• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses ensilase atau fermentasi akan menyebabkan perubahan nutrisi. Kondisi bahan setelah ensilase baik secara fisik maupun nutrisi, terlihat pada Tabel 4. Pada Tabel 3, memperlihatkan proporsi tanaman singkong pada berbagai umur panen. Semakin tua umur tanaman proporsi daun semakin menurun dan proporsi umbi semakin meningkat. Sedangkan persentase kandungan protein kasar, asam sianida, dan WSC tanaman singkong utuh mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Surono et al. (2006) yang menyatakan bahwa semakin tua tanaman, WSC semakin menurun.

Tabel 3. Kondisi Awal Bahan

Perlakuan Proporsi Botani (%) BK (%) PK (%) WSC (%) HCN (ppm) Batang Daun Umbi

SRK - - - 45,29 20,83 13,88 12,95

SSU 7 35,82 19,94 44,24 28,14 7,87 18,82 3792,34 SSU 8 35,66 12,99 51,35 34,50 6,98 16,37 2102,61 SSU 9 34,96 12,09 52,95 35,18 5,71 11,56 911,95 Keterangan: SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase

singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan.

Berdasarkan persentase BK awal bahan, tanaman singkong sejak umur 7 bulan sudah cocok untuk digunakan pada pembuatan silase. Dimana untuk pembuatan silase yang baik membutuhan kadar BK 28%-35% (Bolsen, 2000), sedangkan menurut Parakkasi (1999) adalah 30%-40%. Berdasarkan persentase bahan kering pada masing-masing perlakuan silase singkong utuh, SSU9 merupakan silase yang memiliki kandungan bahan kering sebesar 35,18%, sedangkan SSU8 memiliki persentase bahan kering 34,50%, SSU7 sebesar 28,14% dan SRK memiliki kandungan bahan kering tertinggi yaitu 45,29%. Tingginya persentase bahan kering pada SSU8 dan SSU9 diperkirakan adanya kandungan umbi yang lebih tinggi dan persentase daun yang lebih rendah dari perlakuan lain yaitu SSU7. Menurut Sandi et al. (2010), kandungan bahan kering pada masing-masing bagian singkong pada kombinasi tunggal tertinggi terdapat pada umbi sebesar 43,28% dan yang terendah

19 adalah daun sebesar 30,14%. Sehingga pada perlakuan SSU8 dan SSU9 merupakan perlakuan yang memiliki persentase bahan kering tertinggi.

Persentase produksi biomassa dari masing-masing bagian tanaman singkong dengan beda umur panen menunjukkan bahwa semakin tua tanaman produksi umbi semakin meningkat sedangkan daun dan batang menurun.

Berdasarkan kandungan protein kasar (Tabel 3), kandungan PK awal bahan pada masing-masing perlakuan singkong dengan umur panen berbeda ≤7,87% dan masih jauh dibawah potein kasar ransum komplit. Namun singkong dengan umur termuda memiliki nilai protein yang tinggi dari perlakuan singkong lainnya. Kandungan protein tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan ternak sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kualitas protein bahan.

Kandungan WSC awal bahan memperlihatkan kandungan substrat yang cukup untuk fermentasi. Untuk menghasilkan silase yang baik dibutuhkan WSC bahan >10% BK (Parakkasi, 1999). Pada Tabel 1, menunjukkan kadar HCN awal bahan yang cukup tinggi, melebihi ambang batas aman yaitu 500 ppm seperti yang disampaikan oleh Sandi et al. (2010). Sehingga tidak dapat diberikan langsung ke ternak, perlu pengolahan terlebih dahulu salah satunya dengan teknologi silase yang diharapkan dapat mengurangi kandungan sianida hingga batas aman untuk dikonsumsi ternak (Sandi et al., 2010).

Karakteristik Fisik Silase

Karakteristik fisik silase didasarkan atas pengamatan perubahan warna, bau atau aroma, keberadaan jamur, tekstur, dan kelembaban silase. Pada Tabel 4, menunjukkan karakteristik fisik silase. Berdasarkan karakteristik warna, silase mengalami perubahan warna yang berbeda-beda, mulai dari sedikit perubahan warna hingga banyak mengalami perubahan warna. Perlakuan SRK menunjukkan adanya perubahan warna hijau setelah difermentasi selama lima minggu. Perlakuan SSU7 menjadi hijau tua, SSU8 mengalami perubahan warna silase menjadi hijau gelap melebihi warna hijau pada SSU7 dan SSU9 mendekati warna SSU7, terlihat pada Gambar 1.

