• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampel hati sapi terinfeksi cacing F. gigantica dikoleksi dari sapi yang dipotong di rumah potong hewan Palu dan Purwodadi. Cacing yang dikoleksi dari hati tersebut mampu menghasilkan ES dengan konsentrasi protein antara 0,430-0,699 mg/ml. Konsentrasi protein antigen ES F. gigantica yang diperoleh hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Satrija et al. (2009) yaitu 0,501 mg/ml. Antigen ES F.gigantica sapi yang dihasilkan dalam penelitian ini, digunakan sebagai antigen yang akan mendeteksi keberadaan antibodi poliklonal (IgG dan IgY). Antigen ES F. gigantica tersebut juga digunakan sebagai kontrol positif pada optimasi uji ELISA Sanwich.

Konsentrasi protein ES F. gigantica asal sapi yang dihasilkan memiliki konsentrasi cukup sebagai antigen. Persyaratan sebuah antigen yang baik agar

dapat menginduksi antibodi berkisar antara 50-1000 µg/ml. Berdasarkan

persyaratan konsentrasi tersebut maka antigen ES F. gigantica asal sapi yang dihasilkan termasuk dalam antigen yang baik digunakan untuk menginduksi antibodi. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Guyton et al. 2007). Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi berupa ukuran molekul yaitu besar, kaku, struktur kimia kompleks, sedangkan derajat keasingan adalah derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby 2007).

Antigen ES yang dihasilkan dari setiap isolasi cacing F. gigantica memiliki konsentrasi berbeda-beda, hal ini terjadi karena adanya perbedaan jumlah cacing yang diinkubasi. Jumlah antigen ES yang dieksresikan berbanding lurus dengan jumlah cacing yang diisolasi, diketahui protein esensial menempati jumlah terbanyak dalam ekskretori dan sekretori Fasciola sp (Ridi et al. 2007). Sehingga semakin banyak cacing yang disolasi, akan menghasilkan banyak protein ES. Rataan konsentrasi antigen ES tiap ekor cacing F. gigantica asal sapi disajikan pada Gambar 5. Rata-rata konsentrasi antigen ES yang dihasilkan perekor cacing sekitar

0,18 mg/ml. Hasil analisis statistik menunjukkan faktor jumlah cacing yang diisolasi berpengaruh terhadap rata-rata konsentrasi ES yang dihasilkan dengan p-value < alpha 0,05 (0,04), dan model yang digunakan sudah cukup baik karena dapat menjelaskan 98% (R-sq) keragaman model.

Gambar 5 Jumlah konsentrasi antigen ES yang dihasilkan F. gigantica per ekor Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE tampak bahwa protein ES F. gigantica asal sapi memiliki lima pola pita protein dengan berat molekul 104,99, 90,05, 56,43, 47, dan 30,27 kDa (Gambar 6 A). Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Meshgi et al. (2008). Mesghi et al menemukan enam pita protein dengan berat molekul yaitu berkisar 42, 33, 24, 20, 16, dan 15 kDa dari ES F. gigantica (Gambar 6 C). Profil protein ES yang dihasilkan dari spesies cacing yang sama, dan inangnya pun spesiesnya sama, tetapi berasal dari geografis berbeda dapat menghasilkan protein yang berbeda (Gupta et al. 2003). Perbedaan profil protein ES cacing dipengaruhi oleh berbagai hal seperti teknik isolasi, analisa dan spesies parasit, spesies inang serta geografi asal inang. Menurut Allam et al. (2002) perbedaan teknik pemisahan protein menghasilkan karakter protein yang berbeda dari cacing Fasciola spp. Perbedaan pola protein dapat pula disebabkan oleh perbedaan spesies cacing dari inang yang sama, dan dari spesies cacing yang sama inang berbeda serta karena adanya perbedaan geografis (Ashour et al. 1999; Karimi 2008; Meshgi et al. 2008).

Pada penelitian Mesghi ditemukan jumlah pita protein lebih banyak dari penelitian ini. Hal ini diduga karena adanya perbedaan penggunaan pewarnaan hasil elektroforesis, pada penelitian ini menggunakan Comassie brilliant blue sedangkan

0,12 0,17 0,26 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 7 20 52 E S m g / e k o r

25 pada penelitian Mesghi et al (2008) menggunakan pewarna perak nitrat (silver). Kemampuan deteksi dari pewarna yang digunakan, konsentrasi pewarnaan serta pH berpengaruh terhadap keragaman pola protein, baik jumlah, intensitas, warna, ketebalan, maupun berat molekul dari setiap fraksi yang terpisah (Retnani 2010). Sedikitnya fraksi yang terpisah dapat pula disebabkan oleh degradasi protein selama homogenisasi atau sewaktu ekstraksi (De Vera et al. 2009).

