Karakter morfometrik dapat digunakan sebagai ciri taksonomik saat mengidentifikasi ikan.Setiap spesies ikan memiliki ukuran mutlak berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, dan lingkungan hidupnya. Menurut Turan (1998) karakter morfometrik dapt digunakan untuk menduga fase pertumbuhan ikan.Faktor lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan ikan. Walaupun umur ikan dari suatu spesies sama, ukuran mutlaknya dapat berbeda. Oleh karena itu, standar dalam identifikasi ialah ukuran perbandingannya, seperti jarak antara panjang kepala (PK) dibandingkan dengan panjang total (PT).
Sampel ikan mas, lele, patin, toman, kakap, baronang, tongkol, tuna dan tenggiri dalam penelitian ini masing-masing berjumlah tiga ekor. Data morfometrik ikan yang meliputi berat total, panjang total, panjang baku, panjang cagak, tinggi badan, dan panjang kepala dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel&2&Ukuran&morfologi&dan&bobot&ikan Jenis ikan Berat
(kg) PT (cm) PB (cm) TB (cm) PC (cm) PK (cm) gabus 1,38±0,12 30,07±0,50 25,73±0,12 3,70±0,12 19,57±0,58 8,83±0,12 toman 1,33±0,15 30,53±0,15 26,10±0,62 3,87±0,06 20,30±0,53 8,68±0,52 lele 1,17±0,06 33,77±1,27 30,10±0,92 4,83±0,46 22,63±1,31 8,45±0,63 mas 0,80±0,10 25,83±2,53 21,63±2,58 8,27±0,35 22,93±3,39 7,57±0,85 patin 1,20±0,70 34,33±0,67 27,93±0,47 5,17±0,12 20,97±1,42 8,05±0,05 tuna 2,62±0,14 48,03±1,29 41,50±1,51 13,33±1,23 30,13±1,31 12,13±1,27 baronang 0,68±0,14 25,37±2,15 21,37±2,04 10,90±2,14 14,83±2,10 5,27±1,24 tongkol 1,00±0,08 44,57±1,38 38,83±1,55 13,17±1,53 28,80±2,01 11,70±1,06 kakap 0,86±0,15 37,50±1,32 31,67±2,18 12,50±1,61 19,20±1,18 11,37±1,66 tenggiri 2,57±0,12 57,93±1,60 52,03±1,60 11,13±1,52 48,70±1,95 16,20±0,44
Keterangan : PT = panjang total PC = panjang cagak PB = panjang baku PK = panjang kepala TB = tinggi badan
9
Tabel 2 memperlihatkan bahwa masing-masing ikan memilki ukuran yang bervariasi. Muthmainnah (2013) melaporkan bahwa ikan dengan ukuran bobot berbeda memiliki panjang tubuh serta proporsi tubuh yang berbeda, pertambahan berat tubuh ikan dan panjang ikan sangat berhubungan erat. Karakter morfologi ikan dapat digunakan untuk identifikasi jenis ikan. Pembatas utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species adalah variasi fenotip yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
Kadar protein dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh tahap perkembangan ikan yang digambarkan melalui ukuran tubuh ikan. Berdasarkan penelitian Gam et al. (2006) menunjukkan bahwa ikan gabus dengan ukuran panjang tubuh 16 - 23 cm memiliki kadar protein yang lebih besar daripada ikan gabus yang berukuran 24 - 30 cm. Hal ini dikarenakan pada ikan gabus yang lebih kecil, berenang lebih aktif daripada ikan gabus yang besar sehingga sintesis protein berlangsung lebih cepat. Penelitian Mustafa (2012) menyebutkan panjang tubuh ikan mempengaruhi kandungan protein tubuh sehingga variasi panjang tubuh ikan akan berpengaruh terhadap kandungan protein termasuk kandungan albuminnya karena albumin merupakan komponen terbanyak dari total plasma darah yaitu sekitar 60%.