Perubahan warna pada silase perlakuan dapat disebabkan oleh adanya pengaruh suhu selama proses ensilase, seperti yang dinyatakan oleh Gonzalez et al. (2007) bahwa suhu yang tinggi selama proses ensilase dapat menyebabkan adanya

20

SRK SSU7

SSU 8 SSU 9

Gambar 1. Silase Singkong dengan Umur Panen Berbeda

perubahan warna silase, sebagai akibat dari terjadinya reaksi Maillard yang menghasilkan warna kecoklatan. Reaksi Maillard adalah reaksi kimia yang terjadi antara asam amino dan gula tereduksi, biasanya pada suhu yang tinggi, dan reaksi non enzimatik ini menghasilkan pewarnaan coklat (browning). Perubahan warna dapat pula dipengaruhi oleh jenis bahan baku silase. Silase yang baik akan berwarna normal, artinya tidak terjadi banyak perubahan dari warna sebelum ensilase (Saun dan Heinrich, 2008). Silase yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan warna bahan bakunya, memiliki pH rendah dan beraroma asam (Abdelhadi et al., 2005), bertekstur lembut, tidak berjamur, dan tidak berlendir (Ridla et al., 2007). Tabel 4. Karakteristik Fisik Silase Singkong Utuh dan Silase Ransum Komplit

Perlakuan Warna Bau Jamur Tekstur Kelembaban

SRK Hijau Asam, yogurt 1,16% Cukup halus Sedang SSU7 Hijau tua Asam, yogurt tidak ada Cukup halus Sedang SSU8 Hijau gelap Asam, yogurt tidak ada Cukup halus Basah SSU9 Hijau tua Asam, yogurt tidak ada Cukup halus Sedang Keterangan: SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase

21 Berdasarkan karakteristik bau, setiap perlakuan menunjukkan bau khas silase seperti susu fermentasi atau tape. Hal ini menunjukkan sifat fisik silase yang baik. Hasil ini didukung oleh Saun dan Heinrichs (2008), yang menyatakan bahwa silase yang baik akan mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Jika produksi asam asetat tinggi maka akan berbau cuka. Kandungan etanol tinggi yang berasal dari fermentasi jamur akan menimbulkan bau alkohol, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan bau wangi yang tajam. Sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau seperti mentega tengik, dan silase yang mengalami kerusakan panas akan berbau karamel dan tembakau.

Berdasarkan tekstur, secara umum semua perlakuan menunjukkan silase dengan kualitas yang baik mulai dari sedikit lembut atau halus hingga sedikit kasar, hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan Macaulay (2004), bahwa silase dengan kualitas baik akan memperlihatkan tekstur yang kompak, materi yang lembut, dan komponen seratnya tidak mudah dipisahkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak, dan berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) akan mempunyai tekstur yang kering, mudah disobek, dan ditumbuhi jamur.

Tingkat kerusakan pada permukaan silase merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses silase. Idealnya silase yang baik akan mempunyai permukaan yang lembut dan tidak berjamur. Teksur yang dihasilkan silase perlakuan tergolong “sedang” tidak kasar namun tidak begitu lembut. Sedangkan berdasarkan kelembaban SSU8 memiliki kelembaban yang cukup tinggi (lembab) berbeda dengan silase lainnya yang memiliki kelembaban sedang atau cukup lembab.

Keberadaan jamur pada silase ditentukan persentasenya berdasarkan bobot sampel yang terdapat jamur dan dibandingkan dengan bobot keseluruhan. Keberadaan jamur hanya terdapat pada silase ransum komplit. Keberadaan jamur pada permukaan silo silase ransum komplit ini sebesar 1,16%. Persentase jamur yang didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Lendrawati (2008), dimana pada penelitian tersebut terdapat jamur pada permukaan silo silase ransum komplit berbasis jagung sebesar 7,64%. Keberadaan jamur pada silase

22 ransum komplit perlakuan diperkirakan karena adanya sejumlah oksigen yang masuk selama proses fermentasi. Sandi et al. (2010) menyatakan tumbuhnya jamur dalam proses fermentasi disebabkan BK awal bahan yang tinggi (>40%), mengakibatkan pemadatan kurang sempurna sehingga terdapat oksigen dalam silo. Sehingga peluang untuk pertumbuhan jamur lebih tinggi.

