• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan di Sumedang (Desa Padanaan, Palasah, Ujungjaya dan Keboncau) dan Bogor (Kampung Cangkrang, Desa Cikarawang, Kampung Carang pulang, Desa Situgede, Desa Babakan Lebak, Desa Babakan Lio, Desa Cibeureum Dramaga, Desa Neglasari dan Desa Kahuripan). Pelaksanaan penelitian (pengambilan data) dilakukan pada tanggal 15 Juli hingga 7 Agustus 2009 serta 20 Januari hingga 9 Februari 2010.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan yaitu ayam Walik jantan dan betina sebanyak 78 ekor. Ayam Walik sebanyak 36 ekor (15 jantan, 21 betina) berasal dari Sumedang dan sebanyak 42 ekor (16 jantan, 26 betina) berasal dari Bogor. Selain ayam Walik digunakan pula ayam Kampung sebagai pembanding sebanyak 58 ekor (17 jantan, 41 betina) berasal dari Sumedang serta 56 ekor (23 jantan, 33 betina) berasal dari Bogor.

Alat

Alat yang digunakan adalah jangka sorong merek Triple brand 0-150 mm dengan ketelitian 0,02 mm, timbangan merek Kondo kapasitas 10 kg dengan ketelitian 50 g, pita ukur merek Butterfly dengan ketelitian 1 mm, alat tulis, tabel pengamatan dan kamera digital merek Kodak 7,3 pixel.

Prosedur Penentuan Lokasi

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive method) berdasarkan hasil survei awal yang menunjukkan bahwa ayam Walik masih terdapat di daerah Sumedang dan Bogor meskipun dengan jumlah yang terbatas. Penentuan desa pada kedua daerah tersebut berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar mengenai desa-desa yang masih terdapat ayam Walik.

Pengumpulan Data

Ayam Walik dan ayam Kampung yang digunakan diperoleh dari peternak rakyat yang terdapat di daerah Sumedang dan daerah Bogor secara acak. Pengambilan data dilakukan dengan cara memotret bagian tubuh (kepala, punggung, secara keseluruhan) ayam Walik dan ayam Kampung untuk data kualitatif, sedangkan untuk data kuantitatif dilakukan pengukuran langsung terhadap bagian-bagian tubuh ayam Walik dan ayam Kampung. Ayam Walik dan ayam Kampung dibedakan menjadi jantan dan betina serta dipisahkan menjadi tahap pertumbuhan (grower) yang berumur 6-12 minggu dan tahap akhir (finisher) berumur lebih dari 12 minggu (Deptan, 2006).

Peubah yang Diamati Sifat kualitatif

Penentuan warna bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank, bentuk jengger dilakukan dengan metode yang disarankan Somes (1988) dan untuk warna mata dan warna cuping dengan menggunakan pedoman FAO (1986). Penentuan karakteristik kualitatif sebagai berikut:

1. Warna Bulu. Warna bulu dibedakan menjadi warna putih dan warna selain putih (berwarna). Warna bulu putih ditentukan apabila pada seluruh permukaan pada bulu ayam berwarna putih; sedangkan berwarna, bila ditemukan warna selain putih pada permukaan bulu di sekujur tubuh ayam.

2. Pola Warna Bulu. Pola warna bulu dibedakan menjadi pola warna hitam, liar dan kolumbian. Pola hitam ditentukan apabila pada seluruh permukaan bulu pada ayam berwarna hitam polos, pola warna liar ditentukan apabila ditemukan warna hitam pada bagian dada dan ventral dan pola warna kolumbian ditentukan apabila ada pembatas warna pada leher, sayap dan ekor (umumnya berwarna coklat dan dibatasi warna hitam pada bagian leher, sayap dan ekor).

3. Kerlip Warna Bulu. Kerlip warna bulu dibedakan menjadi kerlip warna bulu keperakan dan keemasan. Kerlip bulu keperakan terdapat pada ayam yang memiliki warna bulu putih, lurik hitam dan putih, sedangkan kerlip warna bulu keemasan terdapat pada ayam yang memiliki warna bulu hitam, coklat, lurik hitam dan coklat.