Validasi Spesies Kualitas DNA
Kualitas DNA genom dilakukan melalui pengujian terhadap sampel DNA genom yang dimigrasikan pada chamber elektroforesis menggunakan agarosa 1,2% pada larutan TAE 1x (Gambar 3). Gambar 3 menunjukkan bahwa ektraksi DNA berhasil dilakukan, hal ini dapat dilihat dari kualitas DNA pada semua sumur menunjukkan ketebalan pita DNA. Elektroforesis menunjukkan pita DNA pada sampel baronang (Sg) lebih tipis dibandingkan dengan pita DNA pada sampel lainnya. Adanya perbedaan pada ketebalan pita DNA tersebut terjadi karena perbedaan jumlah konsentrasi DNA hasil ekstraksi, hal ini berarti jumlah konsentrasi DNA pada sampel lain lebih tinggi dibanding konsetrasi DNA pada sampel baronang (Sg).
Gambar 3 Kualitas DNA menggunakan agarose 1,2%, gabus (Gab), toman (To), patin (P), lele (L), (M) mas, tongkol (Tong), tenggiri (Tg), baronang (Sg), tuna (Tu), kakap (K).
10
Restu et al. (2012) melaporkan bahwa produk ekstraksi DNA yang berkualitas baik ditunjukkan dengan pita DNA yang terlihat tebal dan bersih serta pita DNA yang menyala. DNA yang memiliki kualitas yang baik tersebut layak dijadikan sebagai template untuk amplifikasi gen COI dengan menggunakan teknik PCR.
Visualisasi Hasil PCR
Visualisasi produk PCR hasil amplifikasi gen COI dari sampel ikan yang diamplifikasi dengan primer universal FishF1 (forward) dan FishR1 (reverse) pada gel agarose. Hasil analisis elektroforesis gel menunjukkan bahwa primer berhasil mengamplifikasi gen COI dari sampel ditandai dengan adanya tampilan pita DNA (Gambar 4). Gen COI hasil amplifikasi dari masing-masing sampel ikan teramati muncul pada posisi antara 500 -750 bp, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Ward et al. (2005) bahwa primer mampu mengamplifikasi pada ukuran 655 bp.
Gambar 4 Visualisasi amplifikasi DNA fragmen gen COI, gabus (Gab), toman (To), patin (P), lele (L), mas (M), tongkol (Tong), tenggiri (Tg), baronang (Sg), tuna (Tu), kakap (K)
Kekerabatan Spesies
Identifikasi spesies menggunakan Basic Local Alignment Search Tool nucleotide (BLASTn) (Tabel 3) untuk gen COI menunjukkan bahwa semua sampel teridentifikasi sebagai dengan tingkat identity (homologi) sebesar 98-100%. Menurut Hebert et al. (2003), perbedaan jarak genetik kurang atau sama dengan 3% menunjukkan spesies identik secara molekuler.
Jarak genetik yang dihitung berdasarkan metode Kimura 2-parameter disajikan pada Tabel 5. Jarak genetik berdasarkan gen COI pada masing-masing sampel dan referensi sekuen dari GenBank menunjukkan kesesuaian dengan hasil BLASTn, dengan jarak genetik antara sampel dan referensi sekuen pada sampel ikan menunjukkan nilai 0-0,025%, sedangkan jarak genetik antar sampel pada sampel ikan menunjukkan nilai yang berkisar antara 0,100-0,225%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak antar spesies dan sekuen referensi memiliki nilai yang
500 bp 250 bp 750 bp
11
