• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil seleksi sensitivitas antibiotik isolat BAL lokal menunjukkan bahwa 3 dari 11 isolat tidak resisten terhadap tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol (Tabel 2). Ketiga isolat tersebut yaitu E1211, E1222 dan D4. Ketiga isolat tersebut bersifat sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol namun bersifat intermediet terhadap antibiotik tetrasiklin dan eritromisin. Resistensi terhadap tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol juga telah ditemukan pada BAL yang digunakan sebagai starter fermentasi produk makanan (Ammor et al. 2007; Hummel et al. 2007; Toomey et al. 2010). Penggunaan isolat yang tidak resisten terhadap ketiga antibiotik tersebut sebagai starter fermentasi diharapkan dapat mengurangi penyebaran sifat resisten ketiga antibiotik tersebut terhadap bakteri lain.

10

Beberapa mikroorganisme secara alami resisten terhadap antibiotik tertentu. Resistensi terhadap antibiotik tersebut dapat terjadi karena beberapa alasan. Pertama, organisme tidak memiliki struktur yang dihambat oleh antibiotik, sehingga resisten terhadap antibiotik tersebut. Hal ini terjadi pada mikoplasma yang tidak memiliki dinding sel sehingga secara alami resisten terhadap antibiotik yang menghancurkan dinding sel. Kedua, organisme tidak dapat ditembus (impermeable) oleh antibiotik. Hal ini terjadi pada mayoritas bakteri Gram negatif terhadap antibiotik penisilin G dan pletensimisin. Ketiga, organisme dapat mengubah antibiotik ke bentuk inaktiv. Hal ini terjadi pada

staphylococci yang memiliki enzim β-laktamase untuk memotong cincin β -laktam pada mayoritas penisilin. Keempat, organisme mampu memodifikasi target dari antibiotik. Resistensi seperti ini biasanya terjadi karena adanya mutasi pada gen kromosomal. Kelima, organisme mampu membangun jalur biokimia resisten. Hal ini terjadi pada mayoritas patogen yang dihambat produksi asam folatnya oleh antibiotik. Bakteri resisten mampu memodifikasi metabolismenya untuk mengambil bahan baku asam folat dari lingkungan untuk menghindari terhalangnya jalur produksi asam folat oleh antibiotik. Keenam, organisme mampu memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel. Proses ini juga disebut efflux (Madigan et al. 2012).

Tabel 2 Sensitivitas antibiotik isolat BAL yang ditumbuhkan pada media MRSA pada suhu 37 oC selama 48 jam

Kode Isolat

Tetrasiklin Eritromisin Kloramfenikol Isolat Terpilih

Ø (mm) Inta Ø (mm) Inta Ø (mm) Inta

E1212 0 R 0 R 0 R - E1211 17 I 15 I 20 S √ E2211 15 I 12 R 20 S - E2113 0 R 0 R 0 R - E2112 0 R 0 R 0 R - E1222 15 I 15 I 20 S √ E2121 0 R 0 R 0 R - D3 0 R 0 R 0 R - D4 17 I 15 I 18 S √ D5 0 R 0 R 0 R - D7 0 R 0 R 0 R - a

Sumber: Johnson dan Case (2007); Int: interpretasi, S: sensitif, I: intermediet, R: resisten merujuk pada Tabel 1.

Resistensi antibiotik dikodekan secara genetik pada kromosom bakteri atau plasmid yang disebut plasmid R (resistance). Namun mayoritas bakteri resisten antibiotik yang diisolasi dari pasien memiliki gen resisten yang terdapat pada plasmid R dibandingkan pada kromosom. Resistensi antibiotik dicirikan dengan adanya gen pada plasmid R yang mengkode enzim yang dapat memodifikasi antibiotik, menginaktivkan antibiotik, mencegah masuknya

11 antibiotik ke dalam sel atau memompa antibiotik keluar sel. Gen resisten antibiotik umumnya terdapat pada tranposon yang terinsersi ke dalam plasmid maupun gen kromosomal (Mathur dan Singh 2005). Resistensi kloramfenikol terjadi melalui mekanisme inaktivasi antibiotik dan memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al. 2012). Gen resisten kloramfenikol dikenal sebagai gen cat yang mensintesis enzim asetilase (Mathur dan Singh 2005). Gen cat

telah ditemukan keberadaannya pada plasmid pRE25 Enterococcus faecalis

RE25 (Schwatz et al. 2001). Resistensi eritromisin terjadi dengan mengubah target antibiotik dan memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al.

