• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju pertumbuhan spesifik (spesific growth rate)

Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa Laju pertumbuhan spesifik ikan uji tertinggi dicapai pada formulasi dosis P1A1 yaitu sebesar (0,14 ± 0,03 %/hari) kemudian berturut – turut menurun pada P2A1 (0,12 ± 0,02 %/hari), P2A0 (0,12 ± 0,04 %/hari), P0A1 (0,10 ± 0,03 %/hari) dan terendah pada P0A0 (kontrol) (0,07 ± 0,02 %/hari).

Hasil analisa faktorial pada uji statistik terhadap PMSG, Antidopamin maupun interaksi PMSG dan Antidopamin sebagai penyusun formula masing – masing dosis memperlihatkan, baik formulasi dosis yang menggunakan PMSG atau Antidopamin saja, maupun interaksi antara PMSG dan Antidopamin tidak

memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P ≥ 0,05) terhadap laju pertumbuhan

spesifik ikan uji. (Lampiran 4).

Dari uji lanjut Tukey memperlihatkan bahwa, formulasi dosis yang menggunakan PMSG 20 IU (P2) tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan 10 IU (P1) maupun formulasi dosis tanpa PMSG (P0) . Demikian juga penggunaan formulasi dosis Antidopamin 0,01 mg/kg bobot tubuh memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata (P < 0,05) dengan P0A0.(kontrol).

Gambar 9 Laju pertumbuhan spesifik (% / hari) ikan uji pada masing – masing formulasi dosis selama 42 hari penelitian.

20

Sedangkan perbedaan dosis antar perlakuan yang terkait interaksi dari PMSG dan Antidopamin, tidak menunjukan nilai yang berbeda nyata (P ≥ 0,05) terhadap laju pertumbuhan spesifik ikan uji. Ilustrasi Laju pertumbuhan spesifik ikan uji dapat dilihat pada Gambar 9.

Pertumbuhan gonad pada ikan betina dewasa sangat dipengaruhi oleh sekresi dan konsentrasi hormon gonadotropin yang mengalir dalam tubuh. Hardjopranjoto (1995) mengemukakan, PMSG merupakan gonadotropin yang mengandung FSH sebesar 75% dan LH 25%. Pengaruh penyuntikan PMSG akan menyebabkan meningkatnya FSH dalam tubuh ikan uji, selanjutnya aktifitas FSH, akan menginduksi gonad untuk memproduksi hormon estrogen. Sukendi (2008) menjelaskan bahwa meningkatnya konsentrasi hormon estrogen (estradiol - 17β) didalam darah akan mendorong fase previtelogenesis menuju fase vitelogeenesis sehingga menyebabkan perkembangan gonad. Menurut Effendi (1979) perkembangan gonad hingga stadium matang, bobotnya akan dapat mencapai 10% - 25% dari bobot tubuh ikan. Pengaruh perkembangan gonad inilah yang menyebabkan naiknya laju pertumbuhan spesifik

Analisa hormon estradiol - 17 β

Hasil pengukuran konsentrasi hormon estradiol - 17 β pada plasma darah ikan uji selama penelitian memperlihatkan kenaikan konsentrasi hormon estradiol - 17 β terutama ikan uji yang disuntik dengan formulasi dosis yang mengandung PMSG yaitu : P1A1, P2A1, P2A0, dan P1A0

Konsentrasi tertinggi hormon estradiol - 17 β dicapai ikan uji pada formulasi dosis P1A1 yaitu sebesar (409,74 pg / ml) dan berturut – turut menururn pada formulasi dosis P2A1 (340,93 pg / ml), P2A0 (318,02 pg / ml), P1A0 (201,61 pg / ml), P0A1 (184,97 pg / ml) serta terendah pada P0A0 yaitu (132,51

pg / ml).

Hasil analisa faktorial pada uji statistik terhadap PMSG, Antidopamin maupun interaksi PMSG dan Antidopamin sebagai penyusun formula masing – masing dosis memperlihatkan bahwa, PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap kenaikan konsentrasi hormon estradiol - 17 β dalam plasma darah ikan uji, namun baik Antidopamin maupun interaksi antara PMSG dan Antidopamin tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P ≥ 0,05). (Lampiran 5).