lebih kecil dibandingkan jarak genetik antar spesies pada masing-masing sampel, yang artinya sampel dapat diindentifikasikan sebagai spesies referensi contohnya sampel kode P memiliki jarak genetik 0,000 dengan Pangasius hypothalamus. Hasil tersebut sesuai dengan hasil BLASTn antara sampel kode P dengan Pangasius hypophthalmus yang memiliki nilai identity 99%. Nilai jarak genetik (p-distance) yang semakin besar diantara populasi atau individu maka semakin terisolasi antara satu dengan lainnya, jarak genetik menunjukan kemungkinan adanya pengaruh geografis terhadap populasi (Laltanpuii et al. 2014)
Tabel 3 Hasil Identifikasi menggunakan BLASTn
Kode Kode akses sampel
Hasil identifikasi Identity Kode akses GenBank
Gab KX685195 Channa striata 99 % HM345931.1
To KX685196 Chana micropeltes 100% KM213040.1
P KX685193 Pangasianodon hypophthalmus 99% KR080263.1
L KX619412 Clarias gariepinus 99% JQ699203.1
M KX685192 Cyprinus carpio 99% JF915568.1
Tong KX685199 Euthynnus affinis 100% KM651783.1
Tg KX685197 Scomberomorus commerson 99% KP267578.1
Sg KX685194 Siganus guttatus 99% KJ420577.1
Tu KX691613 Thunnus albacares 99% JN086153.1
K KX685198 Lutjanu serythropterus 99% EU600114.1
Jarak genetik antar sampel yang lebih tinggi menunjukkan bahwa gen COI efektif untuk identifikasi pada tingkat spesies. COI telah banyak digunakan sebagai alat identifikasi spesies hewan.Menurut Ward et al. (2005) COI efektif digunakan sebagai alat identifikasi karena variasi intraspesifik rendah, tetapi memiliki nilai variasi interspesifik yang tinggi terutama pada taksa yang berdekatan.Semakin besar jarak genetik antar sampel, maka kesamaan basa nukleotidanya semakin kecil dan hubungan kekerabatannya semakin jauh (Nugroho & Rahayu 2015). Cawthorn et al. (2012) juga melaporkan jarak genetik intraspesies ikan komersial yang diteliti di Afrika Selatan memiliki jarak genetik antara 0%-0,60%, satu genus 0,8-3.24% berada dalam satu famili sebesar 5,10%-14,5%.
Hasil pensejajaran 10 sekuen sampel ikan dengan sekuen ikan gabus dari GenBank menghasilkan jumlah situs bervariasi sebanyak 270 situs (34,78%), situs konservatif sebanyak 440 situs (58,94%) dan situs singleton sebanyak 53 situs (7,22%). Tabel 4 menunjukkan bahwa situs spesifik yang terdapat pada masing-masing sampel berbeda jumlahnya. Situs spesifik merupakan situs yang memiliki satu taksa berbeda (Kauripan et al. 2015). Jumlah situs nukleotida spesifik terbanyak didapat pada ikan mas, patin, dan lele, masing-masing 9, 9 dan 7 situs. Hasil dari kadar protein menujukkan hasil tertinggi pada patin dan mas, sedangkan untuk kadar albumin menunjukkan nilai tertinggi pada ikan patin dan lele. Hasil ini menunjukkan kemungkinan keterkaitan polomorfisme situs nukleotida dengan kandungan protein dan juga albumin. Kovyshina & Redneva (2012) melaporkan bahwa faktor genetik berpengaruh terhadap kadar albumin yang ada pada ikan,
12
kecenderungan faktor genetik dapat dilihat dari jarak genetik dan kekerabatan pada masing-masing sampel. Hal ini diperkuat jug bahwa ikan patin dan ikan lele yang memiliki jarak genetik terkecil dibanding yang lainnya juga memiliki kadar albumin yang tidak berbeda jauh begitu pula dengan karakteristik profil protein albuminnya. Metcalf et al. (2007) melaporkan bahwa albumin pada ikan lungfish (Neoceratodus fosteri) memiliki karakterisasi yang sama dengan tetrapod dillihat dari hubungan kekerabatannya.
Tabel 4 Polimorfisme situs nukleotida spesifik ikan sampel dengan Channa Striata dari GenBank berdasarkan marka COI
Lokasi
Posisi basa nukleotida
1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 9 2 2 3 4 6 9 1 2 2 5 8 0 1 2 3 6 8 3 7 7 8 6 0 6 6 2 5 2 6 0 8 9 8 3 8 8 1 9 1 5 1 9 1 Channa striata (HM345931.1) C A C G C T A A A A A A C C C C A A A A G G Gab* C A C G C T A A A A A T C C C C A A G A G G Tom* C A C G C T A A A A A A C C C C A G A A G G M* C A C T C C A T C A A A C C C C A C A A G G Tu* C A C G C T A A A A A A C C C C A A A A G G Sg* T A C G C T A A A A A A C A T C A A A A G G Tong* C A C G C T A A A A A A C C C C G A A A G G K* C A T G C T A A A G A A C C C C A A A A G G Tg* C A C G C T C A A C A A C T C C A A A A G G L* C A A G T T A A A T C A C C C T A A A A C T P* C G C G C T A A A A A A T G C C A T A C G G Lokasi
Posisi basa nukleotida
4 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 9 0 1 6 8 8 9 2 4 7 8 9 1 1 2 2 2 5 3 6 8 0 6 5 4 3 8 8 6 4 7 1 5 7 Channa striata (HM345931.1) T T A A C C C G C G C A C A C A G Gab* T T A A C C C G C A C A T C - - - Tom* T T A A C C C G C - - - - - - - - M* T C A G T C T G C A C A T C C A A Tu* C T A A C C C G C A C A T C C A A Sg* T T A A C C C G C T C A T C C A A Tong* T T G A C C C G C A C G T C C G A K* T T A A C C C G T A C A T C C A A Tg* T T A A C C C G C A C A T C C A A L* T T A A C C C G C A C A T C C A A P* T T A A C T C A C A T A T C A A A
Keterangan : Gab* = Gabus L* = Lele M* = Mas P* = Patin Tu* = Tuna
Sg* = Baronang Tong* = Tongkol Tg* = Tenggiri
13
Tabel 5 Jarak genetik metode Kimura 2-parameter sampel ikan pada gen COI
Keterangan :
Tom = toman, P = patin, M = mas, L= lele, Sg = baronang, K =kakap, Tu = tuna, Tg = tenggiri, Tong = tongkol = jarak genetik antara sampel dan referensi sekuen
14 Tu* Thunnus albacares (JN086153.1) Tong* Euthynnus affinis (KM055422.1) Tg* Scomberomorus commerson (DQ107671.1) Sg* Siganus guttatus (KJ202206.1) K*
Lutjanus erythropterus (EU600114.1) M* Cyprinus carpio (JF915568.1) Gab* Channa striata (HM345931.1) Tom* Channa micropeltes (KM213040.1) P* Pangasianodon hypophthalmus (KR080263.1) L* Clarias gariepinus(HM345933.1) Triaenodon obesus 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 96 88 89 69 92 74 25 52 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 Pohon Filogeni
Konstruksi pohon filogeni menggunakan 12 sekuen referensi gen COI DNA mitokondria panjang sekuen antara 650-700bp. Analisis filogeni berdasarkan metode neighbor-joining dengan model Kimura 2-parameter. Hasil konstruksi pohon filogeni menunjukkan bahwa analisis dengan neighborjoining semua spesies membentuk unit yang kohesif dengan masing-masing sekuen referensi pasangannya.
Gambar 5 Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan gen COI dengan Trianodon obesus sebagai outgroup
Gambar 5 memperlihatkan bahwa rekonstruksi pohon filogenetik membentuk 2 cabang besar dengan nilai boostrap 52. Nilai boostrap tersebut tidak terlalu kuat untuk menahan posisi apabila ada spesies baru yang masuk, tetapi cabang yang terbentuk tetap memperlihatkan perbedaan. Cabang pembagi terpisah pada tingkat ordo, yaitu perciformis dan siluriformis. Ikan pari (Triaenodon obesus)
merupakan merupakan outgroup yang dipakai. Pengelompokan tersebut
memberikan nilai boostrap tinggi, yaitu 100%. Menurut Nakano & Osawa (2004), bootstrap dilakukan untuk mengevaluasi kestabilan cabang. Nilai bootstrap pada pohon filogenetik di atas termasuk dalam kategori stabil karena suatu cabang
Perciformis
15
dikatakan stabil jika nilai bootstrap di atas 95% dan dikatakan tidak stabil jika nilai bootstrap berada di bawah 70%. Sampel dan sekuen referensinya masing-masing membentuk cabang yang stabil karena memiliki nilai boostrap 100% sehingga dapat diartikan bahwa setiap pengulangan dari konstruksi pohon filogeni akan membentuk hasil yang sama.
