TT. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa genotipe tertinggi yang terdapat di semua populasi adalah genotipe TT dan genotipe
terendah adalah genotipe AA. Nilai frekuensi genotipe tertinggi pada sapi FH di BPPT Cikole sebesar 0,556 yaitu genotipe TT. Begitu pula dengan sapi FH di KPSBU Cilumber yang memiliki nilai frekuensi genotipe tertinggi untuk genotipe TT yaitu sebesar 0,521. Nilai frekuensi genotipe TT dan AT pada sapi FH di KPSBU Pasir Kemis memiliki proporsi yang sama yaitu 0,442. Sapi FH pejantan yang berada pada BBIB Singosari dan BIB Lembang memiliki frekuensi genotipe tertinggi untuk genotipe TT yaitu sebesar 0,531 dan 0,9. Hal ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Komisarek et al. (2010) pada sapi Jersey yaitu nilai frekuensi tertinggi adalah genotipe TT sebesar 0,74 dan frekuensi terendah adalah genotipe AA sebesar 0,04. Begitu pula dengan hasil penelitian Fontanesi et al. (2007) pada sapi Italian Holstein Friesian, Italian Brown, Jersey, Italian Simmental, Reggiana, Rendena, Modenese yang menunjukkan bahwa nilai frekuensi tertinggi adalah genotipe TT dengan nilai berkisar 0,509-0,894 dan frekuensi terendah adalah genotipe AA dengan nilai berkisar 0,000-0,056. Menurut hasil penelitian Rahmatalla et al. (2011) nilai frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe TT dengan nilai 0,691 dan terendah adalah genotipe AA dengan nilai 0,0021.
Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Nilai frekuensi alel total untuk semua populasi memperlihatkan bahwa frekuensi alel tertinggi sebesar 0,724 untuk alel T dan terendah sebesar 0,276 untuk alel A. Frekuensi alel pada sapi FH betina di BPPT SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan Cilumber menunjukkan persamaan untuk nilai frekuensi alel tertinggi yaitu alel T dengan nilai berkisar antara 0,663-0,745. Begitu pula dengan nilai frekuensi pada sapi FH pejantan di BBIB Singosari dan BIB Lembang yang memiliki frekuensi alel tertinggi untuk alel T sebesar 0,766 dan 0,950. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Komisarek et al. (2010) pada sapi Jersey dimana frekuensi alel T lebih besar dibandingkan alel A dengan nilai sebesar 0,85 untuk alel T dan 0,15 untuk alel A. Menurut hasil penelitian Viitala (2006) pada sapi Finnish Ayrshire frekuensi alel T lebih besar dibandingkan alel A dengan nilai sebesar 0,89 untuk alel T dan 0,11 untuk alel A. Hasil penelitian Fontanesi et al. (2007) menunjukkan bahwa pada sapi Italian Holstein Friesian, Italian Brown, Jersey, Italian Simmental, Reggiana, Rendena, Modenese memiliki nilai frekuensi alel T
yang lebih besar dibandingkan dengan alel A dengan nilai berkisar antara 0,727- 0,947. Menurut hasil penelitian Rahmatalla et al. (2011) pada sapi Germany Holstein menunjukkan nilai frekuensi pada alel T lebih besar dibandingkan alel A dengan nilai 0,835 untuk alel T dan 0,165 untuk alel A.
Nei (1987) menyatakan tingkat keragaman dalam populasi digambarkan dari frekuensi alel. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama atau kurang dari 0.99. Menurut Falconer dan Mackay (1996), suatu populasi dinilai beragam apabila memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup. Berdasarkan hasil analisis frekuensi alel dapat dikatakan bahwa gen GHR|SSpI bersifat polimorfik pada sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB Lembang.
Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen GHR|SSpI
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi yang telah mengalami kawin acak dan bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Noor (2000) menyatakan bahwa hukum ini memperlihatkan frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya jika tidak terjadinya seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian disebut dalam keadaan equilibrium (seimbang). Hasil pengujian keseimbangan Hardy-Weinberg gen GHR|SSpI pada sapi FH di setiap populasi dengan Chi-Kuadrat (χ2) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dengan Uji Chi-Kuadrat (χ2) pada Sapi FH di Setiap Populasi
Populasi Jumlah Sapi χ2 hitung
BPPT SP Cikole 81 ekor 1,293tn
KPSBU Pasir Kemis 95 ekor 0,010tn
KPSBU Cilumber 94 ekor 2,879tn
BBIB Singosari 32 ekor 2,999td
BIB Lembang 10 ekor 0,028td
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata td = tidak dapat dianalisis χ2
0,05 = 3,84 dan χ 2
0,01 = 6,64
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber dan KPSBU Pasir Kemis berada pada keadaan keseimbangan Hardy- Weinberg (χ2 hitung < χ2
0,05). Suatu populasi dinyatakan dalam keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe dan frekuensi alel tetap dari generasi ke generasi karena akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak ke dalam populasi yang besar (Vasconcellos et al., 2003). Hal ini menunjukkan tidak adanya seleksi, migrasi, mutasi ataupun genetic drift pada ketiga daerah tersebut seperti yang dikatakan oleh Noor (2010), ketidakseimbangan dapat diakibatkan karena terjadinya seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift.
Sapi FH di BBIB Singosari dan BIB Lembang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat karena populasi tersebut tidak memenuhi syarat untuk pengujian. Kedua populasi tersebut hanya memiliki dua macam genotipe dan dua macam alel sehingga derjat bebasnya bernilai nol. Allendorf dan Luikart (2007) menyatakan bahwa derajat bebas merupakan hasil pengurangan antara jumlah genotipe dengan jumlah alel.
Pendugaan Nilai Heterozigositas Gen GHR|SSpI
Hartl dan Carlk (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan dan nilai heterozigositas harapan juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Hasil analisis heterozigositas pada sapi FH di setiap populasi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pendugaan Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Hetezigositas Harapan (He) Gen GHR|SSpI
Populasi Jumlah Sapi Ho He
BPPT SP Cikole 81 ekor 0,346 0,396
KPSBU Pasir Kemis 95 ekor 0,442 0,447
KPSBU Cilumber 94 ekor 0,447 0,380
BBIB Singosari 32 ekor 0,469 0,359
BIB Lembang 10 ekor 0,100 0,095
Keterangan : Ho = heterozigositas pengamatan He = heterozigositas harapan
Hasil analisis heterozigositas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pada sapi FH di BPPT SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis memiliki nilai heterozigositas
pengamatan (Ho) yang lebih rendah dari nilai heterozigositas harapan (He). Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa apabila nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat mengindikasikan adanya derajat endogami atau perkawinan dalam kelompok.
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada sapi FH di KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB Lembang lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapannya (He). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi perkawinan dalam kelompok di populasi tersebut. Sapi FH pada BIB Lembang dan BBIB Singosari menyediakan semen beku dimana sapi FH yang digunakan berasal dari luar Indonesia sehingga tidak ada perkawinan dalam populasi. Nilai heterozigositas pengamatan pada semua populasi berkisar antara 0,100-0,469 dimana nilai tersebut lebih rendah dari 0,5. Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5 mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada sapi FH di semua lokasi memliki variasi gen yang rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Gen GHR|SSpI pada sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber, KPSBU Pasir Kemis, BIB Lembang, dan BBIB Singosari bersifat polimorfik. Genotipe yang ditemukan yaitu AA, AT, dan TT dengan alel A dan T. Sapi FH pada BPPT Cikole, KPSBU Cilumber dan KPSBU Pasir Kemis berada pada keseimbangan Hardy- Weinberg. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada sapi FH yang berasal dari BPPT SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis lebih rendah dari nilai heterozigositas harapan (He), sedangkan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada sapi FH di KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB Lembang lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapannya (He).
Saran
Perlu dilakukan penambahan sampel dari berbagai populasi lain agar dapat lebih banyak mengetahui keragaman dari gen GHR|SSpI. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan antara keragaman gen GHR|SSpI dengan produksi susu sapi FH.