2012). Gen erm merupakan gen resisten eritromisin (Mathur dan Singh 2005). Gen erm telah diketahui keberadaannya pada plasmid yang dibawa oleh

Lactobacillus fermentum (Fons et al. 1997). Resistensi tetrasiklin terjadi dengan memompa antibiotik keluar sel (efflux) (Madigan et al. 2012). Gen tet

merupakan gen resisten tetrasiklin yang berperan untuk melindungi ribosom (Mathur dan Singh 2005). Plasmid yang membawa gen tet(M) telah diketahui keberadaannya pada Lactobacillus yang diisolasi dari fermentasi sosis (Gevers et al. 2002).

Transmisi gen resisten antibiotik dapat terjadi secara konjugasi diantara sesama BAL. Perreten et al. (1997) menyatakan bahwa transposon TnFO1 pada E. faecalis yang membawa gen tet(M) ditransfer secara konjugasi pada bakteri Gram positif lain. Toomey et al. (2010) juga menemukan bahwa gen tet(M) dari

Lactobacillus plantarum berhasil ditransfer kepada Lactococcus lactis BU-2-60 dan E. faecalis JH2-2 secara konjugasi.

Tabel 3 Kemampuan produksi asam isolat BAL yang dikulturkan pada media MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam

Kode Isolat Total Asam (mg/mL) pH

E1212 24.96 ± 0.00 4.46 ± 0.04 E1211 21.12 ± 0.00 4.26 ± 0.02 E2211 22.08 ± 1.36 4.43 ± 0.05 E2113 21.12 ± 0.00 4.51 ± 0.03 E2112 22.08 ± 1.36 4.51 ± 0.08 E1222 25.92 ± 1.36 4.47 ± 0.00 E2121 23.04 ± 0.00 4.43 ± 0.00 D3 25.92 ± 1.36 4.40 ± 0.01 D4 29.76 ± 1.36 4.32 ± 0.03 D5 28.80 ± 0.00 4.33 ± 0.02 D7 1.92 ± 0.00 5.89 ± 0.00

Seleksi BAL lokal juga dilakukan dengan menyeleksi isolat yang memiliki produktivitas fermentasi yang tinggi. Produktivitas tersebut dapat diketahui dari kemampuan BAL memproduksi asam laktat selama proses fermentasi. Asam laktat merupakan produk utama hasil fermentasi oleh BAL. Dua dari tiga isolat hasil seleksi sensitivitas antibiotik yang memiliki total asam yang tinggi (isolat E1222 dan D4), kemudian diukur produksi asam laktatnya pada media MRSB

12

menggunakan HPLC. Hasil HPLC menunjukkan bahwa isolat E1222 memproduksi asam laktat lebih tinggi (16581.88 mg/L) dibandingkan dengan isolat D4 (14609.24 mg/L) (Gambar 2). Isolat E1222 kemudian dipilih untuk uji selanjutnya. Hasil identifikasi oleh Meryandini dan Wiryawan (2013) menunjukkan bahwa isolat E1222 ialah Pediococcus pentosaceus. Produksi asam laktat selama proses fermentasi dilakukan BAL dengan mengubah glukosa menghasilkan asam laktat sebagai produk utamanya. Fermentasi merupakan proses pembentukan energi melalui transfer elektron di sitoplasma (fosforilasi tingkat substrat) (White 2007).Fermentasi dapat terjadi pada kondisi tidak adanya akseptor elektron respiratif. Hal ini menyebabkan proses fermentasi harus memproduksi akseptor elektron (electron sinks) yang digunakan untuk menangkap elektron dari NADH selama proses oksidasi.

Gambar 2 Kromatogram hasil HPLC produksi asam laktat isolat (a) E1222 dan (b) D4 pada media MRSB pada suhu 37 oC selama 48 jam.