Kadar Protein
Pengujian kadar protein total dilakukan pada ekstrak daging pada semua sampel dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976). Hasil pembacaan spektrofotometri larutan standar BSA pada metode Bradford menghasilkan kurva standar dan memiliki persamaan regresi y = 0,051x + 0,193 dengan nilai R2 sebesar 0,998. Pengujian dilakukan terhadap ekstrak kasar masing-masing ikan segar.
Gambar 6 Kadar protein total ikan air tawar dan ikan air laut.
Hasil analisis dari 9 sampel ikan yang terdiri dari masing-masing 5 sampel ikan air tawar dan 5 ikan air laut menunjukkan kandungan protein berada antara 16,26-23,28 mg/mL. Gambar 6 menunjukkan bahwa protein dari ikan patin memiliki nilai tertinggi. Menurut David (1962) Pangasius sp. sangat toleran terhadap salinitas, derajat keasaman (pH) air, keterbatasan oksigen, temperatur juga polusi. Ikan ini juga merupakan ikan omnivora yang memakan ikan kecil lain, crustacea dan tanaman. Perbedaan kadar protein dapat disebabkan oleh jenis ikan, makanan, umur, dan lingkungan. Jenis makanan ikan mempengaruhi kadar protein pada ikan, seperti pada tongkol, tenggiri dan tuna yang merupakan jenis ikan pelagis memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan kakap dan baronang yang merupakan ikan demersal. Menurut Steffens (2006) setiap ikan memiliki perbedaan nilai protein bergantung dari masing-masing spesiesnya. Putri et al. (2015) menambahkan kandungan protein yang tinggi pada ikan mempengaruhi kandungan albuminnya.
16
Kadar Albumin
Pengujian albumin dilakukan pada semua sampel ekstrak daging dengan analisis bromocresol green (BCG) melalui photometer. Pengujian dilakukan terhadap ekstrak kasar masing-masing ikan dengan perlakuan segar. Analisis kadar albumin menunjukkan bahwa konsentrasi albumin antara 10,07-22 mg/mL dengan kadar albumin tertinggi pada ikan patin (famili: Schilbeidae) dan terendah pada ikan tuna (famili: Scombridae). Nilai tersebut menunjukkan bahwa kadar albumin pada ikan memiliki nilai yang lebih rendah daripada kadar albumin pada mamalia yaitu sekitar 30-40 mg/ml. Menurut Kovyshina & Rudneva (2012), keragaman konsentrasi albumin bisa disebabkan oleh karakteristik genetik, ekologi dan biologi dari habitatnya.
Gambar 7 Kadar albumin pada ekstrak daging segar ikan air laut dan ikan air. Gul et al. (2011) menunjukkan bahwa kadar albumin pada ikan gabus non budidaya memiliki nilai 12,9 mg/mL. Sampel rata-rata yang ditemukan memiliki kadar albumin diatas 10 mg/mL sehingga dari hasil analisis kadar albumin dapat dikatakan bahwa semua sampel memiliki kadar yang tidak jauh berbeda dengan ikan gabus.Saat ini gabus di Indonesia sudah dimanfaatkan sebagai obat pasca operasi (Mustafa et al. 2012). Ikan patin yang memiliki kadar albumin paling tinggi diantara sampel lainnya yaitu 22 mg/mL. Nilai tersebut melebihi kadar albumin pada ikan gabus non budidaya. Ikan patin dikenal sebagai ikan omnivora yang mampu hidup dalam kondisi perairan yang kurang bagus. Ikan tersebut memiliki
17
kandungan protein sekitar 28% (Asmah et al. 2014). Kandungan protein
mempengaruhi kandungan albumin pada setiap ikan.Hal ini dibuktikan dari analisis regresi dengan albumin memberikan pengaruh nyata terhadap total protein sebesar sebesar 68%, nilai b memiliki nilai positif sebesar 0,52 yang berarti jika albumin tinggi maka nilai protein juga tinggi dengan persamaan regresi y= 1,140+0,52x. Keragaman konsentrasi albumin bisa disebabkan oleh karakteristik genetik, ekologi dan biologi dari habitatnya dan jenis daging dari ikan (Andreeva 2010; Kovyshina & Rudneva 2012).