Gambar 6 Profil protein antigen ES F. gigantica asal sapi (A) pada penelitian ini, ES F.gigantica asal kerbau (B)(Satrija et al. 2009), ES F. gigantica asal sapi (C) pewarnaan Silver (Mesghi et al. 2008)

Pola pita protein dari spesies sama namun inangnya berbeda ditemukan pada penelitian Satrija et al. (2009). Protein ES F. gigantica asal kerbau menurut Satrija et al. memiliki sembilan pita protein dengan berat molekul berkisar antara 14-80 kDa (Gambar 6 B). Antigen ES F. gigantica asal kerbau memiliki dua pita protein yang sama dengan pita protein antigen ES F. gigantica asal sapi dari penelitian ini, yaitu pada berat molekul 56 kDa dan 47 kDa. Pola pita protein yang memiliki berat molekul sama dari tipe antigen sama, spesies cacing sama walaupun inang berbeda kemungkinan disebabkan oleh kondisi variasi geografis yang sama (Indonesia). Cekaman yang diperoleh diduga sama sehingga parasit dewasa menghasilkan ES yang memiliki suatu enzim sama untuk bertahan. Pada berbagai stadium hidupnya

Marker ESFgSAg ESFgKAg

Fasciola spp menghasilkan adanya jenis antigen ES yang berbeda-beda yang dikenal dengan gut-associated antigen, berasal dari usus parasit yang di lepas ke sirkulasi inang melalui regurgitasi regular isi pencernaan usus (Shehab et al. 1999). Keragaman pola pita protein, berat molekul serta jenis protein yang ditemukan dalam penelitian ini dari antigen ES F. gigantica akan menjanjikan nilai diagnostik pada hewan dan manusia.

Perbedaan pola pita protein juga tergantung dari tipe protein yang dipisahkan, antara lain antigen ES, antigen, somatik atau antigen permukaan. Antigen somatik F. gigantica asal kerbau, sapi dan domba memiliki karakter protein dengan berat molekul yang sama yaitu 34 dan 28 kDa (Yokananth et al. 2005), namun berbeda dengan berat molekul dari antigen ES F. gigantica asal sapi pada penelitian ini. Perbedaan fraksi protein dari sudut pandang taksonomik tergantung pada tipe protein yang dipisahkan (Boynukara et al. 2004). Soulsby (1982) menyatakan bahwa antigen F. gigantica asal sapi memiliki 20 pola pita polipeptida pada kisaran berat molekul 156-14 kDa.

Pada penelitian Arora et al. (2010) dilaporkan profil polypeptide antigen somatik Paramphistomum epiclitum (PSAg) asal kerbau dengan analisis elektroforesis didapatkan 14 pola pita protein. Profil protein antigen somatik yang diperoleh mempunyai berat molekul 95,5, 81,8, 70,8, 54,6, 51,6, 43,4, 39,8, 37,6, 35,5, 33,1, 23,7, 21,8, 16,8, dan 14,1 kDa. Berdasarkan berat molekul antigen ES

F. gigantica asal sapi, dengan berat molekul P. epiclitum asal kerbau ini, tidak memiliki persamaan, sehingga kecil kemungkinan akan tejadi reaksi silang. Antigen ES F. gigantica asal kerbau (Satrija et al. 2009) memiliki berat molekul sama dengan antigen P. epiclitum asal kerbau ini yaitu pada satu pita protein 14 kDa. Berat molekul pada antigen ES F. gigantica asal sapi (Mesghi et al. 2008) dengan berat molekul P. epiclitum asal kerbau (Arora et al. 2010) mempunyai persamaan pada dua pita protein yaitu pada berat molekul 33 dan 16 kDa. Persamaan berat molekul dari dua pita protein hasil penelitian Mesghi et al. dan Arora et al. kemungkinan didukung oleh variasi geografis yang sama (benua Afrika), walaupun berasal dari tipe protein berbeda, spesies berbeda, dan inang berbeda. Secara teoritis banyaknya perbedaan berat molekul yang didapatkan, akan kecil kemungkinan terjadi reaksi silang antara koproantigen dari berbagai jenis cacing yang berbeda genus (Satrija et al. 2009).