Karakteristik Isolat Terpilih

Hasil pengamatan mikroskopis dan pewarnaan Gram menunjukkan bahwa isolat E1222 bersifat Gram positif dan berbentuk kokus. Isolat E1222 mencapai laju pertumbuhan spesifik maksimal (µm = 0.027 h-1) pada jam ke-6 (Gambar 3). Pertumbuhan spesifik merupakan nilai kemiringan (slope) logaritma dari kurva pertumbuhan pada fase exponensial. Soro-Yao et al. (2014) menyatakan bahwa

(a)

13 parameter laju pertumbuhan spesifik maksimal (µm) BAL dan viabilitas sel setelah perlakuan stres dapat digunakan untuk memprediksi BAL potensial yang dapat digunakan sebagai kultur starter kering. Hal ini didukung dengan penelitiannya bahwa Lactobacillus fermentum yang memiliki laju pertumbuhan spesifik tertinggi (µm = 1.14 h-1) dibandingkan galur lain yang diujikan, memiliki tingkat ketahanan sel (%) tertinggi setelah pengeringan beku yaitu mencapai 31.03%.

Gambar 3 Kurva tumbuh isolat E1222 pada media MRSB, suhu 37 oC.

Kultur isolat E1222 yang berumur enam jam dipilih untuk proses pembuatan starter. Ada dua alasan pemilihan umur kultur enam jam pada penelitian ini. Pertama, jumlah maksimal sel isolat E1222 terjadi pada waktu inkubasi enam jam. Hal ini didukung dengan laju pertumbuhan spesifik maksimum yang dicapai pada waktu inkubasi enam jam. Kedua, fase sel yang diinkubasi selama enam jam merupakan akhir fase logaritmik menuju awal fase stationer (Gambar 3). Salah satu faktor intrinsik yang mempengaruhi viabilitas dan ketahanan sel bakteri selama proses enkapsulasi ialah fase sel mikroorganisme. Pertumbuhan bakteri terdiri atas tiga fase, yaitu fase adaptasi (lag), fase eksponensial (log) dan fase stasioner. Fase adaptasi merupakan fase bakteri beradaptasi terhadap lingkungan dan persiapan pertumbuhan. Isolat E1222 mengalami fase adaptasi dari jam ke-0 hingga jam ke-1 (Gambar 2). Fase eksponensial merupakan fase pertumbuhan aktif sehingga terjadi peningkatan massa sel secara eksponensial terhadap waktu. Fase eksponensial isolat E1222 terjadi dari jam ke-1 hingga jam ke-6 (Gambar 2). Fase stasioner merupakan fase sel berhenti bertumbuh dan diakhiri dengan kematian sel (White 2007). Fase stasioner isolat E1222 dimulai dari jam ke-6 (Gambar 2). Fase sel yang baik digunakan untuk enkapsulasi yaitu fase stasioner, dimana sel mampu membangun mekanisme resisten stres akibat kondisi rendah glukosa (fase stationer) dengan mensintesis protein yang diinduksi oleh keterbatasan glukosa (Van de Guchte et al. 2002). Giard et al. (2001) melaporkan hasil karakterisasi protein yang diinduksi oleh keterbatasan glukosa pada E. faecalis yaitu manganase superoksida dismutase yang berperan sebagai pertahanan terhadap stres oksidatif. Giard et al.

(2002) juga melaporkan adanya gen ytgH pada E. faecalis dan L. lactis yang regulasinya diinduksi oleh lingkungan rendah glukosa serta stres akibat suhu tinggi, etanol, osmosis dan CdCl2. Sel BAL yang dipanen pada fase stationer diharapkan telah membangun mekanisme resisten stres sehingga lebih mampu

9.5 10 10.5 11 11.5 0 2 4 6 8 10 J um la h sel (lo g CF U /m l) Waktu (jam)

14

bertahan terhadap stres akibat suhu selama proses enkapsulasi dan stres oksidatif selama proses penyimpanan.