Dari uji lanjut Tukey yang dilakukan untuk masing – masing unsur penyusun formulasi dosis, yaitu : PMSG, Antidopamin, maupun interaksi dari PMSG dan Antidopamin memperlihatkan bahwa, formulasi dosis yang mengandung PMSG 20 IU tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan 10 IU namun berbeda nyata dengan formulasi dosis tanpa PMSG .

Sementara formulasi dosis yang menggunakan Antidopamin dengan dosis 0,01 mg / kg bobot ikan uji memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan tanpa Antidopamin .

21 Demikian pula konsentrasi hormon antar perlakuan dari interaksi PMSG dan Antidopamin, pada formulasi dosis : P1A1 dan P2A1 memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05).

Pada Gambar 10 terlihat bahwa, setelah hari ke - 1 kurva konsentrasi hormon estradiol - 17 β dalam plasma darah ikan uji yang disuntik dengan formulasi dosis P1A1, P2A1, P2A0 dan P1A0 cenderung meningkat hingga hari ke - 28.

Gambar 10 Fluktuasi hormon estradiol - 17 β dalam plasma darah ikan uji pada masing – masing formulasi selama penelitian

Peningkatan konsentrasi hormon estradiol - 17 β dalam proses rematurasi ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu : 1). FSH endogeneous yang berasal dari sekresi kelenjar pituitari akibat rangsangan GnRH yang release dari otak, yang disebabkan dibukanya blok dopamin oleh Antidopamin, dan 2). FSH yang berasal dari PMSG yang disuntikan tiap 14 hari selama penelitian. Keduanya akan bercampur sehingga meningkatkan konsentrasi FSH dalam plasma darah.

FSH diketahui merupkan hormon gonadotropin sebagai pemicu diproduksinya hormon estradiol - 17 β. Alur mekanismenya sebagaimana dijelaskan oleh Nagahama (1983) bahwa, FSH yang terbawa oleh darah dan masuk ke dalam gonad selanjutnya akan menginduksi lapisan teka untuk memproduksi testosteron, dan secara parakrin testosterone akan masuk ke sel granulosa yang selanjutnya di konversi oleh enzym aromatase menjadi estradiol -

17 β. Menurut Berg et al (2004) keberadaan estradiol - 17 β sangat penting karena

merupakan kontrol estrogenik dari vitelogenin pada reseptor estrogen. Meningkatnya hormon estrogen (estradiol - 17 β), akan mendorong fase previtelogenesis menuju fase vitelogenesis (Sukendi, 2008).

Lambatnya kenaikan hormon estradiol - 17 β dalam plasma darah ikan uji pada formulasi dosis P0A0 dan P0A1 pada penelitian ini, adalah akibat tidak

22

adanya PMSG dalam formulasi dosis tersebut sehingga tidak memicu berlangsungnya fase vitelogenesis.

Dari Gambar 10, juga terlihat setelah hari ke 28 kurva konsentrasi hormon estradiol - 17 β dalam plasma darah ikan uji pada formulasi dosis P1A1, P2A1 dan P2A0 mulai menurun jika dibandingkan P1A0, P0A1 maupun P0A0. Hal ini diduga sudah terlewatinya fase vitelogenesis pada ikan uji dalam formulasi dosis tersebut.

Kadar glukosa darah

Hasil pengukuran kadar glukosa pada plasma darah ikan uji selama penelitian memperlihatkan bahwa, fluktuasi konsentrasi kadar glukosa pada plasma darah ikan uji yang disuntik dengan formulasi dosis yang mengandung PMSG, yaitu : P1A1, P2A1, P1A0 dan P2A0 cenderung lebih tinggi terutama pada hari ke - 28, jika dibandingkan dengan ikan uji yang menggunakan Antidopamin saja yaitu P0A1 maupun P0A0.

Hasil analisa faktorial pada uji statistik terhadap PMSG, Antidopamin maupun interaksi PMSG dan Antidopamin sebagai penyusun formula masing – masing dosis memperlihatkan, baik PMSG atau Antidopamin saja, maupun interaksi antara PMSG dan Antidopamin memberikan pengaruh yang tidak

berbeda nyata (P ≥ 0,05) terhadap kenaikan konsenterasi glukosa dalam plasma

darah ikan uji (Lampiran 6).

Gambar 11 Fluktuasi glukosa dalam plasma darah ikan uji pada masing – masing formulasi dosis selama penelitian.