27

Produksi Poliklonal Antibodi

Antibodi poliklonal diperoleh setelah minggu ke empat immunisasi dengan antigen ES F. gigantica kerbau. Antibodi yang terbentuk dari serum darah kelinci (IgG anti ESFgK) dideteksi keberadaannya menggunakan uji AGPT. Keberadaa antibodi dalam serum ditandai dengan terbentuknya garis prepisitasi antara antigen ES F. gigantica sapi dengan serum darah kelinci seperti pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil AGPT Serum Kelinci IgG anti ESFgK

Immunoglobulin G anti ESFg kerbau yang direaksikan dengan antigen ESFg

sapi membentuk garis presipitasi yang dapat diamati secara visual. Garis presipitasi yang terbentuk merupakan bukti bahwa antibodi yang terdapat dalam serum darah kelinci adalah antibodi poliklonal. Antibodi poliklonal merupakan antibodi hasil hiperimunisasi atau imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen yang spesifik (Zola 1987; Smith 1995). Antibodi poliklonal merupakan kumpulan berbagai klon antibodi yang memiliki spesifisitas, afinitas, dan isotope yang berbeda. Reaksi antara antibodi poliklonal anti ESFg kerbau dengan sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda antigen ESFg sapi merupakan reaksi multiple yang dapat menyebabkan reaksi silang. Berdasarkan hasil elektroforesis antigen ESFg kerbau dan ESFg sapi yang memiliki dua pola pita protein dengan berat molekul sama sebesar 47 dan 56 kDa. Kesamaan pola pita protein memungkinkan kedua pola pita protein ini, memiliki epitop yang sama, sehingga antigen asal sapi dapat dikenali oleh antibodi anti ES F. gigantica kerbau. Garis presipitasi yang belum tampak pada pengujian serum kelinci pada minggu pertama hingga minggu ketiga, disebabkan oleh konsentrasi antibodi dalam serum darah kelinci belum dapat dideteksi melalui AGPT. Pembentukan antibodi dapat bervariasi dan tergantung pada imunogenitas, bentuk, stabilitas stimulant,

Serum kelinci (IgG anti ESFgK) Antigen ES F. gigantica asal Sapi Garis presipitasi

spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi (Herscowitz 1978). Konsentrasi antibodi terendah mampu dideteksi menggunakan uji AGPT adalah 30 µg/ml (Tizzard 2004), sedangkan menurut Kuby (2007) antibodi minimal dalam serum yang dapat dideteksi oleh uji AGPT sebesar 20 µg/ml.

Poliklonal antibodi asal kuning telur (immunoglobulin Y/IgY) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian Satrija et al. (2009). Hasil uji AGPT terhadap kuning telur menunjukkan adanya garis presipitasi antara ES F.gigantica

asal sapi dengan IgY anti ES F.gigantica kerbau (Gambar 8). Garis presipitasi yang terbentuk pada uji tersebut karena jumlah antibodi dalam serum telah mencapai proporsi optimal yaitu equivalence zone. Equivalence zone merupakan kondisi ketika antigen dan antibodi berada dalam proporsi yang optimal sehingga membentuk agregasi dan sedimentasi yang dapat diamati berupa garis presipitasi/homolog (Barriga 1981).

Gambar 8 Hasil AGPT Kuning Telur IgY

Antibodi poliklonal yang dihasilkan yaitu IgG dan IgY merupakan antibodi poliklonal yang akan digunakan sebagai antibodi pendeteksi dan antibodi penangkap dalam tahap optimasi ELISA Sandwich. Konsentrasi protein IgG yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1,091 mg/ml dan IgY 1,178 mg/ml. uji ELISA mampu mendeteksi antibodi dengan konsentrasi berkisar antara 2-10 µg/ml (Kemeny 1991). Pada penelitian ini antibodi diencerkan sehingga konsentrasi yang digunakan berkisar antara 0,5-4 µg/ml.

Optimasi ELISA

Antigen ES

F. gigantica asal sapi Kuning telur IgY

29 Optimasi ELISA Sandwich dilakukan dengan menggunakan dua kombinasi model ELISA. Kombinasi model ELISA pertama yaitu menggunakan IgG sebagai antibodi penangkap dan IgY sebagai antibodi pendeteksi, sedangkan model ELISA kedua menggunakan IgY sebagai antibodi penangkap dan IgG sebagai antibodi pendeteksi. IgG yang digunakan pada model kombinasi pertama sebagai antibodi penangkap memiliki konsentrasi 0,5, 1, 2, dan 4 µg/ml, dan IgY sebagai antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 2 µg/ml dan 1 µg/ml. Antigen yang digunakan dalam uji ini adalah ES F.gigantica asal sapi dengan konsentrasi 5 µg/ml. Konsentrasi antigen yang dapat terdeteksi dengan baik dalam uji ELISA 0,5-5 µg/ml (Kemeny 1991).

Hasil pengujian model ELISA pertama menunjukkan bahwa pada konsentrasi IgG 4 µg/ml dan IgY dengan konsentrasi 1 µg/ml dan 2 µg/ml, didapatkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 1,85 dan 3,31 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif (Gambar 9). Variasi konsentrasi IgG sebagai antibodi penangkap menghasilkan nilai absorbansi yang berbeda. Konsentrasi IgG 2 µg/ml menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 1,68 dan 1,94 kali lipat dari nilai absorbansi negatif. Konsentrasi IgG 1 µg/ml dan 0,5 µg/ml masing-masing menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 2,42 dan 2,16 kali lipat dari nilai absorbansi negatif dan 2,76 dan 2,50 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif.

