• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Inisiasi Kalus Dendrobium Klon 22/

Persentase eksplan hidup terendah diperoleh pada media inisiasi VW ditambah 2 mg L-1 thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D, sebesar 48.33%. Media ini juga menghasilkan persentase eksplan mati dan eksplan berwarna cokelat tertinggi. Eksplan mati dapat disebabkan oleh jaringan eksplan yang terlalu muda atau eksplan yang digunakan terlalu kecil. Persentase eksplan hidup, eksplan mati dan eksplan berwarna cokelat pada 8 MST tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase eksplan hidup, eksplan mati dan eksplan berwarna cokelat

Dendrobium klon 22/25 pada empat perlakuan media inisiasi pada 8 MST

Media inisiasi kalus Jumlah eksplan Eksplan hidup (%) Eksplan mati (%) Eksplan berwarna cokelat (%) MS dan 10 mg L-1 BAP (K1) 50 95.0 5.0 0.0 ½ MS dan 4 mg L-1 Thidiazuron (K2) 50 96.6 3.4 0.0 ½ MS dan 1 mg L-1 BAP (K3) 50 95.0 5.0 0.0 VW, 2 mg L-1 Thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D (K4) 50 48.3 51.7 6.7

13 Tabel 1 menunjukkan bahwa media ½ MS yang ditambahkan 4 mg L-1 thidiazuron (K2) menghasilkan persentase eksplan hidup tertinggi yaitu 96.6%, dari total 50 eksplan yang ditanam. Media MS yang ditambahkan 10 mg L-1 BAP (K1) dan media ½ MS yang ditambahkan 1 mg L-1 BAP (K3) menghasilkan per- sentase eksplan hidup yang sama yaitu 95.0%. Media VW yang ditambahkan 2 mg L-1 thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D menghasilkan persentase eksplan hidup te- rendah yaitu 48.3% dari total 50 eksplan. Sebanyak 6.7% dari total eksplan yang ditanam pada media VW yang ditambahkan 2 mg L-1 thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D menghasilkan eksplan berwarna cokelat yang sampai dengan akhir penga- matan tidak menghasilkan kalus, sehingga dikategorikan sebagai eksplan mati.

Empat media inisiasi yang digunakan pada percobaan ini menghasilkan persentase eksplan berkalus yang berbeda dengan waktu muncul kalus yang berbeda pula (Tabel 2). Kalus anggrek Dendrobium klon 22/25 muncul mulai dari 3 MST.

Tabel 2 Persentase eksplan berkalus pada 8 MST dan waktu munculnya kalus

Dendrobium klon 22/25 pengaruh media inisiasi kalus

Media inisiasi kalus Jumlah

eksplan Eksplan berkalus (%) Waktu muncul kalus (MST) MS dan 10 mg L-1 BAP 50 41.7 3 ½ MS dan 4 mg L-1 Thidiazuron 50 20.0 3 ½ MS dan 1 mg L-1 BAP 50 36.7 3 VW, 2 mg L-1 Thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D 50 3.0 6

Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam

Tabel 2 menunjukkan bahwa media MS yang ditambahkan 10 mg L-1 BAP menghasilkan persentase eksplan berkalus tertinggi yaitu 41.7%. Kalus pada media ini mulai terbentuk pada 3 MST. Media ½ MS yang ditambahkan 1 mg L-1 BAP menghasilkan persentase eksplan berkalus sebesar 36.7%, sedangkan media ½ MS yang ditambahkan 4 mg L-1 thidiazuron menghasilkan persentase eksplan berkalus sebesar 20.0%. Kedua media tersebut menghasilkan kalus mulai pada 3 MST. Media VW yang ditambahkan 2 mg L-1 thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D menghasilkan persentase eksplan berkalus terendah di antara keempat media, yaitu sebesar 3.0% dengan waktu muncul kalus pada 6 MST. Kalus pada media ini kemudian tidak berkembang, menjadi kalus berwarna cokelat dan akhirnya mati.

