• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan PHBM di desa Criwik berawal dari konflik penjarahan lahan oleh masyarakat di desa tersebut pada lahan yang merupakan hutan lindung. Konflik lahan tersebut terjadi di petak 20d, 20e, 20f, dan 21a RPH Sidowayah BKPH Gunung Lasem KPH Kebonharjo. Kurangnya lahan pertanian dan kemiskinan merupakan faktor utama penyebab terjadinya penjarahan lahan oleh masyarakat di desa Criwik tersebut. Jadi PHBM di desa Criwik merupakan resolusi konflik penjarahan lahan yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 1999 silam. Resolusi konflik tersebut berupa diperbolehkannya masyarakat memanfaatkan lahan tersebut dengan syarat tidak boleh menebang pohon yang ada pada lahan tersebut. Selain itu pemanfaatan juga tidak boleh bersifat intensif dan tidak boleh ditanami padi maupun palawija.

Gambar 1 Kondisi fisik lahan PHBM

Kondisi lahan PHBM di desa Criwik tersebut pada saat ini umumnya didominasi dengan jenis tanaman Sonokeling (Dalbergia latifolia), Mahoni (Swietenia mahagoni), Pulai (Alstonia scholaris), Iwil-iwil (Sterculia campanulata), Kemiri (Aleurites Moluccana), Johar (Cassia seamea), Kepoh (Sterculia foetida), Flamboyan (Delonix regia), Durian (Durio zibethinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kelem/Kweni (Mangifera odorata), Petai (Parkia speciosa), dan Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum).

Pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Criwik pada lahan tersebut berupa pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) dan pemungutan hasil hutan non kayu (HHNK). Pemanfaatan lahan di bawah tegakan dilakukan dengan menanam tanaman empon-empon/rempah-rempah antara lain Jahe (Zingiber officinale), Lengkuas (Alpinia galanga), Kunyit (Curcuma domestica), Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), Temu ireng (Curcuma aeruginosa), Rempuyang/Lempuyang (Zingiber zerumbet), Kunci (Boesenbergia pandurata),

19

dan juga daun Sirih (Piper betle). Sedangkan pemungutan HHNK berupa buah-buahan yaitu Durian (Durio zibethinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kelem/Kweni (Mangifera odorata), Pisang (Musa paradisiaca) dan HHNK selain buah yaitu Kemiri (Aleurites moluccana) dan Cengkeh (Syzygium aromaticum). Gambaran mengenai kondisi fisik lahan PHBM dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2 Kondisi fisik lahan milik

Selain memiliki lahan PHBM atau biasa disebut oleh responden sebagai lahan sanggem, responden pada umumnya juga memiliki areal ladang/kebun milik sendiri. Ladang/kebun ini mayoritas tanamannya adalah pohon buah-buahan yaitu Durian (Durio zibethinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), dan Kelem/Kweni (Mangifera odorata) yang sebagian besar sudah berada pada usia yang menghasilkan (berbuah). Selain itu responden juga menanami empon-empon pada kebun tersebut meskipun jenis dan jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditanam di lahan sanggem. Jenis empon-empon yang biasa ditanam di kebun tersebut adalah Jahe (Zingiber officinale), Lengkuas (Alpinia galanga), Kunyit (Curcuma domestica), dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Ilustrasi mengenai kondisi fisik lahan milik dapat dilihat pada Gambar 2.

Karakteristik Responden Umur

Berdasarkan data yang dikumpulkan, umur responden yang paling muda adalah 33 tahun dan yang paling tua berumur 73 tahun. Data mengenai umur responden disajikan melalui Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan persentase umur responden terbesar berada pada selang 60-69 tahun sebesar 30%. Hal ini disebabkan karena pada rentang umur tersebut adalah generasi-generasi awal yang mengerjakan lahan PHBM yang merupakan lahan bekas jarahan. Adanya responden yang berusia muda dengan persentase cukup tinggi sebesar 23,33% menunjukkan bahwa lahan PHBM sudah ada yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya.

