• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Silase Daun Ram

Indikator keberhasilan silase dapat dilihat dari kualitas silase yang dihasilkan. Hal itu dapat dilihat dari karakteristik fisik silase yang dihasilkan yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase (Bolsen dan Sapienza, 1993). Karakteristik fisik silase dapat dilihat setelah silase dibuka. Adapun kriteria penilaian silase untuk menentukan baik atau tidaknya kualitas silase dapat dilihat dari segi warna, bau dan tekstur (Haustein, 2003). Gambar 4 memperlihatkan keadaan fisik silase daun rami. Kerusakan silase daun rami dengan berbagai penambahan aditif dapat dilihat pada Tabel 8.

Keterangan :

A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek. B1 = Ensilase 28 hari. A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard. B2 = Ensilase 35 hari A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung. B3 = Ensilase 42 hari.

Gambar 4. Warna Silase Daun Rami A1 B1 A1 B2 A1 B3 A2 B1 A2 B2 A2 B3 A3 B1 A3 B2 A3 B3

38 Tabel 8. Kerusakan Silase Daun Rami

Aditif Lama ensilase (hari)

28 35 42

---%---

A1 - - -

A2 - - -

A3 6,0 6,8 8,1

Keterangan: A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek. A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard. A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung.

Secara umum silase daun rami yang dihasilkan selama penelitian ini berwarna hijau kecoklatan. Silase daun rami dengan penambahan pollard (A2) berwarna hijau kecoklatan lebih banyak sedangkan silase daun rami yang berwarna hijau kecoklatan lebih sedikit dengan penambahan gaplek (A1) dan jagung (A3). Selain itu bau yang dihasilkan silase daun rami dengan penambahan gaplek (A1) lebih berbau masam dibandingkan dengan perlakuan silase daun rami lainnya. Serta secara umum tekstur silase daun rami dari ketiga perlakuan adalah halus. Kriteria silase daun rami dengan penambahan gaplek (A1) dan pollard (A2) mendekati kriteria silase berkualitas baik yakni berwarna hijau kecoklatan, beraroma asam, bertekstur halus (Haustein, 2003).

Lamanya inkubasi juga mengakibatkan terjadinya perubahan warna silase daun rami. Secara umum semakin lama inkubasi maka warna yang dihasilkan silase daun rami beraditif semakin gelap. Silase daun rami beraditif pollard (A2) dengan lama inkubasi 28 hari berwarna hijau kecoklatan lebih sedikit dibandingkan dengan lama inkubasi 35 hari yang berwarna hijau kecoklatan lebih banyak.

Selama masa inkubasi, silase daun rami dengan penambahan gaplek (A1) dan pollard (A2) tidak mengalami kerusakan. Lain halnya dengan silase daun rami dengan penambahan jagung (A3), kerusakan sudah mulai terjadi pada hari ke-28 yakni sebesar 6%. Kerusakan itu semakin besar seiring dengan semakin lamanya waktu inkubasi yakni sebesar 8,4% pada waktu 42 hari. Kerusakan pada silase daun rami beraditif jagung (A3) dapat dilihat pada permukaan luar silase yang ditumbuhi jamur berwarna putih dengan bau yang busuk dan berlendir. Hal ini diduga karena ukuran partikel jagung yang digunakan kurang halus/terlalu besar sehingga

39 menyebabkan luas permukaan serap dari jagung berkurang dan karbohidrat yang dikandung jagung lebih sulit dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat. Besar kecilnya ukuran partikel aditif yang digunakan mempengaruhi kualitas silase yang dihasilkan karena ukuran partikel yang kecil dapat mengurangi kebocoran selama ensilase dan fermentasi dapat berlangsung sempurna (DePeters et al., 2003).

Karakteristik Fermentasi Silase

Karakteristik fermentasi menjadi indikator kualitas silase. Karakteristik fermentasi silase yang diamati meliputi nilai pH, perombakan protein dan profil asam organik.