Media MS yang ditambah dengan 10 mg L-1 BAP, menghasilkan persen- tase eksplan berkalus yang tertinggi di antara semua media inisiasi. Kombinasi auksin dan sitokinin dengan konsentrasi yang sama umumnya digunakan untuk menginisiasi kalus (Rianawati et al. 2009). Ketiga media inisiasi tidak ditambah- kan auksin sintetik pada percobaan ini tetapi mampu menghasilkan kalus. Hal ini diduga karena auksin endogen yang terdapat pada eksplan masih cukup tinggi untuk mengimbangi sitokinin eksogen yang ditambahkan pada media. Hasil yang serupa diperoleh pada percobaan Roy et al. (2007). Persentase kalus tertinggi dihasilkan pada media yang ditambahkan BAP 2.25 mg L-1.

14

Persentase eksplan berkalus tertinggi dihasilkan pada media inisiasi dengan kombinasi auksin dan sitokinin. Penambahan sitokinin saja pada media inisiasi menghasilkan persentase eksplan berkalus yang lebih rendah, akan tetapi mengha- silkan persentase eksplan nekrosis yang lebih rendah dibandingkan dengan kombi- nasi auksin dan sitokinin (Roy et al. 2007).

Percobaan Rianawati et al. (2009) pada anggrek Phalaenopsis mengha- silkan eksplan berkalus yang hanya terjadi pada media yang mengandung konsen- trasi auksin dan sitokinin yang seimbang. Media dengan kandungan auksin atau sitokinin saja tidak mampu menginduksi kalus. Berbeda dengan hasil percobaan ini, kalus dapat terbentuk pada media yang mengandung auksin dan sitokinin serta media dengan kandungan sitokinin saja. Eksplan pada empat media perlakuan inisiasi kalus tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Eksplan daun pada umur 3 MST pengaruh empat media inisiasi kalus. a) daun pada MS + 10 mg L-1 BAP; b) daun pada ½ MS + 4 mg L-1 Tdz; c) daun pada ½ MS + 1 mg L-1 BAP; d) daun pada media VW + 2 mg L-1 Tdz + 1 mg L-1 2,4-D

Kalus mulai terbentuk pada 3 MST pada media MS dengan 10 mg L-1 BAP, media ½ MS dengan 4 mg L-1 Tdz serta media ½ MS dengan 1 mg L-1 BAP. Kalus muncul diawali dengan bagian daun yang membesar pada 3 MST (Gambar 4). Percobaan ini menghasilkan kalus yang muncul di pangkal daun pada semua media perlakuan. Pangkal daun yang membesar berwarna putih susu pada akhir- nya tidak menyerupai struktur daun lagi dan membentuk struktur kalus globular. Kalus yang muncul kemudian berwarna putih susu atau transparan yang memiliki struktur globular dan kompak. Media VW yang ditambah dengan 2 mg L-1 Tdz dan 1 mg L-1 2,4-D menghasilkan kalus dengan kondisi kecokelatan atau brow- ning, kemudian mati. Hal ini diduga bahwa zat pengatur tumbuh dalam media terlalu kuat sehingga kalus menjadi mati. Kalus muncul mulai 3 MST, dan terus bermultiplikasi sampai minggu terakhir pengamatan. Kalus yang muncul umum- nya berwarna transparan dan bentuk globular kompak.

a b

15 Hasil yang serupa didapatkan oleh Chung et al. (2005) pada percobaan

Dendrobium”Chiengmai Pink”. Semua media dengan kandungan sitokinin (2-IP, thidiazuron, BA, kinetin dan zeatin) yang dicobakan mampu menghasilkan embrio somatik tanpa melalui kalus pada 20-30 hari setelah subkultur. Embrio somatik kemudian beregenerasi membentuk tunas setelah 30 hari pada media yang sama. Khumaida dan Handayani (2010) melaporkan bahwa pada embriogenesis kedelai, rendahnya diferensiasi kalus diduga akibat rendahnya kandungan nitrogen dalam media. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan nitrogen organik seperti aspara- gin, glutamin atau kasein hidrolisat pada media kultur.