20

Tabel 6 Sebaran umur responden

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

30-39 7 23,33 40-49 5 16,67 50-59 5 16,67 60-69 9 30,00 ≥70 4 13,33 Jumlah 30 100,00

Menurut Muttaqien (2006) penduduk usia produktif berkisar antara umur 15-65 tahun, berdasarkan hasil yang diperoleh dari lapangan maka jumlah responden yang berada pada kisaran usia produktif ada sebanyak 25 orang responden dengan persentase sebesar 83,33%.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat menjadi indikator status sosial dalam masayarakat, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula status sosialnya di dalam masyarakat tersebut. Data tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini bisa dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat pendidikan responden

Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Tidak bersekolah 2 6,67

SD 17 56,67

SLTP 8 26,67

SMA 3 10,00

Jumlah 30 100,00

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa sebanyak 17 orang (56,67%) responden memiliki tingkat pendidikan hanya sampai tingkat SD saja, bahkan ada 2 orang responden (6,67%) yang tidak bersekolah. Rendahnya tingkat pendidikan dipicu oleh besarnya biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan yang masih rendah menyebabkan keterbatasan kemampuan apalagi disertai dengan tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sehingga kebanyakan usaha yang dilakukan adalah dengan meneruskan kelola lahan yang telah diwariskan atau pergi keluar desa untuk mendapatkan pekerjaan lain.

Pekerjaan Utama dan Sampingan

Sebagian besar masyarakat di Desa Criwik mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Jenis pertanian yang mereka kerjakan adalah bertani kebun baik di lahan milik maupun lahan PHBM dengan hasil berupa empon-empon/rempah-rempah dan buah-buahan. Data pekerjaan utama dan sampingan resonden secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8.

Dari Tabel 8, terlihat bahwa terdapat 22 orang (73,33%) yang hanya mengandalkan bertani kebun sebagai pekerjaan utama tanpa memiliki pekerjaan sampingan. Responden lain yang pekerjaan utamanya bertani dan memiliki pekerjaan sampingan berjumlah 5 orang (16,67%). Sedangkan responden yang menganggap kegiatan bertani sebagai pekerjaan sampingan berjumlah 3 orang

21

(10%). Gambaran dari berbagai aktifitas pekerjaan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 8 Data pekerjaan responden

Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Jumlah (orang) Persentase (%)

Bertani - 22 73,33

Bertani Pedagang 1 3,33

Bertani Buruh bangunan 3 10,00

Bertani Sopir 1 3,33

Sopir Bertani 1 3,33

Buruh Bertani 2 6,67

Jumlah 30 100,00

Gambar 3 Aktifitas pekerjaan di lokasi penelitian

Pendapatan Responden

Pendapatan dihitung dalam jangka waktu satu tahun berdasarkan perolehan responden dari pekerjaan masing-masing baik dari kegiatan PHBM maupun kegiatan non-PHBM. Pendapatan yang berasal dari kegiatan PHBM dihitung dari penjualan empon-empon, buah-buahan, dan pemungutan HHNK (Hasil Hutan Non Kayu) yang lainnya. Sedangkan pendapatan dari kegiatan non-PHBM dihitung dari hasil bertani kebun di lahan milik dan dari hasil pekerjaan lainnya yaitu berdagang, buruh, jasa. Data penghasilan responden disajikan pada Tabel 9.

Dari Tabel 9 memberikan informasi bahwa secara keseluruhan pendapatan dari kegiatan non-PHBM lebih besar apabila dibandingkan dengan pendapatan dari kegiatan PHBM. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan dari kegiatan PHBM hanya bersifat sebagai tambahan pendapatan bagi masyarakat di desa Criwik.

Pendapatan dari kegiatan PHBM berupa penjualan empon-empon sebesar Rp 120.672.000,-/tahun atau rata-ratanya sebesar Rp 335.200,-/bulan/responden, sedangkan hasil dari buah-buahan dan pemungutan HHNK berupa kemiri dan cengkeh sebesar Rp 8.070.000,-/tahun atau rata-ratanya hanya sebesar Rp 22.416,67,-/bulan/responden.