Pada Gambar 11, terlihat kurva konsentrasi glukosa dalam plasma darah ikan uji formulasi dosis P1A1 dan P2A1 polanya cenderung naik dari 92,82 mg / dl pada hari ke – 1, menjadi 128,72 mg / dl untuk P1A1 dan 113,37 mg / dl untuk P2A1 di hari ke – 28. Namun, pola ini berbeda dengan P1A0 dan P2A0

23 yang cenderung datar setelah hari ke – 14 hingga akhir penelitian, dengan konsentrasi yang dicapai sebesar 113,86 mg / dl dan 106,67 mg / dl. Sementara pada ikan uji P0A0 polanya lurus dan cenderung menurun pada pengamatan hari ke – 42 yaitu sebesar 88,72 mg / dl, sedangkan P0A1 cenderung menurun setelah hari ke – 1 dan menaik setelah sampling hari ke – 14 hingga mencapai konsentrasi glukosa dalam plasma darahnya sebesar 88,72 mg / dl pada sampling hari ke – 42.

Menurut Wahyuningsih (2012) glukosa diketahui sebagai sumber energi bagi kehidupan ikan, serta dicerna dalam semua sel sebagai bahan bakar glikolisis yang disimpan dalam hati dan otot sebagai glikogen. Didalam plasma darah fluktuasinya akan sangat dipengaruhi oleh tekanan fisiologis tubuh. Svoboda et al

(2001) mengemukakan bahwa, selama proses perkembangan gonad akan memicu peningkatan konsentrasi glukosa dalam plasma darah ikan seperti yang diperlihatkan ikan Tinca tinca yang meningkat dari 106,85 mg/dl sebelum masa reproduksi, dan menjadi lebih tinggi sebesar 171,53 mg/dl pada masa reproduksi.

Diduga menurunnya konsentrasi glukosa plasma darah ikan uji pada formulasi dosis P1A1 dan P2A1 setelah sampling hari ke – 28 adalah akibat berkurangnya stress dan tekanan fisiologis yang terjadi karena sudah terlewatinya fase vitelogenesis.

Hepatosomatik indeks

Hasil penimbangan bobot hati ikan uji memperlihatkan bahwa, hingga hari ke 28 nilai Hsi tertinggi ikan uji dicapai pada formulasi dosis P1A1 sebesar (0,18) dan menurun dengan nilai yang sama sebesar (0,17) pada formulasi dosis P2A1 dan P2A0. Nilai Hsi secara berturut – turut semakin menurun pada ikan uji dengan formulasi dosis P1A0 sebesar (0,16), P0A1 (0,13) dan terendah pada P0A0 (0,12).

Hasil analisa faktorial pada uji statistik terhadap PMSG, Antidopamin maupun interaksi PMSG dan Antidopamin sebagai penyusun formula masing – masing dosis memperlihatkan bahwa, PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap kenaikan nilai Hsi, namun baik Antidopamin maupun interaksi antara PMSG dan Antidopamin tidak memberikan pengaruh berbeda nyata (P ≥ 0,05) terhadap kenaikan nilai Hsi. (Lampiran 7).

Pada uji lanjut Tukey memperlihatkan, formulasi dosis yang mengandung PMSG 20 IU mempunyai kemampuan yang tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan 10 IU, namun baik formulasi dosis yang mengandung PMSG 20 IU maupun 10 IU mempunyai kemampuan yang berbeda nyata (P < 0,05), jika dibandingkan formulasi yang tidak mengandung PMSG.

Selanjutnya pada formulasi dosis yang mengandung Antidopamin 0,01 mg / kg bobot ikan memberi pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) dibanding formulasi dosis tanpa Antidopamin.

Sedangkan interaksi dari PMSG dan Antidopamin memperlihatkan bahwa, formulasi dosis P1A1 tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan P2A1, P2A0, dan

24

P1A0 namun berbeda nyata (P < 0,05) dengan P0A1 dan P0A0, sedangkan P2A1 tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan P2A0 dan P1A0 namun berbeda nyata (P < 0,05) dengan P0A1 dan P0A0.

Gambar 12 Nilai Hsi ikan uji pada masing – masing formulasi dosis selama penelitian.