Media inisiasi kalus memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap dia- meter kalus pada 4, 6 dan 8 MST. Nilai rataan diameter kalus Dendrobium klon 22/25 pengaruh media inisiasi kalus pada 4, 6 dan 8 MST tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai rataan diameter kalus Dendrobium klon 22/25 pengaruh media

inisiasi kalus pada 4, 6 dan 8 MST Media inisiasi kalus

Minggu Setelah Tanam (MST)

4 6 8

Rataan diameter kalus (mm)

MS dan 10 mg L-1 BAP (K1) 4.0 6.5 12.0

½ MS dan 4 mg L-1 Thidiazuron (K2) 6.0 8.5 14.5

½ MS dan 1 mg L-1 BAP (K3) 6.0 8.0 14.0

VW, 2 mg L-1 Thidiazuron dan 2 mg L-1 2,4-D (K4) -* -* -* Keterangan : *kalus mati

Diameter kalus tidak berbeda nyata pada media MS yang ditambahkan 10 mg L-1 BAP, media ½ MS yang ditambahkan 4 mg L-1 thidiazuron dan media ½ MS yang ditambahkan 1 mg L-1 BAP. Pada media VW yang ditambahkan dengan 2 mg L-1 Tdz dan 2 mg L-1 2,4-D kalus muncul pada 8 MST kemudian mengalami kondisi kecokelatan dan mati. Media ½ MS yang ditambahkan 4 mg L-1 Tdz menghasilkan diameter kalus terbesar pada 8 MST, yaitu 14.5 mm. Media ½ MS yang ditambahkan 1 mg L-1 BAP menghasilkan diameter kalus sebesar 14.0 mm, diikuti oleh media MS yang ditambahkan 10 mg L-1 BAP menghasilkan diameter kalus sebesar 12.0 mm.

Pada percobaan ini semua kalus muncul di pangkal daun pada semua media perlakuan. Pangkal daun yang membesar berwarna putih susu pada akhirnya tidak menyerupai struktur daun lagi dan membentuk struktur kalus globular. Kalus yang muncul kemudian berwarna putih susu atau transparan yang memiliki struktur globular dan kompak. Fu et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa ciri dari kalus embriogenik adalah kalus tersebut memiliki sitoplasma yang rapat, vakuola yang kecil dan nukleus atau inti sel yang besar.

Kalus pada percobaan ini tidak disubkultur selama 8 minggu dan masih menunjukkan penampakan yang baik (Gambar 2). Fibrianty (2013) menyatakan bahwa kandungan thidiazuron yang terlalu tinggi dapat menghambat pembelahan sel yang berakibat pada penghambatan pembentukan plb P. amabilis. Media inisi- asi plb dengan konsentrasi thidiazuron lebih dari 0.11 mg L-1 menghambat terjadi- nya pembentukan plb.

16

Kalus muncul mulai 3 MST, dan terus bermultiplikasi sampai 8 MST. Kalus yang muncul umumnya berwarna transparan dan berbentuk globular kompak, seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kalus yang terbentuk 8 MST pada tiga media inisiasi. K1) MS + 10 mg L-1 BAP; K2) ½ MS + 4 mg L-1 Tdz; K3) ½ MS + 1 mg L-1 BAP Gambar 5 menunjukkan bahwa media inisiasi MS yang ditambah dengan 10 mg L-1 BAP, ½ MS ditambah 4 mg L-1 Tdz dan ½ MS ditambah 1 mg L-1 BAP, menghasilkan kalus dengan bentuk globular kompak berwarna putih kekuningan. Kalus terus bermultiplikasi sampai dengan 8 MST di media inisiasi kalus. Sampai dengan minggu terakhir pengamatan tidak terdapat eksplan yang langsung berege- nerasi menjadi embrio somatik atau plb. Semua eksplan yang hidup hanya mem- bentuk kalus.

Chung et al. (2005) mendapatkan hasil yang berbeda dengan percobaan ini. Percobaan tersebut menggunakan anggrek jenis Dendrobium Chiengmai Pink. Semua media percobaan yang ditambahkan beberapa jenis sitokinin (2-ip, thidia- zuron, BA, kinetin dan zeatin) yang dicobakan mampu menghasilkan somatik embrio tanpa melalui kalus pada 20-30 hari setelah subkultur. Somatik embrio kemudian beregenerasi membentuk tunas setelah 30 hari pada media yang sama.

