• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chilling injury (CI) adalah kerusakan karena penyimpanan di bawah suhu optimum yang dicirikan oleh bintik-bintik hitam atau coklat pada kulit buah, pembentukan warna kulit yang tidak sempurna dan pematangan tidak normal menurut (Marlisa 2007). Bentuk chilling injury terbagi menjadi dua yakni kerusakan primer dan kerusakan sekunder. Kerusakan primer berkaitan dengan kerusakan di tingkat sel seperti penurunan kelarutan asam lemak tak jenuh pada membran lipid atau terhambatnya pembentukan senyawa di tingkat substrat yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan yang dapat dilihat secara visual (kerusakan sekunder) seperti pencoklatan (browning), mengkerutnya kulit buah atau terdapat lubang pada permukaan buah menurut Nurhayati (2014).

Berdasarkan hasil pengamatan munculnya chilling injury pada buah jambu biji ditandai dengan pematangan yang tidak normal, browning kulit, bintik-bintik hitam dan coklat pada permukaan kulit buah jambu biji. Pada Gambar 9 disajikan perubahan ideks chilling injury selama 21 hari penyimpanan dingin. Pada grafik menunjukkan CI diatas skor 1 (gejala 1-25%) maka buah jambu biji tidak mampu menekan gejala kerusakan akibat suhu dingin setelah perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan HWT 55oC selama 10 menit. Penyimpanan buah jambu biji di suhu 10oC, pada hari ke-0 menunjukkan peningkatan indeks CI paling tinggi dibanding penyimpanan lainnya dengan nilai skor sebesar 0.042. Presentase

11 indeks chilling injury yang terukur terus mengalami kenaikan sampai akhir pengamatan yaitu hari ke-21 sebesar 0.313 seperti yang terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Indeks chilling injury setelah 18 hari penyimpanan buah jambu biji pada suhu (5oC, 10oC dan suhu ruang).

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan Lampiran 12 terlihat bahwa perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan HWT 55oC selama 10 menit tidak berpengaruh nyata terhadap chilling injury, sedangkan perlakuan penyimpanan suhu 5oC dan 10oC memberikan pengaruh nyata terhadap chilling injury jambu biji karena P value≤ 5% sehingga perlakuan suhu 5oC dan 10oC akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kualitas jambu biji. Oleh karena itu perlakuan HWT tidak mampu menekan chilling injury buah jambu biji selama penyimpanan dingin. Kerusakan yang ditimbulkan pada jambu biji akibat chilling injury yaitu kerutan pada kulit buah sehingga meningkatkan susut bobot. Namun pada penelitian yang dilakukan Yang et al. (2009) menunjukkan secara fisilogis perlakuan panas dapat menyebabkan jaringan mampu melawan kerusakan selama penyimpanan dingin karena perlakuan panas dapat mengaktifkan suatu protein yang dikenal dengan heat shock protein (Bowean et al. 2002).

Buah jambu biji yang diberikan perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan 55oC selama 10 menit mengalami kerusakan dingin lebih cepat dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol) Gambar 9. Hal ini disebabkan oleh suhu perlakuan HWT tinggi. Buah jambu biji tidak cocok diberi perlakuan HWT untuk menekan gejala chilling injury.

Pengaruh Perendaman HWT dan Peyimpanan Dingin terhadap Mutu Buah Jambu Biji untuk Menekan Gejala Chilling Injury

Penyebab dari kerusakan buah jambu biji antara lain kerusakan fisik, terjadi reaksi kimia atau biasa disebut kerusakan kimia, kerusakan biokimia terjadi karena reaksi dalam bahan yang masih hidup, kerusakan karena jasad renik, dan kerusakan akibat serangga yang dapat menyebabkan mutu buah menjadi menurun.

12

Analisa parameter pengamatan jambu biji hasil perlakuan suhu perendaman air panas dan penyimpanan dingin adalah terhadap laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, warna kulit, dan uji organoleptik.