Kadar albumin antara ikan laut dan ikan tawar pada penelitian ini secara umum memperlihatkan bahwa albumin ikan air tawar yaitu ikan patin dan lele memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut. Hasil kadar albumin berdasarkan standar deviasi didapatkan nilai tertinggi pada ikan patin dan lele. Susilowati et al. (2015) menyebutkan ikan lele dan gurame (telestoi) mempunyai konsentransi albumin yang tinggi sekitar 25-50% dari total protein. Keberadaan nilai albumin yang tinggi pada ikan ini diduga karena ikan memiliki peran fisiologis terkait dengan fungsi albumin dalam tubuh.
Albumin saat ini digunakan untuk kepentingan kesehatan manusia sehingga banyak dimanfaatkan sebagai produk farmasi (Nugroho 2012). Albumin saat ini banyak dimanfaatkan dalam mempercepat pemulihan jaringan sel yang rusak pasca operasi. Kadar albumin murni manusia pada kondisi normal berkisar antara 3,5-5,5 g/dL. Saat ini dunia medis masih banyak menggunakan HSA sebagai alternatif albumin (Suprayitno 2003). Serum albumin yang telah digunakan secara umum di rumah sakit merupakan serum albumin yang berasal dari manusia yang disebut dengan Human Serum Albumin (HSA) dengan kadar albumin 20% pada setiap kemasan. Albumin dari ikan yang telah dimanfaatkan saat ini adalah ikan gabus (Channa striata) yang merupakan salah satu ikan air tawar yang memiliki kadar albumin 12,9 mg/mL, sedangkan pada penelitian ini rata-rata albumin dari beberapa ikan ini memiliki kadar antara 10-22 mg/mL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan pada penelitian terutama golongan ikan berkumis (patin, lele) dapat digunakan sebagai sumber albumin.
Profil Protein Albumin
Analisis protein secara kualitatif pada daging ikan dilakukan dengan metode SDS-PAGE. Pemilihan metode ini bertujuan untuk menentukan jenis protein berdasarkan berat molekulnya. Prinsip pemisahannya yaitu berdasarkan perbedaan ukuran molekul. Sampel yang akan dianalisis jenis proteinnya merupakan sampel dari ekstrak daging segar ikan. Gel yang digunakan sebagai matriks penyangga pada penelitian ini adalah gel akrilamida 12,5%.
Secara umum sampel ikan air tawar (Gambar 8a) memiliki profil protein yang hampir sama, semua sampel memiliki 10-12 pita yang menunjukkan profil protein.Profil protein pada ikan lele terpisah menjadi 12 fraksi. Bila dibandingkan dengan HSA, lele tidak memiliki berat molekul yang sama pada level albumin. Sekitar 3 fraksi bisa dikatakan berada pada level antara ovalbumin (44 kDa) dan HAS (66 kDa). Metcalf et al.( 2005) melaporkan bahwa berat molekul 13 kDa pada
18
Ikan patin, toman dan mas memiliki karakteristik yang hampir sama, namun untuk patin dan ikan mas tidak memiliki berat molekul yang sama dengan HSA, sedangkan pada ikan toman memiliki berat molekul yang sama pada level albumin dengan HSA yaitu 69 kDa. Pada ikan patin memiliki fraksi yang tebal pada level albumin. Menurut Albert et al. (2002), ketebalan pita protein dipengaruhi oleh jenis sampel dan kadar protein yang berbeda, dengan pita yang lebih tebal diduga memiliki kadar protein yang tinggi.