Vinogradova dan Andronova (2002) menyatakan bahwa pada saat perke- cambahan di media yang sesuai, embrio anggrek akan membengkak, ukuran membesar, testa pecah dan protokorm globular berwarna putih akan terbentuk. Rendahnya diferensiasi kalus diduga akibat rendahnya kandungan nitrogen dalam media. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan nitrogen organik seperti aspara- gin, glutamin atau kasein hidrolisat pada media kultur (Khumaida dan Handayani 2008).

Tambunan (2012) mengungkapkan bahwa kandungan N-organik dalam media yang merupakan unsur hara makro dalam kultur berperan penting pada proses inisiasi sel embrionik. Media MS yang memiliki kandungan N-organik lebih tinggi dari media Bac memiliki respon yang lebih baik dalam menginduksi sel embrionik nenas Smooth Cayenne. Pernyataan ini juga didukung oleh Ferreira

et al. (2011) yang menyatakan bahwa keseimbangan antara N-organik dalam bentuk ion NO3- dan NO4+ berperan penting dalam diferensiasi dan pertumbuhan kalus.

Penggunaan nitrat sendiri secara luas telah digunakan sebagai sumber nitrogen bagi tanaman. Pada beberapa penelitian perbanyakan secara in vitro, penggunaan adenin dan asam amino telah digunakan sebagai sumber nitrogen. Penggunaan nitrogen dalam bentuk adenin dan asam amino tersebut dipercaya

17 meningkatkan tingkat pembelahan sel, selain dapat mengatur arah pertumbuhan pada tanaman kultur (Sharma et al. 2013).

Jenis eksplan mempengaruhi keberhasilan inisiasi kalus dan plb. Kaur dan Bhutani (2009) menggunakan eksplan yang sama dengan percobaan ini. Eksplan daun yang lebih tua (kira-kira berukuran lebih dari satu cm) tidak bermorfogenesis menjadi kalus ataupun plb sampai dengan akhir pengamatan. Eksplan daun yang lebih muda (kira-kira berukuran kurang dari sama dengan satu cm) bereaksi terhadap zat pengatur tumbuh dalam media. Sinha dan Jahan (2011) menggu- nakan daun muda dari tanaman dewasa anggrek Phalaenopsis amabilis cv. Golden horizon sebagai eksplan. Sebanyak 15 plb dihasilkan pada 12 MST.

Setiap bagian dari tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam bere- generasi. Tidak hanya jenis eksplan dan umur eksplan yang digunakan, penem- patan eksplan pada permukaan media kultur juga menjadi salah satu faktor penting penentu keberhasilan inisiasi kalus (Martin & Madassery 2006; Anbari et al. 2007). Eksplan yang ditempatkan dalam posisi abaksial pada permukaan me- dia menghasilkan embrio somatik yang lebih banyak dibandingkan dengan eksplan pada posisi adaksial (Anbari et al. 2007). Keberhasilan perbanyakan mikropropagasi dengan menggunakan daun tergantung dari beberapa faktor antara lain, komposisi nutrisi dalam media, zat pengatur tumbuh, sumber daun yang di- gunakan (in vitro atau in vivo), bagian daun yang diambil, orientasi atau posisi eksplan dan yang terpenting adalah umur daun. Umur daun sebagai eksplan akan mempengaruhi kemampuannya untuk menyerap nutrisi hara dari media dan kemampuannya beregenerasi. Daun muda mampu merespon lebih baik dari daun tua. Hal ini disebabkan oleh aktivitas merismatik terjadi pada seluruh permukaan daun muda, sedangkan pada daun tua aktivitas hanya terjadi pangkal daun saja (Martin & Madassery 2006).

Penambahan BAP atau Kinetin secara individu pada media menginisiasi plb secara langsung, sedangkan penambahan BAP dan NAA atau Kinetin dan NAA secara berpasangan menginisiasi kalus pada eksplan yang digunakan. Kaul dan Sabharwal (1971) menyatakan bahwa pertumbuhan kalus dan produksi klorofil pada kalus dipengaruhi oleh sukrosa dan kinetin dalam jumlah tertentu. Produksi klorofil pada kalus terhambat pada konsentrasi kinetin yang rendah dan konsentra- si sukrosa yang tinggi. Produksi klorofil meningkat bila konsentrasi kinetin juga ditingkatkan dan konsentrasi sukrosa diturunkan, akan tetapi sukrosa dalam kon- sentrasi tinggi dibutuhkan kalus agar tetap memproduksi klorofil. Media dengan konsentrasi sukrosa yang tinggi dan konsentrasi kinetin yang rendah mampu me- nyajikan pertumbuhan terbaik dari kalus.

Inisiasi Protocorm-like Bodies Dendrobium Klon 22/25

Percobaan Inisiasi Protocorm-like Bodies dilakukan dengan menggunakan eksplan kalus yang merupakan hasil dari percobaan sebelumnya, yaitu Inisiasi Kalus Dendrobium Klon 22/25. Kalus hasil percobaan dari masing-masing media inisiasi disubkultur ke media yang sama untuk melihat kemampuan regenerasi kalus yang dihasilkan. Kalus beregenerasi menjadi proembryogenic mass (PEM) mulai dari 2 MST, hingga kemudian membentuk proembrio, embrio fase jantung, embrio fase torpedo sampai calon tunas anggrek Dendrobium klon 22/25 (Gambar 6).

18

Gambar 6 Proembryogenic mass (PEM) Dendrobium klon 22/25. a) pada fase globular; b) pada fase jantung; c) pada fase torpedo. Gambar baris atas: PEM pada pembesaran 20x. Gambar baris bawah: histologi PEM pada pembesaran 20x

Gambar 6 (a-c) menunjukkan tahapan regenerasi kalus Dendrobium klon 22/25 menjadi plb Dendrobium klon 22/25. Gambar 6a-c (baris atas) menunjuk- kan proses regenerasi kalus yang melalui fase globular, jantung dan torpedo. Gambar 6a-c (baris bawah) menunjukkan histologi pada fase globular, jantung dan torpedo.

Pengamatan histologi menunjukkan kalus yang membentuk sel-sel merismatik yang rapat yang dikenal sebagai Proembryogenic mass (PEM). Tambunan (2012) mendapati hal yang sama pada nenas kultivar Smooth Cayenne. Terdapatnya sel-sel yang isodiametris dan merismatik yang kemudian membentuk agregat PEM mengindikasikan dimulainya tahapan inisiasi embriogenesis soma- tik. Sel-sel ini akan berkembang menjadi embrio globular.

Berdasarkan hasil pengamatan histologi terhadap irisan melintang kalus pada media VW cair, media ini sudah mampu meregenerasi kalus menjadi plb. Sel-sel kalus beregenerasi dengan melewati proses embriogenesis somatik mem- bentuk pro embrio fase globular dan fase torpedo (Gambar 6). Penggunaan auksin seperti 2,4-D atau pikloram umumnya digunakan pada proses regenerasi kalus menjadi embrio. Penambahan auksin jenis NAA pada media umumnya diguna- kan pada proses pematangan embrio somatik. Pada percobaan ini, penambahan air kelapa pada media VW sudah cukup mampu menginduksi embrio somatik sampai proses pematangan tanpa perlu penambahan auksin sintetik.

Air kelapa telah banyak digunakan sebagai senyawa tambahan dalam perbanyakan berbagai tanaman in vitro, termasuk anggrek. Penggunaan air kelapa pada berbagai tanaman diduga terkait dengan kandungan bahan aktif di dalamnya yang memiliki komposisi yang unik. Gula, vitamin, mineral, asam amino dan fitohormon adalah komponen terbesar dari air kelapa. Auksin dan sitokinin

b c 2 mm

a

2 mm

19 adalah dua jenis fitohormon dalam air kelapa (Gunawan 1992; Akter et al. 2007; Jean et al. 2009).