Nilai pH Silase

Nilai pH merupakan salah satu indikator kualitas silase. Besarnya pH silase daun rami dengan lama ensilase dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. pH Silase Daun Rami Aditif

Lama Ensilase (hari) Rataan±SD

28 35 42

A1 3,92 ± 0,13 3,79 ± 0,31 3,15 ± 0,16 3,62 ± 0,41c A2 5,52 ± 0,18 5,39 ± 0,17 4,47 ± 0,14 5,13 ± 0,57b A3 8,07 ± 0,11 7,83 ± 0,18 6,16 ± 0,12 7,35 ± 1,04a Rataan±SD 5,8 ± 2,09a 5,7 ± 2,03a 4,6 ± 1,5b 5,37 ± 1,87 Keterangan : Penulisan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata

(P<0,05), penulisan superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek. A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard. A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa penambahan gaplek pada silase daun rami (A1) nyata menurunkan pH lebih rendah dibandingkan dengan A2 dan A3 (P<0,05) yakni sebesar 3,62 vs 5,13 dan 7,35. Hal ini sejalan dengan pernyataan Susetyo et al. (1969) yakni dengan adanya penambahan tepung gaplek, bahan yang kaya akan karbohidrat, dapat mempercepat penurunan pH silase karena karbohidrat merupakan energi bagi bakteri pembentuk asam laktat. Namun sebaliknya, penambahan tepung jagung pada silase daun rami (A3) nyata meningkatan pH sebesar 7,35 (P<0,05). Hal ini dikarenakan jagung yang

40 ditambahkan dalam pembuatan silase memiliki ukuran partikel yang cukup besar sehingga mengakibatkan luas permukaan yang dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat menjadi berkurang. Selain itu juga dengan penggilingan jagung menjadi tepung dapat meningkatkan daya larut air karbohidrat (WSC) jagung sehingga dapat lebih mudah difermentasi oleh bakteri asam laktat sehingga pH silase dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat dan bakteri pembusuk tidak dapat berkembang (DePeters et al., 2003).

Kisaran pH silase daun rami beraditif gaplek (A1) antara 3,15 - 3,92 sedangkan kisaran pH silase daun rami beraditif pollard (A2) antara 4,47 - 5,52. Haustein (2003) menyatakan bahwa silase yang ber-pH dibawah 4,2 maka silase tersebut berkualitas baik sedangkan silase yang ber-pH antara 4,5 - 5,2 maka silase tersebut berkualitas cukup baik. Dari pernyataan itu, dapat dikatakan bahwa silase daun rami beraditif gaplek (A1) termasuk silase berkualitas baik. Kisaran pH silase daun rami beraditif gaplek (A1) tersebut berada pada kisaran pH yang optimal untuk proses pengawetan dalam pembuatan silase yakni antara 3,8 - 4,4 (McDonald, 1973). Berdasarkan uji sidik ragam, lamanya ensilase berpengaruh sangat nyata dalam menurunkan pH silase (P<0,05). Lama ensilase 28 dan 35 hari tidak menunjukan perubahan pH yang signifikan. Sebaliknya pada ensilase 42 hari, penurunan pH sangat signifikan dibandingkan dengan lama ensilase 28 dan 35 hari (4,6 vs 5,8 dan 5,7). Hal ini karena pada waktu tersebut proses fermentasi sedang berlangsung. Menurut Schroeder (2004), masa fermentasi silase akan berlangsung selama 1 - 5 minggu dan pH silase akan menurun.

41

Perombakan Protein

Amonia (N-NH3) merupakan indikator kualitas silase yang menunjukkan kerusakan silase. Perombakan protein pakan ditandai dengan kadar amonia silase. Kadar amonia silase berasal dari perombakan yang dilakukan Enterobakteria selama proses ensilase yakni berkompetisi dengan bakteri asam laktat dalam memanfaatkan WSC sehingga terjadinya degradasi protein. Besarnya perombakan protein silase daun rami dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Perombakan Protein Silase Daun Rami Aditif

Lama Ensilase (hari) Rataan±SD

28 35 42 ---%--- A1 32,7 ± 5,4 27,3 ± 7,1 28,1 ± 5,6 29,3 ± 6,1 A2 29,7 ± 5,0 22,3 ± 2,6 20,5 ± 4,3 24,2 ± 5,5 A3 31,3 ± 8,1 31,1 ± 1,5 23,8 ± 7,8 28,8 ± 6,7 Rataan±SD 31,2 ± 5,6a 26,9 ± 5,6ab 24,1 ± 6,2b 27,5 ± 6,3 Keterangan: Penulisan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata

(P<0,05). A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek. A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard. A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung.

