• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Program Studi Sarjana Ilmu Gizi tahun ajaran 2013/2014. Karakteristik subjek yang diamati meliputi jenis kelamin, usia, uang saku, status gizi, pendidikan orangtua, dan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 8. Subjek merupakan populasi yang berjumlah 120 orang terdiri dari 103 perempuan dan 17 laki-laki.

Sebagian besar subjek berjenis kelamin perempuan (85.8%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki (14.2%). Sebagian besar subjek perempuan maupun laki-laki berada pada kategori status gizi normal, disusul dengan status gizi kurang dan lebih. Usia subjek berada pada rentang usia remaja akhir yaitu 18-21 tahun (Monks 2000). Sebagian besar subjek berada pada usia 19 tahun (56.7%) dan sebagian kecil berusia 17 (1.7%) dan 20 (3.3%) tahun. Subjek yang masuk dalam kategori status gizi normal paling banyak berada pada usia 19 tahun (60.2%). Pada kategori status gizi lebih paling banyak subjek berusia 18 tahun (43.8%). Rata-rata usia subjek adalah 18.6 ± 0.5 tahun, dengan rata-rata usia yang tidak jauh berbeda antara tiga kategori status gizi.

Uang saku adalah jumlah uang yang diterima subjek setiap bulan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan. Sumber uang saku dapat berasal dari orangtua, beasiswa, saudara, bekerja, ataupun sumber lainnya. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan uang saku adalah jumlah uang yang diterima dalam sebulan oleh subjek kecuali biaya kuliah dan asrama yang diperoleh dari orangtua, beasiswa ataupun dari sumber lainnya. Mardayanti (2008) menyatakan bahwa remaja telah diberi kepercayaan untuk mengelola uang sakunya sendiri untuk memiliki kebebasan dalam mengatur sendiri keuangannya dan lebih bebas untuk menentukan makanan yang akan dimakan.

Mahasiswa dengan status gizi kurang, normal atau lebih sebagian besar memiliki uang saku Rp 600 0000-1 000 000 dengan persentase secara berurutan 66.7%, 71.4% dan 81.3%. Dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki uang saku pada rentang Rp 600 000-1 000 000 persentasenya semakin meningkat pada subjek dengan kategori status gizi kurang, normal dan lebih. Persentase subjek dengan uang saku >Rp 1 000 000 antara kategori status gizi normal dan kurang tidak jauh berbeda, namun pada kategori status gizi lebih persentasenya lebih kecil. Median uang saku subjek dengan status gizi normal (Rp 1 000 000) lebih besar dibandingkan dengan kelompok status gizi kurang (Rp 950 000) dan lebih (Rp 750 000).

16

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, usia, uang saku, besar keluarga, dan pendidikan orangtua dengan status gizi berbeda

Karakterisitik subjek

Kategori status gizi

Total

Kurang Normal Lebih

n % n % n % n % Jenis Kelamin Perempuan 5 83.3 85 86.7 13 81.2 103 85.8 Laki-laki 1 16.7 13 13.3 3 18.8 17 14.2 Usia 17 tahun 0 0.0 1 1.0 1 6.3 2 1.7 18 tahun 3 50.0 36 36.7 7 43.8 46 38.3 19 tahun 3 50.0 59 60.2 6 37.5 68 56.7 20 tahun 0 0.0 2 2.0 2 12.5 4 3.3 Mean ± SD 18.7 ± 0.7 18.6 ± 1.9 18.7 ± 0.8 18.6 ± 0.5 Uang Saku (Rupiah)

<600 000 0 0.0 3 3.1 2 12.5 5 4.2 600 000-1 000 000 4 66.7 70 71.4 13 81.3 87 72.5 >1 000 000 2 33.3 25 25.5 1 6.3 28 23.3 Median 950 000 1 000 000 750 000 1 000 000 Besar Keluarga Kecil (≤4 orang) 3 50.0 36 36.7 9 56.3 48 40.0 Sedang (5-6 orang) 1 16.7 54 55.1 6 37.5 61 50.8 Besar (≥7 orang) 2 33.3 8 8.2 1 6.3 11 9.2 Median 5 5 4 5 Pendidikan Ayah Tidak sekolah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Tamat SD 1 16.7 5 5.1 1 6.3 7 5.8 Tamat SMP 0 0.0 9 9.2 1 6.3 10 8.3 Tamat SMA 1 16.7 36 36.7 4 25.0 41 34.2 Perguruan tinggi 4 66.7 48 49.0 10 62.5 62 51.7 Pendidikan Ibu Tidak Sekolah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Tidak tamat SD 0 0.0 1 1.0 0 0.0 1 0.8 Tamat SD 1 16.7 9 9.2 2 12.5 12 10.0 Tamat SMP 0 0.0 13 13.3 1 6.3 14 11.7 Tamat SMA 2 33.3 34 34.7 3 18.8 39 32.5 Perguruan Tinggi 3 50.0 41 41.8 10 62.5 54 45.0

Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa persentase alokasi uang saku subjek untuk pangan dan suplemen menurut kategori status gizi, dari yang paling besar secara berurutan adalah kategori status gizi lebih (82.9%), kurang (75.0%) dan normal (73.7%). Alokasi uang saku untuk non pangan tidak begitu berbeda antara kategori status gizi kurang dan normal, namun lebih rendah pada kategori status gizi lebih (17.00). Rata-rata (74.8%) uang saku subjek digunakan untuk kebutuhan pangan dan suplemen, dan sisanya (25.2%) digunakan untuk kebutuhan non-pangan. Rata-rata alokasi uang saku subjek untuk makanan (Rp539 133 ± 148 587), minuman (Rp125 375 ± 83 390), suplemen (Rp16 542 ± 42 777), dan non pangan (Rp269 950 ± 252 459).

Tabel 9 Alokasi uang saku subjek dengan status gizi berbeda

Alokasi uang saku

Kategori status gizi

Kurang Normal Lebih

% Rp/bulan % Rp/bulan % Rp/bulan

Makanan 57.1 546571 ± 152544 58.8 546571 ± 152544 66.5 508125 ± 152237 Minuman 14.5 128202 ± 84571 13.1 128202 ± 84571 16.2 120000 ± 81650 Suplemen 3.4 58538 ± 48740 1.8 58538 ± 48740 0.2 17500 ± 17678 Lainnya 25.0 291036 ± 261977 26.3 291036 ± 261977 17.1 154063 ± 192520

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yaitu ibu, ayah dan anak-anaknya serta orang lain yang tinggal bersama maupun terpisah dan biasanya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga. Tabel 10 menunjukkan bahwa subjek pada kategori status gizi normal (55.1%) sebagian besar memiliki besar keluarga dalam kategori sedang. Pada kategori status gizi lebih sebagian besar subjek memiliki besar keluarga dalam kategori kecil (56.3%), begitu juga dengan subjek pada kategori status gizi kurang (50.0%). Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak memungkinkan pengaturan untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit dan menyebabkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan anggotanya tidak dapat memenuhi kebutuhan. Sebagian besar subjek (50.8%) memiliki besar keluarga dalam kategori sedang, dengan persentase besar keluarga kategori besar paling tinggi pada kategori status gizi kurang (33.3%).

Jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh orangtua subjek cukup bervariasi dari tidak tamat SD hingga perguruan tinggi. Persentase tertinggi pendidikan ayah subjek adalah tingkat perguruan tinggi (51.7%), tamat SMA (34.2%), tamat SMP (8.3%), dan tamat SD (5.8%). Persentase pendidikan ibu dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah tingkat perguruan tinggi (45.0%), tamat SMA (32.5%), tamat SMP (11.7%), tamat SD (10.0%), dan tidak tamat SD (0.8%). Tingkat pendidikan orangtua tergolong tinggi karena sebagian besar lulus pada jenjang perguruan tinggi atau SMA. Tingkat pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya (Almatsier 2009).

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan fisik.

