• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi

Karakteristik rumah tanggameliputi tingkat pendidikan kepala keluarga, tingkat pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan kepala keluarga, pekerjaan ibu rumah tangga, besar keluarga, pengeluaran rumah tangga dan proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga. Karakteristik sosial ekonomi keluarga disajikan pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3Karakteristik rumah tangga

Variabel n %

Tingkat pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 25 1.5

Tidak tamat/tamat SD 339 20.9

Tamat SLTP 315 19.4

Tamat SLTA 691 42.5

Tamat Perguruan Tinggi 256 15.7

Total 1626 100.0 Tingkat pendidikan ibu

Tidak pernah sekolah 37 2.3

Tidak tamat/tamat SD 452 27.8

Tamat SLTP 348 21.4

Tamat SLTA 575 35.4

Tamat Perguruan Tinggi 214 13.2

Total 1626 100.0 Pekerjaan KK Tidak bekerja 100 6.2 TNI/Polri/PNS/Pegawai 389 23.9 Wiraswasta/layan jasa/dagang 755 46.4 Petani/nelayan/buruh 280 17.2 Lainnya 104 6.3 Total 1626 100.0 Pekerjaan iburumah tangga

Tidak bekerja 996 61.2 TNI/Polri/PNS/Pegawai 148 9.1 Wiraswasta/layan jasa/dagang 258 15.9 Petani/nelayan/buruh 68 4.2 Lainnya 156 9.6 Total 1626 100.0 Besar keluarga

≤ 4 anggota keluarga (kecil) 1436 88.3

5 – 7 anggota keluarga (sedang) 173 10.6

> 7 anggota keluarga (besar) 17 1.1

Total 1626 100.0 Pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bln)

Pengeluaran pangan 587 396 38.3

Pengeluaran non pangan 945 226 61.7

Pengeluaran total 1 532 623 100.0 Pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bln)

< Rp. 338.783.-/kap/bln (miskin) 47 2.9

>Rp. 338.783.- (tidak miskin) 1579 97.1

Total 1626 100.0 Proporsi pengeluaran pangan

< 60% (tahan pangan) 1254 77.1

≥ 60% (rentanpangan) 372 22.9 Total 1626 100.0

14

Berdasarkan Tabel 3, sebagian besar (42.5%) tingkat pendidikan kepala keluarga (KK) adalah tamat SLTA, begitu pula tingkat pendidikan ibu rumah tangga sebagian besar (35.4%) adalah tamat SLTA, namun masih terdapat 20.9% kepala keluarga dan 27.8% ibu rumah tangga yang tidak tamat / tamat SD. DKI Jakarta dalam angka tahun 2011 juga menampilkan data yang hampir sama bahwa sebagian besar tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta (41.7%) adalah tamat SLTA dan 20.1% tidak tamat / tamat SD. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan. Latar belakang pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, terutama dalam pemilihan makanan sehari-hari yang berperan penting dalam menentukan status gizi balita dan keluarga (Damanik et al.2010).

Sebagian besar pekerjaan kepala keluarga adalah wiraswasta yaitu 46.4% namun masih terdapat 6.2% kepala keluarga yang tidak berkerja, sedangkan untuk ibu rumah tangga terdapat 15.9% berprofesi sebagai wiraswasta namun sebagian besar (61.2%) tidak bekerja. Jumlah yang hampir sama terdapat pada DKI dalam angka tahun 2011 yaitu sebesar 34.9% pekerjaan penduduk adalah wiraswasta. Jenis pekerjaan yang dilakukan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterima individu.

Sebagian besar rumah tangga contoh (88.3%) termasuk keluarga kecil, hanya 1.0% yang termasuk keluarga besar. Data ini sesuai dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga di DKI Jakarta dalam angka tahun 2011 sebesar 3.93 atau ≤

4 orang. Menurut Hartog et al (1995) dalam Tanziha dan Herdiana (2009) besar keluarga mempengaruhi kebiasan makan dan gizi rumah tangga.

Pengeluaran rata-rata rumah tangga perkapita perbulan adalah sebesar Rp 1532623, dimana pengeluaran rata-rata untuk pangan adalah sebesar Rp 587 396 atau 38.3% dari total pengeluaran dan pengeluaran rata-rata untuk non pangan Rp 945 226atau 61.7% dari total pengeluaran. Data ini lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata perkapita per bulan DKI Jakarta dalam angka 2011 yang sebesar Rp 1047996dengan proporsi pengeluaran pangan sebesar 37.52% dan proporsi pengeluaran non pangan sebesar 62.48%. Pengeluaran rata-rata rumah tangga perkapita perbulan yang diperoleh juga masih lebih besar dari upah minimum propinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2010 yang sebesar Rp 1 118 009.

Berdasarkan garis kemiskinan yang terdapat pada DKI Jakarta dalam angka 2011 yaitu sebesar Rp 338783/kapita/bulan, sebagian besar rumah tangga contoh (97.0%) termasuk keluarga tidak miskin, hanya 3.0% sisanya yang termasuk keluarga miskin, lebih kecil jika dibandingkan dengan data persentase penduduk miskin yang terdapat di DKI Jakarta dalam angka tahun 2011 yaitu sebesar 4.04%. Berdasarkan proporsi pengeluaran pangan rumatangga, sebagian besar rumah tangga contoh (77%) memiliki proporsi pengeluaran pangan <60% sehingga termasuk dalam rumah tangga dengan kategori “tahan pangan”, hal ini sejalan dengan data pengeluaran rata-rata/kapita/bulan menurut kelompok barang yang terdapat di DKI Jakarta dalam angka tahun 2011, dimana pengeluaran rata-rata/kapita/bulan penduduk untuk kelompok makanan adalah sebesar 37.52% atau <60%. Kerentanan suatu rumah tangga terhadap akses pangan tercermin dalam proporsi pengeluaran untuk membeli makanan.Rumah tangga disebut memiliki keterjangkauan pangan yang baik apabila pendapatan perkapitanya berada di atas

15 garis kemiskinan dan proporsi pengeluaran pangannya kurang dari 60% pengeluaran riil (Manesa 2008).

Tabel 4Sebaran anggota rumah tangga (ART) berdasarkan umur dan jenis kelamin

Variabel Umur Laki-laki Perempuan TotalART

N % n % n %

0-5 tahun (balita) 39 0.7 53 1,2 92 1.9

6-12 tahun (usia sekolah) 108 2.2 89 1.7 197 3.9 13-15 tahun (pra remaja) 87 1.8 92 1.8 179 3.6 16-18 tahun (remaja) 135 2.7 132 2.7 267 5.4 19-55 tahun (dewasa) 1831 36.9 1886 38.0 3717 74.9

≥ 56 tahun (lansia) 302 6.1 210 4.2 512 10.3

Total 2502 50.4 2462 49.6 4964 100.0

Berdasarkan Tabel 4, persentase anggota rumah tangga menurut jenis kelamin hampir seimbang yaitu 50.4% laki-laki dan 49.6% perempuan, komposisi ini tidak jauh berbeda dengan data penduduk DKI Jakarta dalam angka tahun 2011 yaitu 50.7% laki-laki dan 49.3% perempuan. Sebagian besar anggota rumah tangga (74.9%) berusia dewasa yaitu pada kelompok umur 19-55 tahun, hal ini tidak jauh berbeda dengan data penduduk DKI Jakarta dalam angka tahun 2011, dimana kelompok usia dewasa merupakan kelompok yang dominan yaitu sebesar 67.7%.

Analisis Konsumsi Pangan

Dari sisi norma gizi terdapat standar minimum jumlah makanan yang dibutuhkan seorang individu agar dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas. Salah satu ukuran kuantitas konsumsi pangan adalah jumlah konsumsi energi atau konsumsi protein.Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan jumlah zat gizi yang dikandung dalam bahan pangan.Untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif digunakan parameter Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP).Sebaran tingkat kecukupan energi individu atau anggota rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 5, jumlah anggota rumah tangga dengan tingkat konsumsi energi normal dan lebih adalah sebesar 23.2%, namun sebagian besar (57.5%) anggota rumah tangga tingkat konsumsi energinya dibawah kebutuhan minimal atau ≤ 70 % AKG, dimana kontribusi terbesar pada kelompok umur 19 -55 tahun yaitu sebesar 42.3% yang terdiri dari 23.1% pada laki-laki dan 19.2% pada perempuan. Hasil riskesdas 2010 melaporkan bahwa penduduk DKI Jakarta yang konsumsinya dibawah kebutuhan minimal atau yang ≤70% AKG adalah

sebesar 39.9% , yang kontribusi terbesarnya terdapat pada kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53.3%, dan kelompok umur 19-55 tahun sebesar 42.3% . Hasil analisis Anwar dan Hardinsyah (2014), menyatakan bahwa median pemenuhan kebutuhan gizi untuk energi pada kelompok umur 19-49 tahun (dewasa) secara nasional adalah sebesar 69.1% yang mencakup 65.6% dari sampel penelitian. Hasil analisis Prasetyo et al(2013), menyatakan rata-rata kecukupan energi anak usia 2-6 tahun secara nasional sebesar 84.4%, dan hasil analisis Pertiwiet al(2014)

16

menyatakan bahwa rata-rata kecukupan energi anak usia 7-12 tahun secara nasional adalah sebesar 69.5 %.

Tabel 5Sebaran tingkat kecukupan energi (TKE) anggota rumah tangga menurut umurdan jenis kelamin

Umur TKE TOTAL ≤70% 70-80% 80-89% 90-119% ≥120 % n % n % n % n % n % n % Laki-laki 0-5 tahun 8 0.2 6 0.1 1 0.0 4 0.1 20 0.4 39 0.8 6-12 tahun 53 1.1 11 0.2 9 0.2 22 0.4 13 0.3 108 2.2 13-15 tahun 69 1.4 3 0.1 5 0.1 6 0.1 4 0.1 87 1.8 16-18 tahun 97 2.0 13 0.3 9 0.2 10 0.2 6 0.1 135 2.7 19-55 tahun 1146 23.1 219 4.4 135 2.7 229 4.6 102 2.1 1831 36.9 ≥ 56 tahun 215 4.3 27 0.5 21 0.4 27 0.5 12 0.2 302 6.1 Sub total 1 1588 32.0 279 5.6 180 3.6 298 6.0 157 3.2 2502 50.4 Perempuan 0-5 tahun 16 0.3 3 0.1 7 0.1 10 0.2 17 0.3 53 1.1 6-12 tahun 49 1.0 11 0.2 3 0.1 14 0.3 12 0.2 89 1.8 13-15 tahun 62 1.2 11 0.2 7 0.1 6 0.1 6 0.1 92 1.9 16-18 tahun 90 1.8 11 0.2 13 0.3 10 0.2 8 0.2 132 2.7 19-55 tahun 951 19.2 233 4.7 159 3.2 357 7.2 186 3.7 1886 38.0 ≥ 56 tahun 98 2.0 29 0.6 17 0.3 44 0.9 22 0.4 210 4.2 Sub total 2 1266 25.5 298 6.0 206 4.1 441 8.9 251 5.1 2462 49.6 TOTAL 2854 57.5 577 11.6 386 7.8 739 14.9 408 8.2 4964 100.0

Berdasarkan tabel 6, sebagian besar (43.4%) anggotarumah tangga tingkat konsumsi proteinnya normal dan lebih. Hasil analisis Anwar dan Hardinsyah (2014), menyatakan bahwa rata-rata pemenuhan kebutuhan protein pada kelompok umur 19-49 tahun (dewasa) secara nasional adalah sebesar 50.1 g atau 96.3% AKG yang mencakup 88.2% dari sampel penelitian. Hasil analisis Prasetyo

et al (2013), menyatakan rata-rata kecukupan energi anak usia 2-6 tahun secara nasional sebesar 140.1%, dan hasil analisis Pertiwi et al(2014) menyatakan bahwa rata-rata kecukupan protein anak usia 7-12 tahun secara nasional adalah sebesar 115.5 %.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan individu, menurut Hardinsyah (2007) keragaman konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pengetahuan gizi, daya beli pangan, waktu yang tersedia untuk pengolahan pangan dan tersedianya pangan lokal.Menurut Suryana (2008), konsumsi pangan yang beraneka ragam dan seimbang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor internal (individu) seperti pendapatan, preferensi, budaya dan religi serta pengetahuan gizi. Faktor eksternal sepertiproduksi,ketersediaan dan distribusi.Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dalam

17 jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia.

Tabel 6Sebaran tingkat kecukupan protein (TKP) anggota rumah tangga menurut umur dan jenis kelamin

Umur TKP TOTAL ≤70% 70-80% 80-89% 90-119% ≥120 % n % n % n % n % n % n % Laki-laki 0-5 tahun 1 0.02 1 0.02 1 0.02 9 0.18 27 0.54 39 0.8 6-12 tahun 29 0.58 9 0.18 6 0.12 19 0.38 45 0.91 108 2.2 13-15 tahun 42 0.85 10 0.20 9 0.18 13 0.26 13 0.26 87 1.8 16-18 tahun 64 1.29 20 0.40 11 0.22 23 0.46 17 0.34 135 2.7 19-55 tahun 723 14.56 228 4.59 164 3.30 380 7.66 336 6.77 1831 36.9 ≥ 56 tahun 169 3.40 28 0.56 15 0.30 55 1.11 35 0.71 302 6.1 Sub total 1 1028 20.71 296 5.96 206 4.15 499 10.05 473 9.53 502 50.4 Perempuan 0-5 tahun 10 0.20 4 0.08 2 0.04 9 0.18 28 0.56 53 1.1 6-12 tahun 31 0.62 4 0.08 6 0.12 24 0.48 24 0.48 89 1.8 13-15 tahun 36 0.73 12 0.24 10 0.20 15 0.30 19 0.38 92 1.9 16-18 tahun 56 1.13 11 0.22 14 0.28 24 0.48 27 0.54 132 2.7 19-55 tahun 640 2.89 187 3.77 147 2.96 398 8.02 514 10.35 886 38.0 ≥ 56 tahun 75 1.51 19 0.38 18 0.36 43 0.87 55 1.11 210 4.2 Sub total 2 848 7.08 237 4.77 197 3.97 513 10.33 667 3.44 2462 49.6 TOTAL 1876 37.8 533 10.7 403 8.1 1012 20.4 1140 23.0 4964 100.0

Hasil analisis konsumsi pangan rumah tangga seperti terlihat pada Tabel 7 yang merupakan Sebaran tingkat kecukupan gizi (TKG) rumah tangga., rata-rata konsumsi energi rumah tangga hanya 1500 ± 711.48 kal/kap/hari atau hanya 75.0 ± 35.6 % dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan, sedangkan rata-rata konsumsi protein sebesar 50.82 ± 27.1 g/kap/hari atau 96.7 ± 52.1 % dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Anwar dan Hardinsyah (2014) bahwa dari data Riskesdas 2010 didapatkan rata-rata konsumsi energi untuk kelompok umur 19-49 tahun (dewasa) 1566.1 ± 153.6 kkal dan rata-rata konsumsi protein 50.1 ± 6.8 g.

Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebagian besar rumah tangga (53.1%) termasuk dalam kategori defisit tingkat berat atau ≤ 70% angka kecukupan energi

(AKE), hanya 19.9% yang termasuk kategori normal dan lebih. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga sebagian besar (47.2%) termasuk dalam kategori normal dan lebih, sedangkan 30.3% diantaranya masuk ke dalam kategori defisit tingkat berat. Data yang tidak jauh berbeda dengan laporan Riskesdastahun 2010 yang menyatakan bahwa 39.9% penduduk DKI Jakarta konsumsi energinya kurang dari 70% dan 30.7% penduduk DKI Jakarta konsumsi proteinnya kurang dari 80%. Data yang sama juga tersaji pada laporan Riskesdas 2007 yang menyatakan bahwa terdapat 63.9% rumah tangga di DKI Jakarta yang konsumsi energinya kurang dari rerata nasional (1735.5 kkal) dan terdapat 50.3% rumah tangga yang konsumsi proteinnya kurang dari rerata nasional (55.5 g).

18

Tabel 7Sebaran tingkat kecukupan gizi (TKG) rumah tangga

Konsumsi energi (Kal/kap/hr)

Rata-rata ± Sd 1500 ± 711,48kkal

Konsumsi protein (g/kap/hr)

Rata-rata ± Sd 50,82 ± 27,10 g

Variabel n %

Tingkat konsumsi energi (TKE) rumah tangga

Defisit tingkat berat : ≤70% AKG 863 53.1 Defisit tingkat sedang : 70-80% AKG 253 15.6 Defisit tingkat ringan : 80 – 89 % AKG 186 11.4

Normal : 90 – 119% AKG 239 14.7

Kelebihan : ≥120% AKG 85 5.2

Total 1626 100.0

Tingkat konsumsi protein (TKP) rumah tangga

Defisit tingkat berat : ≤70% AKG 492 30.3 Defisit tingkat sedang : 70-80% AKG 207 12.7 Defisit tingkat ringan : 80 – 89 % AKG 159 9.8

Normal : 90 – 119% AKG 415 25.5

Kelebihan : ≥120% AKG 353 21.7

Total 1626 100.0

Indikator untuk mengukur tingkat keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan, yang juga merupakan indikator kualitas konsumsi pangan adalah dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Menurut Hardinsyah (2002), dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, mengindikasikan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.Gambaran tentang pola konsumsi penduduk Propinsi DKI Jakarta tersaji pada tabel 8.

Berdasarkan Tabel 8, kuantitas konsumsi pangan penduduk DKI Jakarta termasuk defisit tingkat sedang yang ditandai dengan jumlah konsumsi energi sebesar 1500 kalori baru mencapai 76.4% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan sebesar 2000 kalori. Kontribusi tertinggi terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) didominasi dari kelompok pada-padian yaitu sebesar 42.1 %, dimana konsumsi beras masih mendominasi yaitu sebesar 165 g/kap/hari , disusul terigu dengan 62.1 g/kap/hari. Sebaliknya kontribusi kelompok umbi-umbian masih sangat rendah yaitu hanya 0.8%, konsumsi tertinggi terdiri dari konsumsi singkong 4.4 g/kap/hari dan sagu 3.7 g/kap/hari. Hal ini menandakan bahwa kelompok padi-padian merupakan sumber pangan pokok penduduk di Propinsi DKI Jakarta.Konsumsi umbi-umbian di Propinsi DKI Jakarta perlu ditingkatkan dengan carakonsumsi makanan berbahan dasar dari tepung umbi-umbian seperti tepung mokaf, tepung ubi, tepung singkong dan tepung talas. Hal ini guna mengurangi ketergantungan penduduk terhadap beras, sekaligus mendukung program diversifikasi konsumsi pangan pokok non beras dan non terigu.

Konsumsi pangan hewani didominasi oleh konsumsi susu dan olahannya sebesar 90.1 g/kap/hari, kemudian daging unggas sebesar 56.1 g/kap/hari dan ikan sebesar 37.7 g/kap/hari. Konsumsi kelompok kacang-kacangan didominasi oleh konsumsi kacang kedelai sebesar 44.6 g/kap/hari, sedangkan konsumsi kelompok sayur dan buah sebesar 193.6 g/kap/hari, terdiri dari konsumsi sayur 120.9

19 g/kap/hari dan konsumsi buah sebesar 69.3 g/kap/hari masih dibawah konsumsi yang dianjurkan untuk buah dan sayur yaitu sebesar 300 g/hari. Perlu meningkatkan konsumsi sayur dan buah satu setengah kali dari rata-rata konsumsi yang ada.

Berdasarkan harga bahan pangan pokok yang diperoleh dari BPS dan Kementerian Perdagangan RI tahun 2010, biaya yang harus dikeluarkanuntuk konsumsi ideal adalah sebesar Rp 20897/kapita/hari atauRp 626 900/kapita/bulan, lebih besar dari rata-rata pengeluaran pangan rumah tangga aktual sebesar Rp 587 396. Hal ini menandakan bahwa proporsi pengeluaran untuk pangan belum dapat memenuhi kebutuhan pangan ideal. Perlu adanya promosi kesehatan dan kesejahteraan keluarga melalui pendidikan non formal mengenai manajemen sumberdaya keluarga bagi kepala keluarga atau ibu rumah tangga selaku pengelola keuangan keluarga agar terjadi perbaikan pola pengeluaran rumah tanggayang dapat mendukung upaya perbaikan gizi dan kesehatan keluarga. Tabel 8Pola konsumsi pangan penduduk Propinsi DKI Jakarta berdasarkan data

Riskesdastahun 2010

No Kelompok dan Jenis Pangan Gram aktual Gram ideal Rp Ideal *)

Kalori % AKE*) Skor Maks Skor PPH 1 Padi-padian 231.4 275 1984 842 55.1 42,1 25.0 21.0 a.Beras 165.3 601 b.Jagung 0.2 0.7 c.Terigu 62.1 226 2 Umbi-umbian 12.7 100 373 15 1.0 0.8 2.5 0.4 a.Singkong 4.4 5.2 b.Ubi Jalar 1.7 2.1 c.Kentang 2.5 3.0 d.Sagu 3.7 4.5 3 Pangan Hewani 230.5 150 9434 351 24.1 18.4 24.0 24.0 a.Daging 12.6 20.1 b.Unggas 56.1 81.4 c.Telur 30.1 48.1 d.Susu 90.1 141.1 e.Ikan 37.7 60.3

4 Minyak dan Lemak 1.2 20 229 12 0.8 0.6 5.0 0.3 a.Minyak Kelapa 0.0 0.1 b.Minyak Sawit 1.2 11.9 5 Buah/Biji Berminyak 0.4 3 0.2 0.1 1.0 0.1 6 Kacang-kacangan 48.4 35 519 128 9.1 6.9 10.0 10.0 a. Kedelai 44.6 117.3 b.Kacang Tanah 2.0 5.7 c.Kacang Hijau 1.0 2.9 7 Gula 17.1 30 326 57 3.7 2.9 2.5 1.4 a. Gula Pasir 16.7 55.8 b.Gula Merah 0.1 0.4

8 Sayur dan Buah 193.6 250 8033 7 5.1 3.9 30.0 19.4 a. Sayur 120.9 48.4

b. Buah 69.3 27.7

9 Lain-lain 14 0.9 0.7 -

-Total 20897 1500 100.0 76.4 100.0 76.6

20

Kualitas konsumsi penduduk DKI Jakarta masih rendah, ditandai dengan skor PPH sebesar 76.6 masih jauh dari standar pelayanan minimal (SPM) sebesar 90 dan skor ideal 100. Kelompok pangan yang telah mencapai skor ideal hanya pangan hewani (24.0) dan kacang-kacangan (10.0) sedangkan kelompok pangan yang lain masih rendah dari skor ideal. Konsumsi pangan seharusnya tidak sekedar memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) saja namun juga seimbang dalam komposisi antar jenis pangan, hal ini penting karena konsumsi pangan yang beragam dan seimbang dapat saling melengkapi kekurangan zat gizi diantara jenis makanan yang dikonsumsi (Hardinsyah et al.2002).

Menurut Almatsier (2001) konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan.Dampak dari konsumsi pangan yang tidak memenuhi kecukupan zat gizi dalam jangka waktu yang lama adalah menurunnya status gizi dan meningkatnya angka kesakitan.Hal ini dapat terlihat dari hasil laporan Riskesdas tahun 2007-2013 yang menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi gizi kurang dan stunting pada balita serta peningkatan prevalensi beberapa penyakit, tersaji pada tabel 9.

Tabel9 Kecenderungan prevalensi status gizi balita dan penyakit di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan data riskesdas tahun 2007,2010 dan 2013

Prevalensi (%) 2007 2010 2013

Balita pendek 26.7 26.6 28.0

ISPA 22.6 tidak ada data 26.0

Pneumonia 1.7 tidak ada data 3.7

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan TKE & TKP Rumah tangga

Hasil uji korelasi Spearman hubungan antara karakteristik keluarga dengan TKE rumah tangga dan TKP rumah tangga disajikan pada tabel 10.

Tabel 10Hubungankarakteristikkeluarga dengan TKE dan TKP rumah tangga

Variabel TKE rumah tangga TKP rumah tangga

Pendidikan ibu p= 0.954 p= 0.311 r= 0.001 r= -0.25 Besar keluarga p= 0.806 p= 0.380 r= 0.006 r= 0.022 Pengeluaran pangan p= 0.980 p= 0.314 r=-0.001 r=-0.025

Hubungan antara pendidikan ibu rumah tangga dangan tingkat kecukupan energi (TKE) rumah tangga berdasarkan uji korelasiSpearman dengan menggunakan galat 95% menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendidikan ibu rumah tangga dengan TKE rumah tangga. Begitu pula antara pendidikan ibu rumah tangga dengan tingkat kecukupan protein (TKP)

21 rumah tangga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05).Hasil penelitian ini sejalan dengan Bambang (2012) yaitu tingkat pendidikan ibu rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecukupan gizi rumah tangga.Halinidisebabkan walaupun ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki kemampuan serta pengetahuan dalam menyerap informasi gizi dan kesehatan sehingga cenderung dapat menyusun menu makanan yang baik bagi perbaikan gizi keluarga,namun karena sebagian besar anggota rumah tangga mempunyai aktivitas di luar rumah baik sebagai pelajar maupun pekerja sehingga masing-masing individu memiliki keputusan sendiri dalam memilih menu makanan yang dikonsumsinya. Menurut Hardinsyah (2007), ada lima faktor yang diduga merupakan determinan penting individu dalam memilih konsumsi pangan yang beragam yaitu daya beli, pengetahuan gizi, waktu yang tersedia untuk pengelolaan pangan, kesukaan pangan dan ketersediaan pangan.

Hubungan antara besar keluarga dangan tingkat kecukupan energi (TKE) rumah tangga berdasarkan uji korelasiSpearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendidikan besar keluarga dengan TKE rumah tangga. Begitu pula antara besar keluarga dengan tingkat kecukupan protein (TKP) rumah tangga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p> 0.05).Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Tanziha (2010) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadapTKE rumah tangga adalah jumlah anggota keluarga. Dalam hal ini karena sebagian besar anggota rumah tangga mempunyai aktivitas dan menghabiskan waktunya di luar rumah baik sebagai pelajar maupun bekerja mencari nafkah sehingga masing-masing individu memiliki keputusan sendiri dalam memilih menu makanan yang dikonsumsinya. Menurut Suryana (2008), konsumsi pangan yang beraneka ragam dan seimbang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor internal (individu) seperti pendapatan, preferensi, budaya dan religi serta pengetahuan gizi. Sedangkan faktor eksternal seperti produksi, ketersediaan dan distribusi.

Hubungan antara pengeluaran pangan rumah tangga dangan tingkat kecukupan energi (TKE)rumah tanggaberdasarkan uji korelasiSpearman

menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pengeluaran pangan rumah tanggadengan TKE rumah tangga.Begitu pula hubungan antara pengeluaran pangan rumah tangga dengan tingkat kecukupan protein (TKP) rumah tangga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p> 0.05).Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Tanziha (2010) yang menyatakan bahwa pengeluaranperkapita berpengaruh nyata terhadap TKE dan TKP rumah tangga.Menurut Nilasari (2012), proporsi pengeluaran pangan rumah tangga berkorelasi negatif dengan pendapatan artinya alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan rumah tangga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan. Hal ini sesuai dengan teori Engel yang menyatakan pengeluaran pangan meningkat seiring peningkatan pendapatan namun persen pengeluaran pangan menurun. Besarnya biaya pangan tidak hanya bergantung pada besarnya pendapatan rumah tangga tapi juga bergantung pada pengetahuan gizi penentu pembelian pangan (ibu rumahtangga/kepala keluarga) dan komposisi anggota rumahtangga (Hardinsyah 2007).Dalam hal ini karena masing-masing anggota rumah tanggaatau individu memiliki keputusan sendiri dalam memilih menu makanan yang dikonsumsinya maka tingkat kecukupan gizi rumahtangga

22

tidak hanya bergantung pada pengeluaran pangan rumah tangga tapi bergantung juga pada faktor determinan individu atau anggota rumah tangga dalam memilih konsumsi pangannya.Menurut Hardinsyah (2007), ada lima faktor yang diduga merupakan determinan penting individu dalam memilih konsumsi pangan yang beragam yaitu daya beli, pengetahuan gizi, waktu yang tersedia untuk pengelolaan pangan, kesukaan pangan dan ketersediaan pangan.

Dokumen terkait