22

Tabel 9 Data pendapatan responden

Sumber pendapatan

Jumlah Rata-rata Persentase (RP/30 responden/tahun) (Rp/responden/ tahun) (Rp/responden/ bulan) (%) 1. Pertanian PHBM a. Empon-empon 120.672.000 4.022.400,00 335.200,00 31,42 b. Buah dan HHNK lainnya 8.070.000 269.000,00 22.416,67 2,10 2. Pertanian non-PHBM a. Empon-empon 110.970.000 3.699.000,00 308.250,00 28,89 b. Buah-buahan 106.770.000 3.559.000,00 296.583,33 27,80 3. Pekerjaan lainnya 37.600.000 1.253.333,33 104.444,44 9,79 Total 384.082.000 12.802.733,33 1.066.894,44 100,00

Untuk pendapatan dari kegiatan pertanian non-PHBM, empon-empon memberikan hasil sebesar Rp 110.970.000,-/tahun atau rata-ratanya sebesar Rp 308.250,-/bulan/responden. Nilai rata-rata ini tidak jauh berbeda dari pendapatan empon-empon yang diperoleh dari kegiatan PHBM yang memiliki rata-rata Rp 335.200,-/bulan/responden. Akan tetapi untuk hasil penjualan berupa buah-buahan, pendapatan dari lahan milik memberikan hasil yang jauh lebih besar daripada hasil penjualan buah-buahan dari lahan PHBM meskipun sudah ditambah dengan hasil pemungutan HHNK-nya. Hasil penjualan buah-buahan dan HHNK lainnya dari lahan PHBM memiliki rata-rata hanya sebesar Rp 22.416,67,-/bulan/responden, sedangkan dari lahan milik hasil penjualan buah-buahan mencapai rata-rata sebesar Rp 296.583,33,-/bulan/responden dengan nilai total sebesar Rp 106.770.000,-/tahun untuk keseluruhan responden.

Untuk pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan lainnya dan bukan berasal dari kegiatan pertanian baik PHBM maupun non-PHBM memberikan hasil sebesar Rp 37.600.000,-/tahun dengan rata-rata sebesar Rp 104.444,44,-/bulan/responden. Dari hal ini terlihat jelas bahwa pertanian memegang perananan yang sangat penting sebagai sumber pendapatan utama bagi masyarakat di Desa Criwik baik pertanian di lahan milik maupun pertanian di lahan PHBM.

Ada hal menarik yang dijumpai di lokasi penelitian dimana biasanya kegiatan pemanfaatan lahan PHBM dilakukan dengan menanam tanaman pangan seperti Jagung, Ketela, ataupun Padi Gogo. Akan tetapi di lokasi penelitian lahan PHBM malah ditanami tanaman empon-empon/rempah-rempah. Hal lain yang cukup menarik adalah empon-empon tersebut justru dijadikan sebagai sumber pendapatan utama oleh petani PHBM dan selain ditanam di lahan PHBM, empon juga ditanam pada lahan milik. Pendapatan dari hasil penjualan empon-empon ini memberikan kontribusi sebesar 60,31% terhadap total pendapatan.

Budidaya tanaman empon-empon/rempah-rempah pada lahan PHBM ini ada kaitannya dengan lokasi PHBM yang merupakan kawasan hutan lindung. Meskipun program PHBM di hutan lindung Gunung Lasem ini merupakan sebuah bentuk resolusi konflik penjarahan lahan, akan tetapi dalam pelaksanaannya program PHBM tersebut tetap harus disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007, pada pasal 23 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat dilakukan

23

melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selanjutnya pada pasal 24 ayat 1 disebutkan bahwa pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa, atau budidaya hijauan makanan ternak. Itulah mengapa pihak Perum Perhutani KPH Kebonharjo melarang masyarakat di Desa Criwik untuk menanam padi maupun palawija dan memperbolehkan masyarakat menanam empon-empon sebagai tanaman untuk pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) dalam program PHBM tersebut, supaya program PHBM tersebut memiliki payung hukum yang jelas dan kuat.