(a) (b)
Gambar 8(a) Profil protein ikan tawar lele (L), patin (P), gabus (Gab), toman (To), (M) mas (b) Profil protein ikan laut tuna (Tu), tenggiri (Tg), tongkol (Tong), kakap (K), baronang (Sg).
Umumnya semua fraksi hasil pemisahan ini menunjukkan karakteristik posisi yang hampir sama. Menurut Shamssudin et al.(2011), kesamaan karakteristik hasil SDS-PAGE mengindikasikan bahwa gen yang memproduksi protein memiliki kesamaan pada ikan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Cek et al. (2007) yang melaporkan pada tingkat taksonomi studi ikan teleost memiliki banyak persamaan yang menghubungkan kekerabatan diantaranya.
19
Hasil SDS PAGE diukur menggunakan aplikasi photocap, menunjukkan pada ikan
tuna dan ikan tongkol memiliki dua pita protein pada berat molekul sekitar 57 kDa. Kemiripan tersebut dimungkinkan karena kedua ikan memiliki karakteristik yang sama, ikan pelagis dan berasal dari famili yang sama yaitu Scombridae, sedangkan pada ikan kakap dan ikan kakap dan ikan baronang yang memiliki berat molekul yang sama dengan albumin pada manusia, kedua ikan tersebut merupakan ikan berdaging putih dan merupakan ikan golongan demersal. Menurut Silva et al.
(2015), keberadaan albumin pada ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti tingkat salinitas, bentuk tubuh, dan makanan.
Tabel 7 Luas area pita albumin diukur dengan ImageJ
! !
Hasil profil protein menunjukkan bahwa setiap pita memiliki ketebalan yang berbeda. Ketebalan pita protein dipengaruhi oleh jenis sampel dan kadar protein yang berbeda (Albert et al. 2002). Tebal tipisnya pita yang terbentuk dari pita protein menunjukkan kandungan atau volume protein yang mempunyai berat molekul yang sama yang berada pada posisi pita yang sama.Ketebalan pita dapat diukur mengunakan ImageJ. Hasil uji regresi statistika menunjukkan hubungan antara kadar albumin dan ketebalan/ luas area pita mengikuti persamaan regresi y = 6,92E-16+0,788x dengan R2 = 0,62. Berdasarkan tingkat korelasinya maka luas area pita berpengaruh terhadap kadar albumin ikan.Tabel 7 menunjukkan bahwa pada ikan patin, kakap dan baronang memilki ketebalan yang paling besar diantara yang lain, yang artinya kadar albumin dari ikan tersebut diduga memiliki kandungan yang tinggi.
!
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil identifikasi molekuler menunjukkan bahwa ikan dapat teridentifikasi dengan baik dengan menunjukkan nilai identity 98-100% dengan referensi spesies dari GenBank. Hasil penghitungan situs spesifik menunjukkan jumlah situs terbanyak pada ikan mas, patin, dan lele masing-masing 9, 9 dan 7 situs menunjukkan hubungan faktor genetik dan kadar proteinnya. Kadar protein dan
20
kadar albumin tertinggi terdapat pada ikan patin. Profil protein untuk albumin menunjukan berat molekul antara 55-66 kDa. Hasil SDS-PAGE menunjukkan bahwa toman, kakap dan baronang memiliki berat molekul yang mendekati berat
molekul Human Serum Albumin (HSA).
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang albumin dari ikan terutama yang berasal dari Siluformis agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai produk nutraseutikal. Selain hal tersebut perlu juga dilakukan metode untuk dapat mengindentifikasi albumin secara spesifik salah satunya dengan Western Blot. Metode ekstraksi yang tepat untuk menghasilkan ekstrak albumin ikan dengan kualitas yang sesuai untuk medis perlu dikaji lebih lanjut.