Keterangan : Warna Biru = Nilai sampel positif; -Warna Merah= Nilai sampel negatif. Gambar 9 Hasil Konformasi Model ELISA IgG Capture 0,5069 0,3074 0,4519 0,3537 0,4623 0,3534 0,5014 0,3868 0,153 0,166 0,233 0,211 0,214 0,146 0,201 0,14 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 4:'2 4:'1 2:'2 2:'1 1:'2 1:'1 0.5 : '2 0.5 : '1 O D E L I S A Ig G Capture : Ig Y Deteksi

Pengujian model ELISA kedua, menggunakan IgY sebagai antibodi penangkap dengan konsentrasi 4, 2, 1 dan 0,5 µg/ml dan IgG sebagai antibodi pendeteksi konsentrasi 1 dan 2 µg/ml, menghasilkan kelipatan nilai absorbansi yang jauh lebih tinggi dari model ELISA pertama.

Hasil pengujian model ELISA kombinasi kedua menunjukkan pada konsentrasi IgY 4 µg/ml dan IgG dengan konsentrasi 1 µg/ml dan 2 µg/ml, didapatkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 4,39 dan 8,03 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif (Gambar 10). Variasi konsentrasi IgY sebagai antibodi penangkap menghasilkan kelipatan nilai absorbansi yang berbeda. Konsentrasi IgY 2 µg/ml menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 3,15 dan 6,33 kali lipat dari nilai absorbansi negatif. Konsentrasi IgY 1 µg/ml dan 0,5 µg/ml masing-masing menghasilkan kelipatan nilai absorbansi sampel positif sebesar 3,88 dan 4,06 kali lipat dari nilai absorbansi negatif dan 3,25 dan 3,68 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif.

Keterangan : Warna Biru = Nilai sampel positif; -Warna Merah= Nilai sampel negatif. Gambar 10 Hasil Konformasi Model ELISA IgY Capture

Berdasarkan kedua model pengujian tersebut dipilih model pengujian kedua sebagai metode uji sampel feses untuk mendapatkan sensitifitas dan sensitifitas uji yang dikembangkan. Model yang dipilih adalah kombinasi IgY sebagai antibodi penangkap dengan konsentrasi 4 µg/ml dan IgG sebagai antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 2 µg/ml, yang menghasilkan nilai absorbansi sampel positif sebesar 8,03 kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif. Hasil penelitian ini

0,3396 0,2938 0,331 0,2869 0,3687 0,3274 0,36244 0,2991 0,0423 0,067 0,0523 0,091 0,095 0,0807 0,09 0,0883 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 4:'2 4:'1 2:'2 2:'1 1:'2 1:'1 0.5 : '2 0.5 : '1 O D E L I S A Ig Y Capture : Ig G deteksi

31 mendapatkan kelipatan nilai absorbansi lebih tinggi dibandingkan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Estuningsih et al. (2009). Pengujian ES

F. gigantica menggunakan antibodi monoklonal sebagai antibodi penangkap

menghasilkan nilai absorbansi sampel positif sebesar tujuh kali lipat dari nilai absorbansi sampel negatif. Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi serta jenis antibodi yang digunakan.

Kemampuan IgY sebagai antibodi penangkap lebih baik dibandingkan dengan IgG karena IgY memiliki ukuran yang lebih besar, kerapatan molekul lebih rendah, dan dapat mengenali lebih banyak epitop dibandingkan dengan IgG. Selain kemampuan tersebut diatas, Immunoglobulin Y juga mampu mengikat antibodi sekunder hingga 3-5 kali lipat lebih kuat dari IgG (Schmidt et al. 1993). Perbedaan interaksi molekuler ini menjadi keuntungan besar dalam mengaplikasikan antibodi IgY dalam berbagai metode penelitian, diagnostik, kedokteran, dan bioteknologi serta dapat menjadi antibodi alternatif unggulan untuk immunoglobulin konvensional (Hodek et al. 2003; Michael et al. 2010).

Sensitifitas dan Spesifisitas

Hasil pemeriksaan post mortem pada 37 ekor sapi yang digunakan dalam uji spesifisitas dan sensitifitas menunjukan bahwa delapan ekor terinfeksi cacing

F. gigantica sedangkan sisanya (29 ekor) tidak terinfeksi cacing hati. Jumlah cacing yang ditemukan pada sapi yang terinfeksi berkisar antara 7-52 ekor cacing dewasa (Gambar 11).

Gambar 11 Hasil Pemeriksaan Post Mortem di RPH 8 14 13 10 0 5 10 15

Infeksi Fg Infeksi Nematoda Non infeksi

J l h S a m

Dokumen terkait