Laju Respirasi

Laju respirasi dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan CO2. Laju konsumsi O2 jambu biji selama penyimpanan disajikan pada Gambar 10. Terjadi peningkatan konsumsi O2 pada hari ke-2 penyimpanan, baik untuk jambu biji yang diberi perlakuan HWT maupun tidak diberi perlakuan HWT. Peningkatan respirasi ini menandai fase klimaterik pada jambu biji. Selanjutnya konsumsi O2

mengalami penurunan hingga hari ke-5. Peningkatan O2 yang fluktuatif kembali terjadi pada hari ke-8 hingga akhir masa penyimpanan. Hal ini terjadi karena adanya respirasi tambahan dari mikroorganisme yang menyebabkan laju respirasi meningkat pada hari ke-13.

Gambar 10 Grafik laju konsumsi O2 buah jambu biji.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Berdasarkan hasil pengamatan pada hari penyimpanan ke-0 laju konsumsi O2 tertinggi sebesar 46.28ml/kg.jam (H3T3) dan 39.37ml/kg.jam (H2T2). Masa klimaterik laju konsumsi O2 terbesar terjadi pada hari ke-3 yaitu sebesar 81.93ml/kg.jam (H3T3) dan 12.98ml/kg.jam (H1T2).

Hasil analisis ragam Lampiran 3 menunjukkan bahwa lama HWT berpengaruh nyata terhadap konsumsi O2 pada pengamatan hari ke-1, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 19, dan 20. Sementara suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi O2 pada pengamatan ke-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, dan 20. Interaksi antara HWT dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsumsi O2 pada hari ke-1, 9, dan 14. Hasil uji Duncan Lampiran 4 berbeda nyata terhadap konsumi O2 pada perlakuan HWT dan suhu.

Perlakuan HWT dapat menekan laju respirasi dimana jambu biji yang tidak diberi perlakuan HWT memiliki laju produksi CO2 yang lebih tinggi dibandingkan jambu biji yang diberi perlakuan HWT. Gambar 11 menampilkan grafik laju produksi CO2 jambu biji selama 21 hari penyimpanan. Sama halnya dengan laju konsumsi O2, terjadi peningkatan produksi CO2 pada hari ke-2 (klimakterik), laju produksi CO2 kembali mengalami penurunan setelah berlalunya

13 fase klimakterik. Penyimpanan hari ke-0 laju produksi CO2 tertinggi terjadi pada jambu biji yang tidak diberi perlakuan HWT adalah 43.78ml/kg.jam (H3T3/kontrol). Puncak fase klimakterik produksi CO2 tertinggi terjadi pada hari ke-3 senilai 84.96 ml/kg.jam (H3T3). Jambu biji yang diberikan perlakuan HWT dengan suhu penyimpanan 5oC dan 10oC mampu menghambat puncak klimaterik dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hutabarat (2008), laju produksi CO2 pada tomat dengan perlakuan heat shok 20, 40, 60 menit dan

Aloevera coating pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan suhu 5 dan 10oC. Hal ini disebabkan pada penyimpanan dingin proses respirasi dihambat, sehingga produksi CO2 dan konsumsi O2 rendah.

Gambar 11 Grafik laju produksi CO2 buah jambu biji.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 1, diketahui bahwa lama HWT berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 pada hari ke-1, 9, 10, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, dan suhu berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 pada hari ke-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20. Sementara interaksi antara lama HWT dan suhu juga berpengaruh nyata pada hari ke-1, 9, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, dan 20. Hasil uji Duncan Lampiran 2 berbeda nyata terhadap produksi CO2 pada perlakuan HWT dan suhu. Hal ini dikarenakan P value ≤ 5% sehingga perlakuan suhu, HWT dan interaksinya akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kualitas jambu biji

Susut Bobot

Salah satu faktor identifikasi mutu buah jambu biji adalah susut bobot. Perubahan terjadi sesuai dengan lama waktu penyimpanan. Susut bobot jambu biji setelah perlakuan terjadi sebagian besar karena transpirasi dan respirasi menurut Syarief dan Halid (1991) dalam Hidyati (2012). Proses transpirasi dipengaruhi oleh lingkungan yaitu suhu dan kelembaban (Hidayati 2012). Menurut Muchtadi

et al. (2010), susut bobot akibat respirasi dan transpirasi dapat ditekan dengan cara menaikkan kelembaban nisbi udara (RH), menurunkan suhu, mengurangi gerakan udara dan penggunaan kemasan.

Dari analisis ragam dan uji Duncan Lampiran 5 dan 6 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan HWT dan suhu berpengaruh nyata terhadap susut bobot jambu

14

biji selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan P value ≤ 5% sehingga perlakuan HWT memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas buah jambu biji.

Hasil pengamatan menunjukkan susut bobot tertinggi Gambar 12 terjadi pada perlakuan H3T3 hari ke-9 yang bernilai 36.48% dan susut bobot terendah pada perlakuan H2T2 sebesar 4.11%. Hal ini akibat massa jambu yang hilang selama penyimpanan pada suhu ruang (26-30oC). Semakin rendah RH maka semakin besar massa buah yang hilang selama penyimpanan pada suhu ruang. Hal ini serupa dengan penelitian Hutabarat (2008), kenaikan presentase susut bobot tomat pada suhu ruang lebih tinggi dibanding penyimpanan pada suhu 5oC dan 10oC. Menurut Muchtadi (1992) dalam Hidayati (2012) menyatakan bahwa kehilangan bobot pada buah selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut.

Penyimpanan jambu biji hari ke-21 nilai susut bobot tertinggi yaitu perlakuan H3T1 (17.95%) dan susut bobot terendah pada perlakuan H2T2 (perlakuan HWT 55oC selama 10 menit pada penyimpanan 10oC) senilai 8.56%. Namun berdasarkan hasil organoleptik kesegaran buah perlakuan H2T2 tingkat kesukaan panelis lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan (H3T1) sampai hari ke-18 penyimpanan. Kejadian ini dikarenakan perlakuan H3T1 (kontrol) pada suhu 5oC mengalami chilling injury seperti terjadi pelunakan daging buah pada bagian tertentu dan mengandung banyak air, warna kulit buah berubah menjadi kecoklatan akibat gagal matang, serta terdapat bintik-bintik hitam yang menyelimuti warna kulit sehingga panelis tidak suka.

Gambar 12 Peningkatan susut bobot buah jambu biji penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang (26-30oC)).

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Kekerasan

Kekerasan jambu biji dengan bertambahnya hari penyimpanan mengalami penurunan yang terlihat pada Gambar 13, namun terjadi peningkatan kembali. Hal ini dipengaruhi oleh suhu penyimpanan yang mengakibatkan permukaan kulit buah dan daging buah mengalami pemadatan dan terdapat kristal-kristal es. Penggunaan jambu biji yang berbeda setiap pengujian menyebabkan perbedaan kekerasan meskipun pengujian dilakukan pada hari yang sama sehingga menyebabkan nilai kekerasan fluktuatif. Hasil pengamatan selama penyimpanan

15 diperoleh nilai kekerasan tertinggi pada perlakuan H1T1 (5.29kgf) hari ke-18, sedangkan kekerasan terendah terjadi pada perlakuan H3T2 (0.59kgf) akibat mengalami kerusakan jaringan kulit disebabkan transpirasi sehingga menjadi keriput serta struktur daginnya lunak. Peningkatan susut bobot menyebabkan menurunnya kekerasan buah. Penelitian ini, untuk perlakuan HWT efektif mengurangi susut bobot. Nilai kekerasan tertinggi pada jambu biji selama penyimpanan terjadi pada perlakuan HWT pada suhu 5oC dan 10oC.

Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 7 menunjukkan bahwa perlakuan HWT hanya berpengaruh nyata pada hari ke-3 dan 18. Hasil uji Duncan Lampiran 8 menunjukkan bahwa jenis perlakuan HWT berbeda nyata pada tingkat kekerasan jambu biji selama penyimpanan.

Gambar 13 Perubahan nilai kekerasan buah jambu biji pada suhu (5oC, 10oC, suhu ruang (26-30oC)).

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Total Padatan Terlarut (TPT)

Pada Gambar 14 terlihat bahwa kurva hubungan total padatan terlarut dengan lama penyimpanan buah jambu biji pada hari ke-0 penyimpanan sebesar 10obrix pada perlakuan H1T2 mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan buah jambu biji mengalami fase pematangan yang ditandai dengan meningkatnya kandungan gula dalam buah. Setelah mencapai optimal, buah jambu biji mengalami fase lewat matang yang ditandai dengan menurunnya kandungan gula buah (Pradnyawati 2006). Sehingga kurva hubungan total padatan terlarut dengan lama penyimpanan buah jambu biji sampai hari ke-21 sebesar 9.35obrix pada perlakuan H2T1 mengalami penurunan.

Hasil analisis ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa Lampiran 9 dan 10 interaksi HWT dan suhu penyimpanan pada hari ke-9, 18 dan 21 memberikan pengaruh nyata terhadap TPT karena P value ≤ 5%, sedangkan perlakuan HWT tidak berpengaruh nyata terhadap TPT. Hal ini dikarenakan buah jambu biji merupakan produk pertanian yang sulit dicari keseragamannya (Pradnyawati 2006).

16

Gambar 14 Perubahan nilai total padatan terlarut buah jambu biji pada suhu penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang (26-30oC)).

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Peningkatan nilai total padatan terlarut selama penyimpanan buah jambu biji dapat disebabkan selama penyimpanan, buah jambu biji mengalami pematangan yang menyebabkan meningkatnya jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis dan kenaikan zat-zat atsiri yang memberikan rasa khas pada buah menurut (Pradnyawati 2006). Gula-gula yang terbentuk akan digunakan sebagai energi untuk respirasi (Hidayati 2012). Menurut Apandi (1984) selama pematangan, kandungan gula bertambah akibat adanya proses hidrolisa pati, zat pati terhidrolisis seluruhnya menjadi sukrosa.

Total padatan terlarut yang berkaitan dengan tingkat kemanisan buah jambu biji, memiliki hubungan erat dengan kekerasan dan warnanya. Buah jambu biji yang berwarna kuning memiliki kekerasan rendah dan tingkat kemanisan (total padatan terlarut) yang tinggi dibandingkan buah jambu yang berwarna hijau. Dalam pemilihan buah jambu biji, parameter mutu yang pertama dilihat konsumen adalah warna diketahui secara visual, lalu kekerasan dengan penekanan ringan pada permukaan buah dan tingkat kemanisan dengan indera perasa. Berdasarkan hal tersebut pada uji organoleptik diperoleh tingkat penerimaan panelis pada rasa, warna kulit, kesegaran buah, jambu biji yang diberikan perlakuan H1, H2 pada T1, T2 dapat diterima sampai hari ke-18 penyimpanan.

Perubahan warna kulit buah

Warna menurut Pratiwi (2014) merupakan perubahan nyata yang dapat dilihat pada buah dan sering menjadi kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan apakah buah sudah masak atau belum. Untuk kebanyakan buah, tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau.

Nilai L

Hasil pengamatan rata-rata memperlihatkan pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan nilai L pada hari ke-3 penyimpanan, lalu menurun pada akhir penyimpanan baik jambu biji yang diberikan perlakuan HWT 49oC selama 20 menit, HWT 55oC selama 10 menit maupun tanpa perlakuan. Terjadinya penurunan nilai L pada buah jambu biji dikarenakan setelah melewati fase kematangan, warna kulit buah berubah dari cerah menjadi lebih kusam yang

17 menunjukkan buah jambu biji telah matang. Peningkatan nilai L tertinggi pada hari ke-3 dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan H3T3 sebesar 69.71.

Gambar 15 menunjukkan perbandingan perubahan nilai L buah jambu biji selama penyimpanan pada suhu 5oC, 10oC dan suhu ruang. Berdasarkan hasil pengamatan nilai L maksimum dicapai oleh jambu biji tanpa perlakuan HWT pada suhu ruang yakni sebesar 70.98 hari ke-6 pengamatan, sedangkan untuk jambu biji dengan perlakuan HWT 49oC selama 20 menit pada suhu 10oC dicapai pada hari ke-9 sebesar 62.94. Hal ini menunjukkan perlakuan HWT 49oC selama 20 menit pada suhu 10oClebih mampu menghambat proses pematangan diduga akibat terserapnya etilen yang dihasilkan buah, sehingga perubahan tingkat kecerahan warna kulit buah yang disebabkan oleh proses degradasi klorofil terjadi lebih lambat dan nilai L maksimum yang dicapai lebih rendah dibandingkan kedua perlakuan lainnya. Leon et al (2004) menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, perubahan warna berhubungan dengan keberadaan etilen pada buah. Nilai L pada buah jambu biji yang disimpan pada suhu ruang menunjukkan peningkatan yang lebih cepat dibandingkan dengan jambu biji yang disimpan pada suhu rendah. Hal ini menujukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap perubahan tingkat kecerahan (nilai L) pada buah jambu biji. Nilai L buah jambu biji terus mengalami peningkatan seiring dengan lama penyimpanan dan semakin matangnya buah, serta berangsur menurun setelah melewati fase kematangan. Artinya seiring dengan lamanya penyimpanan dan semakin matangnya buah, warna kulitnya akan semakin cerah (Pratiwi 2014).

Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa faktor interaksi antara HWT dan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter mutu perubahan tingkat kecerahan warna (nilai L) kulit buah jambu biji selama penyimpanan. Sedangkan untuk faktor suhu penyimpanan dan HWT memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kecerahan warna (nilai L) kulit buah jambu biji selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan HWT dan tanpa perlakuan HWT berbeda nyata.

18 Nilai a

Dari hasil pengamatan secara keseluruhan, di peroleh nilai a yang bergerak dari negative ke positif. Berdasarkan acuan dari diagram Hunter Lampiran 19, hal tersebut menunjukkan perubahan warna kulit jambu biji mulai dari hijau kemudian berubah menjadi warna hijau kekuningan seiring dengan lamanya penyimpanan dan semakin matangnya buah, hingga pada akhirnya berwarna kuning kemerahan yaitu saat jambu biji sudah membusuk, artinya sudah melewati fase kematangan. Pada Gambar 15 terlihat perubahan nlai a buah jambu biji pada penyimpanan suhu ruang, 10oC dan 5oC dari bernilai negatif terus meningkat menuju nilai positif seiring dengan lamanya penyimpanan dan semakin matangnya buah lalu menurun menuju nilai negatif lagi. Sedangkan jambu biji pada penyimpanan suhu 10oC bernilai negatif terus meningkat menuju nilai positif seiring dengan lamanya penyimpanan dan semakin matangnya buah. Berubahnya warna kulit buah jambu biji disebabkan adanya degradasi klorofil dengan sedikit pembentukan karotenoid (Pratiwi 2014). Selama penyimpanan laju respirasi berlangsung terus menerus sehingga terjadi degradasi klorofil dan akhirnya terbentuk warna kuning dan kuning kemerahan. Menurut Winarni (2002), likopen merupakan senyawa karotenoid yang memberikan warna merah pada beberapa buah dan sayur seperti tomat, semangka dan jambu biji.

(b)

Laju peningkatan tercepat nilai a buah jambu biji pada penyimpanan suhu 10oC dicapai melalui perlakuan HWT 49oC selama 20 menit yaitu dari bernilai -11.36 menjadi 0.78 dan laju peningkatan terlambat dicapai oleh perlakuan HWT 55oC selama 10 menit pada 5oC yaitu dari bernilai -11.31 menjadi -6.89. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan HWT 55oC selama 10 menit pada 5oC dengan semakin tingginya suhu HWT maka dapat menyerap sebagian etilen yang dihasilkan buah, sehingga jambu biji masih dapat melakukan proses metabolisme yang berjalan secara lambat.

Dari analisis ragam dan uji Duncan Lampiran 15 dan 16 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan HWT dengan suhu penyimpanan dan perlakuan HWT tidak berbeda nyata terhadap nilai a selama penyimpanan, sedangkan perlakuan suhu berbeda nyata terhadap nilai a karena P value ≤ 5% sehingga perlakuan suhu

19 penyimpanan memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan parameter mutu nilai a pada kulit buah jambu biji selama penyimpanan.

Nilai b

Nilai b menyatakan tingkat kekuningan dimana nilai positif menyatakan warna kuning dan nilai negatif menyatakan warna biru.

Pada Gambar 15 terlihat perubahan nilai b pada jambu biji selama penyimpanan. Peningkatan nilai b tertinggi terjadi pada jambu biji tanpa perlakuan HWT pada suhu 10oC sebesar 35.57, sedangkan nilai b terendah terajadi pada jambu biji perlakuan HWT 55oC di suhu 5oC dan 10oC. Peningkatan suhu simpan menyebabkan perubahan warna kulit buah lebih cepat.

Data pada suhu ruang (26-30oC) menunjukkan penurunan warna kuning mulai tampak pada kulit buah sejak hari ke-3 penyimpanan. Perubahan warna kulit buah jambu biji menjadi 100% kuning pada suhu ruang terjadi kurang dari 2 minggu umur simpan. Sama seperti pada perubahan nilai L dan nilai a buah jambu biji selama penyimpanan.

Pada analisis ragam dan hasil uji lanjut Duncan Lampiran 17 serta 18 terlihat bahwa interaksinya tidak berpengaruh nyata. Sedangkan perlakuan HWT dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai warna b selama masa penyimpanan. Hal ini dikarenaka P value ≤ 5% sehingga perlakuan suhu penyimpanan dan HWT memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan parameter mutu nilai b pada kulit buah jambu biji selama penyimpanan.

(c)

Gambar 15 Perubahan warna kulit buah jambu biji pada suhu penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang), (a) Kecerahan warna (nilai L), (b) perubahan nilai a, (c) perubahan nilai b.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Berdasarkan Lampiran 19 dapat diketahui bahwa tingkat warna kuning buah jambu biji mengalami perubahan dari warna kuning (nilai b positif) menuju warna biru (nilai b negatif) yang berarti buah jambu biji mengalami pematangan menuju pembusukkan.

20

Uji Organoleptik

Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa tingkat kesukaan terhadap warna kulit jambu biji memiliki skor tertingi pada perlakuan H1T1 yaitu sebesar 3.13 hari ke-18. Selama masa penyimpanan hingga hari ke-18 menunjukkan bahwa jambu biji dengan jenis perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan HWT 55oC selama 10 menit yang disimpan pada suhu 10oC, 5oC dapat diterima oleh konsumen dengan baik dibandingkan perlakuan HWT pada suhu ruang. Hal ini dikarenakan buah jambu biji yang disimpan pada suhu ruang mengalami transpirasi (pelayuan dan berkurangnya kesegaran produk), terdegradasinya klorofil atau sedikit pembentukan karatenoid menyebabkan perubahan pada warna kulit buah hijau menjadi kuning kecoklatan sehingga tidak dapat diterima panelis. Berdasarkan analisis Kruskal-Wallis Lampiran 20 dapat dilihat bahwa pada hari ke-3, 9 dan 18 terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kesukaan warna kulit selama penyimpanan.

Gambar 16 Hubungan antara lama penyimpanan kesukaan terhadap parameter warna kulit mengunakan skala 1-5.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Garis horizontal pada 3.0 adalah garis yang menujukkan batas penerimaan. Penilaian panelis terhadap kesegaran buah dapat dilihat dari Gambar 17 bahwa skor kesukaan tertinggi sampai akhir penyimpanan, yaitu pada perlakuan H1T1 senilai 3.40. Sedangkan nilai kesukaan terendah pada perlakuan H3T2 senilai 1.73.

Berdasarkan analisis Kruskal-Wallis Lampiran 21 terlihat bahwa jenis perlakuan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kesukaan kesegaran buah selama penyimpanan.

21

Gambar 17 Hubungan antara lama penyimpanan dengan kesukaan terhadap parameter kesegaran buah mengunakan skala 1-5.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Grafik hubungan antara lama penyimpanan dengan tingkat kesukaan terhadap rasa buah jambu biji dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil penilai panelis dapat tingkat kesukaan tertinggi terhadap rasa yaitu perlakuan H2T1 senilai 3.40 hari-18. Sedangkan untuk nilai terendah dialami oleh perlakuan H1T2 senilai 1.60. Kejadian ini dikarenakan pematangan tidak normal.

Pada analisis Kruskal-Wallis Lampiran 22 terlihat bahwa jenis perlakuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kesukaan rasa selama masa penyimpanan.

Gambar 18 Hubungan antara lama penyimpanan dengan kesukaan terhadap parameter rasa buah mengunakan skala 1-5.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu 10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Hasil analisis Kruskal-Wallis Lampiran 23 tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kesukaan tekstur daging. Grafik tingkat kesukaan terhadap tekstur daging dapat dilihat pada Gambar 19.

22

Gambar 19 Hubungan antara lama penyimpanan dengan kesukaan terhadap parameter tekstur daging mengunakan skala 1-5.

Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama 10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu

Dokumen terkait