• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sifat Kualitatif Ayam Walik

Proporsi Sifat Kualitatif

Proporsi sifat kualitatif pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Proporsi Sifat Kualitatif pada Ayam Walik di Sumedang dan di Bogor

Ayam Walik

Sifat Kualitatif Sumedang Bogor

Jantan (n=15) Betina (n=21) Jantan (n=16) Betina (n=26) ---%--- Warna: Putih (I) 0 0 0 2 Berwarna (i) 100 100 100 98 Corak bulu: Lurik (B) 67 48 75 54 Polos (b) 33 52 25 46 Kerlip bulu: Keperakan (S) 80 24 75 58 Keemasan (s) 20 76 25 42 Pola bulu: Hitam (E) 33 38 25 40 Liar (e+) 67 38 56 48 Kolumbian (e) 0 24 19 12 Warna shank: Putih/kuning (Idid) 47 76 81 77 Hitam/hijau (idid) 53 24 19 23 Bentuk jengger: Kapri (P) 27 52 56 20 Tunggal (p) 73 48 44 80 Warna mata: Coklat 27 10 13 23 Kuning 60 52 13 27 Oranye 13 38 75 50 Warna cuping: Merah 60 38 94 65 Putih 0 19 0 8 Merah/putih 40 43 6 23

Keterangan: n = jumlah ayam

25 yaitu hitam, cokelat-hitam, cokelat dan hitam-putih (Gambar 8). Ayam Walik yang terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki fenotipe warna bulu yang berwarna (98%). Warna bulu beragam yaitu hitam, putih, coklat dan hitam-cokelat (Gambar 9). Warna bulu ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor menunjukkan kesamaan dengan pernyataan Sartika dan Sofjan (2007) bahwa ayam Walik memiliki warna yang beraneka ragam (hitam, coklat, coklat kemerahan, coklat kekuningan, putih, blorok bintik merah dan hitam atau putih dan hitam). Warna bulu yang beragam pada ayam Walik dipengaruhi oleh kerja gen i yang memicu produksi pigmen melanin. Pigmen melanin terbagi menjadi dua tipe yaitu eumelanin dan pheomelanin. Eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada bulu, dan pheomelanin yang membentuk warna merah-cokelat, salmon, dan kuning tua (Brumbaugh dan Moore, 1968).

Gambar 8. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Hitam, (2) Hitam-cokelat, (3) Cokelat, (4) Hitam-putih

Gambar 9. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam, (2) Putih, (3) Hitam-Cokelat dan (4) Cokelat

Berdasarkan Tabel 4, Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki corak bulu lurik (67%), sedangkan ayam Walik betina lebih banyak memiliki corak bulu polos (52%) (Gambar 10). Ayam Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki corak bulu lurik baik jantan (75%) maupun betina (54%) (Gambar 11). Corak bulu lurik muncul akibat distribusi melanin pada bulu sekunder terhambat sehingga timbul hitam bergaris-garis putih pada bulu. Sifat corak lurik merupakan sifat terpaut kelamin, pada betina ditemukan dalam kondisi hemizigot (ZBW) sedangkan pada jantan dalam kondisi berpasangan (ZBZB atau ZBZb) (Hutt, 1949).

Gambar 10. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Polos (Jantan), (2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina), dan (4) Lurik (Betina)

Gambar 11. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Polos (Jantan), (2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan (4) Lurik (Betina)

27 Kerlip bulu ayam Walik jantan dan betina yang terdapat di Sumedang masing-masing adalah kerlip bulu keperakan (80%) dan keemasan (76%) (Tabel 4; Gambar 12). Ayam Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki kerlip bulu keperakan baik jantan (75%) maupun betina (58%) (Tabel 4; Gambar 13). Kerlip bulu keperakan (ZS) bersifat dominan terhadap keemasan (Zs). Seperti halnya corak bulu, kerlip bulu adalah sifat terpaut kelamin (sex linked) sehingga pada jantan ditemukan dalam kondisi homozigot atau heterozigot, sedangkan pada betina dalam kondisi hemizigot (Hutt, 1949). Kerlip bulu kurang terlihat pada ayam yang memiliki bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat kompleks (Suprijatna et al., 2005).