Auksin yang terkandung dalam air kelapa berfungsi sebagai regulator dalam berbagai fase perkembangan tanaman, termasuk embriogenesis, organoge-nesis dan pembentukan jaringan (Akter et al. 2007; Jean et al. 2009). Mekanisme trans- port molekul yang unik dari auksin menyebabkan perkembangan elastisitas ta- naman. Perkembangan ini kemudian memungkinkan pertumbuhan dan bentuk ta- naman yang dapat menyesuaikan dengan perubahan lingkungan tanaman tersebut (Jean at al. 2009).

Sitokinin dalam air kelapa mendukung pembelahan sel mengakibatkan pertumbuhan sel dengan cepat (Akter et al. 2007; Jean et al. 2009). Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang paling banyak digunakan dalam perba- nyakan atau produksi Protocorm-like bodies tanaman anggrek. Penambahan sito- kinin sintetik tidak dapat mensubstitusi peran sitokinin yang terkandung dalam air kelapa. Hal ini diduga karena keberadaan fitohormon lain dalam air kelapa seperti auksin dan giberelin. Komponen atau senyawa organik lain yang terkandung dalam air kelapa juga diduga menciptakan efek sinergis dengan sitokinin. Keun- tungan yang lain dalam penggunaan air kelapa adalah tahapan proliferasi sel terja- di tanpa peningkatan jumlah mutan yang tidak diinginkan (Jean et al. 2009).

Perubahan terjadi pada eksplan kalus yang beregenerasi menjadi plb. Peru- bahan warna terlihat mulai dari 2 MST. Kalus yang berwarna putih mulai menun- jukkan warna putih kehijauan. Kalus beregenerasi menjadi plb mulai pada 4 MST dan terus bermultiplikasi sampai dengan 8 MST. Proses perubahan eksplan kalus menjadi cluster plb tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7 Tahapan regenerasi kalus Dendrobium klon 22/25 menjadi plb. a) kalus berukuran 1 cm2; b) kalus yang beregenerasi menjadi plb pada 2 MST; c) plb pada 8 MST

Gambar 7 menunjukkan bahwa kalus yang digunakan sebagai eksplan mulai berubah warna pada 2 MST. Hal ini mengindikasikan regenerasi kalus menjadi plb telah terjadi. Pada 4 MST, kalus telah beregenerasi sepenuhnya menjadi plb. Percobaan yang dilakukan oleh Puchooa (2004) menghasilkan respon yang sama. Media MS cair mampu menghasilkan plb dalam waktu 8 minggu, sedangkan media dalam bentuk padat mampu menghasilkan plb dalam waktu 6 minggu. Media MS cair yang ditambahkan dengan 1 mg L-1 BA dan 1 mg L-1 NAA meng- hasilkan jumlah plb tertinggi, yaitu 54 plb.

Tao et al. (2011) pada percobaannya dengan menggunakan benih anggrek

Cymbidium faberi Rolfe sebagai eksplan mendapatkan inisiasi plb tertinggi

20

didapatkan dari media MS yang ditambahkan 2 mg L-1 BA dan 2 mg L-1 NAA. Media ½ MS yang ditambahkan 1 mg L-1 NAA kemudian digunakan sebagai media yang paling optimum untuk menghasilkan plb berwarna hijau.

Kalus telah beregenerasi menjadi plb pada 8 MST. Media asal inisiasi kalus memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap bobot akhir plb dan ukuran akhir plb pada 8 MST. Media asal inisiasi kalus memberikan pengaruh yang nyata ter- hadap jumlah total plb pada 8 MST. Nilai rataan bobot, ukuran dan jumlah total plb Dendrobium klon 22/25 pengaruh media asal inisiasi kalus pada 8 MST tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai rataan bobot, ukuran dan jumlah plb total pengaruh media asal inisiasi kalus pada 8 MST

Media asal inisiasi kalus

Bobot awal (g) Bobot akhir (g) Ukuran awal (cm2) Ukuran akhir (cm2) Jumlah plb totala MS dan 10 mg L-1 BAP (K1) 0.128 3.320 1 3.333 66 b ½ MS dan 4 mg L-1 Thidiazuron (K2) 0.211 2.348 1 2.800 56 b ½ MS dan 1 mg L-1 BA (K3) 0.325 5.903 1 4.083 81 a a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%

Kalus beregenerasi menjadi plb mulai pada 2 MST. Tabel 4 menunjukkan bahwa kalus yang berasal dari media K3 (½ MS ditambah 1 mg L-1 BAP) berege- nerasi menghasilkan jumlah plb tertinggi (81 plb) dan berbeda nyata terhadap kalus yang berasal dari media K1 dan K2. Kalus yang berasal dari media K1 (MS ditambah 10 mg L-1 BAP) beregenerasi menghasilkan 66 plb dan tidak berbeda nyata terhadap kalus yang berasal dari media K2 (½ MS ditambah 4 mg L-1 Tdz) yang beregenerasi menghasilkan 56 plb.