Dalam hal penjualan komoditas pertanian baik dari lahan PHBM maupun lahan milik biasanya dilakukan melalui tengkulak. Untuk penjualan empon-empon, responden biasanya menjual kepada pengumpul/tengkulak lokal, kemudian oleh tengkulak lokal dibawa ke pasar Lasem untuk dijual lagi kepada tengkulak yang lebih besar atau dijual langsung kepada konsumen. Sedangkan untuk komoditi berupa buah-buahan selain dijual kepada tengkulak lokal biasanya banyak juga tengkulak yang berasal dari luar desa seperti tengkulak dari Lasem, Sluke, dan Rembang, bahkan ada tengkulak yang berasal dari luar Kabupaten seperti tengkulak dari Pati dan Jepara yang datang langsung ke lokasi untuk membeli buah-buahan agar mendapatkan harga yang lebih rendah. Lokasi transaksi untuk penjualan buah-buahan juga agak sedikit berbeda, transaksi biasanya tidak dilakukan di pasar melainkan dilakukan di balai desa atau langsung di kebun milik responden. Gambar 4 menunjukkan aktifitas penjualan empon-empon kepada tengkulak lokal di lokasi penelitian.

Gambar 4 Penjualan empon-empon kepada tengkulak lokal

Berdasarkan informasi pendukung yang didapat di lapangan, komposisi jenis tanaman memiliki pengaruh terhadap tingkat pendapatan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap total pendapatan tersebut kemudian diuji melalui persamaan regresi linier menggunakan software Minitab 14 dengan hasil sebagai berikut:

24

Pendapatan total = 2904273 + 1,04 Jahe + 0,176 Lengkuas + 0,685 Kunyit + 1,18 Temulawak - 1,62 Temuireng - 0,4 Rempuyang - 3,87 Kunci - 0,7 Daun sirih + 1,08 Durian + 0,694 Nangka + 5,11 Kweni - 2,48 Pisang - 0,49 Kemiri - 1,41 Cengkeh

R-Sq = 83,9%

Dari persamaan tersebut diperoleh koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 83,9%, angka tersebut menunjukkan bahwa 83,9% informasi dari variabel tak bebas (pendapatan total) telah dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam persamaan. Sedangkan sisa informasi yaitu sebesar 16,1% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan.

Pengeluaran Responden

Pengeluaran responden untuk setiap rumah tangga berbeda-beda. Selain dipengaruhi faktor pendapatan, pengeluaran rumah tangga sangat dipengaruhi oleh jumlah anggata keluarga yang ada dalam rumah tangga tersebut. Pengeluaran responden dihitung dalam jangka waktu satu tahun untuk semua keperluan yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pengeluaran ini pada umumnya dibedakan menjadi pengeluaran untuk keperluan pangan/konsumsi dan pengeluaran non-pangan. Pengeluaran non-pangan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden antara lain pengeluaran untuk sandang, sarana rumah tangga, pendidikan, transportasi, kesehatan, dan pengeluaran untuk pajak. Data pengeluaran responden dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Data pengeluaran responden

Jenis pengeluaran

Jumlah Rata-rata Persentase (Rp/30 responden/tahun) (Rp/responden /tahun) (Rp/responden /bulan) (%) 1. Pangan 206.400.000 6.880.000,00 573.333,33 62,51 2. Sandang 8.900.000 296.666,67 24.722,22 2,70 3. Sarana RT 23.778.000 792.600,00 66.050,00 7,20 4. Pendidikan 37.080.000 1.236.000,00 103.000,00 11,23 5. Transportasi 38.448.000 1.281.600,00 106.800,00 11,64 6. Kesehatan 12.360.000 412.000,00 34.333,33 3,74 7. Pajak 3.215.500 107.183,33 8.931,94 0,97 Total 330.181.500 11.006.050,00 917.170,83 100,00