Gambar 12. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Perak (Jantan), (2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas (Betina)

Gambar 13. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Perak (Jantan), (2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas (Betina)

Ayam Walik jantan dan betina yang terdapat di Sumedang memiliki karakteristik fenotipe pola bulu liar, kolumbian dan hitam, dimana pola bulu liar lebih banyak ditemukan pada ayam Walik (67%; 38%) dibandingkan dengan kolumbian (0%; 24%) dan hitam (33%; 38%) (Tabel 4; Gambar 14). Ayam Walik yang terdapat di Bogor baik jantan dan betina juga lebih banyak memiliki karakteristik fenotipe pola bulu liar (56%; 48%) dibandingkan kolumbian (19%; 12%) dan hitam (25%; 40%) (Tabel 4; Gambar 15). Pola warna liar dipengaruhi oleh faktor pendistribusian eumelanin. Gen warna liar (e+) dicirikan dengan adanya garis- garis hitam memanjang di punggung yang mempunyai sifat resesif terhadap warna hitam polos dan sifat dominan terhadap kolumbian (gen e) (Somes, 1988).

Gambar 14. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Liar, (2) Liar, (3) dan (4) Hitam

Gambar 15. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam, (2) Kolumbian, (3) dan (4) Liar

29 Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki shank berwarna hitam/hijau (53%) dibandingkan putih/kuning (47%), sedangkan ayam Walik betina lebih banyak memiliki shank berwarna putih/kuning (76%) dibandingkan hitam/hijau (24%) (Tabel 4). Warna shank hitam pada ayam Walik jantan yang berada di Sumedang dipengaruhi oleh pigmen melanin yang terdapat pada epidermis, sementara warna shank hijau dipengaruhi oleh pigmen lipokrom yang terdapat pada epidermis dan pigmen melanin pada dermis (Jull, 1951). Ayam Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki shank putih/kuning dibandingkan hitam/hijau baik jantan(81%; 19%) maupun betina (77%; 23%). Warna shank ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan di Bogor disajikan pada Gambar 16.

Warna shank yang dimiliki ayam Walik betina di Sumedang dan ayam Walik yang terdapat di Bogor jantan dan betina memiliki kesamaan dengan pernyataan Sartika dan Sofjan (2007) bahwa ayam Walik memiliki sisik kaki berwarna putih kuning. Warna kuning pada shank, pada ayam bangsa Amerika dan bangsa-bangsa yang lain, adalah karena adanya lemak atau pigmen lipokrom (lypocrome) pada lapisan epidermis dan pigmen hitam atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan dermis. Shank yang berwarna kuning juga dapat dipengaruhi oleh pemberian pakan yang mengandung karotenoid dan xanthofil seperti jagung kuning. Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa warna kuning shank disebabkan oleh pigmen karotenoid dari pakan. Xantofil pada jagung dapat menyebabkan kaki dan kulit menjadi berwarna kuning (Anggorodi, 1985).

(a) (b)

Gambar 16. Warna Shank Ayam Walik di Sumedang (a) dan di Bogor (b): (1) Hitam, (2) Hijau, (3) Kuning dan (4) Putih

Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki jengger tunggal (73%) dibandingkan jengger kapri (27%), sedangkan ayam Walik betina lebih banyak memiliki jengger kapri (52%) dibandingkan jengger tunggal (48%) (Tabel 4). Ayam Walik jantan yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki jengger kapri (56%) dibandingkan jengger tunggal (44%) sedangkan ayam Walik betina lebih banyak memiliki jengger tunggal (80%) dibandingkan jengger kapri (20%) (Tabel 4). Bentuk jengger ayam Walik di Sumedang dan Bogor disajikan pada Gambar 17 dan 18. Sartika dan Sofjan (2007) juga menemukan bahwa ayam Walik memiliki jengger berbentuk tunggal. Menurut Suprijatna et al. (2005) jengger dapat digunakan sebagai aksesoris seksual, ayam jantan memiliki jengger yang besar dan tebal serta berwarna merah. Warna merah pada jengger dipengaruhi oleh pembuluh darah. Ukuran dan tekstur jengger memiliki peranan dalam menentukan masa produktivitas ayam betina.

