• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan pada 98 responden remaja di Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta.Data menunjukan bahwa responden laki-laki (52%) sedikit lebih dominan dibandingkan perempuan (48%); mayoritas umur responden 16 (25,5%) dan 17 tahun (25,5%); tingkat pendidikan responden didominasi oleh SMA/SMK 58,2%; dan pendapatan orang tua responden lebih banyak dibawah Upah Minimum Regional (< Rp.1.500.000) yaitu 52%. Munculnya diabetes melitus tipe 2 dapat dipengaruhi faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, sosial-ekonomi, dan lingkungan (Jelantik, 2014; Irwan, 2010; Mongisidi, 2014; dan Dinas Kesehatan DIY, 2013). Karakteristik demografi responden ditunjukan pada tabel berikut:

Tabel I. Karakteristik demografi dan status responden penelitian (n=98).

Karakteristik Demografi Frek. Presentase (%)

Usia (tahun) 15 22 22,5

16 25 25,5

17 25 25,5

18 12 12,2

19 14 14,3

Jenis kelamin Laki-laki 51 52

Perempuan 47 48 Pendidikan terakhir/ sedang dijalani SMP SMA/SMK Mahasiswa 24 57 17 24,5 58,2 17,4

Pendapatan orang tua ≥ Rp 1.500.000 47 48

< Rp.1.500.000 51 52

Keterangan: *Di atas UMR (≥ Rp 1.500.000); dibawah UMR (< Rp.1.500.000).

Penelitian ini ingin melihat gambaran pola makan dan aktivitas fisik remaja di kecamatan Mantrijeron dengan aspek yang diukur yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukan bahwa pola makan dan aktivitas fisik remaja di kecamatan Mantrijeron sudah baik, dilihat dari pengetahuan dan

6

sikap remaja yang rata-rata masuk dalam kategori cukup hingga baik. Tindakan responden terkait aktivitas fisik juga sudah masuk dalam kategori sedang hingga berat. Tabel dibawah menunjukkan gambaran mengenai pola makan dan aktivitas fisik responden.

Faktor-faktor yang dapat menggeser pola hidup responden ke arah yang kurang sehat diantaranya adalah lingkungan terkait fasilitas yang tersedia, pergaulan remaja serta budaya yang ada di masyarakat. Selain itu perkembangan teknologi informasi dan transportasi, serta peningkatan status sosial ekonomi juga dapat menggeser pola hidup responden yang baik ke arah pola hidup yang kurang sehat (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Faktor internal dari responden sendiri juga sangat berpengaruh seperti stres dan kedisiplinan mereka dalam menjaga pola hidup sehat.

Tabel II. Pola makan dan aktivitas fisik dalam aspek pengetahuan, sikap dan tindakan Interpretasi Pola makan Pengetahuan Pola makan (Sikap) Aktivitas Fisik Pengetahuan Aktivitas Fisik (Sikap) Interpretasi Aktivitas Fisik Tindakan n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Kurang 5 5,1 1 1 8 8,2 3 3,1 Ringan 2 2 Cukup 33 33,7 27 27,6 7 7,1 50 51 Sedang 10 10,2 Baik 60 61,2 70 71,4 83 84,7 45 45,9 Berat 86 87,8

Keterangan : * n= jumlah responden

Pola Makan Responden a. Pengetahuan dan Sikap

Gaya hidup sehat semestinya sudah dilakukan sejak masih muda, agar ketika memasuki masa lansia seseorang dapat terhindar dari banyak masalah kesehatan (Kuniawan, 2010; Simanullang, 2011). Pola makan merupakan salah satu faktor yang menjadi pencetus diabetes melitus. Aspek yang perlu ditekankan pada pola makan yaitu tentang pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan (PERKENI, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Sartika, Wenny dan Franly di poliklinik Interna BLU RSUP pada tahun 2013, menyatakan bahwa orang yang terlalu banyak mengonsumsi makan tinggi gula, frekuensi makan tidak teratur dan makan tidak tepat

7

waktu memiliki risiko terkena DM. Pola makan yang tidak sehat yaitu pola konsumsi dengan total kalori yang tinggi, asupan serat yang rendah, beban glikemik yang tinggi dan tingginya rasio lemak jenuh yang dapat menjadi penyebab diabetes melitus (Alberti, 2007). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 71,4% responden sudah memiliki sikap yang baik dengan menghindari pola makan yang tidak sehat. Pengetahuan responden mengenai pola makan sehat juga sudah masuk dalam kategori cukup (33,7%) dan baik (61,2%).

Gambar 1.Distribusi tingkat pengetahuan dan sikap responden terkait pola makan.

Pengetahuan responden yang sudah dapat dikatakan baik dapat dipengaruhi karena kemajuan teknologi informasi di daerah perkotaan yang memberikan fasilitas bagi masyarakat umum maupun remaja untuk mendapatkan berbagai informasi dengan mudah (Suharsi, 2014). Pengetahuan tentang gizi mempunyai peran yang penting dalam membentuk kebiasaan makan seseorang, karena ini dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah yang dikonsumsi. Selain itu sikap responden terkait pola makan sehat juga sudah baik, hal ini dapat disebabkan karena responden sudah memiliki pengetahuan yang baik tetang pola hidup sehat (Harper et al. 1985 dalam Lingga, 2011).

b. Tindakan

Pola makan yang baik dimulai dengan keteraturan makan tigakali sehari yaitu sarapan pagi sebelum beraktivitas, makan siang sebelum ada rangsangan lapar dan makan malam sebelum tidur (Fitri, 2013). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 72,5% responden (No. 1-a) melaksanakan pola makan teratur 3 kali sehari dan 39,8% responden (No. 9-c) tidak pernah melewatkan sarapan pagi, sedangkan 40,8% (No. 9-b) hanya melewatkan sarapan kurang dari 3 kali dalam seminggu.

Pengetahuan Sikap Kurang 5.1 1 Cukup 33.7 27.6 Baik 61.2 71.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80

8

Salah satu cara untuk mengurangi risiko diabetes yaitu dengan menjaga perilaku makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana (Hasnah, 2009). Komposisi makan yang dianjurkan yaitu karbohidrat sebesar 45-65% , lemak dianjurkan sekitar 20-25% dan protein 10 – 20% dari total asupan energi/kalori yang bisa didapat dari seafood (ikan, udang,cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Selain itu perlu juga asupan serat± 25 g/hariyang dapat diperoleh darikacang-kacangan,buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat (PERKENI, 2011).

Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa 40,8% responden biasa makan dengan nasi, lauk, sayur dan buah, sedangkan 44,9% hanya mengonsumsi nasi, lauk dan sayur. Sumber protein hewani yang biasa dikonsumsi responden yaitu telur (76,5%), ikan (69,4 %) dan daging ayam dengan kulit (58,2%), sedangkan sumber protein nabati yaitu tempe (89,8%), tahu (83,7%), dan kacang kedelai (62,2%).

Dari hasil diketahui bahwa tingkat konsumsi responden terkait sumber protein hewani bertolak belakang dengan pendapatan orang tua responden yang sebagian besar di bawah upah minimum regional (UMR). Hal ini menunjukan bahwa pola makan responden masih perlu adanya perbaikan, agar risiko diabetes menjadi rendah dan beban ekonomi responden berkurang. Hal ini dapat dipengaruhi adanya subjektivitas responden dalam mengisi kuesioner karena pendapatan orang tua yang tidak menentu (pekerjaan informal), serta pengaruhi pergaulan antar remaja yang menyeret responden ke arah pola makan tidak sehat walaupun pendapatan orang tuanya di bawah UMR.

Gambar 2. Sumber protein hewani dan nabati yang biasa dikonsumsi

33.7 58.2 69.4 39.8 49 16.3 18.4 2 76.5 89.8 83.7 62.2 46.9 6.1 55.1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

9

Terdapat 58,2% dari responden lebih sering makan makanan yang diolah dengan cara digoreng dan hanya 25,5% yang suka makanan yang direbus ataupun ditumis.50,3% responden terbiasa mengonsumsi makanan digoreng lebih dari 3 kali dalam seminggu. Selain itu diketahui juga bahwa 34,7% responden mengonsumsi sayur 2 porsi sehari dan 32,7% responden mengonsumsi kurang dari 2 porsi sehari. Pola konsumsi makanan cepat saji responden yaitu 45,9% yang mengonsumsi kurang dari 3 kali seminggu dan 39,8% yang kurang dari 1 kali. Mayoritas dari responden terbiasa mengonsumsi minuman-minuman manis kurang dari 3 kali seminggu yaitu 43,9%. Tabel III. Jenis dan frekuensi konsumsi makanan dan minuman per hari/minggu

No. Jenis Frekuensi

(konsumsi per hari/minggu) n (%)

1. Sayuran Lebih dari 2 porsi sehari 2 porsi sehari

Kurang dari 2 porsi sehari Kurang dari 1 porsi sehari

17 34 32 15 17,3 34,7 32,7 15,3 2. Buah-buahan ≥2 kali dalam sehari

Kurang dari 2 kali dalam sehari Kurang dari 1 kali dalam sehari

20 37 41 20,4 37,8 41,8 3. Fast Food ≥3 kali seminggu

Kurang dari 3 kali Kurang dari 1 kali

14 45 39 14,3 45,9 39,8 4. Makanan (digoreng) Lebih dari 1 kali dalam sehari

1 kali dalam sehari

≥3 kali dalam seminggu

Kurang dari 3 kali dalam seminggu

25 12 50 12 25,5 12,2 50,3 12,2 5. Makanan Manis 3 kali atau lebih dalam seminggu

Kurang dari 3 kali Kurang dari 1 kali

37 48 13 37,8 49 13,2 6. Minuman Manis 3 kali atau lebih

Kurang dari 3 kali 1 kali dalam sehari Kurang dari sekali

14 43 16 25 14,3 43,9 16,3 25,5

Menurut Gabby Mongisidi (2014), status sosial ekonomi (pendapatan) dapat mempengaruhi konsep pola konsumsi seimbang dari seseorang yang dikaitkan biaya untuk memenuhi kebutuhan. Rendahnya pola konsumsi buah-buahan dan junk food dapat dipengaruhi oleh pendapatan orang tua responden yang rata-rata di bawah upah minimal regional.Kebiasaan makan seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya yang ada di masyarakat (Saleha, 2005). Tingginya konsumsi makanan (manis atau digoreng) dan minuman manis dapat dipengaruhi karena pola konsumsi makanan

10

dan minuman seperti ini sudah membudaya bagi masyarakat jawa. Rata-rata makanan dan minuman yang tersedia cenderungmanis, serta cukup banyak ditemui jenis makanan yang diolah dengan cara digoreng.

Tindakan responden yang sudah baik dapat dipengaruhi karena selama masa remaja peran orang tua masih cukup mendominasi dalam menentukan menu makanan, sehingga pola makan responden terkait sikap ataupun tindakan masih tergolong baik (Lukmano, 2013). Selain itu tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang dalam memilih makanan, sehingga jika responden sudah memiliki pengetahuan yang baik maka sikap dan tindakan responden akan baik (Harper et al. 1985 dalam Lingga, 2011).

Hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Abdul Kadir (2016) yang menyimpulkan bahwa kebiasaan makan remaja di perkotaan masih dalam batas kewajaran, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kemajuan teknologi dan pergaulan antar remaja dapatmenggeser kebiasaan makan yang masih relatif baik ke kebiasaan makan makanan modern. Jika kebiasaan makan yang baik tetap dapat dipertahankan, maka risiko terkena diabetes melitus akan semakin kecil.

Aktivitas Fisik Responden a. Pengetahuan dan Sikap

Berdasarkan beberapa studi cross-sectional dan longitudinal, aktivitas fisik menjadi prediktor independen pada diabetes melitus tipe 2 (Alberti, 2007). Resistensi insulin ini merupakan hasil dari interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud terkait gaya hidup seperti kurangnya aktivitas fisik, makanan yang dikonsumsi dan obesitas (Styen et. al, 2004). Menurut Fatimah (2015), aktivitas fisik sehat yang dianjurkan untuk dilakukan yaitu latihan teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang dapat bersifat Continous, Rhythmical, Interval, Progresive,dan Endurance (CRIPE).

Pengetahuan dapat diartikan sebagai hasil dari tahu, terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan pada suatu objek tertentu.(Notoatmojo, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 84,7% responden sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang aktivitas fisik yang sehat.Sedangkan aspek sikap sendiri menunjukan bahwa terdapat 45,9% dengan kategori baik dan 51% responden masih dalam kategori cukup. Responden sudah tahu mengenai hal-hal yang penting untuk dilakukan atau dihindari

11

terkait aktivitas fisik sehat, sehingga diharapkan hal ini dapat mempengaruhi sikap maupun tindakan responden ke arah yang baik.

Pengetahuan responden yang baik ini dipengaruhi karena remaja diperkotaan memiliki fasilitas yang mendukung mereka dalam mendapatkan informasi sebagai sumber pembelajaran dengan mudah.Selain itu terdapat faktor internal yang dapat mempengaruhi pengetahuan responden seperti kondisi fisik, minat, persepsi, intelenjensi, motivasi maupun emosi (Notoatmojo, 2010). Sikap responden yang baik dapat dipengaruhi karena pengetahuan responden yang sudah baik terkait aktivitas fisik yang sehat.

b. Tindakan

Aktivitas yang dilakukan oleh tubuh membutuhkan energi yang dikeluarkan, begitupun sebaliknya apabila aktivitas fisik berkurang maka lebih banyak energi yang tersimpan didalam tubuh (Azizah, 2014). Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah,karena glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik juga mengakibatkan sensitivitas insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan dapat terkontrol lebih baik. (Kemenkes,2008).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa aktivitas fisik remaja di kecamatan Mantrijeron sudah baik. Tindakan responden terkait aktivitas fisik sudah dapat dikatakan baik, karena 87,8% responden melakukan aktivitas fisik yang tergolong berat.Sebagian besar responden masih rutin berolahraga dan menghindari aktivitas fisik yang kurang sehat (sedentary activity) seperti menonton televisi, bermain gadget, bermain komputer dan internet, serta membaca buku dalam waktu yang lama. Jika responden dapat dipertahan sikap dan tindakan yang sudah baik ini, maka risiko responden terkena diabetes melitus akan semakin kecil.

Gambar 3.Distribusi tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan responden terkaitaktivitas fisik

Pengetahuan Sikap Tindakan

Kurang/Ringan 8.2 3.1 2 Cukup/Sedang 7.1 51 10.2 Baik/Berat 84.7 45.9 87.8 0 20 40 60 80 100

12

Sikap adalah reaksi atau respon yang bersifat tertutup dari seseorang terhadap suatu objek atau stimulus, sedangkan bila sikap diwujudkan dalam suatu perbuatan nyata disebut sebagai tindakan. Pengetahuan, sikap dan tindakan memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain, dimana tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang (Achmadi, 2013; Notoatmojo, 2010). Tindakan responden yang sudah baik dapat dipengaruhi karena sebagian besar responden sudah memiliki pengetahuan yang baik tetang aktivitas fisik yang sehat.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan:

1. Pengetahuan, sikap dan tindakan remaja (usia 15-19 tahun) di kecamatan Mantrijeron terkait pola makan dan aktivitas fisik sebagai faktor risiko diabetes melitus tipe 2 sudah dapat dikatakan baik, namun masih ada pola makan yang masih perlu diperbaiki seperti tinggi pola konsumsi makanan yang goreng, konsumsi daging, makanan dan minuman manis, serta rendahnya pola konsumsi buah.

2. Data karakteristik demografi menunjukan bahwa responden laki-laki (52%) sedikit lebih dominan dibandingkan perempuan (48%); mayoritas umur responden 16 (25,5%) dan 17 tahun (25,5%); tingkat pendidikan responden didominasi oleh SMA/SMK 58,2%; dan pendapatan orang tua responden lebih banyak dibawah Upah Minimum Regional (< Rp.1.500.000) yaitu 52%.

SARAN

Pada penelitian ini diketahui bahwa dalam beberapa aspek, responden masih belum mencerminkan pola hidup yang sehat, namun secara keseluruhan sudah dapat dikatakan baik.Olehkarena itu peneliti menyarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat memperbaiki atau mengurangi pola hidup yang kurang sehat seperti pola konsumsi makanan yang digoreng, makanan dan minuman manis yang tinggi, serta rendahnya konsumsi buah.

13 DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, F, 2013, Kesehatan Masyarakat, Edisi 1, Grafindo, Jakarta, hal. 119, 123. Alberti, K. G. M. M., Zimmet, P., Shaw, J., 2007, Internasional Diabetes Federation: a

Consensus on Type 2 Diabetes Prevention, Diabetic Medicine, 24: 453.

American Diabetes Association, 2008, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care., 31(1): S62.

Azizah, 2014, Hubungan Asupan Energi dan Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh pada Remaja Putri di Madrasah Aliyah Almukmin Sukoharjo, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, hal. 9.

Budiman, Riyanto, A., 2013, Kapita Selekta Kuesioner: Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, pp. 11-22.

Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013, Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta 2013, hal. 43.

Fitri, R., 2013, Deskripsi Pola Makan Penderita Maag pada Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Padang, hal. 4.

Mongisidi, G., 2014, Hubungan antara Status Sosial-ekonomi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Interna BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, Universitas Sam Ratulangi, 1 (1): 6-7.

Hasnah, 2009, Pencegahan Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2, Media Gizi Pangan, 7 (1): 3.

International Diabetes Federation, 2013, IDF Diabetes Atlas, 6th Edition, 13.

Ifada, I., Nugroho, T., 2010, Faktor-Faktor yang Berpengaruh dengan Pengetahuan Masyarakat mengenai Pelayanan Kesehatan Mata, Universitas Diponegoro: Semarang, hal 9.

Irawan, Dedi, 2010,Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007), Thesis Universitas Indonesia, hal. 24.

Jelantik, I. G. M., Haryati, Hj. E., 2014, Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin, Kegemukan dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Mataram, Media Bima Ilmiah, 8 (1): 40.

Kementrian Kesehatan, 2008, Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, hal. 11-13.

14

Kementerian Kesehatan RI, 2014, Pusat Data dan Informasi : Situasi dan Analisis Diabetes, Kementerian Kesehatan RI, hal. 1-3.

Kementerian Kesehatan RI, 2014, Pusat Data dan Informasi : Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja, Kementerian Kesehatan RI, hal. 1.

Kesmas, 2012, Faktor BerpengaruhPada Sikap, http://www.indonesian-publichealth.com/2013/09/perilaku-kesehatan.html, diakses pada tanggal 6 september 2016.

Koda-Kimble, M. A., et all, 2009, Applied Therapuetics: The Clinical Use for Drugs, 9th edition, Wolters Kluwer: USA, p. 1389.

Lingga, M., 2011, Studi tentang Pengetahuan Gizi, Kebiasaan Makan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Boduimage Remaja Putri yang Berstatus Gizi Normal dan Gemuk/Obes di SMA Budi Mulai Bogor, Bogor: Institut Pertanian Bogor, hal. 7. Lukmanto, J., Kristanti, M., 2013, Pengetahuan Gizi dan Perilaku Makan Remaja di

SMP Gloria 1 Surabaya, Universitas Kristen Petra, 1 (1): 81.

Neolaka, A., 2014, Metode Penelitian dan Statistik, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, hal. 92-93, 96, 112-113, 115-116.

Notoatmojo, 2010, Ilmu Prilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, hal.23, 31.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, (2011),Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe- 2 di Indonesia,Jakarta : PB PERKENI, hal. 21-28.

Pramono, A., Sulchan, M., 2014, Kontribusi Makanana Janajan dan Akitivitas Fisik terhadap Kejadian Obesitas pada Remaja di Kota Semarang, Jurnal Gizi Indonesia, 2 (2): 60.

Saleha, Q., 2005, Kajian Pola dan Kebiasaan Makan Masyarakat Cireundeudi Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi,Kabupaten bandung, Jurnal EPP, 2 (1): 25.

Sartika, S., Wenny, S. dan Franly O., 2013, Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di Poli Interna BLU.RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, Ejournal Keperawatan, 1(1): 5.

Suharsi, 2014, Dampak Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Peningkatan Kegiatan Belajar Siswa, Jurnal Ilmiah PPKN IKIP Veteran Semarang, 1(1): 90.

Trisnawati, S. K., Setyorogo, S., 2013, Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012, Jurnal Ilmiah Kesehatan,5(1): 9.

15 LAMPIRAN

16

17 Lampiran 3.Informed Consent

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Dokumen terkait