Karakteristik BAL Terenkapsulasi

Enkapsulasi merupakan metode immobilisasi BAL yang bertujuan melindungi sel dari pengaruh buruk lingkungan. Starter kering hasil pengeringan beku memiliki warna putih dengan tekstur agak kasar dan rapuh, sedangkan Starter kering hasil pengeringan semprot berwarna kuning dengan tekstur halus. Gambar starter kering hasil pengeringan beku dan pengeringan semprot dapat dilihat pada Lampiran 3.Starter kering P. pentosaceus setelah proses pengeringan mengalami penurunan viabilitas sel. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi viabilitas sel setelah proses pengeringan. Pertama, faktor toleransi intrinsik kultur (galur) dimana setiap galur bakteri yang digunakan memiliki variasi secara genotip terutama terhadap jumlah protein stres yang diinduksi oleh suhu dan stres oksidatif. Kedua, faktor media dan kondisi pertumbuhan yaitu mayoritas BAL dapat tumbuh pada media MRS dan aktivitas fermentasinya tidak berubah. Kehadiran zat terlarut yang tepat pada media juga dapat meningkatkan viabilitas kultur starter. Ketiga, faktor respon stres dimana BAL dapat membangun mekanisme resisten stres yang diinduksi oleh kondisi lingkungan (suhu tinggi, keterbatasan glukosa, stres oksidatif). Keempat, kondisi pemanenan sel dimana waktu pemanenan sel untuk produksi kultur starter tergantung pada masing-masing organisme, namun pada umumnya BAL dipanen pada akhir fase log menuju awal fase stationer. Pemanenan pada waktu tersebut selain mendapatkan hasil yang maksimal juga dapat meningkatkan viabilitas sel setelah pengeringan. Kelima, faktor bahan enkapsulan (matriks) yang digunakan dan penambahan agen pelindung (protectant) pada kultur starter. Penambahan pelindung bertujuan untuk melindungi sel selama proses pengeringan dan penyimpanan. Keenam, faktor dehidrasi dimana viabilitas sel kultur starter kering dipengaruhi oleh suhu, waktu dan teknik pengeringan yang digunakan. Ketujuh, faktor enumerasi sel setelah pengeringan, dimana viabilitas sel kultur kering dipengaruhi oleh media yang digunakan karena sel yang telah terpapar stres selama proses pengeringan membutuhkan media yang tepat untuk pemulihan. Kedelapan, faktor kondisi selama penyimpanan dimana viabilitas sel selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu dan kadar air (Santivarangkna et al. 2007).

Viabilitas sel kultur kering setelah proses pengeringan beku lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan semprot (Tabel 4). Analisis statistik viabilitas sel dan kadar air kultur kering setelah enkapsulasi dapat dilihat pada Lampiran 3. Data tersebut menunjukkan bahwa P. pentosaceus lebih mampu bertahan terhadap kerusakan akibat suhu dingin dibandingkan suhu panas. Harmayani et al. (2001) juga melaporkan bahwa viabilitas sel kultur kering BAL hasil pengeringan beku lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitas sel kultur kering hasil pengeringan semprot.Kerusakan sel selama proses pengeringan semprot dapat disebabkan oleh stres terhadap suhu tinggi dan dehidrasi (Fu dan Chen 2011). Paparan suhu tinggi menyebabkan perubahan struktur makromolekul seperti protein dan asam nukleat, sedangkan stres dehidrasi menyebabkan perubahan fluiditas membran sitoplasma yang mengakibatkan oksidasi lipid (Corcoran et al. 2008; Santivarangkna et al.

15 perubahan kondisi fisik lipid pada membran sel dan perubahan struktur protein yang sensitif di dalam sel (Carvalho et al. 2004). Perubahan tersebut menyebabkan sel mengalami perubahan fisiologi meliputi penurunan fluiditas membran sel serta penurunan stabilitas struktur sekunder RNA dan DNA yang menyebabkan terjadinya reduksi efisiensi translasi, transkripsi dan replikasi DNA (Santivarangkna et al. 2008b).

Tabel 4 Viabilitas sel bakteri dan kadar air kultur kering setelah enkapsulasi

Matriks

Viabilitas sel (log CFU/g) Kadar air (%) Pengeringan beku Pengeringan semprot Pengeringan beku Pengeringan semprot TAa 10.34 ± 0.03b 8.91 ± 0.30c 22.16 ± 0.18a 10.86 ± 0.48c TA + 10% SSa 11.31 ± 0.11a 9.12 ± 0.11c 15.09 ± 0.06b 7.26 ± 0.62d a

TA: tapioka asam, TA + 10% SS: tapioka asam + 10% susu skim.

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan sel selama proses pengeringan ialah matriks. Matriks memberikan tingkat efek perlindungan yang berbeda pada sel-sel mikroorganisme uji yang terperangkap ketika mengalami proses pengeringan (Lian et al. 2002). Selama proses pengeringan air akan didehidrasi secara terus-menerus hingga kadar air menurun (Tabel 4). Kadar air merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas starter kering. Proses dehidrasi dapat mempengaruhi viabilitas sel karena 80% reaksi fisiologis di dalam sel melibatkan molekul air, bahkan molekul air berperan untuk stabilitas protein, DNA dan lemak yang menyusun sel (Santivarangkna et al. 2008b). Penurunan kadar air dapat menyebabkan kerusakan komponen sel seperti DNA atau RNA dan protein. Membran sel yang tersusun atas protein juga merupakan bagian yang rentan mengalami kerusakan selama proses pengeringan dan dapat menyebabkan kebocoran sel. Padatan matriks yang terbentuk selama proses pengeringan dapat mencegah terjadinya kerusakan sel tersebut (Keivani et al. 2014).

Penggunaan tapioka asam sebagai matriks pada penelitian ini mampu mempertahankan tingkat ketahanan sel (%) hingga 89%-76% dibandingkan dengan viabilitas sebelum pengeringan (Tabel 5). Analisis statistik ketahanan sel bakteri kultur kering setelah enkapsulasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Tapioka asam (sour cassava starch) merupakan pati termodifikasi hasil fermentasi tapioka alami (native cassava starch). Pati tapioka terdiri atas dua komponen polisakarida utama yaitu amilosa dan amilopektin. Selama proses fermentasi terjadi pemutusan struktur amilosa pada pati sehingga membentuk gula sederhana. Tingginya gula sederhana pada tapioka asam dapat berperan sebagai protektan BAL, sebagaimana dilaporkan Santivarangkna et al. (2008a) yang menyatakan bahwa gula dapat berperan sebagai protektan yang mampu mempertahankan viabilitas sel selama enkapsulasi dan pengeringan serta penyimpanan. Pengaruh gula terhadap viabilitas sel selama proses pengeringan dapat melalui beberapa mekanisme. Pertama, melindungi dari kebocoran membran yang terjadi akibat adanya perubahan fase membran. Kebocoran sel dapat terjadi selama dehidrasi karena

16

membran sel yang berada pada fase gel di suhu ruang akan mengalami perubahan menjadi fase kristalin. Kedua, menekan peluang terjadinya kerusakan akibat suhu dingin, kerusakan akibat suhu panas dan kerusakan membran selama proses pengeringan (Santivarangkna et al. 2008a).

Tabel 5 Tingkat ketahanan sel (%) bakteri kultur kering setelah enkapsulasi

Matriks Tingkat ketahanan sel bakteri (%)

Pengeringan beku Pengeringan semprot

TAa 89 ± 0.002b 76 ± 0.026c

TA + 10% SSa 97 ± 0.091a 78 ± 0.097c

a

TA: tapioka asam, TA + 10% SS: tapioka asam + 10% susu skim.

Tingkat ketahanan sel (%) setelah pengeringan menggunakan metode pengeringan beku lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan semprot (Tabel 5). Hasil yang sama dilaporkan oleh Leja et al. (2009) bahwa tingkat ketahanan sel Lactobacillus rhamnosus GG tertinggi dihasilkan setelah pengeringan beku dibandingkan dengan pengeringan semprot. BAL selama proses pengeringan beku akan terpapar suhu dingin hingga mencapai -50oC. BAL melakukan adaptasi dengan mensintesis cold-induced proteins (CIPs) yang berperan sebagai penyusun struktur kromosom, sinyal transduksi dan adaptasi stres. BAL juga dapat mensintesis cold-adaptive response protein (CSP) yang berperan penting untuk meningkatkan kemampuan toleransi sel terhadap pembekuan, yaitu dengan melindungi asam nukleat. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat ketahanan sel selama proses pengeringan beku yaitu fase pemanenan sel. Sel yang dipanen pada fase stasioner memiliki tingkat ketahanan sel (survival rate) 20 kali lebih tinggi meskipun tidak ada peningkatan level CSP (van de Guchte et al. 2002).

Jumlah sel hidup per unit massa dari kultur kering bakteri merupakan faktor penting dalam aplikasi komersil di bidang industri. Kultur kering bakteri harus memiliki jumlah sel minimal 107 CFU/g sebelum diaplikasikan (Kaliasapathy dan Chin 2000). Kultur kering hasil pengeringan semprot menggunakan matriks tapioka asam memiliki viabilitas lebih rendah dibandingkan kultur kering hasil pengeringan beku, namun viabilitas selnya masih memenuhi standar untuk diaplikasikan (108 CFU/g). Hal ini menunjukkan bahwa kultur kering hasil pengeringan semprot tetap dapat digunakan sebagai starter fermentasi, namun karena viabilitas selnya tidak terlalu tinggi dapat diaplikasikan secara langsung tanpa penyimpanan terlalu lama. Pengeringan semprot merupakan metode yang efisien untuk produksi starter kering bakteri di industri (Peighambardoust et al. 2011; Serna-Cock dan Vallejo-Castillo 2013). Proses pengeringan berlangsung cepat dan berkelanjutan sehingga pengeringan menggunakan spray dryer dapat dilakukan dalam jumlah besar (Peighambardoust

et al. 2011). Santivarangkna et al. (2007) juga menyatakan bahwa penggunaan

spray dryer dalam industri mampu mereduksi biaya produksi hingga mencapai 20% jika dibandingkan dengan penggunaan freeze dryer.

Penambahan 10% susu skim pada perlakuan kontrol positif pengeringan semprot mampu meningkatkan viabilitas dan ketahanan sel meskipun tidak

17 berpengaruh nyata. Pyar dan Peh (2014) menyatakan bahwa susu skim merupakan agen pelindung terbaik karena harganya ekonomis, mudah didapatkan dan mampu meningkatkan pertumbuhan sel bakteri secara signifikan. Lian et al. (2002) melaporkan bahwa retakan permukaan mikropartikel susu skim setelah spray-drying dapat memperantarai keluarnya panas dari dalam partikel setelah pengeringan. Hal ini menyebabkan cedera panas pada mikroorganisme yang terperangkap lebih sedikit sehingga viabilitas sel menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitas sel starter hasil pengeringan semprot tanpa penambahan susu skim.

Stabilitas Starter selama Penyimpanan

Starter kering hasil pengeringan beku menunjukkan viabilitas dan tingkat ketahanan sel lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan semprot sehingga diuji lebih lanjut stabilitasnya selama penyimpanan pada suhu 4 oC dan 28 oC.

Viabilitas sel starter kering hasil pengeringan beku selama penyimpanan empat minggu pada suhu 4 oC masih dapat dipertahankan hingga 89.38% (Gambar 4). Hal ini berbeda dengan starter kering hasil pengeringan beku yang disimpan pada suhu 28 oC, dimana terjadi penurunan viabilitas sel hingga 0% selama empat minggu penyimpanan. Wang et al. (2004) mendapatkan hasil yang sama dalam penelitiannya bahwa kultur kering Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus acidophillus menghasilkan viabilitas kultur lebih tinggi pada suhu penyimpanan 4oC.

Gambar 4 Stabilitas starterselama penyimpanan pada suhu 28 oC (-■-) dan 4 o C (-♦-) serta persentasenya pada suhu 28 oC (▬) dan 4 oC (-▲-).

Suhu penyimpanan starter kering merupakan faktor utama yang mempengaruhi penurunan viabilitas sel selama penyimpanan (Carvalho et al.

2004). Penyebab utama penurunan viabilitas sel selama penyimpanan ialah terjadinya oksidasi lipid (Santivarangkna et al. 2008b). Makromolekul yang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 J um la h sel (lo g CF U /g ) Minggu ke- Via bil it a s sel (%)

18

essensial seperti lipid dan protein mengalami oksidasi dan denaturasi selama proses penyimpanan. Oksidasi lipid semakin meningkat pada suhu yang lebih tinggi dan menyebabkan komposisi asam lemak jenuh pada membran sel meningkat. Hal ini menyebabkan fluiditas membran sel menurun sehingga terjadi kebocoran sel yang berakibat pada penurunan viabilitas sel selama penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 4 oC dapat menghambat terjadinya oksidasi lipid dan kerusakan sel sehingga viabilitas sel menjadi lebih tinggi.

Faktor lain yang mempengaruhi viabilitas sel selama penyimpanan ialah kadar air (Santivarangkna et al. 2008b). Kadar air yang tinggi dapat meningkatkan paparan oksigen pada sel yang menyebabkan terjadinya peningkatan oksidasi lipid. Starter kering yang terpapar udara juga dapat mengalami peningkatan kadar air Salah satu cara mempertahankan kadar air starter kering ialah dengan melakukan penyimpanan pada kondisi kedap udara (alumunium foil). Dengan demikian oksidasi lipid pada starter kering dapat dikurangi dan sel mikroorganisme dapat bertahan lebih lama selama proses penyimpanan.

Dokumen terkait