Gambar 17. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Sumedang: (1) Tunggal (Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina) dan (4) Kapri (Betina).

31 Gambar 18. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Bogor: (1) Tunggal

(Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina) dan (4) Kapri (Betina).

Ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki mata berwarna kuning (60%; 52%) dibandingkan warna coklat (27%; 10%) dan oranye (13%; 38%) (Tabel 4; Gambar 19). Ayam Walik yang terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki mata berwarna oranye (75%; 50%) dibandingkan warna coklat (13%; 23%) dan kuning (13%; 27%) (Tabel 4; Gambar 19). Warna mata berhubungan dengan warna shank (Smyth, 1990). Hal ini dibuktikan pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor yang lebih banyak memiliki warna mata kuning dan oranye (Tabel 4) yang hampir sama dengan warna shank kuning (Tabel 4). Struktur variasi pewarnaan mata bervariasi berdasarkan gen tertentu (Smyth, 1990).

Gambar 19. Warna Mata Ayam Walik: (1) dan (2) Kuning, (3) Cokelat dan (4) Oranye

Ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki cuping yang berwarna merah (60%; 38%) dibandingkan warna merah-putih (40%; 43%). Ayam Walik yang terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki cuping yang berwarna merah (94%; 65%) dibandingkan merah-putih (6%; 23%). Cuping putih hanya dimiliki oleh ayam Walik betina yang terdapat di Sumedang sebesar 19% dan di Bogor sebesar 8% (Tabel 4; Gambar 20). Menurut Suprijatna et al. (2005) warna cuping bervariasi sesuai dengan masing-masing bangsa ayam.

33

Frekuensi Gen Ayam Walik dan Ayam Kampung

Perhitungan frekuensi gen hanya dilakukan terhadap sifat kualitatif bulu (warna bulu, corak bulu, pola bulu dan kerlip bulu), bentuk jengger dan warna shank. Frekuensi gen sifat kualitatif warna cuping dan warna mata tidak dapat dihitung dikarenakan belum ditemukan standar yang dapat digunakan sebagai dasar dalam perhitungan frekuensi gen sifat-sifat kualitatif tersebut. Frekuensi gen yang dimiliki oleh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan di Bogor ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Frekuensi Gen Ayam Walik dan ayam Kampung di Sumedang dan Bogor Karakteristik Kualitatif Sumedang Bogor Walik (n=36) Kampung (n=58) Walik (n=42) Kampung (n=54) Warna bulu: qI 0 0.02 0.01 0.02 qi 1 0.98 0.99 0.98 Corak bulu: qZB 0.47 0.67 0.52 0.70 qZb 0.54 0.33 0.48 0.30 Kerlip bulu: qZS 0.16 0.33 0.54 0.51 qZs 0.84 0.67 0.47 0.49 Pola bulu: qE 0.20 0.07 0.10 0.10 qe+ 0.43 0.59 0.51 0.56 qe 0.37 0.33 0.38 0.33 Jengger: qP 0.24 0.22 0.17 0.18 qp 0.76 0.78 0.83 0.82 Warna shank: qZId 0.5 0.63 0.79 0.61 qZid 0.5 0.37 0.21 0.39

Keterangan: qI =bulu tidak berwarna; qi= berwarna; qZB=lurik; qZb= polos; qZS= keperakan; qZs=keemasan; qE=hitam; qe+=liar; qe=kolumbian; qP= pea; qp=tunggal; qZId=putih/kuning; qZid=hitam/hijau

