• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Aktivitas Enzim Kasar AHL-Laktonase B. thuringiensis SGT3g

Berdasarkan hasil uji kualitatif, aktivitas enzim AHL-laktonase terdeteksi

pada bagian supernatan kultur dan supernatan hasil sonikasi pellet sel B. thuringiensis (Tabel 1). Aktivitas enzim tersebut ditunjukkan dengan

terbentuknya zona tidak ungu disekitar paper disc yang merupakan zona quorum quenching (QQ) terhadap C. violaceum (Gambar 4). AHL-laktonase intraseluler menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan AHL-laktonase ekstraseluler. Nilai diameter zona QQ AHL-laktonase intraseluler yang terbentuk sebesar 10 mm sedangkan diameter zona QQ AHL-laktonase ekstraseluler sebesar 7.25 mm.

Tabel 1 Aktivitas enzim kasar AHL-laktonase Bacillus thuringiensis SGT3g dalam menghambat pembentukan violacein Chromobacterium violaceum

Sumber Enzim Diameter QQ (mm)

Supernatan Kultur 7.25

13 6.70 7.00 7.30 7.60 7.90 8.20 8.50 8.80 9.10 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 L o g Sel

Waktu Inkubasi (Jam)

Gambar 4 Aktivitas QQ terhadap C. violaceum yang disebabkan oleh AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g ekstraseluler (A), dan intraseluler (B).

Kurva Pertumbuhan B. thuringiensis SGT3g

Kultur B. thuringiensis SGT3g mengalami peningkatan jumlah sel yang cepat pada 3 jam pertama inkubasi (Gambar 5). Fase lag tidak teramati pada kultur SGT3g. Hal tersebut menunjukkan bahwa inokulum SGT3g cepat beradaptasi dengan media pertumbuhan yang baru karena media pengkulturan yang digunakan sama seperti media yang digunakan pada pembuatan inokulum.

Gambar 5 Kurva Pertumbuhan B. thuringiensis SGT3g pada media LB yang diinkubasi pada suhu ruang

Pemekatan Enzim

Hasil pemekatan total protein enzim ekstraseluler menggunakan amonium sulfat (b/v) menunjukkan bahwa total protein kultur berhasil mengendap secara maksimal pada konsentrasi amonium sulfat 70%. Data kadar protein (Gambar 6) dan indeks QQ terhadap C. violaceum (Gambar 7) menunjukkan bahwa tingkat saturasi optimum untuk proses pengendapan enzim AHL-laktonase ekstraseluler tercapai pada konsentrasi amonium sulfat 70%. Berdasarkan hasil tersebut, pemekatan enzim intraseluler juga dilakukan pada konsentrasi amonium sulfat yang sama. Jika dibandingkan dengan enzim ektraseluler, indeks QQ terhadap

14 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0% 40% 50% 60% 70% 80% K a d a r Pro tein ( m g /m L )

Konsentrasi Amonium Sulfat

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 40% 50% 60% 70% 80% Ind ek s Q Q

Konsentrasi Amonium Sulfat

C. violaceum yang terbentuk karena aktivitas enzim intraseluler lebih kecil dibandingkan dengan enzim ekstraseluler (Gambar 8).

Gambar 6 Kadar protein yang tidak terendapkan ( ) dan endapan ( ) hasil pemekatan menggunakan amonium sulfat

Gambar 7 Indeks QQ ekstrak kasar AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g terhadap C. violaceum ( : protein yang tidak mengendap ; : endapan hasil pemekatan)

15 0 0.5 1 1.5 2 2.5 Ekstraseluler Intraseluler Ind ek s Q Q 0 20 40 60 80 100 120 20 30 40 50 60 70 80 90 Ak tiv it a s Rela tif ( %) Suhu (°C)

Gambar 8 Perbandingan antara indeks QQ enzim intraseluler dan ekstraseluler terhadap C. violaceum ( : protein yang tidak mengendap, : endapan)

Karakteristik Enzim AHL-Laktonase B. thuringiensis SGT3g

AHL-laktonase ekstraseluler yang diproduksi B. thuringiensis SGT3g dikarakterisasi berdasarkan pH dan suhu aktivitasya. Pengujian yang dilakukan pada rentang pH 4-10 menunjukkan AHL-laktonase memiliki kisaran pH aktivitas yang luas yaitu pH 4-10. Pada pH 5 dan 6 aktivitas enzim mencapai nilai tertinggi (100%). Aktivitas enzim turun 14.3% pada pH 4. Pengujian pada pH 7, 8, 9 dan 10 aktivitas enzim turun berturut-turut menjadi 11.39%, 14.3%, 31.42%, dan 45.68%. Kisaran suhu aktivitas enzim ini juga luas yaitu 20-90 °C. AHL-laktonase menunjukkan aktivitas optimum pada kisaran pH 5-8 (Gambar 9a), sedangkan suhu optimum AHL-laktonase pada ± 30 °C (Gambar 9b). Indeks QQ AHL-laktonase ekstraseluler pada pH 5, 6, 7 dan 8 berturut-turut adalah 0.8, 0.8, 0.7, 0.7, sedangkan Indeks QQ pada suhu 30 ºC sebesar 1.313. Pengujian pada suhu 90 °C aktivitas enzim hanya turun 25.68%.

Gambar 9 Aktivitas relatif AHL-laktonase pada berbagai macam pH (a) dan suhu (b) 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 4 5 6 7 8 9 10 In d ek s Q Q pH (a) (b)

16

Tabel 2 Aktivitas relatif enzim AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g setelah proses pemekatan Tahapan Purifikasi Volume (ml) Indeks QQ Kadar Protein (mg/mL) Total Protein (mg) Aktivitas Relatif (%) Ekstrak Kasar 200 0.812 0.583 116.6 100 Presipitat 2 0.969 0.916 1.832 103.6 Dialisis 2 1.406 0.683 0.3415 126.4

Semakin tinggi tingkat kemurnian relatif suatu enzim semakin tinggi pula aktivitas enzimnya. Walaupun hasil pengukuran kadar protein AHL-laktonase hasil dialisis lebih kecil dibandingkan dengan kadar protein hasil presipitasi (Tabel 2), aktivitas AHL-laktonase hasil dialisis lebih tinggi dibandingkan dengan hasil presipitasi dan enzim kasarnya (Gambar 10). Sebelum dipekatkan aktivitas enzim kasar (IQQ) mencapai 0.812 dengan kadar protein 0.583 mg/mL setelah diendapkan aktivitasnya menjadi 0.969 (103.6%) dengan kadar protein 0.916 mg/mL dan setelah dialisis aktivitas enzim menjadi 1.406 (126.4%) dengan kadar protein 0.683 mg/mL.

Gambar 10 Aktivitas relatif enzim AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g ekstraseluler sebelum dan sesudah pemekatan serta hasil dialisis

0 20 40 60 80 100 120 140

Ekstrak kasar Presipitat Dialisis

Ak tiv it a s Rela tif ( %)

17

Aktivitas Penghambatan Quorum sensing Bakteri Fitopatogen pada Anggrek Hibrida Phalaenopsisekanagasaki oleh B. thuringiensis SGT3g

Isolat Bakteri Penyebab Busuk Lunak dan Virulensinya

Hasil pengamatan terhadap daun anggrek setelah 24 jam diinfeksi isolat fitopatogen menunjukkan masing-masing daun mengalami gejala busuk lunak dengan tingkat kebusukan yang berbeda. Daun anggrek yang diinokulasi dengan isolat C1 mengalami gejala busuk paling parah dibandingkan dengan daun yang diinokulasi dengan dua isolat patogen lainnya (Gambar 11b). Gejala busuk paling ringan terdapat pada daun anggrek yang diinokulasi dengan isolat D (Gambar 11a). Berdasarkan hasil pengujian tiga isolat tersebut maka isolat C1 dipilih sebagai bakteri fitopatogen yang digunakan selanjutnya untuk pengujian penghambatan quorum sensing pada percobaan In-planta.

Gambar 11 Gejala busuk lunak pada daun anggrek setelah 24 jam diinokulasi dengan isolat fitopatogen D (A), isolat C3 (B) dan isolat C1 (C)

Penghambatan Quorum Sensing

Daun yang dioles B. thuringiensis SGT3g (kontrol negatif) tidak mengalami gejala busuk sedangkan daun yang diinfeksi dengan D. dadantii tanpa dioles B. thuringensis SGT3g (kontrol positif) menunjukkan adanya gejala busuk lunak yang parah setelah 24 jam diinfeksi fitopatogen. Daun yang telah diinokulasi dengan B. thuringiensis SGT3g menunjukkan gejala busuk yang lebih ringan dibandingkan dengan kontrol positifnya. Peluang terjadinya gejala busuk pada daun yang diinokulasi dengan B. thuringiensis SGT3g sebesar 50% sedangkan pada kontrol positif sebesar 100% (Gambar 12). Diameter gejala busuk pada daun yang diinokulasikan B. thuringiensis SGT3g sebesar 3.28 mm sedangkan pada kontrol positif sebesar 16.3 mm (Gambar 13). Gejala busuk pada daun yang diinokulasi dengan B. thuringiensis SGT3g lebih ringan dikarenakan adanya aktivitas AHL-laktonase yang menghambat proses quorum sensing patogen D. dadantii. Jumlah sel D. dadantii pada Tabel 3 menunjukkan bahwa

18

jumlah sel D. dadantii pada perlakuan B. thuringiensis SGT3g dan D. dadantii tidak berbeda jauh dengan kontrol positifnya.

Gambar 12 Tampilan daun Phalaenopsis ekanagasaki setelah 24 jam diinfeksi dengan isolat fitopatogen C1 (A) dan daun yang diinokulasikan B. thuringiensis SGT3g sebelum diinfeksi dengan isolat fitopatogen C1 (B)

Tabel 3 Perbandingan jumlah sel Dickeya dadantii pada daun Phalaenopsis ekanagasaki setelah 24 jam inokulasi

Perlakuan pada daun Populasi sel D. dadantii

pada daun yang diinfeksi (CFU/g daun) Inokulum D. dadantii 1.12 x 109 ± SE 1.49 x 108 Kontrol Positif (daun yang diinfeksi

D. dadantii)

1.01 x 109 ± SE 2.9 x 107 Perlakuan (daun yang diinokulasi B.

thuringiensis SGT3g dan diinfeksi D. dadantii)

3.96 x 108 ± SE 3.41 x 107

19

Gambar 13 Diameter gejala busuk pada daun anggrek hibrida Phalaenopsis ekanagasaki setelah 24 jam inokulasi isolat fitopatogen C1

Identifikasi Isolat Bakteri Fitopatogen Berdasarkan Gen 16S rRNA

Hasil amplifikasi gen 16S rRNA isolat fitopatogen C1 menggunakan primer 63f dan 1387r (Marchesi et al. 1998) menghasilkan satu amplikon berukuran sekitar 1300 pb (Gambar 14). Isolat C1 mempunyai kekerabatan yang dekat dengan Dickeya dadantii galur CFBP 1269 dengan tingkat kemiripan 93%. Analisis pohon filogenetik menunjukkan isolat C1 berkerabat dekat dengan Pectobacerium carotovorum, D. dianthicola, dan D. dadantii sub. sp. dieffenbachiae (Gambar 15).

Gambar 14 Hasil elektroforesis amplifikasi gen 16S rRNA Isolat C1 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Kontrol Negatif Perlakuan Kontrol Positif

Dia m et er G ej a la B us uk ( m m )

20

Gambar 15 Konstruksi pohon filogenetik Isolat C1 berdasarkan 16S rRNA terhadap beberapa bakteri fitopatogen

Pembahasan

Bacillus thuringiensis SGT3g menghasilkan enzim AHL-laktonase ekstraseluler dan intraseluler yang mampu menghidrolisis substrat AHL. AHL-laktonase yang dieksresikan oleh bakteri ini dapat mendegradasi sinyal AHL yang ditunjukkan dengan adanya zona tidak berwarna ungu di sekitar paper disc. Hal ini menunjukkan pada zona tidak ungu tersebut tidak terjadi sintesis violacein yang disebabkan rusaknya sinyal AHL. Senyawa AHL diproduksi oleh Chromobacterium violaceum dan dibutuhkan untuk mengkordinasikan ekspresi gen penyandi violacein pada populasi bakteri tersebut (McClean et al. 1997). Degradasi senyawa sinyal tersebut oleh AHL-laktonase yang dihasilkan B. thuringiensis SGT3g menyebabkan kegagalan proses kordinasi sehingga sel-sel C. violaceum tidak mampu memproduksi violacein walaupun populasi bakteri tersebut sudah mencapi quorum. Selain C. violaceum, bakteri-bakteri Gram negatif penyebab busuk lunak juga menggunakan sinyal tersebut untuk melakukan proses QS. Bakteri D. dadantii C1 menggunakan AHL dalam memproduksi enzim-enzim pendegradasi dinding sel tanaman.

Sebagian besar publikasi tentang hasil penelitian AHL-laktonase menunjukkan bahwa enzim ini diproduksi secara intraseluler (Dong et al. 2000; Cao et al. 2012; Tang et al. 2015). Cao et al. (2012) melaporkan bahwa AHL-laktonase yang diproduksi Bacillus sp. AI96 terdeteksi sebagai enzim intraseluler, demikian juga AHL-laktonase dari Bacillus sp. 240B1 yang ditemukan oleh Dong et al. (2000). Selain dari genus Bacillus, AHL-laktonase juga dihasilkan secara intraseluler oleh Geobacillus caldoxylosilyticus YS-8 (Seo et al. 2011). Namun berdasarkan hasil penelitian Tang et al. (2015) enzim AHL-laktonase juga ditemukan sebagai enzim ekstraseluler pada bakteri Muricauda olearia. Bakteri itu merupakan bakteri laut yang termasuk dalam Flavobacteriaceae. Berdasarkan

Isolat C1

NR_041921.1|:62-1054 Dickeya dadantii strain CFBP 1269 NR_041922.1|:75-1067 Dickeya dianthicola strain CFBP 1200

NR_118134.1|:72-1064 Dickeya dadantii subsp. dieffenbachiae strain LMG 25992 NR_118227.1|:92-1084 Pectobacterium carotovorum strain CFBP2046 NR_117738.2|:84-1076 Erwinia chrysanthemi strain DSM 4610

AB680317.1| Erwinia amylovora strain: NBRC 12687 FJ611839.1| Pantoea agglomerans strain LMG 1286

21 literature yang tersedia saat ini, maka hasil penelitian ini merupakan laporan pertama tentang AHL-laktonase ekstraseluler dari B. thuringiensis.

Pemekatan protein enzim dapat dilakukan dengan penambahan amonium sulfat. Penambahan amonium sulfat ke dalam larutan yang mengandung protein menyebabkan molekul air pada sisi polar protein berinteraksi dengan ion sulfat. Akibatnya jumlah molekul air yang berinteraksi dengan protein berkurang. Ketika protein tidak berikatan dengan molekul air maka protein tersebut akan mengendap (Scopes 1994). Proses ini menyebabkan konsentrasi protein semakin pekat sehingga aktivitas enzim semakin meningkat. Selain itu proses pemekatan menurunkan kadar protein yang bukan target sehingga dapat meningkatkan kemurnian dan aktivitas enzim. Proses pengendapan dilakukan pada suhu rendah (4 °C) sehingga protein akan mengendap tanpa terdenaturasi (Scopes 1994; Ahmed 2005).

Enzim AHL-laktonase ekstraseluler dari B. thuringiensis mengendap pada konsentrasi amonium sulfat 70% (b/v). Aktivitas enzim intraseluler yang diendapkan dengan konsentrasi amonium sulfat yang sama menunjukkan aktivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas enzim ekstraseluler. Pengendapan enzim ekstraseluer dapat meningkatkan indeks QQ terhadap C. violaceum sebesar 1.2 kali dibandingkan dengan enzim ekstrak kasar. Hasil pengendapan AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g jauh lebih rendah dibandingkan dengan AHL-laktonase Geobacillus caldoxylosilyticus YS-8 yang diendapkan dengan konsentrasi amonium sulfat 40-60% (b/v). Aktivitas enzim spesifik meningkat 3.15 kali lebih besar dibandingkan ektrak kasar (Seo et al. 2011). Hasil penelitian Chen et al. (2010) melaporkan bahwa protein aiiA Bacillus sp. B546 rekombinan yang diekspresikan pada Pichia pastoris diendapkan dengan konsentrasi amonium sulfat sebesar 80%, sedangkan Bacillus sp. RM1 dimurnikan menggunakan amonium sulfat dengan konsentrasi 30-80% (Mukherji & Prabhune 2015). Perbedaan konsentrasi amonium sulfat dalam mengendapkan protein dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sifat hidrofobisitas protein tersebut serta gugus polar dan non polar dari protein yang akan diendapkan (Scopes 1994).

Proses dialisis perlu dilakukan setelah pengendapan dengan amonium sulfat. Dialisis bertujuan untuk menghilangkan garam amonium sulfat dan zat terlarut lainnya serta menghilangkan molekul-molekul yang lebih kecil ukurannya dari membran. Keberadaan amonium sulfat maupun molekul-molekul lainnya akan mengganggu sisi aktif AHL-laktonase dalam mengikat substrat sehingga dapat mempengaruhi aktivitas laktonase (Scopes 1994). Aktivitas AHL-laktonase hasil dialisis meningkat 1.45 kali dibandingkan dengan presipitat. Hal tersebut disebabkan semakin tinggi tingkat kemurnian enzim maka molekul-molekul lain semakin berkurang sehingga semakin tinggi pula aktivitasnya. Konsentrasi protein enzim AHL-laktonase hasil dialisis sebesar 0.683 mg/mL sedangkan presipitat sebesar 0.916 mg/mL. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan konsentrasi protein hasil dialisis yang disebabkan karena banyak protein kecil yang keluar dari membran dialisis selama proses dialisis. Umumnya protein gen aiiA AHL-laktonase rekombinan dari Bacillus mempunyai berat molekul ± 28 – 31.5 kDa (Chen et al. 2010; Cao et al. 2012). Karakterisasi berat molekul terhadap AHL-laktonase Bacillus yang dilakukan Cao et al. (2012) dan AHL-laktonase M. olearia yang dilakukan oleh Tang et al. (2015) menunjukkan ukuran molekul kedua enzim tersebut sebesar ± 31 kDa. Sedangkan

22

molekul protein aiiA rekombinan dari bakteri G. caldoxylosilyticus YS-8 berukuran 32 kDa (Seo et al. 2011). Berat molekul aiiA AHL-laktonase rekombinan B. thuringiensis SGT3g hasil karakterisasi yang dilakukan oleh Asmarani (2015) menunjukkan berat molekul 28.77 kDa. Oleh karena itu pada penelitian ini proses dialisis dilakukan menggunakan membran yang berukuran 12.4 kDa sehingga protein yang berukuran di atas 12.4 kDa tetap berada di dalam membran dialisis sedangkan protein yang ukurannya kurang dari 12.4 kDa akan keluar melalui kantong dialisis.

AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g memiliki kisaran pH dan suhu yang luas. Aktivitas optimum presipitat AHL-laktonase berada pada pH 5-8. Data tersebut menjelaskan bahwa AHL-laktonase tersebut aktif pada pH netral dan pada pH yang cenderung asam. AHL-laktonase yang diproduksi oleh Bacillus maupun bakteri penghasil AHL-laktonase lainnya pada umunya aktif pada pH netral dan basa (Chen et al. 2010; Seo et al. 2011; Cao et al. 2012; Sakr et al. 2013; Tang et al. 2015). Berdasarkan Cao et al. (2012) dan Sakr et al. (2014) AHL-laktonase dari Bacillus sp. AI96 dan B. weihenstephanensis P65 memiliki kisaran pH aktivitas antara 6-9. Sejauh pengetahuan penulis belum ada publikasi yang menyebutkan AHL-laktonase dari bakteri yang aktif pada pH asam. Kondisi asam dapat memicu terjadinya re-laktonasi cincin AHL yang sudah terbuka (Dong et al. 2001; Chen et al. 2013; Ghani et al. 2014). Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan rentang pH optimum AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g yang cukup lebar yaitu pH 5-8. Rentah pH aktivitas yang

luas ini merupakan salah satu kelebihan dari karakter AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g.

Pada umunya aktivitas enzim AHL-laktonase berada pada kisaran 37 - 45°C (Wang et al. 2004). Menurut Chen et al. (2010) dan Tang et al. (2015) enzim laktonase merupakan enzim yang tidak tahan terhadap panas. AHL-laktonase dari Bacillus sp. AI96 memiliki kisaran suhu 20-30 °C (Cao et al. 2012), sedangkan untuk Bacillus weihenstephanensis P65 memiliki kisaran aktivitas pada suhu 50 °C (Sakr et al. 2013). Suhu aktivitas AHL-laktonase B. thuringiensis tertinggi yang pernah dilaporkan adalah pada suhu 70 °C (Sakr et al. 2014). Berdasarkan percobaan yang dilakukan aktivitas optimum AHL-laktonase B. thuringiensis SGT3g dicapai pada suhu 30 ºC. AHL-laktonase ini masih menunjukkan adanya aktivitas relatif yang cukup besar (93%) setelah diinkubasi selama 30 menit pada suhu 90 °C. Hal ini menunjukkan bahwa enzim pendegradasi AHL B. thuringiensis SGT3g ini bersifat cukup toleran terhadap panas (termotoleran).

Identifikasi patogen dilakukan berdasarkan gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA merupakan komponen ribosom prokariot subunit 30S, yang umum digunakan untuk identifikasi molekuler, menentukan kekerabatan serta analisis filogenetik yang berasal dari suatu ekosistem (Madigan et al. 2011). Hasil identifikasi secara molekuler berdasarkan gen 16S rRNA isolat fitopatogen C1 berkerabat dekat dengan D. dadantii dengan tingkat kemiripan 93%, query cover 100% dan e. value 0.0. Selain D. dadantii penyakit busuk lunak juga dapat disebabkan oleh P. chrysanthemi, D. dianthicola, D. dieffenbachiae dan D. zeae (Samson et al. 2005).

Uji penghambatan QS D. dadantii C1 dapat menunjukkan bahwa gejala busuk lunak pada daun anggrek hibrida Phalaenopsis yang diinokulasi dengan

23 B. thuringiensis SGT3g sebelum diinfeksi dengan D. dadantii C1 mengalami penurunan gejala sebesar 50% setelah 24 jam inkubasi. Sedangkan daun anggrek yang hanya diinfeksi dengan bakteri D. dadantii C1 mengalami gejala busuk yang sangat parah dibandingkan dengan daun anggrek perlakuan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa B. thuringiensis SGT3g berhasil melemahkan virulensi dari D. dadantii C1 dalam menyebabkan gejala busuk pada daun anggrek hibrida Phalaenopsis ekanagasaki.

Mekanisme pengendalian bakteri fitopatogen oleh agen biokontrol antara lain melalui proses antibiosis, kompetisi, parasitisme, dan quorum quenching (Mitchell 1973; Fravel 1988; Waters & Bassler 2005). Proses antibiosis oleh agen biokontrol akan menghasilkan senyawa yang bersifat bakterisidal atau mikrobisidal sehingga akan membunuh dan menurunkan jumlah bakteri patogen secara drastis (Mitchell 1973). Hasil perhitungan populasi sel D. dadantii C1 pada daun yang hanya diinfeksi fitopatogen tidak jauh berbeda dengan perlakuan B. thuringiensis SGT3g dan D. dadantii C1 (Tabel 3). Hasil ini mengindikasikan bahwa proses penghambatan patogenisitas D. dadantii C1 yang terjadi pada daun anggrek hibrida Phalaenopsis bukan antibiosis melainkan proses quorum quenching. B. thuringiensis SGT3g memproduksi AHL-laktonase yang berperan penting dalam pencegahan infeksi oleh D. dadantii. Keberhasilan penghambatan quorum sensing patogenisitas E. carotovora oleh B. thuringiensis juga pernah dilaporkan oleh Dong et al. (2004). Selain melalui aplikasi bakteri penghasil AHL-laktonase secara langsung, penghambatan quorum sensing patogen penyebab busuk lunak juga dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan gen aiiA penyandi AHL-laktonase ke genom tanaman. Tanaman transgenik tahan

busuk lunak yang telah berhasil dirakit menggunakan gen aiiA dari B. thuringiensis antara lain tembakau (Dong et al. 2001), sawi putih (Dong et al.

2002), dan suweg (Ban et al. 2009).

B. thuringiensis SGT3g adalah bakteri yang potensial untuk dikembangkan sebagai agen biokontrol dan sumber gen untuk rekayasa genetika tanaman maupun mikroba. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam pemanfaatan B. thuringiensis indigenus sebagai agen biokontrol untuk bakteri patogen melalui pendekatan quorum sensing. Biokontrol menggunakan mikroorganisme untuk menekan penyakit tanaman merupakan pilihan alternatif

yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan senyawa kimia. B. thuringiensis merupakan salah satu biopestisida yang sukses untuk

mengendalikan serangga dan patogen yang bersifat ramah lingkungan. Bakteri ini memiliki aktivititas biosida dengan menggunakan kristal protein dalam mengendalikan hama serangga (Emmert & Handelsman 1999). Penelitian ini dan studi lebih lanjut dapat mengembangkan B. thuringiensis sebagai agen pengendali faktor virulensi D. dadantii pada tanaman anggrek Phalaenopsis ekanagasaki.

SIMPULAN

Bacillus thuringiensis SGT3g memproduksi enzim AHL-laktonase intraseluler dan ekstraseluler. AHL-laktonase yang dieksresikan oleh bakteri ini aktif pada kisaran pH dan suhu yg lebih luas dibandingkan dengan AHL-laktonase

24

yang sudah dipublikasikan sebelumnya. Aktivitas AHL-laktonase berkisar pada pH 5-8 dan suhu 30 °C. Enzim hasil dialisis memiliki aktivitas tertinggi yang ditunjukkan dengan indeks QQ terhadap Chromobacterium violaceum sebesar 1.406, sedangkan presipitat sebesar 0.969 dan ekstrak kasar sebesar 0.812. Bakteri penghasil AHL-laktonase ini mampu mengurangi gejala busuk yang disebabkan oleh Dickeya dadantii C1 pada daun anggrek setelah inkubasi 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri ini berpotensi besar untuk dijadikan sebagai biokontrol untuk mengendalikan penyakit busuk lunak pada Phalaenopsis ekanagasaki.

Dokumen terkait