Penempatan kalus embriogenik pada media cair yang ditempatkan di shaker

membuat agregat-agregat sel pecah menjadi bentuk klumyang lebih kecil sampai menjadi sel tunggal atau klum-klum kecil. Klum-klum ini kemudian yang terdis- tribusi secara merata pada media cair dan terus berproliferasi sampai salah satu faktor menjadi pembatas. Pertumbuhan sel kemudian akan melambat, umumnya ditandai dengan kondisi eksplan yang kecokelatan (Rahman & Bari 2012). Pada anggrek Cymbidium faberi Rolfe didapatkan bahwa proliferasi plb efisien pada media cair Tao et al. 2011. Media cair dinyatakan mampu menyediakan kondisi aerasi yang baik bagi plb, dan kondisi yang optimum untuk penyerapan nutrisi hara dari media oleh tanaman. Penambahan air kelapa juga dilakukan pada perco- baan tersebut dalam rangka menstimulasi pembelahan sel karena kandungan sitokinin di dalamnya.

Posisi eksplan pada media merupakan salah satu faktor penentu keber- hasilan induksi embrio somatik pada tanaman Narcissus (Anbari et al. 2007). Jenis dan posisi eksplan pada permukaan media dinilai penting dalam induksi embrio somatik. Eksplan yang ditempatkan dalam posisi abaksial pada permu- kaan media menghasilkan embrio somatik yang lebih banyak dibandingkan dengan eksplan pada posisi adaksial.

21 Proliferasi Protocorm-like Bodies Dendrobium Klon 22/25

Ukuran eksplan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertam- bahan luas cluster plb pada 4, 6, 8, 10 dan 12 MST. Konsentrasi NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan luas cluster plb pada 4, 6, 8, 10 dan 12 MST. Kombinasi antara ukuran eksplan dengan konsentrasi NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan luas cluster plb pada 4, 6, 8, 10 dan 12 MST. Nilai rataan pertambahan luas cluster Dendrobium

klon 22/25 pengaruh ukuran eksplan pada 4, 6, 8, 10 dan 12 MST tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai rataan pertambahan luas cluster plb Dendrobium klon 22/25 pengaruh ukuran eksplan pada 4, 6, 8, 10 dan 12 MST

Ukuran (cm2)

Rataan pertambahan luas cluster (cm2)a

4 6 8 10 12

0.5 0.45a 1.06a 1.23a 1.59a 1.95a

1.0 0.46a 0.98a 1.09a 1.38ab 1.53ab

1.5 0.24b 0.60b 0.73b 1.02b 1.23b

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%

Tabel 5 menunjukkan bahwa eksplan (cluster plb) berukuran 0.5 cm2 secara konsisten menghasilkan pertambahan luas yang berbeda nyata dengan perlakuan ukuran eksplan plb 1.5 cm2, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan ukuran eksplanplb 1.0 cm2 pada 4 sampai dengan 12 MST. Pada 12 MST, cluster

plb berukuran 0.5 cm2 menghasilkan pertambahan luas yang tertinggi diban- dingkan perlakuan yang lain yaitu 1.95 cm2, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan plb berukuran 1.0 cm2. Cluster plb berukuran 1.0 cm2 menghasilkan pertambahan luas yang tidak berbeda nyata dengan cluster plb berukuran 0.5 cm2 dan cluster plb berukuran 1.5 cm2 pada 12 MST, yaitu 1.53 cm2. Cluster plb berukuran 1.5 cm2 secara konsisten menghasilkan rataan pertambahan luas cluster

Dokumen terkait