Pada Gambar 12 terlihat bahwa, setelah hari ke – 1 kurva nilai His

cenderung naik terutama pada formulasi dosis P1A1, P2A1, P2A0 dan P1A0 hingga hari ke – 28. Dari nilai Hsi yang terlihat pada Tabel 5, ternyata kecenderungannya sangat terkait dengan kenaikan konsentrasi hormon estradiol -

17 β pada Gambar 10.

Indikasi fase vitelogenesis pada umumnya ditandai dengan naiknya nilai

Hsi ikan. Tang dan Affandi (2000) menjelaskan bahwa, pengaruh induksi hormon estradiol - 17β akan merangsang hati untuk mensintesis dan mensekresi vitelogenin. Ditambahkan oleh Siregar (1999), selama terjadi aktifitas produksi vitelogenin, akan menyebabkan penambahan bobot dan volume hati yang menyebabkan kenaikan nilai Hsi.

Turunnya nilai Hsi pada hari ke- 42 terhadap ikan uji pada formulasi dosis P1A1, P2A1 dan P2A0 diduga karena telah terlewatinya fase vitelogenesis.

Gonadosomatik indeks

Hasil penimbangan bobot gonad ikan uji memperlihatkan bahwa, nilai Gsi

ikan uji tertinggi dicapai oleh formulasi dosis P1A1, yaitu sebesar (0,19), dan berturut – turut menurun pada P2A1 (0,18), P2A0 (0,17), P1A0 (0,14), P0A1 (0,13) dan terendah pada P0A0 (0,12).

Dari hasil analisa faktorial pada uji statistik terhadap PMSG, Antidopamin maupun interaksi PMSG dan Antidopamin sebagai penyusun formula masing –

25 masing dosis memperlihatkan bahwa, PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap kenaikan nilai Gsi, namun baik Antidopamin maupun interaksi antara PMSG dan Antidopamin tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P ≥ 0,05) terhadap kenaikan nilai Gsi.(Lampiran 8).

Pada uji lanjut Tukey memperlihatkan bahwa, formulasi dosis yang mengandung PMSG 20 IU mempunyai kemampuan yang tidak berbeda nyata (P

≥ 0,05) dengan 10 IU, namun keduanya mempunyai kemampuan yang berbeda

nyata (P < 0,05), dibandingkan formulasi yang tidak menggunakan PMSG . Demikian juga pada formulasi dosis yang mengandung Antidopamin 0,01 mg/ kg bobot ikan, yang tidak memberi pengaruh berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan formulasi dosis tanpa Antidopamin.

Sementara interaksi dari PMSG dan Antidopamin menunjukan bahwa, formulasi dosis P1A1 tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan P2A1, P2A0, dan P1A0 namun berbeda nyata (P < 0,05) dengan P0A1 dan P0A0, sedangkan P2A1 tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan P2A0 dan P1A0 namun berbeda nyata (P < 0,05) dengan P0A1 dan P0A0. Sementara P2A0 dan P1A0 tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05) dengan P0A1 dan P0A0.

Gambar 13 Nilai Gsi ikan uji pada masing – masing formulasi dosis selama penelitian.

Pada Gambar 13 terlihat terjadinya pertambahan nilai GSI sangat terkait dengan pola kenaikan konsentrasi hormon estradiol - 17β yang diperlihatkan oleh Gambar 10. Nagahama et al (1995) menjelaskan, pada saat vitelogenesis berlangsung secara biosintesis estradiol - 17β merangsang hati untuk memacu produksi vitelogenin. Selanjutnya, vitelogenin yang mengalir didalam darah akan diserap secara selektif dan disimpan sebagai oosit didalam gonad (Donaldson et al. 1983). Penambahan ukuran gonad terjadi akibat bertambahnya ukuran oosit dan jumlah granula kuning telur selama fase vitelogenesis (Yaron 1985).

26

Bertambahnya ukuran oosit secara komulatif pada proses vitelogenesis inilah yang menyebabkan bertambahnya nilai GSI.

Menurunnya nilai Gsi pada hari ke – 42 yang terjadi pada ikan uji formulasi dosis P1A1, P2A1 dan P2A0 setelah hari ke 28 diduga telah terlewatinya puncak vitelogenesis, sehingga aktifitas pertumbuhan oosit berhenti berganti proses pematangan sebelum ovulasi, dan menyebabkan pertumbuhan gonad mulai berkurang.