Dari Tabel 10 dapat diketahui total pengeluaran responden sebesar Rp 330.181.500,-/tahun untuk keseluruhan responden atau rata-ratanya sebesar Rp 917.170,83,-/bulan untuk satu reponden. Pengeluaran untuk keperluan pangan/konsumsi mendominasi, dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 573.333,33,-/bulan/responden atau memiliki proporsi pengeluaran sebesar 62,51% dari pengeluaran total responden. Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Mangkuprawira (1985) yang menyatakan bahwa di Indonesia yang termasuk negara sedang berkembang sekitar 70 persen dari pengeluaran dipakai untuk konsumsi pangan. Proporsi pengeluaran pangan di Desa Criwik (62,51%) lebih kecil dari 70%. Dari keseluruhan responden hanya terdapat 9 orang (30%) yang memiliki proporsi pengeluaran lebih besar dari 70%, sedangkan

25

sisanya yaitu 21 orang (70%) responden memiliki proporsi pengeluaran di bawah 70%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat di Desa Criwik memiliki kesejahteraan yang cukup baik.

Untuk keperluan sandang biasanya responden melakukan pengeluarannya ketika menjelang hari raya Lebaran/Idul Fitri. Selain pada hari raya tersebut jarang ada responden yang membelanjakan pendapatannya untuk keperluan sandang. Besar pengeluaran responden yang dialokasikan untuk pengeluaran sandang rata-rata sebesar Rp 296.666,67,-/tahun/responden atau sebesar Rp 24.722,22,-/bulan/responden. Kalau dibandingkan dengan pengeluaran total responden, proporsi pengeluaran untuk sandang adalah sebesar 2,7% dari pengeluaran total responden.

Pengeluaran untuk sarana rumah tangga dihitung dari pengeluaran untuk keperluan listrik, air, dan keperluan rumah tangga lainnya seperti peralatan mandi dan mencuci, pengeluaran untuk kompor gas, kayu bakar, minyak goreng, dan lain sebagainya. Pengeluaran untuk sarana rumah tangga ini memiliki rata-rata pengeluaran sebesar Rp 66.050,-/bulan atau memiliki proporsi sebesar 7,20% apabila dibandingkan dengan pengeluaran total rumah tangga.

Pengeluaran untuk pendidikan bagi setiap responden besarnya sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh jumlah anggota yang berada di bangku pendidikan dan tinggi dari jenjang pendidikan yang diikuti oleh anggota keluarga tersebut. Besarnya pengeluaran rata-rata yang dikeluarkan oleh responden untuk pendidikan sebesar Rp 103.000,-/bulan/responden atau proporsinya sekitar 11,23% dari total pengeluarannya.

Untuk kegiatan transportasi pengeluaran rata-rata yang dikeluarkan responden adalah sebesar Rp 106.800,-/bulan untuk satu responden atau setara dengan 11,64% dari pengeluaran total yang dibelanjakan responden. Sedangkan untuk keperluan kesehatan pengeluaran rata-rata responden hanya sebesar Rp 34.333,33,-/bulan/responden atau proporsinya hanya sebesar 3,74%. Dari hasil wawancara dengan responden, mereka mengungkapkan bahwa mereka jarang sakit, selain itu ada beberapa responden yang memiliki kartu jaminan kesehatan baik dari pemerintah pusat berupa Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) maupun dari pemerintah kabupaten berupa JKRS (Jaminan Keluarga Rembang Sehat) sehingga biaya yang mereka keluarkan untuk kesehatan relatif kecil.

Untuk pajak pengeluaran responden pada umumnya hanya berupa pajak bumi bangunan dan pajak kendaraan bagi yang memilikinya. Pengeluaran responden untuk keperluan pajak rata-ratanya sebesar Rp 107.183,33,-/tahun atau Rp 8.931,94,-/bulan untuk setiap responden. Nilai pengeluaran pajak ini merupakan yang terkecil bila dibandingkan dengan pengeluaran yang lain dan hanya memiliki proporsi sebesar 0,97% dari pengeluaran total responden. Hal ini dapat dipahami karena pengeluaran untuk pajak bersifat periodik hanya satu kali dalam satu tahun, selain itu kecilnya pengeluaran pajak juga disebabkan karena kecilnya luasan lahan yang dimiliki responden yang rata-ratanya hanya seluas 0,44 ha untuk setiap rumah tangga responden. Gambar 5 menunjukkan kegiatan pengambilan data yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan responden.