Karakteristik Fermentatif Silase

Hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase diperlihatkan pada Tabel 3. Ada beberapa parameter yang diamati antara lain: pH, kandungan bahan kering, perombakan BK, VFA (Volatile Fatty Acid), kandungan protein kasar, perombakan protein, NH3, WSC, WSC yang terpakai, HCN, dan Nilai Fleigh.

Nilai pH dan WSC Silase

Berdasarkan hasil fermentasi lima minggu didapatkan hasil pH silase 4,53 untuk silase ransum komplit, pH SSU7 sebesar 4,21, SSU8 sebesar 4,29, dan SSU9 memiliki pH 4,54, terlihat pada Gambar 2.

pH silase yang dihasilkan dapat dikategorikan baik dan baik sekali. Wilkins (1988) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu baik sekali (pH 3,2-4,2), baik (pH 4,2-4,5), sedang (pH 4,5-4,8), dan buruk (pH >4,8). Sehingga secara karakteristik fisik pH silase dapat dikatakan baik sekali untuk silase singkong utuh berumur panen 7 dan 8 bulan namun silase ransum komplit dan silase singkong utuh umur panen 9 bulan dikatakan baik.

Berdasarkan sidik ragam, umur tanaman mempengaruhi nilai pH silase. Kualitas silase singkong utuh dengan umur panen 7 dan 8 bulan memiliki kualitas

4,53b 4,21a 4,29a 4,54b 3.80 4.00 4.20 4.40 4.60 4.80

SRK SSU7 SSU8 SSU9

pH

Perlakuan

23 yang lebih baik dari silase ransum komplit, sedangkan silase singkong utuh umur 9 bulan memiliki kualitas yang sama dengan silase ransum komplit berdasarkan nilai pH. Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH silase berhubungan dengan produksi asam pada proses ensilase, pH yang rendah mencerminkan produksi asam laktat yang tinggi. Nilai pH SSU9 dan SRK yang lebih tinggi dari SSU7 dan SSU8 kemungkinan disebabkan berbedanya kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) awal bahan. WSC awal bahan SSU9 dan SRK yang lebih rendah dari SSU7 dan SSU8 menunjukkan bahwa ketersediaan gula untuk aktivitas mikroba lebih sedikit sehingga produksi asam yang dihasilkan sedikit, hal ini yang menyebabkan penurunan pH SSU9 dan SRK lambat.

Water Soluble Carbohydrate (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Jika kandungan WSC yang rendah pada bahan, maka ensilase tidak akan berjalan baik karena produksi asam laktat atau asam organik akan terganggu (Jones et al., 2004). Terbentuknya asam laktat pada proses silase ini mempercepat penurunan pH. WSC tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur, dan waktu panen tanaman (Downing et al., 2008).

Kadar WSC yang dihasilkan silase singkong utuh pada masing-masing perlakuan terlihat pada Gambar 3, yaitu SRK sebesar 13,27%, SSU7 sebesar 6,30%, SSU8 sebesar 12,29%, dan SSU9 sebesar 5,44%. Berdasarkan uji sidik ragam, terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa beda umur tanaman dalam pembuatan silase mempengaruhi kandungan total gula terlarut silase. Adanya perbedaan kandungan WSC antar perlakuan menunjukkan adanya perbedaan kandungan WSC awal bahan dan aktivitas mikroba dalam penggunaan WSC. Pada SRK kandungan WSC silase tersisa paling banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas mikroba dalam memfermentasi gula bahan rendah. Begitu juga dengan perlakuan SSU8. Lain halnya dengan SSU7 dan SSU9 memiliki WSC silase yang rendah. Jika dibandingkan dengan kondisi WSC awal bahan, maka dapat dihitung persentase unit WSC yang dirombak pada saat ensilase.

Adanya perubahan kadar WSC setelah ensilase menunjukkan adanya penggunaan gula sebagai sumber energi oleh bakteri selama proses ensilase dalam aktivitasnya. Penurunan kadar WSC yang didapatkan dari selisih antara WSC awal

24 bahan dengan WSC silase bernilai persentase 0,61% pada SRK, SSU7 12,52%, SSU8 4,08%, dan SSU9 6,12%. Penurunan tertinggi terdapat pada SSU7 dan terendah pada SRK. Hal ini disebabkan tingginya aktivitas bakteri pada SSU7 dan rendahnya aktivitas bakteri pada SRK. Terlihat pada nilai pH silase yaitu pH SRK sebesar 4,53 dan SSU7 memiliki pH terendah sebesar 4,21.

Gambar 3. Kadar WSC Silase dan Penggunaan WSC Silase. Tidak adanya error bar pada kandungan WSC terpakai dikarenakan hanya memiliki satu ulangan.

BK, Perombakan BK Silase dan VFA

Berdasarkan Tabel 5, umur tanaman yang berbeda berpengaruh nyata pada besarnya nilai bahan kering (BK) yang dihasilkan (P<0,05). Nilai BK yang diperoleh pada perlakuan SRK sebesar 43,30%, SSU7 sebesar 26,31%, SSU8 sebesar 32,56%, dan SSU9 sebesar 32,70%. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kadar bahan kering antar perlakuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kandungan BK awal bahan.

Berdasarkan sidik ragam perombakan BK tidak dipengaruhi oleh perlakuan, rata-rata perombakan BK cukup rendah <11%. Persentase perombakan tersebut masih dalam batas wajar, menurut Sumarsih dan Waluyo (2002) kehilangan BK yang baik selama ensilase yaitu sebesar <16,1%.

Volatile fatty acid (VFA) atau asam-asam lemak terbang merupakan hasil proses fermentasi bahan organik meliputi asam laktat, asetat, butirat, sitrat, oksalat, malat, dan propionat yang dilakukan oleh mikroorganisme baik pada proses ensilase (Safarina, 2009). Banyaknya VFA pada silase menggambarkan perombakan bahan organik (Orskov dan Ryle, 1990). Berdasarkan uji sidik ragam umur panen singkong berpengaruh nyata terhadap kadar VFA. VFA yang dihasilkan silase singkong utuh

13,27a 6,30b 12,29a 5,44b 0,61 12,52 4,08 6,12 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00

SRK SSU7 SSU8 SSU9

to ta l g u la ( % ) WSC silase WSC terpakai Perlakuan

25 berbagai umur panen yaitu sebesar 58,02 mM pada SSU7, 17,06 mM pada SSU8, 51,19 mM pada SSU9, dan 15,36 mM pada SRK.

Tabel 5. Kandungan BK, Perombakan BK dan VFA Silase

Perlakuan BK (%) Perombakan BK (%) VFA (mM) SRK 43,30 ± 2,34a 10,88 ± 3,48 5,36 ± 5,12b SSU 7 26,31 ± 0,46c 9,75 ± 2,01 58,02 ± 11,82a SSU 8 32,56 ± 0,31b 10,96 ± 1,18 17,06 ± 5,91b SSU 9 32,70 ± 1,07b 9,32 ± 2,68 51,19 ± 10,24a

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05). SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan. Tingginya kandungan VFA pada SSU7 dan SSU9 disebabkan lebih banyaknya pembentukan asam hasil fermentasi sekunder dibandingkan pembentukan asam laktat yang merupakan hasil fermentasi primer. Menurut Chamberlain dan Wilkinson (1996), VFA yang terdiri atas asam asetat, asam propionat, asam butirat atau asam lainnya merupakan refleksi dari fermentasi yang tidak efisien yaitu terjadinya fermentasi sekunder, karena kondisi tersebut asam laktat yang dikonversi menjadi asam butirat, kemudian asam amino didegradasi menjadi amonia, serta produksi asam asetat dari rantai karbon asam amino. Hal ini yang menyebabkan selain VFA juga diproduksi amonia dari hasil proses ensilase.

Protein Kasar, Kadar NH3 dan Perombakan Protein

Kadar protein setelah ensilase menunjukkan nilai yang berbeda antar perlakuan, dimana SSU8 dan SSU9 lebih rendah dari SSU7 dan SRK terlihat pada Tabel 6. Perbedaan tersebut sebagian disebabkan oleh kandungan PK awal bahan. Kehilangan bahan kering yang lebih besar dari kehilangan protein selama ensilase juga dapat menjadi penyebab permasalahan tersebut. Adanya nilai protein kasar silase yang rendah disebabkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi protein yang tinggi, jika dibandingkan dengan mikroba pendegradsai VFA, terlihat pada Tabel 6.

Pada silase singkong utuh dengan adanya peningkatan umur tanaman menunjukkan adanya penurunan kadar protein kasar baik setelah dan sebelum ensilase. Syarifuddin (2008) menyatakan bahwa semakin tua tanaman kandungan protein kasar akan semakin menurun. Djajanegara et al. (1989) menambahkan bahwa umur tanaman pada saat pemotongan sangat berpengaruh terhadap kandungan

26 gizinya, makin tua umur tanaman pada saat pemotongan, makin berkurang kadar proteinnya.

Kandungan protein kasar menurun seiring dengan meningkatnya umur disebabkan oleh semakin tua tanaman proporsi daun dari pada batang semakin kecil, sehingga rasio antara daun dan batang semakin menurun (Minson, 1990), sesuai dengan kandungan protein kasar pada silase perlakuan. Kandungan protein daun lebih tinggi dari pada kandungan protein batang (Syamsuddin, 1997). Hasil penelitian Ravindran (1991) menunjukkan bahwa daun singkong mempunyai kandungan protein yang tinggi yaitu berkisar antara 16,7%-39,9% bahan kering dan hampir 85% dari fraksi protein kasar merupakan protein murni.

Protein dipecah menjadi amonia, asam amino, amida, dan air. Produksi cairan atau effluent akan membawa zat-zat gizi yang terlarut di dalamnya mengandung gula, senyawa nitrogen terlarut, mineral, dan asam organik (Reksohadiprodjo, 1988). Nitrogen yang terkandung dalam silase sebagian besar akan menguap dan terlarut, sehingga kandungan protein kasar setelah ensilase lebih rendah dibanding sebelum ensilase.

Konsentrasi NH3 silase menunjukkan banyaknya nilai protein kasar bahan yang dirombak. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan NH3 perlakuan SRK dan SSU8 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan SSU7 dan SSU9. Namun jika dibandingkan dengan kandungan PK awal bahan maka persentase perombakan pada perlakuan SSU8 lebih besar dari SSU7, SSU9, dan SRK.

Pembentukan amonia pada proses ensilase disebabkan adanya pengaruh aktivitas mikroba dan pH selama proses ensilase. Chamberlain dan Wilkoinson (1996) menyatakan bahwa apabila asam yang dihasilkan selama ensilase tidak cukup untuk menurunkan pH hingga <4,5, maka akan terjadi fermentasi sekunder. Adesogan et al. (2004) menambahkan bahwa bakteri Clostridia mempunyai peranan yang paling dominan terhadap terjadinya fermentasi sekunder dan selama fermentasi ini asam laktat dikonversi menjadi asam butirat, atau degradasi protein, peptide dan asam amino menjadi amina dan amonia. Terlihat pada Gambar 2, pH SRK dan SSU9 >4,5 yang memungkinkan adanya pembentukan amonia lebih tinggi dibandingkan SSU7 dan SSU8 akibat proteolisis oleh bakteri pembusuk.

27 Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3. Protein pakan pada proses ensilase akan dipecah menjadi peptida dan asam amino kemudian diurai menjadi amonia. Pada Tabel 6, terlihat bahwa perombakan protein menjadi amonia pada silase perlakuan yaitu <14,3%. Perlakuan SSU8 lebih tinggi perombakan proteinnya dibandingkan SSU7, SSU9, dan SRK namun masih berada dalam kisaran normal. Sumarsih dan Waluyo (2002) menjelaskan bahwa kehilangan bahan nitrogen selama ensilase hijauan yang normal yaitu 15,2%. Hal tersebut juga didukung oleh data amonia yang cukup rendah terutama SSU7 dan SSU9 yaitu <2,5 mM, sedangkan SRK dan SSU8 yang berkisar 4,3 mM.

Tabel 6. Kandungan PK, Perombakan PK dan NH3

Perlakuan PK (%) Perombakan PK (%) NH3 (mM)

SRK 20,53 ± 5,24a 3,94 ± 1,05a 4,30 ± 0,21a

SSU 7 7,36 ± 0,42b 8,54 ± 1,93c 2,22 ± 0,39b

SSU 8 6,91 ± 0,80b 14,21 ± 2,44d 4,23 ± 0,30a

SSU 9 5,99 ± 0,77b 7,31 ± 0,89b 2,08 ± 0,45b

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05). SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan.

Asam Sianida

Berdasarkan pengukuran sianida setelah fermentasi pada silase singkong utuh dengan berbagai umur panen didapatkan hasil bahwa silase ransum komplit memiliki kandungan asam sianida terendah dari silase lainnya. SSU9 memiliki kandungan asam sianida sebesar 272,45 ppm, silase SSU8 memiliki kadar sianida 453,67 ppm dan silase SSU7 merupakan silase yang memiliki kandungan asam sianida tertinggi yaitu sebesar 553,24 ppm.