Histologi gonad dan perkembangan telur

Dari hasil histologi gonad dan perkembangan telur ikan uji, terlihat mulai terjadi perbedaan gambaran histology gonad pada masing – masing ikan uji setelah hari ke – 14, ini dapat dilihat pada Gambar 14. Sementara uraian perkembangan setiap sampling dijelaskan dibawah ini :

 Hari ke – 1, kondisi oosit pada gonad masih dalam fase 1 (oogonia). Sel – selnya berbentuk oval dan berukuran kecil. Pada tahap ini terlihat adanya nucleolus kromatin (cn) dan tahap awal perinukleolus (ep).

 Hari ke – 14, pada ikan uji dengan formulasi dosis;

a. P0A0 dan P0A1; kondisi oosit pada fase II (kromatinn nucleolus), yang hanya terdapat sedikit sitoplasma dan posisi inti sudah mulai nampak. b. P1A0, kondisi oosit pada fase IV (perinukleous akhir), yang ditandai

dengan bentuk nucleus tidak beraturan dan posisi nukleoli di zona peripheral. Zona radiata atau korion, berada antara oosit dan sel folikel. Didalam oosit mulai tampak (ca) cortical alveolus, sel theca (tc) dan granulosa (gs).

c. P2A0, oosit telah memasuki fase V (versikel kuning telur akhir), yang ditandai ukuran oosit lebih besar jika dibandingkan dengan fase versikel kuning telur awal, bentuk nucleus tidak beraturan dan posisi nukleoli di zona peripheral, zona radiata atau korion, berada antara oosit dan sel folikel.

d. P2A1, oosit masuk fase VI (vitelogenesis awal), yang ditandai adanya deposisi ekstra vesikular kuning telur didalam zona radiata. Garis tepi nukleus tidak beraturan dan mengandung beberapa nukleolus periferial. e. P1A1, oosit telah memasuki fase VI (vitelogenesis akhir), yang ditandai

dengan semakin besarnya ukuran oosit serta semakin banyaknya deposisi ekstra vesikular kuning telur didalam zona radiata.

 Hari ke – 28, pada ikan uji P0A0 dan P0A1, hanya terjadi perbesaran diameter oosit sementara semua formulasi dosis yang menggunakan PMSG, yaitu : P1A0, P2A0, P1A1 dan P2A1 rata – rata oositnya telah menjadi telur muda.

27  Hari ke – 42, pada ikan uji P0A0, hanya terjadi perbesaran diameter oosit (fase perinukleolar), sedangkan P0A1 telah memasuki fase III (formasi kortikal alveoli). (Mc. Millan 2007)

Pada penelitian ini terlihat bahwa, hingga hari ke – 42 perkembangan oosit ikan uji yang disuntik tanpa PMSG yaitu ; P0A0 hanya baru memasuki fase II (perinukleolar) sementara P0A1 memasuki fase III (formasi kortikal alveoli), sedangkan pada ikan uji yang disuntik dengan formulasi dosis yang mengandung PMSG pada sampling hari ke - 14, untuk P1A0 dan P2A0 mencapai fase V (versikel kuning telur awal) serta P1A1 dan P2A1 telah mencapai fase 6 (vitelogenesis).

Diduga berkembangnya oosit pada formulasi dosis P1A0, P2A0, P1A1 dan P2A1 terjadi akibat kerja FSH yang terkandung dalam PMSG yang disuntikan setiap 14 hari selama penelitian.

Peningkatan hormon estradiol - 17β, akan menyebabkan berkembangnya oosit dari fase previtelogenesis ke vitelogenesis (Sukendi 2008). Selama proses vitelogenesis akan terjadi penambahan ketebalan pada zona radiata (Fujaya 2004), pelebaran ruang perivitelline yaitu zona pelusida dan membran sel oosit (Wijayanti dan Suminto 2010). Fase vitelogenesis dicirikan pertumbuhan oosit yang berlangsung cepat hingga mencapai lebih dari 90% ukuran telur (Sun dan Pankhurst 2004).

1

Gambar 14. Fase dan perubahan oosit pada tiap - tiap sampling selama 42 hari masa penelitian Keterangan : P0A0, P1A0, P2A0, P0A1, P1A1 dan P2A1 adalah formulasi dosis uji.