Berdasarkan uji sidik ragam menunjukkan bahwa besarnya perombakan protein yang terjadi tidak dipengaruhi jenis aditif (P>0,05). Lamanya ensilase berpengaruh nyata terhadap penurunan perombakan protein (P<0,05). Lamanya ensilase 42 hari, proporsi N-NH3 menurun signifikan dibandingkan dengan lama ensilase 28 dan 35 hari. Rata-rata perombakan protein perlakuan berada pada kisaran 20 - 31%. Hal ini dapat terjadi jika hijauan berprotein tinggi diensilase. Kisaran itu tidaklah diharapkan dalam proses fermentasi karena tingginya amonia lebih dari 20% mengindikasikan kerusakan silase yang tinggi (Deptan, 2008).

42

Profil Asam Organik

Profil asam organik juga dapat dijadikan indikator kualitas silase. Asam-asam organik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi asam laktat, asetat, butirat, sitrat, oksalat, tartarat, malat dan propionat. Profil asam organik silase daun rami pada ensilase 42 hari dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Profil Asam Organik Silase Pada Ensilase 42 Hari

Komponen Aditif A1 A2 A3 --- (ppm/BK)--- Sitrat 8 12,8 0 Oksalat 7 3,1 4,4 Tartarat 7 3,1 4,4 Laktat 90,9 119,3 124,5 Malat 9,7 5,3 5,2 Asetat 4,9 2,7 2,03 Propionat 5,7 13,7 0 Butirat 41,2 25,7 17,2

Keterangan: Profil asam organik berdasarkan analisa asam organik di LIPI, Cibinong, Bogor . A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek. A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard. A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung.

Secara umum kandungan asam laktat yang diperoleh dari pengukuran silase daun rami dalam percobaan ini sangat rendah. Kandungan asam laktat yang diperlihatkan dalam analisis ini juga tidak konsisten dengan pH dan karakter fisik yang dihasilkan. Sebagai contoh pada silase daun rami beraditif jagung (A3), kandungan asam laktat yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan silase daun rami beraditif gaplek (A1) dan pollard (A2). Hal tersebut bertentangan dengan nilai pH dan karakter fisik silase. Hal ini mungkin disebabkan oleh proses pengukuran yang relatif sulit. Metode pengukuran menggunakan HPLC yang digunakan dalam penelitian ini tidak mampu mendeteksi asam laktat sebaik metode enzimatis atau kalorimetri (Madrid et al., 1999). Seharusnya penurunan pH silase seiring dengan banyaknya asam laktat yang diproduksi (Schroeder, 2004).

43 Burke et al. (2007) melaporkan kandungan asam laktat hingga 39 g/kg DM sedangkan dalam penelitian kandungan asam laktat yang diperoleh < 1 g/kg DM. Menurut Haustein (2003), silase yang berkualitas baik mengandung asam laktat 30- 140 g/kg DM dan butirat < 2 g/kg DM.

Fermentabilitas Silase dalam Rumen Amonia

Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba (Sakinah, 2005). Konsentrasi amonia berasal dari protein makanan yang didegradasi oleh bakteri enzim proteolitik. Besarnya NH3 silase daun rami dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Amonia Silase Daun Rami

Aditif Lama Ensilase (hari) Rataan±SD

28 35 42 ---mM--- A1 14,75 ± 2,92aA 10,89 ± 1,91bA 13,21 ± 2,12bA 12,95 ± 1,94 A2 16,62 ± 0,72aA 20,26 ± 3,72aA 19,40 ± 2,90aA 18,76 ± 1,9 A3 15,43 ± 2,33aA 13,23 ± 0,71bAB 11,15 ± 0,4bB 13,29 ± 2,11 Rataan±SD 15,60 ± 0,94 14,79 ± 4,8 14,5 ± 4,2 14,27 ± 3,3 Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (P<0,05), superskrip huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek, A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard, A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung.