4. Corak Warna Bulu. Corak warna bulu dibedakan menjadi corak warna bulu lurik dan corak warna bulu polos. Penentuan corak warna bulu lurik, bila ditemukan adanya kombinasi lebih dari satu warna dalam satu bulu; sedangkan corak warna bulu polos, bila ditemukan hanya satu warna dalam satu bulu.

5. Warna Shank. Warna shank dibedakan menjadi warna shank kuning atau putih dan hitam atau abu-abu. Warna shank kuning atau putih ditentukan apabila ditemukan shank berwarna kuning atau putih pada ayam, sedangkan warna

shank hitam atau abu-abu ditentukan apabila ditemukan shank berwarna hitam atau abu-abu pada ayam (Gambar 3).

(a) (b)

(c) (d) Gambar 3. Variasi Warna Shank pada Ayam: (a) Shank Putih (b) Shank

Hijau dan Abu-abu (c) Shank Hitam (d) Shank Kuning (FAO, 1986)

6. Bentuk Jengger. Bentuk jengger dibedakan menjadi bentuk jengger kapri dan tunggal. Bentuk jengger kapri ditentukan apabila ditemukan bentuk jengger berpilah tiga pada ayam, sedangkan bentuk jengger tunggal ditentukan apabila ditemukan bentuk jengger berpilah satu atau tunggal pada ayam (Gambar 4).

(a) (b) (c)

Gambar 4. Variasi Bentuk Jengger pada Ayam: (a) Tunggal, (b) Pea, dan (c) Ros (FAO, 1986)

7. Warna Cuping. Warna cuping dibedakan menjadi merah, putih dan perpaduan antara merah dan putih dengan warna dominan merah (Gambar 5).

(a) (b) (c)

Gambar 5. Variasi Warna Cuping pada Ayam: (a) Merah, (b) Putih, dan (c) Merah-Putih (FAO, 1986)

8. Warna Mata. Warna mata dibedakan menjadi warna oranye, warna cokelat dan warna kuning (Gambar 6).

(a) (b) (c)

Gambar 6. Variasi Warna Mata pada Ayam: (a) Oranye, (b) Cokelat, dan (c) Kuning (FAO, 1986)

Sifat kuantitatif

Beberapa sifat kuantitatif yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bobot badan diperoleh dengan penimbangan menggunakan timbangan dalam

satuan kg.

2. Panjang shank diperoleh dengan mengukur panjang tulang tarsometatarsus

(shank) menggunakan jangka sorong (cm).

3. Panjang tibia diperoleh dengan mengukur panjang tulang tibia dari patella

sampai ujung tibia menggunakan jangka sorong (cm).

4. Panjang femur diperoleh dengan mengukur panjang tulang femur, menggunakan jangka sorong (cm).

5. Panjang rentang sayap diperoleh dengan mengukur panjang tulang humerus,

radius ulna dan metacarpus sampai phalanges menggunakan jangka sorong (cm).

6. Panjang dada diperoleh dengan mengukur ujung tulang dada bagian depan sampai ujung bagian belakang dengan menggunakan jangka sorong (cm).

7. Panjang punggung diperoleh dengan mengukur panjang tulang dari perbatasan tulang punggung dengan tulang leher sampai ujung tulang ekor dengan menggunakan jangka sorong (cm).

8. Lebar dada diperoleh dengan mengukur jarak belakang tulang sendi diantara sayap punggung kanan dan kiri dengan menggunakan pita ukur (cm).

9. Lingkar tarsometatarsus diperoleh dengan mengukur lingkar tulang shank

dengan menggunakan pita ukur (cm).

10.Lingkar dada diperoleh dengan mengukur lingkar dada menggunakan pita ukur (cm).