Berdasarkan sidik ragam, umur tanaman yang berbeda mempengaruhi kandungan asam sianida silase. Adanya perbedaan asam sianida silase ini dipengaruhi kandungan asam sianida awal bahan. Semakin tinggi umur tanaman menunjukkan kadungan HCN yang semakin rendah. Meskipun ensilase mampu menurunkan kadar HCN >60% dan sesuai dengan pernyataan Ngo Van Man dan Hans (2002) bahwa terjadi penurunan sianida melebihi 60%. Namun kadar sianida

28 SSU7 melebihi ambang batas yaitu >500 ppm (Sandi et al., 2010), sehingga tidak dapat langsung diberikan ke ternak, perlu diangin-anginkan terlebih dahulu. Yuningsih (1999) menyatakan bahwa kandungan sianida pada singkong dapat berkurang sekitar 40% dengan diangin-anginkan.

Pada Gambar 4, pengaruh umur panen singkong terhadap kadar sianida silase terlihat bahwa semakin muda tanaman singkong maka kandungan sianida semakin tinggi. Adanya perbedaan kadar sianida pada masing-masing umur silase dikarenakan adanya perbedaan persentase bagian-bagian dari tanaman singkong itu sendiri. Setiap bagian singkong memiliki kandungan sianida yang berbeda. Kadar HCN daun ketela pohon selalu lebih tinggi dibandingkan umbinya. Kandungan HCN antara 30-150 mg/ kg umbi segar. Konsentrasi HCN pada kulit pada kulit umbi 5-10 kali lebih besar dari daging umbinya dan bila dikeringkan dengan mengupas kulitnya sangat membantu mengurangi kadar HCN (Amalia, 2010). Amalia (2010) menyatakan bahwa pembuatan silase merupakan cara yang efektif untuk menurunkan kadar HCN pada daun ubi kayu, yaitu dapat menurunkan kadar HCN dari 302 mg/ kg BK silase daun ubi kayu menjadi 189 mg/ kg BK silase daun ubi kayu.

Gambar 4. Kandungan Sianida Silase Singkong Utuh dan Ransum Komplit. Tidak adanya error bar pada kandungan asam sianida sebelum ensilase dikarenakan hanya memiliki satu ulangan.

Kandungan sianida silase sebelum fermentasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan sianida setelah fermentasi. Adanya penurunan kadar sianida pada silase ini terjadi karena adanya aktivitas enzim β-glukosidase yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat terutama L. mesenteroides (Sandi et al., 2010). Selain itu, saat pembuatan silase proses pemotongan dan pelayuan sangat membantu dalam

13,87 3792,34 2102,61 911,24 13,56a 553,24b 453,67b 272,45a 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

SRK SSU7 SSU8 SSU9

HCN (ppm)

HCN sebelum ensilase HCN setelah ensilase

penurunan sianida, karena sianida dalam bentuk sianogen dalam struktur sel tanaman akan terganggu (Achi dan

Penurunan sianida pada masing dari 85,41%, 78,42%, dan 70,10

(2010) penurunan sianida setelah ensilase ada

dan Hans (2002) melaporkan bahwa terjadi penurunan sianida sampai 68% pada perlakuan silase daun singkong yang dilayukan terlebih dahulu dan dilakukan penyimpanan selama

menunjukkan bahwa umbi singkong fermenta terlebih dahulu dapat

dibandingkan umbi singkong yang difermentasi secara tradisional yang hanya menurunkan sianida 79,7%.

terkait dengan kandungan karbohidrat mudah larut dari suatu bahan. Semakin banyak karbohidrat mudah larut, maka semakin banyak bakteri memanfaatkan nutrien tersebut, sehingga jumlah dan jenis bakteri yang dihasilkan juga relatif banyak.

Nilai Fleigh (NF)

Parameter lain yang menentukan kualitas silase yaitu nilai

fleigh merupakan indeks karakteristik fermentasi silase berdasarkan nilai BK dan pH silase (Indikut et al., 2009). Menurut I

kualitas baik sekali jika nilai memiliki nilai >85 (Gambar 5

melebihi angka 100 juga ditemukan oleh I

disebabkan oleh tingginya BK silase dan rendahnya nilai pH silase yang dicapai

Gambar 5. Nilai Fleigh

0 20 40 60 80 100 120 140 NF

penurunan sianida, karena sianida dalam bentuk sianogen dalam struktur sel tanaman

Dokumen terkait