Berdasarkan hasil sidik ragam terdapat interaksi antara aditif dengan lama ensilase (P<0,05). Lama ensilase 28 hari tidak terdapat perbedaan konsentrasi NH3 antar perlakuan (P>0,05). Lama ensilase 35 hari terlihat bahwa A2 yang mengandung protein lebih tinggi difermentasi lebih banyak menghasilkan NH3. Shirley (1986) menyatakan kandungan protein kasar diatas 13% dapat menghasilkan konsentrasi amonia cairan rumen yang dibutuhkan mikroba untuk pertumbuhan optimal, namun tidak meningkatkan sintesa protein. Konsentrasi NH3 yang tinggi diduga karena proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein

44 mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen (McDonald et al., 2002).

Lama silase daun rami beraditif jagung (A3), semakin lama waktu inkubasi, semakin rendah konsentrasi NH3 yang dihasilkan. Lain halnya dengan silase daun rami beraditif gaplek (A1) dan pollard (A2) kadar amonia yang diproduksi tidak berbeda. Hal ini mungkin disebabkan oleh fraksi N yang fermentabel yang tersisa dari perombakan selama ensilase menjadi berkurang. Sebagian protein yang masuk ke dalam rumen akan mengalami perombakan oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen menjadi amonia.

Rataan NH3 silase daun rami beraditif berkisar 13 - 19 mM. Amonia silase daun rami masih berada pada kisaran amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen berkisar 6-21 mM (McDonald et al. 2002). Sedangkan interaksi antara jenis aditif (silase daun rami beraditif gaplek (A1), pollard (A2) dan tepung jagung (A3) dengan lamanya ensilase terhadap konsentrasi NH3 dapat dilihat pada Gambar 5.

45 Volatile Fatty Acid (VFA) Total

Asam lemak volatil (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia dan dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Orskov dan Ryle, 1990). Volatile fatty acid (VFA) total silase daun rami dengan lama ensilase 28,35 dan 42 hari dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Volatile Fatty Acid (VFA) Total Silase Daun Rami

Aditif Lama Ensilase (hari) Rataan±SD

28 35 42 ---mM--- A1 138,56 ± 24,11 115,37 ± 20,49 129,26 ± 51,53 127,7 ± 4,9b A2 160,44 ± 15,93 162,52 ± 17,27 169,78 ± 69,51 164,2 ± 11,67a A3 146,17 ± 25,36 136,82 ± 17,71 122,11 ± 48,27 135,03 ± 12,1b Rataan±SD 133,1 ± 11,1 132,04 ± 23,6 132,1 ± 25,7 132,4 ± 18,8 Keterangan: Penulisan superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata

(P<0,05). A1 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung gaplek, A2 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w pollard, A3 = Daun rami (1,7 kg) + 20% w/w tepung jagung.

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa silase daun rami beraditif memberikan pengaruh nyata terhadap VFA total yang dihasilkan (P<0,05). Lamanya ensilase tidak berpengaruh nyata terhadap VFA total yang dihasilkan (P>0,05). Silase daun rami beraditif pollard (A2) memproduksi VFA total sekitar 164,2 mM lebih tinggi dibandingkan dengan silase daun rami beraditif gaplek A1 dan jagung sekitar 127 dan 135 mM. Tingginya produksi VFA total yang dihasilkan menunjukkan bahwa silase daun rami beraditif pollard (A2) lebih fermentabel dibandingkan silase daun rami beraditif gaplek (A1) dan jagung (A3). Hal ini karena produksi VFA di dalam cairan rumen digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998).

Rataan total VFA perlakuan silase daun rami berkisar 128 - 164 mM. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutardi (1977) yakni kisaran produksi total VFA cairan rumen yang mendukung dengan pertumbuhan mikroba yaitu 80 - 160 mM. Fermentabilitas bahan organik A1 lebih optimal atau berkisar 120 mM (Sutardi, 1980). Fermentabilitas bahan organik yang terlalu tinggi tidak dapat dimanfaatkan

46 untuk pertumbuhan mikroba jika tidak disinkronisasi dengan ketersediaan kerangka N dari NH3 dan asam amino.

Perubahan VFA total tiap-tiap silase daun rami beraditif gaplek (A1), pollard (A2) dan jagung (A3) dengan lama ensilase yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Volatile Fatty Acid (VFA) Total Silase Daun Rami

Produksi Gas dan Estimasi Kecernaan Bahan Organik

Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak terbang (VFA), terutama asam asetat, propionat dan butirat serta gas metan (CH4) dan CO2 (McDonald et al., 2002).

Laju degradasi silase daun rami secara umum menunjukkan bahwa silase daun rami dicerna secara bertahap. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan karbohidrat yang dimiliki dari masing-masing aditif berbeda. Pola produksi gas dan estimasi kecernaan bahan organik yang dihasilkan silase daun rami beraditif cukup tinggi maka silase daun rami bisa digunakan untuk pakan ruminansia. Silase daun rami dengan penambahan pollard (A2) memiliki produksi gas yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya pada setiap satuan waktu. Gambar 7

47 memperlihatkan laju fermentasi silase daun rami beraditif gaplek (A1), pollard (A2) dan jagung (A3) selama 42 hari yang menghasilkan produksi gas seiring dengan waktu inkubasi.

Gambar 7. Produksi Gas Silase Daun Rami pada Ensilase 42 Hari

Kecernaan bahan organik dapat diestimasi dari produksi gas (CO2 dan CH4) in vitro saat pakan diinkubasi dengan cairan rumen selama 24 jam. Produksi gas dengan estimasi kecernaan bahan organik dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Produksi Gas dan Organic Matter Digestibility (OMD) Silase Selama 42 Hari

48 Produksi gas selama 24 jam inkubasi dengan cairan rumen memperlihatkan kecenderungan pola yang sama dengan estimasi kecernaan bahan organik (OMD). Produksi gas yang dihasilkan untuk A1, A2 dan A3 masing-masing 52,75 %; 57,83 dan 56,25%. Kecernaan bahan organik silase daun rami berkisar 72 - 77% dengan nilai untuk A1, A2 dan A3 masing-masing 72%; 77% dan 74%. Nilai tersebut sejalan dengan pernyataan Phipps (1985) yakni umumnya kecernaan bahan organik pada silase hijauan berkisar 72%.

Walaupun nilai produksi gas dan OMD pada silase daun rami dengan penambahan jagung cukup tinggi, namun jagung kurang fermentabel dalam tubuh ternak karena jagung dilindungi oleh lapisan kulit ari yang memiliki serat kasar lebih tinggi daripada kandungan pati di dalamnya (Suarni, 2002). Hal tersebut dapat dilihat dari laju produksi gas silase daun rami beraditif jagung (A3) yang lebih rendah dibandingkan dengan laju produksi gas silase daun rami beraditif gaplek (A1) dan pollard (A2) pada 10 jam pertama.

Rendahnya fermentabilitas protein pada silase daun rami beraditif gaplek (A1) dibandingkan dengan silase daun rami beraditif pollard (A2) dan jagung (A3) disebabkan oleh kadar protein gaplek yang rendah. Fermentabilitas bahan organik dan kecernaan yang rendah disebabkan oleh sebagian besar bagian fermentabel gaplek sudah digunakan oleh bakteri asam laktat pada proses ensilase untuk membentuk asam laktat. Hal tersebut diperlihatkan oleh pH silase daun rami beraditif gaplek (A1) yang lebih rendah dibandingkan dengan silase daun rami beraditif pollard (A2) dan jagung (A3).

Rendahnya fermentabilitas silase daun rami beraditif jagung (A3) dibandingkan dengan silase daun rami beraditif pollard (A2) disebabkan selain oleh kadar protein yang rendah, juga sifat protein yang dimiliki lebih tahan degradasi dan perlindungan selama ensilase yang disebabkan oleh ukuran partikel jagung yang terlalu besar. Meskipun jagung mengandung TDN (total digestibility nutrien) yang tinggi, namun pada estimasi kecernaan bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini hanya melibatkan fase fermentatif dimana silase daun rami beraditif jagung (A3) belum dapat didegradasi oleh mikroba lebih banyak dibandingkan dengan silase daun rami beraditif pollard (A2).

49

Dokumen terkait