Frekuensi Gen Warna, Corak, Kerlip dan Pola Bulu

Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang memiliki nilai frekuensi gen yang tinggi pada bulu yang berwarna (100%; 98%), kerlip bulu keemasan (84%; 66%) dan pola bulu liar (42%; 59%) (Tabel 5). Namun pada frekuensi gen corak bulu, ayam Walik memiliki nilai frekuensi yang tinggi pada

corak polos (53%) sedangkan ayam Kampung memiliki nilai frekuensi yang tinggi pada corak lurik (67%) (Tabel 5). Kerlip bulu dan pola bulu yang dimiliki ayam Walik memiliki kesamaan dengan gen asli ayam Kampung. Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa gen yang merupakan gen asli ayam Kampung adalah e+ dan Zs. Corak bulu polos yang dominan pada ayam Walik di Sumedang menunjukkan adanya kesamaan dengan Single Rhode Island Red. Jull (1951) menyatakan bahwa keseluruhan bulu Rhode Island Red murni polos, bebas dari warna apapun.

Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor memiliki nilai frekuensi gen yang tinggi pada bulu yang berwarna (98%; 98%), corak bulu lurik (51%; 70%), kerlip keperakan (53%; 51%) dan pola bulu liar (51%; 56%) (Tabel 5). Seperti halnya pada ayam Walik yang di Sumedang, ayam Walik yang terdapat di Bogor menunjukkan kesamaan dengan gen asli ayam Kampung pada kerlip dan pola bulu. Pengaruh gen asing yang terlihat di ayam Walik yang terdapat di Bogor yaitu corak bulu lurik. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh dari Barred Plymouth Rock. Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa gen yang terdapat pada Barred Plymouth Rock yaitu BB. Pada awalnya lurik hitam-putih pada Barred Plymouth Rock lebih nyata dibandingkan sekarang. Selain itu lurik hitam-putih pada jantan dan betina sama lebar (Jull, 1951).

Frekuensi Gen Bentuk Jengger

Jengger merupakan bentuk modifikasi dari kulit yang terdapat pada bagian puncak kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai bentuk yang beragam, yaitu bentuk jengger tunggal, ros, kapri, cushion, buttercup, bentuk arbei atau bentuk V (Ensminger, 1992). Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang (0,76; 0,78) maupun yang terdapat di Bogor (0,83; 0,82) memiliki nilai frekuensi gen yang tinggi pada bentuk jengger tunggal (single) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa ayam Walik yang ada di Sumedang dan di Bogor tidak memiliki kesamaan gen asli dengan ayam Kampung. Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa gen yang merupakan gen asli ayam Kampung adalah P (kapri). Jengger kenari muncul karena adanya alel R dan alel P. Minkema (1993) menyatakan bahwa dari perkawinan jantan jengger ros homozigot dengan betina jengger ercis homozigot akan menghasilkan keturunan yang semuanya berjengger kenari (wallnut) yang heterozigot.

35

Frekuensi Gen Warna Shank

Warna shank pada ayam yang diamati adalah putih/kuning dan hitam/hijau/abu-abu. Menurut Jull (1951), warna shank merupakan ekspresi dari adanya beberapa pigmen tertentu pada epidermis dan dermis. Ayam Walik yang ada di Sumedang memiliki frekuensi gen yang sama besar antara warna putih/kuning (0,5) dan hitam/hijau (0,5) (Tabel 5). Frekuensi gen warna shank pada ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor menunjukkan frekuensi yang nilainya tinggi pada warna shank putih/kuning (0,63; 0,79; 0,61) (Tabel 5). Warna shank putih/kuning pada ayam Walik dan ayam Kampung dapat menunjukkan bahwa ayam tersebut telah dipengaruhi oleh gen asing. Warna shank putih/kuning dapat dipengaruhi oleh ras Amerika, yaitu Single Rhode Island Red dan Barred Plymouth Rock. Jull (1951) menyatakan bahwa warna shank kuning terdapat pada semua ras amerika dan beberapa ras lain yang dipengaruhi oleh lemak atau pigmen lipokrom pada epidermis. Warna shank putih/kuning juga dapat diduga merupakan hasil dari keturunan ayam Hutan Hijau yang merupakan salah satu ayam hutan yang ada di Indonesia. Sartika dan Sofjan (2007) menyatakan bahwa ayam hutan yang menyebar di Indonesia yaitu ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan ayam Hutan Hijau (Gallus Varius). Ciri spesifik ayam Hutan Hijau yaitu kaki kekuningan atau agak kemerahan sedangkan ayam Hutan Merah memiliki kaki berwarna kelabu.