26

Gambar 5 Pengambilan data melalui wawancara

Kontribusi PHBM Terhadap Pendapatan Responden

Kegiatan PHBM memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga responden. Kontribusi kegiatan PHBM terhadap pendapatan responden berasal dari hasil pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) berupa empon-empon, dan juga berasal dari pemungutan hasil hutan non kayu (HHNK) berupa buah-buahan, kemiri, dan cengkeh. Hasil kontribusi pendapatan dari berbagai bidang usaha/kegiatan termasuk PHBM disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 memberikan penjelasan bahwa kegiatan PHBM memberikan kontribusi sebesar 33,52% terhadap total pendapatan responden (dari empon-empon sebesar 31,42% ditambah buah-buahan sebesar 0,77%, dan ditambah HHNK lainnya 1,33%). Selanjutnya dari hasil non-PHBM memberikan kontribusi sebesar 66,48% terhadap total pendapatan. Kontribusi pendapatan dari kegiatan non-PHBM ini berasal dari hasil pertanian di lahan milik sebesar 56,69% (dari empon-empon sebesar 28,89% ditambah buah-buahan 27,80%) dan dari pekerjaan yang lainnya sebesar 9,79%.

Tabel 11 Kontribusi berbagai sumber pendapatan terhadap total pendapatan responden

Indikator Kontribusi (%)

1. Persentase pendapatan PHBM empon-empon terhadap pendapatan total 31,42

2. Persentase pendapatan PHBM buah-buahan terhadap pendapatan total 0,77

3. Persentase pendapatan PHBM dari HHNK lainnya terhadap pendapatan total 1,33

4. Persentase total pendapatan PHBM terhadap pendapatan total 33,52

5. Persentase pendapatan empon-empon di lahan milik terhadap pendapatan total 28,89

6. Persentase pendapatan buah-buahan di lahan milik terhadap pendapatan total 27,80

7. Persentase total pendapatan pertanian di lahan milik terhadap pendapatan total 56,69

8. Persentase total pendapatan empon-empon (keseluruhan) terhadap pendapatan total 60,31

9. Persentase total pendapatan buah-buahan (keseluruhan) terhadap pendapatan total 28,57

10. Persentase total pendapatan non-PHBM terhadap pendapatan total 66,48

11. Persentase total pendapatan agraria (pertanian) terhadap pendapatan total 90,21

27

Total pendapatan responden yang diperoleh dari bidang usaha agraria (pertanian) sendiri memberikan kontribusi yang sangat besar yaitu 90,21% terhadap pendapatan total responden, sedangkan kontribusi dari pekerjaan lainnya (non agraria) hanya sebesar 9,79% dari pendapatan total responden. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertanian masih menjadi tumpuan utama sumber pendapatan responden, baik itu kegiatan pertanian di lahan PHBM maupun kegiatan pertanian di lahan milik.

Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Responden

Tingkat kesejahteraan atau garis kemiskinan rumah tangga responden diukur menggunakan empat pendekatan, yaitu pendekatan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Rembang, garis kemiskinan menurut Sajogyo, garis kemiskinan menurut Direktorat Tata Guna Tanah, dan garis kemiskinan Bank Dunia.

Metode pendekatan dengan UMR berusaha melihat tingkat kesejahteraan dalam ruang lingkup daerah (Kabupaten). Rumah tangga dikatakan sejahtera apabila pendapatan total rumah tangga per bulan sama atau lebih besar daripada nilai UMR Kabupaten di daerah tersebut. UMR Kabupaten Rembang pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 896.000,-/bulan sehingga apabila sebuah rumah tangga memiliki pendapatan diatas nilai tersebut maka rumah tangga tersebut sejahtera dan apabila di bawah nilai tersebut berarti tidak sejahtera atau miskin.

Berikutnya metode pendekatan garis kemiskinan Sajogyo dan pendekatan garis kemiskinan menurut Direktorat Tata Guna Tanah digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan dalam ruang lingkup nasional. Menurut kriteria pendekatan Sajogyo dalam BPS (2008), rumah tangga dikatakan sejahtera apabila pengeluaran per kapita per tahun dari masing-masing anggota rumah tangga responden lebih besar dari nilai tukar beras sebanyak 320 kg per tahun. Agar pengeluaran per kapita dari masing-masing anggota rumah tangga dapat dibandingkan dengan 320 kg beras, maka pengeluaran per kapita tersebut harus dikonversi menjadi sejumlah beras yang dikonsumsi dalam waktu satu tahun. Harga beras pada saat penelitian adalah Rp 8.000,-/kg sehingga untuk mengkonversinya pengeluaran per kapita harus dibagi dengan Rp 8.000,-. Selanjutnya menurut Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria (Danusaputro 1997), rumah tangga dikatakan sejahtera apabila pendapatan per kapita per tahun dari setiap anggota rumah tangga lebih besar dari 125% dari nilai total sembilan bahan pokok yang dinilai dengan harga setempat. Sembilan bahan pokok tersebut yaitu 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg minyak goreng, 9 kg garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar, dan 2 meter batik kasar.

Kemudian yang terakhir pendekatan garis kemiskinan Bank Dunia digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan secara global. Kriteria kesejahteraan menurut Bank Dunia dalam CIFOR (2007), adalah rumah tangga dikatakan sejahtera apabila pendapatan per kapita per hari untuk setiap anggota rumah tangga lebih besar dari US$1. Nilai US$1 setara dengan Rp 9.575,- (per 4 Februari 2013). Dengan kata lain rumah tangga dikatakan sejahtera apabila pendapatan per kapita per hari nya lebih besar dari Rp 9.575,-. Data tingkat kesejahteraan responden disajikan pada Tabel 12.

28

Tabel 12 Tingkat kesejahteraan responden dari berbagai pendekatan

Kriteria Persentase (%) Tingkat kesejahteraan Miskin Tidak miskin

UMR Kab.Rembang 30,00 70,00 Sejahtera/tidak miskin Sajogyo 33,33 66,67 Sejahtera/tidak miskin Direktorat Tata Guna Tanah* 0 100,00 Sejahtera/tidak miskin Bank Dunia 43,33 56,67 Sejahtera/tidak miskin

* Bahan pokok berupa minyak tanah diganti dan disetarakan dengan kayu bakar

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 12, dengan pendekatan garis kemiskinan UMR Kabupaten Rembang terdapat 9 orang atau sebesar 30% responden yang tergolong miskin, sedangkan sisanya 21 orang atau sebesar 70% responden tergolong tidak miskin.

Berikutnya dengan pendekatan Sajogyo ada sejumlah 10 orang atau sebesar 33,33% responden yang miskin, sedangkan 20 orang responden atau sebesar 66,67% tidak miskin.

Selanjutnya dengan pendekatan garis kemiskinan Direktorat Tata Guna Tanah dari 30 orang responden 100% atau seluruhnya tergolong tidak miskin, dengan catatan salah satu komponen 9 bahan pokok yang digunakan sebagai standar garis kemiskinan yaitu minyak tanah diganti dan disetarakan dengan kayu bakar. Hal ini dilakukan karena penggunaan minyak tanah sebagai komponen 9 bahan pokok di lokasi penelitian dianggap tidak relevan, sebab di lokasi penelitian sudah tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan minyak tanah untuk keperluan rumah tangga. Akan tetapi untuk keperluan rumah tangga, masyarakat di lokasi penelitian lebih banyak menggunakan kayu bakar dan dikombinasikan dengan sedikit penggunaan kompor gas. Apabila komponen 9 bahan pokok

Dokumen terkait