28

29

Diameter telur

Hasil pembedahan dan pengamatan diameter telur pada hari ke - 28 dan ke – 42 memperlihatkan penambahan ukuran diameter telur yang terjadi hanya pada ikan uji yang disuntik dengan formulasi dosis yang mengandung PMSG saja, yaitu : P1A0, P2A0, P1A1 dan P2A1. (Lampiran 10).

Diameter terbesar telur ikan uji dicapai pada formulasi dosis P1A1 yaitu (0,89 ± 0,11 mm) dan secara beruntun ukurannya semakin berkurang pada P2A1 (0,83 ± 0,07 mm), P2A0 (0,79 ± 0,13 mm) hingga ukuran terkecil pada P1A0 (0,63 ± 0,14 mm).

Terlihat pula bahwa, ternyata kenaikan diameter telur ikan uji polanya seiring dengan kenaikan konsenterasi hormon estradiol - 17 β hingga hari ke – 28 (Gambar 10), setelah itu konsentrasi hormon pada plasma darah ikan uji menurun sedangkan diameter telur ikan uji terus bertambah dan fasenya berganti pematangan yang menuju persiapan untuk ovulasi.

Persentase induk matang gonad

Dari hasil kanulasi dan pembedahan setiap sampling terhadap ikan uji pada masing – masing formulasi dosis, ternyata gonad ikan uji mulai berisi telur setelah hari ke – 28, dan diameternya bertambah besar pada sampling hari ke – 42 (Lampiran 10). Sementara kondisi ovari ikan uji dapat dilihat pada Gambar 15.

Terlihat setelah hari ke – 28, rata – rata ikan uji yang disuntik dengan formulasi dosis P1A0, P2A0 dan P2A1 telah memasuki TKG 6 dengan presentase secara berurutan 20%, 40% dan 60%, sementara sebagian besar populasi ikan uji pada formulasi dosis P1A1 telah memasuki TKG 7*.

Sedangkan pada hari ke - 42 terlihat rata – rata ikan uji pada formulasi dosis P1A0 telah memasuki TKG 6, P2A0 TKG 7*, P1A1 masuk TKG 7** dan P2A1 masuk TKG 7* dengan presentase induk yang matang secara berurutan ; 75%, 75%, 100% dan 100%.

Menurut Mc. Millan (2007), kematangan gonad induk terjadi akibat semakin banyaknya ukuran telur didalam gonad yang diameternya mendekati fase maturasi. Pada penelitian ini memperlihatkan, jumlah dan tingkat kematangan gonad tertinggi populasi ikan uji di capai pada formulasi dosis P1A1 sebesar 100% dengan fase TKG 7** (vitelogenesis akhir), sementara P2A1 dengan presentase yang sama namun fase TKG nya lebih rendah yaitu TKG 7* (vitelogenesis awal). Terkait besarnya ukuran diameter telur pada ikan – ikan uji dalam penelitian ini ternyata hingga akhir penelitian hanya ikan uji dengan formulasi dosis P1A1 yang paling matang gonadnya karena mempunyai rata – rata diameter telur terbesar yaitu 0,89 ± 0,11 mm.

30

Gambar 15. Kondisi ovari ikan uji pada masing–masing formulasi dosis setelah 42 hari masa penelitian.

30

31 Kualitas Air

Data kisaran kualitas air yang diperoleh selama penelitian adalah sebagai berikut : suhu 24,50C – 25,50C, pH 5,62 – 6,58, Oksigen terlarut 1,13 ppm – 1,96 ppm dan Amonia (NH3) 1,12 ppm – 1,86 ppm, data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.

Pada penelitian ini dengan tidak adanya kematian dan tetap berlangsungnya pertumbuhan gonad ikan uji khusunya pada formulasi dosis yang mengandung PMSG yaitu : P1A0, P2A0, P1A1 dan P2A1 memperlihatkan bahwa kisaran nilai parameter kualitas air yang diukur kondisinya masih mampu mendukung sebagai media pemeliharaan ikan uji. Menurut Food and Agriculture Organization (2013) induk – induk Pangasionodon hypophthalmus mampu hidup pada media yang terpolusi dengan nilai (chemical oxygen demand = 25), dan kandungan oksigen terlarut antara 0,05 - 0,10 mg/ liter, hal ini karena

Pangasionodon hypophthalmus mampu mengambil udara secara fakultatif.

Dokumen terkait