Laju Introgresi Gen Asing dan Kandungan Gen Asli pada Ayam Walik dan Ayam Kampung

Laju introgresi gen asing yang terdapat pada ayam Walik dan ayam Kampung di Sumedang dan Bogor disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan laju introgresi gen asing pada ayam Walik dan ayam Kampung (Tabel 6), dapat diketahui bahwa ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor dipengaruhi oleh Barred Plymouth Rock (47%; 51%), Single Rhode Island Red (0.4%; 28%) dan White Leghorn (0%; 0.1%). Ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan di Bogor dipengaruhi oleh Barred Plymouth Rock (50%; 66%), White Leghorn (0.2%) dan Single Rhode Island Red (-0.9%; -0.5%) (Tabel 6). Berdasarkan hasil perhitungan laju introgresi diketahui kandungan gen asli pada ayam Walik dan ayam Kampung. Gen asli yang dimiliki ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam

Kampung di Bogor masing-masing adalah 33%, 21% dan 39%. Kandungan gen asli yang dimiliki ayam Walik yang terdapat di Sumedang 50% (Tabel 6).

Tabel 6. Laju Introgresi Gen Asing dan Besaran Gen Asli yang Terdapat pada Ayam Walik dan Ayam Kampung di Sumedang dan Bogor

Jenis ayam QSR QWL QBR D E Sumedang Walik 0.04 0.00 0.47 0.50 0.50 Kampung -0.05 0.02 0.66 0.67 0.33 Bogor Walik 0.28 0.01 0.51 0.79 0.21 Kampung -0.09 0.02 0.59 0.61 0.39

Keterangan : QSR=nilai introgresi ayam Single Rhode Island Red; QWL=nilai introgresi ayam White Leghorn; QBR=nilai introgresi ayam Barred Plymouth Rock; D (laju introgresi)=QSR + QWL + QBR ; E (kandungan gen asli)= 1 - QSR + QWL + QBR

Semakin tinggi nilai laju introgresi gen ayam asing terhadap ayam Walik, maka tingkat keaslian ayam Walik semakin rendah. Penampilan karakteristik ayam- ayam di Asia Tenggara seperti Indonesia dipengaruhi oleh bangsa-bangsa ayam dari Eropa dan Amerika yaitu White Leghorn, Rhode Island Red dan Barred Plymouth Rock (Nishida et al., 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa introgresi terbesar yang mempengaruhi ayam Walik dan ayam Kampung yaitu Barred Plymouth Rock. Hal tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nishida et al. (1980) yang menyatakan bahwa pada ayam Kampung nilai introgresi gen asing tertinggi adalah Single Rhode Island Red dan yang sangat rendah adalah Barred Plymouth Rock dan White Leghorn. Namun hasil penelitian yang dilakukan Wati (2007) menunjukkan bahwa pada ayam Kampung nilai pengaruh bangsa ayam ras unggul asing tertinggi berasal dari Barred Plymouth Rock. Darwati et al. (2002) menyatakan bahwa ayam lokal Indonesia yang memiliki konstitusi gen pengontrol mirip dengan Rhode Island Red adalah ayam Merawang yang berasal dari kepulauan Bangka-Belitung. Tanda minus pada nilai introgresi gen ayam White Leghorn pada ayam Kampung di Sumedang dan Bogor menunjukkan bahwa ayam Kampung di Sumedang dan Bogor sangat kecil atau tidak dipengaruhi sama sekali oleh ayam White Leghorn.

Kandungan gen asli ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam Kampung di Bogor lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Nishida et al. (1980) yang menemukan tingkat keaslian ayam

37 Kampung di Indonesia adalah 28-55% dan khusus di Jawa Barat 46%. Kandungan gen asli ayam Walik yang terdapat di Sumedangyang tinggi menunjukkan tingkat keaslian ayam Walik tersebut. Peternak yang memiliki ayam Walik di Sumedang menyatakan bahwa ayam Walik yang mereka miliki diperoleh dari anggota keluarga peternak yang lain atau hasil perkawinan ayam dengan ayam lain yang berada di sekitar lokasi kandang dan rumah peternak. Hal ini dapat menyebabkan introgresi gen asing tidak terjadi jika dibandingkan dengan ayam Walik yang terdapat di Bogor karena ayam Walik tersebut berasal dari induk yang sama.

Introgresi gen asing diperlukan untuk meningkatkan produktivitas yang disesuaikan dengan perkembangan pasar, namun hal ini berpotensi menghancurkan keseimbangan skema produksi dan akhirnya mengancam keberadaan breed lokal dalam sistem (Simianer, 2005). Hal ini yang menyebabkan populasi ayam Walik semakin berkurang dan hanya ditemukan di daerah tertentu. Crawford (1990) menyatakan bahwa unggas yang memiliki gen asli terdapat pada daerah perkampungan yang dipelihara secara tradisional dengan perhatian yang sangat kecil dan memiliki penampilan produksi yang sangat rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pelestarian terhadap ayam Walik karena ayam tersebut memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitar dibandingkan ayam berbulu normal, sehingga perlu dilakukan pengembangan populasinya. Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa ayam Walik memiliki perbaikan sirkulasi udara panas yang tertahan oleh bulu, sehingga meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan dan meningkatkan kemampuan toleransi panas terutama di daerah beriklim panas. Pengembangan populasi perlu dilakukan karena ukuran populasi yang kecil diketahui dapat menyebabkan penurunan kesehatan dan penampilan reproduksi sehingga beresiko terjadi punahnya ayam Walik (Simianer, 2005). Pelestarian dapat dilakukan dengan pemanfaatan melalui pemuliaan sederhana. Upaya pemanfaatan pemuliaan sederhana ayam Walik dapat dilakukan dengan cara inventarisasi keragaman genetik ayam Walik, memperkenalkan ayam Walik serta memberi informasi keunggulan-keunggulan yang dimiliki ayam Walik kepada masyarakat secara luas dan memberikan penyuluhan kepada peternak mengenai sistem pemeliharaan yang tepat pada ayam Walik.

Karakteristik Sifat Kuantitatif Ayam Walik dan Ayam Kampung

Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa secara umum ukuran tubuh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor tidak berbeda (Tabel 7 dan Tabel 8). Persamaan ukuran tubuh pada ayam Walik dan ayam Kampung jantan diduga dapat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan. Sistem pemeliharaan semi intensif yang diterapkan oleh peternak ayam dengan hanya memberikan dedak dan sisa makanan manusia yang diberikan dua kali sehari dengan jumlah yang tidak tetap, tanpa memperhatikan kebutuhan nutrien ayam, tanpa pemberian vitamin dan keadaan kandang yang tidak nyaman dapat menyebabkan potensi genetik dari ayam Walik tidak muncul secara optimal. Noor (2008) menyatakan bahwa ternak yang memiliki mutu genetik tinggi harus dipelihara pada lingkungan yang baik pula agar ternak dapat menampilkan produksi secara maksimal.

Ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap tumbuh yang terdapat di Sumedang memiliki perbedaan pada ukuran panjang dada (P<0,01), dimana ayam Kampung memiliki panjang dada yang lebih besar (7,4±0,88 cm) dibandingkan dengan ayam Walik (6,2±1,05 cm) (Tabel 7), sedangkan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir di Sumedang memiliki perbedaan pada ukuran lebar dada (P<0,05). Ayam Kampung memiliki lebar dada yang lebih besar (13,8±3,91 cm) dibandingkan ayam Walik (10,7±1,42 cm) (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa untuk membedakan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap tumbuh yang terdapat di Sumedang selain dapat dilihat dari bentuk bulunya yang keriting, juga dapat dilihat dari ukuran panjang dada dan lebar dada yang kecil pada ayam Walik.

Ayam Walik dan ayam Kampung jantan tahap akhir yang terdapat di Bogor memiliki perbedaan pada ukuran lingkar tarsometatarsus. Ayam Walik memiliki lingkar tarsometatarsus lebih besar (3,8±0,52 cm) dibandingkan ayam Kampung (3,3±0,53 cm) (Tabel 8). Ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir yang terdapat di Bogor memiliki perbedaan pada ukuran panjang femur dan lebar dada (P<0,05). Ayam Walik memiliki femur yang lebih panjang (8,2±0,68 cm) dibandingkan dengan ayam Kampung (7,7±0,79 cm) (Tabel 8).

39 Tabel 7. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung di Sumedang

Parameter Ayam Walik Ayam Kampung

Jantan Betina Jantan Betina Fase tumbuh (n=7) Fase akhir (n=8) Fase tumbuh (n=9) Fase akhir (n=12) Fase tumbuh (n=8) Fase akhir (n=12) Fase tumbuh (n=14) Fase akhir (n=24) BB (kg) 0.7±0.16(21.7) 1.2 ± 0.22(17.6) 0.5±0.21(28.2) 1.1±0.17(15.7) 0.7±0.17(23.4) 1.1±0.67(58.9) 0.5±0.11(19.9) 1.1±0.51(47.3) PS (cm) 7.2±0.63(8.8) 8.67±1.19(13.8) 6.2±1.08(17.3) 7.5±0.98(13.0) 7.6±0.78(10.2) 8.1±1.33(16.5) 7.0±0.92(13.2) 7.5±1.37(18.2) PT (cm) 10.6±1.22(11.6) 12.5±1.39(11.2) 9.4±1.88(20.0) 11.5±1.37(11.9) 11.3±0.84(7.5) 11.9±1.81(15.2) 10.9±1.49(13.6) 11.5±1.99(17.4) PF (cm) 7.6±0.55(7.2) 8.9±1.11(12.3) 6.8±1.27(18.6) 8.1±1.01(12.5) 7.9±0.67(8.5) 8.8 ±1.62(18.4) 7.7±0.92(12.1) 8.2±1.38(16.8) PRS (cm) 17.2±1.35(7.8) 21.0±2.37(11.3) 15.6±2.33(14.9) 18.6±1.44(7.8) 18.6±1.37(7.4) 19.7±2.35(11.9) 17.4±1.34(7.7) 18.4±2.33(12.7) PD (cm) 7.3±0.61(8.4) 8.8±0.94(10.6) 6.2±1.05(16.9)a 8.4±1.01(12.1) 7.8 ± 0.83(10.7) 8.6 ± 3.06(35.4) 7.4±0.88b(11.9)b 8.3±1.92(23.2) PP (cm) 10.2±0.86(8.4) 12.3±1.17(9.51) 9.8±1.25(12.8) 11.3±0.81(7.2) 10.8±0.97(9.0) 12.3±1.95(15.9) 10.5±1.28(12.1) 12.1±2.03(16.9) LD (cm) 13.9±1.41(10.1) 15.9±1.92(12.1) 12.3±2.38(19.3) 10.7±1.42(13.2)A 13.2±1.78(13.4) 13.8±4.09(29.6) 13.3±1.96(14.7) 13.8±3.91b(28.4)B LiT (cm) 3.2±0.21(6.6) 3.9±0.32(8.3) 3.0±0.33(10.8) 3.7±0.44a(11.8) 3.5 ± 0.42(12.1) 3.5±0.54(15.3) 3.1 ±0.34(10.9) 3.7±0.47(12.8) LiD (cm) 22.7±2.07(9.1) 27.3 ± 3.31(12.1) 19.5±3.38(17.3) 26.3±3.39(12.9) 21.9 ± 2.11(9.6) 23.2±6.06(26.1) 21.4±3.18(14.9) 23.7±5.47(23.1) Keterangan:

• Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata(P<0.05), huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama dan ditulis kapital menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji-t dengan selang kepercayaan 95%.

• BB = bobot badan; PS = panjang shank; PT= panjang tibia; PF= panjang femur; PRS = panjang rentang sayap; PD = panjang dada; PP = panjang punggung; LD = lebar dada; LiM = lingkar tarsometatarsus; LiD = lingkar dada.

Tabel 8. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman dan Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung di Bogor

Parameter Ayam Walik Ayam Kampung

Jantan Betina Jantan Betina

Fase Tumbuh (n=0) Fase akhir (n=16) Fase tumbuh (n=8) Fase akhir (n=18) Fase tumbuh (n=3) Fase akhir (n=20) fase tumbuh (n=3) fase akhir (n=28) BB (kg) - 1.2±0.49(39.2) 0.5±0.11(23.7) 0.5±0.11(44.2) 0.3±0(0) 0.9±0.34(34.3) 0.4±0.10(27.2) 0.9±0.36(37.1) PS (cm) - 8.6±1.40(16.4) 5.8±0.70(11.9) 7.4± 0.87(11.7) 5.3±0.53(10.2) 7.8±1.11(14.3) 5.7±0.47(8.2) 7.1±0.85(12.0) PT (cm) - 13.4±1.86(13.9) 9.1±1.00(11.0) 11.8±1.10(9.4) 8.7±0.52(5.9) 12.2±1.76(14.4) 9.2±0.56(6.1) 11.4±1.28(11.2) PF (cm) - 8.9±1.23(13.8) 6.1±0.91(14.9) 8.2± 0.68(8.3)a 6.3±0.31(4.9) 8.5±1.05(12.3) 6.4±0.41(6.4) 7.7±0.79 (10.3)b PRS (cm) - 20.5±2.42(11.8) 14.9±1.58(10.5) 18.4±1.27(6.9) 15.5±0.66(4.3) 19.8±1.89(9.5) 15.8±1.32(8.4) 18.4±1.68(9.2) PD (cm) - 8.9±1.39(15.6) 6.11± 0.69(11.3) 8.7± 1.41(16.3) 5.5±0.41(7.5) 8.6±1.24(14.5) 6.1±1.13(18.7) 8.3±1.05(12.7) PP (cm) - 11.9±1.78(14.9) 8.9 ±0.73(8.1) 11.7±1.58(13.6) 8.8±0.42(4.8) 11.7±1.48(12.7) 8.8±1.23(13.9) 11.3±1.37(12.1) LD (cm) - 9.2±1.09(11.8) 7.0±0.81(11.6) 9.1±1.09 (11.9)a 6.8±0.28(4.2) 8.6±0.92(10.7) 6.78±0.85(12.6) 8.5±0.77 (9.1)b LiT (cm) - 3.8 ±0.52(13.9)a 3.0±0.47(15.2) 3.3±0.46 (13.9) 2.4±0.08(3.4) 3.3±0.53(15.9)b 2.5±0.35(13.9) 3.2±0.39(11.9) LiD (cm) - 26.9±5.28(19.6) 18.8±1.96(10.5) 26.0±5.48(21.1) 16.3±1.04(6.4) 24.6±3.62 17.5±1.49(8.6) 23.9±3.13(13.1) Keterangan:

• Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata(P<0.05), huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama dan ditulis kapital menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji-t dengan selang kepercayaan 95%.

• BB = bobot badan; PS = panjang shank; PT= panjang tibia; PF= panjang femur; PRS = panjang rentang sayap; PD = panjang dada; PP = panjang punggung; LD = lebar dada; LiM = lingkar tarsometatarsus; LiD = lingkar dada..

Ayam Walik juga memiliki dada yang lebih lebar (9,1±1,09 cm) dibandingkan dengan dada ayam Kampung (8,5±0,77 cm) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa untuk membedakan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir yang terdapat di Bogor dapat dilihat dari ukuran femur yang panjang dan dada yang lebar

Dokumen terkait