Keterangan: X2 = panjang tarsometatarsus; X3 = panjang tibia; X4 = panjang femur; X8 = panjang punggung; X9 = panjang sayap; X10 = lingkar dada; X11 = lingkar tarsometatarsus; a = panjang humerus; b = panjang radius dan ulna; c = panjang metacarpus

Gambar 7. Bagan Bagian-bagian Tubuh Ayam (Koch, 1973)

Analisis Data Sifat Kualitatif

Data sifat kualitatif meliputi perhitungan proporsi fenotipe, frekuensi gen, laju introgresi gen dan tingkat keaslian gen. Proporsi warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank, warna mata, warna cuping, bentuk jengger dihitung berdasarkan jumlah fenotipe yang muncul dibagi dengan jumlah individu ayam yang diamati dikalikan dengan 100% dengan rumus sebagai berikut:

Proporsi sifat kualitatif = Jumlah fenotipe yang muncul x 100% Jumlah total ayam

Perhitungan frekuensi gen warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank, bentuk jengger, laju introgresi gen asing dan tingkat keaslian gen mengacu pada rumus Nishida et al. (1980) dan Stanfield (1982) sebagai berikut:

1. Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal

Frekuensi gen dominan untuk sifat warna bulu dan bentuk jengger, yang merupakan gen-gen autosomal dihitung dengan menggunakan rumus (Nishida et al., 1980):

Keterangan :

q = frekuensi gen dominan autosomal R = jumlah individu dengan ekspresi resesif N = jumlah total individu

2. Frekuensi Gen Dominan Terkait Kromosom Kelamin

Frekuensi gen dominan untuk corak bulu, kerlip bulu dan warna shank yang merupakan gen terpaut kelamin dihitung dengan menggunakan rumus (Nishida

et al., 1980):

q = q ♂ + q ♀

q ♀ = Keterangan :

q ♂ = frekuensi gen dominan pada jantan N ♂ = jumlah total individu jantan q ♀ = frekuensi gen dominan pada betina R ♀ = jumlah individu betina ekspresi resesif N ♀ = jumlah total individu betina

2 N ♂ 2 N ♂ + N ♀ N ♀ 2 N ♂ + N ♀ N ♀ - R ♀ N ♀

3. Frekuensi Gen Alel Ganda

Frekuensi gen untuk pola warna bulu yang merupakan alel ganda dihitung dengan menggunakan rumus Stanfield (1982) sebagai berikut:

p = 1 – q – r Keterangan :

p = frekuensi gen E q = frekuensi gen e+ r = frekuensi gen e

4. Laju Introgresi Gen Ayam Asing

Gen bangsa ayam asing yang mempengaruhi ayam lokal dihitung berdasarkan rumus:

QWL = qI

QSR = qId – qB

QBR = qB – qI

Keterangan:

QWL : nilai introgresi gen ayam White Leghorn

QSR : nilai introgresi gen ayam Single Rhode Island Red

QBR : nilai introgresi gen ayam Barred Plymouth Rock

qI : frekuensi gen warna putih qB : frekuensi gen corak bulu lurik

5. Tingkat Keaslian Gen

Tingkat keaslian gen pada ayam Walik dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut:

1 – (QWL + QSR + QBR) Keterangan:

QWL : nilai introgresi gen ayam White Leghorn

QSR : nilai introgresi gen ayam Single Rhode Island Red

QBR : nilai introgresi gen ayam Barred Plymouth Rock

Sifat Kuantitatif

Data sifat kuantitatif dianalisis secara deskriptif yang terdiri dari nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman dari bobot badan, panjang shank, panjang

tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar tarsometatarsus dan lingkar dada dengan rumus (Steel dan Torrie, 1995):

Perbandingan ukuran tubuh antara ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1995):

 

Keterangan:

= rataan ukuran tubuh tertentu ayam Walik = rataan ukuran tubuh tertentu ayam Kampung

n1 = jumlah individu pada populasi ayam Walik n2 = jumlah individu pada populasi ayam Kampung

Analisis sifat kuantitatif dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer Minitab 14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait