• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar air ditentukan untuk mengidentifikasi banyaknya air yang terkandung dalam sampel sebagai persen bahan kering. Selain itu, penentuan kadar air berfungsi mengetahui masa simpan serbuk kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal (Depkes RI 1995). Suatu sampel dikatakan baik dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama apabila memiliki kadar air <10%, karena pada tingkat kadar air tersebut sampel dapat terhindar dari pertumbuhan jamur yang cepat (Soetarno & Soediro 1997). Air yang terkandung dalam serbuk daun kepel dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 105 oC. Menurut Harjadi (1993), air yang terikat secara fisik dapat dihilangkan dengan pemanasan pada

suhu 100−105 oC. Pada penelitian ini, kadar air serbuk daun kepel diperoleh sebesar 12.79%(b/b) (Lampiran 2). Kadar air tersebut lebih dari 10%, sehingga tidak memenuhi standar mutu MMI (1995). Kadar air dalam suatu sampel dapat dipengaruhi oleh kelembapan udara, cara penyimpanan, dan lama pengeringan.

Penentuan kadar abu bertujuan memberikan gambaran kandungan mineral- mineral logam dalam daun kepel. Dalam hal ini, serbuk daun kepel dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap dan tertinggal unsur mineralnya saja. Kadar abu serbuk daun kepel diperoleh sebesar 11.44%(b/b) (Lampiran 3). Dilihat dari standar mutu, hasil tersebut memenuhi standar mutu MMI (1995), yaitu di bawah 12.00%.

Analisis Hasil Ekstraksi

Cara ekstraksi yang digunakan mengacu pada metode Sukadana (2009). Metode ini dilakukan dengan metanol sebagai pelarut, mengacu pada sifat polar metanol dalam mengekstraksi senyawa flavonoid. Umumnya, flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, n-butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetil formamida, dan air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air (Markham 1998). Proses maserasi sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel. Hal tersebut terjadi akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut. Ekstraksi senyawa akan sempurna, karena lama perendaman yang dilakukan dapat diatur. Pada penelitian ini, perendaman dilakukan selama 3 kali 24 jam. Bobot serbuk daun yang dimaserasi sebanyak 100.0368 g. Maserat dan residu dipisahkan dengan penyaringan kemudian maserat dipekatkan dengan penguap putar. Rendemen ekstrak daun diperoleh sebesar 15.15%(b/b) (Lampiran 4).

Ekstrak metanol daun kemudian dilarutkan dalam metanol:air (7:3) dan diekstraksi cair- cair menggunakan n-heksana dan kloroform. Prinsip dasar ekstraksi cair-cair ialah proses kontak antara pelarut yang satu dan yang lainnya yang tidak saling bercampur dan memiliki densitas yang berbeda sehingga akan terbentuk 2 fase beberapa saat setelah penambahan dan pengocokan pelarut dalam corong pisah. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan massa dari pelarut asal ke pelarut pengekstraksi (Mirwan & Ariono 2009). Komponen polar akan terdistribusi pada metanol:air, komponen semipolar akan terdistribusi pada kloroform, dan komponen nonpolar akan terdistribusi pada n-heksana. Komponen yang terdistribusi pada n-heksana dan kloroform diantaranya lemak, terpena, klorofil, dan xantofil (Markham 1988).

Bobot ekstrak metanol daun yang digunakan untuk ekstraksi cair-cair adalah 3.0079 g. Ekstrak hasil partisi kemudian dipekatkan dengan penguap putar. Rendemen ekstrak n-heksana, kloroform, dan metanol:air yang diperoleh dari ekstrak daun berturut- turut sebesar 31.98, 11.81, dan 27.82%(b/b) (Lampiran 5). Rendemen ekstrak n-heksana lebih tinggi dibandingkan dengan yang

lainnya menunjukkan dalam daun kepel banyak terdapat komponen nonpolar.

Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan uji kualitatif yang digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam sampel. Dalam penelitian ini, uji fitokimia dilakukan terhadap ekstrak n-heksana, kloroform, dan metanol:air (7:3). Uji fitokimia hanya dilakukan untuk golongan flavonoid. Ekstrak daun yang memiliki kandungan flavonoid terbanyak akan dilanjutkan untuk fraksionasi. Dari hasil uji fitokimia, ekstrak metanol:air memiliki kandungan flavonoid terbanyak (Tabel 1). Hal ini ditunjukkan dengan adanya intensitas warna jingga yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak kloroform. Ekstrak n-heksana tidak menunjukkan warna kuning, merah atau jingga pada lapisan amil alkohol, artinya ekstrak tersebut tidak mengandung flavonoid.

Tabel 1 Hasil uji flavonoid

Penentuan Eluen Terbaik dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Ekstrak metanol:air daun kepel dianalisis dengan KLT menggunakan fase diam gel silika G60F254 dari Merck untuk menentukan komposisi eluen terbaik yang akan digunakan untuk fraksionasi menggunakan kromatografi kolom. Pelarut yang digunakan sebagai eluen adalah n-heksana, kloroform, etil asetat, aseton, n-butanol, metanol, dan asam asetat. Profil kromatogram ekstrak metanol:air daun kepel setelah dielusi dengan berbagai eluen tunggal diamati di bawah lampu UV pada 254 dan 366 nm. Beberapa eluen menghasilkan noda yang kurang terpisah sehingga dilakukan penggabungan eluen dengan berbagai komposisi (Lampiran 6).

Dari hasil penggabungan tersebut diperoleh bahwa eluen yang terbaik untuk pemisahan adalah n-butanol:metanol:asam asetat (1:8:1), karena menghasilkan noda terbanyak dan pemisahannya cukup baik dibandingkan dengan eluen lainnya. Menurut Skoog et al. (2004), eluen terbaik adalah yang

Ekstrak Hasil Uji

n-heksana

Kloroform +

menghasilkan jumlah noda terbanyak dan terpisah. Hasil analisis KLT ini kemudian dijadikan eluen pada proses fraksionasi dan analisis fraksi hasil pemisahan ekstrak metanol:air (7:3) daun kepel menggunakan kromatografi kolom.

Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom Prinsip fraksionasi dengan kromatografi kolom didasarkan pada interaksi komponen- komponen yang dipisahkan terhadap fase diam dan fase gerak secara adsorpsi (Harvey 2000). Ekstrak metanol:air (7:3) dipisahkan komponennya menggunakan kromatografi kolom. Pemisahan dilakukan dengan elusi isokratik menggunakan eluen terbaik yang didapat dari tahap analisis KLT, yaitu n- butanol:metanol:asam asetat (1:8:1). Elusi menggunakan eluen terbaik ini diharapkan dapat memisahkan komponen-komponen ekstrak dengan baik.

Fraksi-fraksi yang terpisah dan keluar dari kolom ditampung setiap 5 mL pada tabung reaksi. Hasil fraksionasi ditampung ke dalam 34 tabung reaksi dan diperoleh 7 fraksi dengan pola seperti pada Gambar 3. Masing- masing fraksi menunjukkan komponen yang berbeda yang ditunjukkan oleh perbedaan nilai Rf yang berbeda pula (Tabel 2).

Rendemen dari masing-masing fraksi yang diperoleh secara lengkap ada pada Lampiran 7.

Tabel 2 Hasil fraksionasi ekstrak metanol:air (7:3)

Aktivitas Antibakteri pada Hasil Fraksionasi

Semua fraksi dari hasil pemisahan dengan kromatografi kolom diuji aktivitas antibakterinya menggunakan metode microplate. Berdasarkan hasil pengujian, Fraksi V merupakan fraksi teraktif dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) sebesar 0.06 mg/mL dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) sebesar 0.50 mg/mL (Tabel 3). Adanya penghambatan ditandai dengan beningnya media secara visual pada konsentrasi tertentu dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif, begitu pula dengan penentuan KBM (Lampiran 8). KHM dan KBM fraksi V sama dengan tetrasiklin artinya aktivitas Fraksi V sama dengan aktivitas tetrasiklin. Apabila dibandingkan dengan TCC, Fraksi V memiliki aktivitas lebih tinggi dari TCC. Tetrasiklin dan TCC merupakan kelompok antiinfeksi berspektrum luas yang biasa digunakan secara komersial dalam sabun, sampo, deodoran, dan produk rumah tangga lainnya (Richardson 2010).

Tabel 3 Hasil uji aktivitas antibakteri

*) kontrol positif **) kontrol negatif

No Fraksi Jumlah Noda Nilai Rf I 2 0.78; 0.91 II 2 0.86; 0.94 III 4 0.66; 0.75; 0.84; 0.91 IV 4 0.54; 0.69; 0.76; 0.88 V 3 0.35; 0.59; 0.74 VI 1 0.35

VII 1 0.08 Bahan uji

KHM (mg/mL) KBM (mg/mL) Fraksi I 2.00 >2.00 Fraksi II 0.12 2.00 Fraksi III 0.25 1.00 Fraksi IV 0.25 2.00 Fraksi V 0.06 0.50 Fraksi VI Fraksi VII Tetrasiklin* TCC* DMSO** >2.00 >2.00 0.06 0.12 - >2.00 >2.00 0.50 1.00 - Gambar 3 Hasil fraksionasi ekstrak metanol:air

(7:3) dengan kromatografi kolom (berturut-turut dari kiri ke kanan fraksi I–VII)

Fraksi V sebagai fraksi teraktif merupakan campuran (3 noda), sehingga dipisahkan lebih lanjut dengan menggunakan KLTP. Pemisahan dengan KLTP menggunakan eluen n-butanol:asam asetat:air (4:1:5) sebagai eluen terbaik untuk memisahkan golongan flavonoid (Markham 1988). Berdasarkan pemisahan yang dilakukan diperoleh 3 fraksi (Lampiran 9). Semua fraksi hasil KLTP diuji aktivitas antibakterinya. Berdasarkan hasil pengujian, fraksi V3 merupakan fraksi yang paling aktif dibandingkan dengan fraksi lainnya dengan KHM sebesar 1.00 mg/mL dan KBM 2.00 mg/mL (Tabel 4). KHM dan KBM fraksi V3 lebih tinggi dari tetrasiklin dan TCC, artinya Fraksi V3 memiliki aktivitas lebih rendah daripada tetrasiklin dan TCC. Aktivitas Fraksi V lebih tinggi daripada fraksi V3 (hasil KLTP), hal ini diduga masih ada beberapa senyawa yang bercampur dalam Fraksi V yang berpotensi sebagai antibakteri. Penurunan aktivitas juga dapat disebabkan oleh hasil pemisahan yang kurang terpisah saat menggunakan eluen n-butanol:asam aetat:air (4:1:5).

KHM ekstrak daun kepel terhadap S. epidermidis berbeda dengan hasil penelitian Hamdiyati et al. (2008) yang memperoleh KHM sebesar 20 mg/mL dengan sampel daun patikan kebo, artinya konsentrasi zat aktif yang diperoleh dari daun patikan kebo terhadap S. epidermidis lebih tinggi daripada daun kepel. Nilai KHM dan KBM berbanding terbalik dengan aktivitas. Semakin tinggi nilai KHM dan KBM yang diperoleh dari suatu sampel maka semakin kecil aktivitas dari sampel tersebut.

Tabel 4 Hasil uji aktivitas antibakteri hasil KLTP

*) kontrol positif **) kontrol negatif

Analisis Spektrofotometer UV-tampak Fraksi V3 (Fraksi teraktif) yang diperoleh dari hasil KLTP dianalisis dengan menggunakan spektrofometer UV-tampak. Pemayaran dilakukan dengan perubahan panjang gelombang 2 nm. Hasil analisis UV- tampak Fraksi V3 memiliki panjang

gelombang maksimum 327 nm. Hasil tersebut

menunjukkan terjadinya transisi π→π* dan n→π* yang dihasilkan dari kromofor C=C

terkonjugasi dan C=O. Senyawa yang

mempunyai transisi π→π* dan n→π* akan

mengabsorpsi cahaya di daerah UV pada panjang gelombang 200-400 nm (Creswell et al. 2005). Menurut Markham (1988), kisaran panjang gelombang maksimum 310−350 nm merupakan flavonoid golongan flavon. Spektrum UV-tampak fraksi V3 dapat dilihat pada Lampiran 11.

Analisis Spektrofotometer FTIR Berdasarkan spektrum FTIR fraksi V3 kemungkinan mengandung beberapa gugus fungsi seperti –OH (3406.00 cm-1) yang didukung juga oleh munculnya serapan pada daerah bilangan gelombang 1109.55 cm-1 untuk ikatan C-O. Regang C-H alifatik muncul pada 2924.11 cm-1 dan diperkuat dengan munculnya serapan lentur pada daerah bilangan gelombang 1398.31cm-1. Gugus dari ikatan C=C aromatik ditunjukkan dengan munculnya serapan pada daerah bilangan gelombang 1628.59 cm-1 dan terdapat regang C=O pada daerah 1735.83 cm-1. Berdasarkan dugaan gugus fungsi yang diperoleh maka diduga bahwa dalam Fraksi V3 mengandung senyawa flavon. Spektrum FTIR Fraksi V3 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 11.

Tabel 5 Absorpsi FTIR gugus-gugus fungsi Fraksi V3

*) Sumber: Creswell et al 2005 and Field et al 2002

Gambar 4 Struktur dasar senyawa dugaan (flavon) Bahan uji KHM (mg/mL) KBM (mg/mL) Fraksi V1 2.00 >2.00 Fraksi V2 2.00 >2.00 Fraksi V3 Tetrasiklin* TCC* DMSO** 1.00 0.50 0.50 - 2.00 0.50 1.00 - Bilangan Gelombang (cm-1)

Literatur* Gugus dugaan

3406.00 3200-3450 Regang O-H 2924.11 2850-3000 Regang C-H alifatik 1628.59 1500-1675 Regang C=C aromatik 1735.83 1650-1900 Regang C=O 1398.31 1300-1475 Lentur C-H alifatik 1109.55 1000-1300 Regang C-O

Dokumen terkait