18

Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan komposisi tubuh (Syafia 2009). Pengkategorian status gizi dalam penelitian disesuaikan dengan usia dari subjek. Subjek yang memiliki usia kurang dari sama dengan 19 tahun diukur status gizinya menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dan subjek dengan usia lebih dari 19 tahun menggunakan indeks massa tubuh (IMT). Pengkategorian status gizi untuk pembahasan berdasarkan gabungan antara IMT/U dan IMT (Asia Pasifik) yaitu klasifikasi untuk kurus (IMT <18.5 atau Z < 2 SD), normal (IMT 18.522.9 atau

-2 SD ≤ Z <+1 SD), overweight (IMT 23.0-24.9 atau +1 SD ≤ Z < +2 SD), obesitas (IMT ≥25.0 atau Z ≥+2 SD). Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi status gizinya dapat dilihat seperti pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan status gizi dan jenis kelamin

Status gizi Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Kurus 1 5.9 5 4.9 6 5.0 Normal 13 76.5 85 82.5 98 81.7 Overweight 0 0.0 12 11.6 13 10.0 Obesitas 3 17.6 1 1.0 3 3.3

Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal (81.7%), begitu juga pada kelompok laki-laki (76.5%) dan perempuan (82.5%) yang sebagian besar memiliki status gizi normal. Status gizi overweight hanya terdapat pada perempuan (11.7%). Kelompok laki-laki lebih banyak yang memiliki status gizi kurus dan obesitas dibandingkan dengan kelompok berjenis kelamin perempuan. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Johnson et al. (2002), bahwa sebanyak 15.4% remaja memiliki status gizi underweight, 9.8% overweight dan 2.4% obesitas dengan status gizi yang lebih sehat pada laki-laki daripada perempuan.

Persepsi tentang Pangan Sehat

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan dan bentuk pemberian makna pada stimulus yang disampaikan. Pangan yang sehat adalah makanan dan minuman yang seimbang kandungan zat gizinya dan memperhatikan faktor kesehatan dan keamanannya. Menurut Moehji (2007) salah satu faktor yang memicu terjadinya masalah gizi pada usia remaja adalah kebiasaan makan yang buruk dan pemahaman gizi yang keliru seperti salah satunya adalah pemahaman mengenai pangan sehat berupa persepsi.

Berdasarkan Tabel 11, tidak terdapat subjek yang memiliki persepsi negatif tentang pangan sehat yaitu sikap yang cenderung ke arah ketidaksetujuan pada kategori pangan sehat yang harus beragam, aman, mengandung zat gizi yang dibutuhkan, dan konsumsi cairan serta suplemen. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena latar belakang pendidikan subjek yang seluruhnya merupakan mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Gizi, sehingga pencarian ataupun

penerimaan informasi mengenai pangan sehat lebih banyak. Sebagian besar subjek (77.5%) memiliki persepsi tentang pangan sehat yang netral, persepsi yang netral adalah sikap yang berada pada tingkatan ragu-ragu sampai setuju pada pangan sehat itu sendiri. Sebesar 22.5% subjek memiliki persepsi positif tentang pangan sehat, yaitu respon yang cenderung sangat setuju pada kriteria pangan sehat itu sendiri.

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan persepsi tentang pangan sehat dan status gizi

Persepsi tentang pangan sehat

Kategori status gizi

Total

p* Kurang Normal Lebih

n % n % n % n % Negatif 0 0.0 0 0.00 0 0.0 0 0.0 0.467 Netral 5 83.3 79 80.6 9 56.2 93 77.5 Positif 1 16.7 19 19.4 7 43.8 27 22.5 *signifikan pada p<0.05

Pangan yang segar atau belum diolah dan memperhatikan kandungan lemaknya menjadi karakteristik penting dalam mengevaluasi pangan sehat pada subjek di Amerika Serikat (Oakes dan Slotterback 2002), sementara itu kandungan sodium, protein, vitamin atau mineral bukan menjadi hal yang penting. Hasil penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan bahwa 54% individu memiliki persepsi tentang makanan sehat berupa makanan yang mengandung komponen pangan yang seimbang. Individu mendefiniskan makanan sehat sebagai makanan seimbang dengan jumlah makanan berlemak dan produk olahan susu pada tingkat sedang dan jumlah buah dan sayur yang banyak.

Penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan jika contoh memiliki penekanan bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang dibuat sendiri dan bebas dari bahan pengawet. Individu menggambarkan bahwa jenis lemak yang tidak baik dalam makanan adalah asam lemak jenuh dan kolesterol. Individu memiliki persepsi bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang rendah lemak, segar dan diolah sendiri, serta memasukan buah dan sayuran ke dalam menu makannya. Secara keseluruhan persepsi tentang makanan sehat dikatakan telah sejalan dengan rekomendasi yang dianjurkan saat ini. Makanan yang sehat dipersepsikan harus dikurangi kandungan garamnya, pangan olahannya, pangan cepat saji, dan pangan tinggi lemaknya.

Persepsi tentang pangan sehat yang netral memiliki persentase tertinggi untuk masing-masing kategori status gizi. Persepsi yang positif paling tinggi persentasenya pada kategori status gizi lebih (43.8%), dilanjutkan dengan kelompok kategori status gizi normal (19.4%) dan kurang (16.7%). Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena subjek yang memiliki status gizi normal memiliki sikap bahwa semua pangan sehat tidak harus memenuhi kriteria sehat yang sebenarnya karena subjek telah berada pada bentuk tubuh dan status gizi yang normal atau dianggap sehat. Hasil penelitian Lake et al. (2007) menunjukkan bahwa persepsi pada perempuan lebih positif dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut diduga menyebabkan subjek dengan kelompok status gizi lebih memiliki

20

persepsi positif tinggi karena proporsi perempuan (81.2%) dalam kelompok lebih besar dibandingkan laki-laki (18.8%).

Jika dilihat dari skor median persepsi tentang pangan sehat untuk masing-masing kategori status gizi, subjek dengan kelompok status gizi lebih memiliki median skor persepsi netral dan positif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok status gizi normal dan kurang. Hasil uji beda proporsi dengan Kruskal Wallis

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi tentang pangan sehat antara kategori status gizi kurang, normal dan lebih (p>0.05). Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Lake et al. (2007) bahwa terdapat perbedaan persepsi yang nyata antara kelompok dengan IMT rendah dan tinggi. Kelompok dengan IMT tinggi cenderung memiliki persepsi lebih negatif daripada kelompok dengan IMT rendah. Hasil penelitian Sabiston dan Crocker (2008) menunjukkan bahwa persepsi terkait pangan dan perilaku makan sehat berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Pemilihan Pangan Aspek Keragaman

Pemilihan pangan terdiri dari empat aspek, yaitu aspek keragaman, alasan, makanan pantangan, minuman kemasan, dan suplemen. Pemilihan pangan dilakukan untuk menentukan kelompok pangan yang akan dipilih untuk dikonsumsi seseorang. Pangan yang beragam dari jumlah dan jenisnya baik untuk kesehatan. Pangan yang beragam cenderung dapat memenuhi kebutuhuan hampir seluruh zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Pemilihan pangan yang beragam atau tidak pada subjek dengan kategori status gizi berbeda disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan aspek keragaman dalam pemilihan pangan

dan status gizi Aspek keragaman

pemilihan pangan

Kategori status gizi

Total

p* Kurang Normal Lebih

n % n % n % n % Kurang 0 0.0 9 9.2 5 31.2 14 11.7 0.168 Sedang 2 33.3 54 55.1 7 43.8 63 52.5 Tinggi 4 66.7 35 35.7 4 25.0 43 35.8 *signifikan pada p<0.05

Pada kategori status gizi lebih dan normal sebagian besar melakukan pemilihan pangan dengan aspek keragaman kategori sedang. Subjek dengan kategori status gizi lebih cenderung memiliki persentase lebih tinggi dalam pemilihan pangan dengan aspek keragaman kurang (31.2%), dibandingkan dengan kategori status gizi normal (9.2%) maupun kurang (0.0%). Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena subjek menganggap bahwa ukuran tubuhnya berada di atas normal sehingga salah satu caranya adalah mengurangi kelompok pangan dalam pemilihan pangan (Sabiston dan Crocker 2008). Hal tersebut

sejalan dengan persentase yang rendah pada aspek keragaman yang tinggi dalam pemilihan pangan, dibandingkan dengan kategori status gizi lainnya.

Hasil penelitian Sjoberg et al. (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar remaja mengonsumsi tiga menu makan utama dalam sehari. Remaja laki-laki dan perempuan cenderung melakukan pemilihan pangan yang tinggi energi pada menu selingannya. Remaja perempuan yang menghilangkan waktu sarapan dan makan siang cenderung memiliki pemilihan pangan yang kurang sehat dan kurang beragam sehingga miskin kandungan gizinya. Remaja juga cenderung kurang dalam pemilihan pangan produk susu (terutama susu low fat), daging, buah, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan.

Hasil uji beda proporsi dengan Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan aspek keragaman dalam pemilihan pangan antara status gizi kurang, normal dan lebih (p>0.05). Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Sabiston dan Crocker (2008) bahwa terdapat perbedaan pemilihan pangan, dengan pemilihan pangan yang lebih sehat pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian Sjoberg et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang memungkinkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, yaitu faktor lainnya berupa gaya hidup, etnis, persepsi bentuk tubuh, dan indeks sosial ekonomi.

Aspek Makanan Pantangan

Sebanyak 35.0% dari subjek memiliki makanan pantangan. Makanan pantangan tersebut mungkin saja dapat membatasi dalam pemilihan pangan. Pembatasan dalam pemilihan pangan dapat dalam bentuk bahan pangan tertentu atau kelompok pangan yang dapat mengurangi keragaman dalam pemilihan pangan. Hal tersebut dapat menurunkan kualitas dari pangan yang dikonsumsi. Hasil penelitian Ananda (2000) menunjukkan bahwa sekitar 38.0% mahasiswa memiliki makanan pantangan.

Persentase subjek yang memiliki makanan pantangan lebih besar pada kelompok status gizi lebih (56.2%) dibandingkan dengan kelompok status gizi kurang (50.0%) dan normal (30.6%), seperti yang terlihat pada Tabel 13. Sebanyak 92.9% dari subjek yang memiliki makanan pantangan mempercayai akan makanan pantangan tersebut. Hanya 85.7% yang menerapkannya, dengan subjek pada kelompok berstatus gizi kurang yang keseluruhan menerapkan makanan pantangan tersebut. Alasan utama subjek yang memiliki makanan pantangan adalah karena alergi, baik pada kelompok berstatus gizi kurang (33.3%), normal (31.3%) maupun lebih (70.0%). Berdasarkan hasil penelitian Ananda (2000), alasan utama adanya makanan pantangan adalah karena tidak suka, alergi, kesehatan, dan kandungan zat berbahaya dalam pangan.

Terdapat alasan lain berupa penyakit (15.6%), menjaga kesehatan (11.1%), diet penurunan berat badan (8.9%), kandungan yang ada dalam makanan (2.2%), dan lainnya (22.2%) yang menyebabkan adanya makanan pantangan pada subjek. Tidak terdapat subjek yang memiliki alasan makanan pantangan berupa mengikuti tren dan budaya daerah asal. Alasan lainnya dalam penelitian ini seperti menjaga kesehatan kulit dan gigi, vegetarian dan mual.

22

Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan makanan pantangan dan status gizi Makanan

pantangan

Kategori status gizi

Total

p* Kurang Normal Lebih

n % n % n % n %

Ya 3 50.0 30 30.6 9 56.2 42 35.0

0.102 Tidak 3 50.0 68 69.4 7 43.8 78 65.0

*signifikan pada p<0.05

Terdapat beberapa makanan yang menjadi pantangan pada subjek dalam penelitian ini, seperti seafood (udang, cumi-cumi), kelompok buah-buahan tertentu (nanas, buah nangka, durian), kelompok pangan hewani (aneka daging merah, daging ayam, daging sapi, daging kerbau, daging kambing, gajih, telur ayam, susu, belut, ikan laut, dan ikan kembung), kelompok sayuran (tauge, sawi putih), kacang-kacangan, santan kelapa, makanan yang digoreng, mie instan, makanan yang mengandung monosodium glutamate (MSG), kopi, makanan pedas dan asam, dan nasi goreng.

Hasil penelitian Ananda (2000) menunjukkan bahwa makanan pantangan pada mahasiswa berupa seafood, petai, jengkol, durian, dan makanan berlemak. Terdapat satu subjek yang merupakan lacto-ovo vegetarian sehingga subjek memiliki makanan pantangan kelompok pangan hewani (kecuali telur dan susu). Subjek pada kategori status gizi kurang rata-rata sudah 11.7 tahun memiliki makanan pantangan. Pada kategori status gizi normal sudah 5.6 tahun dan kategori lebih sudah 4.9 tahun.

Aspek Minuman Kemasan dan Suplemen

Usia remaja cenderung memilih minuman soft drink dan minuman manis, atau minuman kemasan lainnya. Hal tersebut dapat meningkatkan asupan kalori karena kandungan gula di dalam minuman kemasan. Penelitian kali ini menunjukkan bahwa sebanyak 40.8% subjek suka memilih untuk mengonsumsi minuman kemasan. Subjek pada kelompok status gizi lebih memiliki persentase tertinggi yang suka memilih mengonsumsi minuman kemasan yaitu sebesar 62.5%. Angka tersebut lebih besar dari kelompok dengan status gizi normal (38.8%) dan kurang (16.7%), seperti yang terlihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan minuman kemasan dan status gizi Minuman

kemasan

Kategori status gizi

Total

p* Kurang Normal Lebih

n % n % n % n %

Ya 1 16.7 38 38.8 10 62.5 49 40.8

0.096 Tidak 5 83.3 60 84.5 6 37.5 71 59.2

*signifikan pada p<0.05

Kelompok minuman kemasan yang paling suka dipilih untuk dikonsumsi oleh subjek adalah susu (47.1%), minuman berion (32.4%), minuman berperisa

buah (7.4%), teh (5.9%), kopi (2.9%), minuman bersoda (1.5%), dan minuman kemasan lainnya (2.9%). Hasil penelitian Post-Skagegard et al. (2002) menunjukkan bahwa kelompok dengan rata-rata usia 17 dan 21 tahun lebih banyak memilih untuk mengonsumsi minuman kemasan berupa teh dan kopi. Tujuan utama dari memilih untuk mengonsumsi minuman kemasan pada subjek adalah sebagai berikut: membuat tubuh terasa lebih sehat (33.0%), membantu tubuh terasa lebih rileks (22.9%), menjadi lebih bertenaga saat beraktivitas (22.0%), menguatkan tulang (11.0%), membantu mengatasi stres (7.3%), dan lainnya (3.7%). Terlihat bahwa susu merupakan kelompok minuman kemasan yang paling suka dipilih untuk dikonsumsi oleh subjek, namun tujuan utamanya bukan untuk menguatkan tulang tetapi lebih pada alasan kesehatan. Sebagian besar subjek (46.5%) memperoleh informasi mengenai minuman kemasan tersebut dari televisi. Terdapat pula subjek yang memperoleh informasi dari keluarga (29.6%), teman sebaya (15.5%), internet (4.2%), dan lainnya (4.2%).

Suplemen merupakan salah satu bentuk asupan zat gizi tambahan yang memiliki dosis atau takaran tertentu. Saat ini suplemen telah banyak dijual di pasaran dalam merek, kegunaan dan kandungan yang berbeda-beda. Berdasarkan Tabel 15 sebanyak 39.2% subjek suka memilih untuk menambah asupan zat gizi dalam bentuk suplemen. Hasil penelitian Hidayat (2002) menunjukkan bahwa 22.5% remaja suka memilih untuk mengonsumsi suplemen.

Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan suplemen dan status gizi

Suplemen

Kategori status gizi

Total

p* Kurang Normal Lebih

n % n % n % n %

Ya 2 33.3 40 40.8 5 31.2 47 39.2

0.736 Tidak 4 66.7 58 59.2 11 68.8 73 60.8

*signifikan pada p<0.05

Persentase subjek yang suka memilih untuk mengonsumsi suplemen lebih banyak pada kategori status gizi normal (44.1%) dibandingkan dengan kelompok status gizi kurang (33.3%) dan lebih (31.2%). Jenis suplemen yang paling suka dipilih untuk dikonsumsi adalah suplemen vitamin C, suplemen vitamin lainnya atau minyak ikan. Tujuan atau harapan yang dirasakan jika mengonsumsi suplemen tersebut adalah tubuh terasa lebih sehat (50.6%), lebih bertenaga saat beraktivitas (22.1%), membantu tubuh lebih rileks (7.8%), dan lainnya (10.4%). Hasil penelitian Hidayat (2002) menunjukkan bahwa alasan utama seseorang memilih untuk mengonsumsi suplemen adalah karena alasan menjaga stamina, menjaga kesehatan, mengikuti tren, dan alasan lainnya. Pada penelitian ini ada yang mengonsumsi suplemen setiap hari atau saat kondisi tertentu seperti lelah, olahraga, demam, flu, sariawan, daya tahan tubuh turun, dan batuk. Sebagian besar subjek (49.2%) memperoleh informasi mengenai suplemen tersebut dari keluarga. Terdapat pula subjek yang memperoleh informasi dari televisi (21.5%), teman sebaya (18.5%), internet (4.6%), dan lainnya (6.2%).

24

Aspek Alasan

Mengidentifikasi aspek alasan dibalik pemilihan pangan dapat dilakukan dengan melihat motif dalam pemilihan pangan menggunakan Food Choice Questionare (FCQ). Persentase tertinggi aspek alasan utama dalam pemilihan pangan yang dilakukan subjek adalah kandungan alami dalam pangan (6.25 ± 0.69), kesehatan (6.15 ± 0.68) dan harga (5.79 ± 1.03) seperti yang terlihat pada Tabel 16. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan penelitian Sun (2008) bahwa aspek alasan utama dalam pemilihan pangan dengan rata-rata usia 21 tahun adalah harga (5.62 ± 1.08), sensorik (5.59 ± 0.88) dan suasana hati (5.47 ± 0.88). Alasan kesehatan memiliki skor 5.45 ± 0.94 dan alasan kandungan alami dalam pangan memiliki skor sebesar 5.15 ± 0.99, dengan skor terendah berupa alasan pengendalian berat badan (5.09 ± 1.23). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena latar belakang subjek yang berbeda.

Tabel 16 Rata-rata skor alasan dalam pemilihan pangan dan status gizi Pemilihan pangan

berdasarkan aspek alasan

Kategori status gizi

Total

p Kurang Normal Lebih

mean ± SD mean ± SD mean ± SD mean ± SD

Kesehatan 6.11 ± 0.63 6.12 ± 0.71 6.43 ± 0.47 6.15 ± 0.68 0.254* Suasana hati 4.56 ± 1.17 5.33 ± 0.89 5.85 ± 0.80 5.36 ± 0.93 0.019* Kenyamanan 5.23 ± 0.86 5.20 ± 0.93 5.33 ± 0.99 5.22 ± 0.93 0.934* Sensorik 5.83 ± 0.56 5.58 ± 0.71 6.00 ± 0.97 5.65 ± 0.76 0.055* Kandungan alami dalam pangan 6.28 ± 0.65 6.24 ± 0.66 6.25 ± 0.90 6.25 ± 0.69 0.851* Harga 5.11 ± 1.09 5.82 ± 0.92 5.90 ± 1.56 5.79 ± 1.03 0.070* Pengendalian berat badan 3.94 ± 1.29 5.03 ± 1.20 5.71 ± 1.18 5.06 ± 1.24 0.011* Familiaritas 4.89 ± 0.72 4.85 ± 0.95 4.83 ± 1.29 4.85 ± 0.99 0.998* Masalah etika 5.33 ± 1.07 4.96 ± 1.21 5.33 ± 1.26 5.03 ± 1.21 0.603* *signifikan pada p<0.05

Pada kategori status gizi normal alasan utama dalam pemilihan pangannya adalah kandungan alami dalam pangan, kesehatan dan harga. Pada kategori status gizi lebih dan kurang alasan utama dalam pemilihan pangannya adalah kesehatan, kandungan alami dalam pangan dan sensorik. Terlihat bahwa pada subjek dengan kategori status gizi lebih dan kurang, alasan sensorik atau tampilan dari pangan merupakan hal yang penting dalam pemilihan pangan. Aspek alasan harga menjadi penting dalam pemilihan pangan pada kategori status gizi normal. Pada ketiga kategori status gizi, aspek alasan kesehatan dan kandungan alami dalam pangan merupakan aspek yang penting dalam pemilihan pangan.

Penelitian Ree et al. (2008) menunjukkan bahwa sekitar 70% remaja tidak memperhatikan masalah kesehatan dalam pemilihan pangan, dengan alasan pengendalian berat badan sebagai perhatian utama. Jika dilihat dari semua kelompok usia, maka 45% laki-laki dan 65% perempuan melakukan pemilihan

pangan karena alasan kesehatan. Berdasarkan penelitian Steptoe dan Pollard (1995) alasan sensorik (2.99 ± 0.63), harga (2.83 ± 0.80) dan kesehatan (2.83 ± 0.72) menjadi alasan utama dalam pemilihan pangan pada usia 17-89 tahun.

Terdapat perbedaan alasan pengendalian berat badan antar kategori status gizi (p=0.011) berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis. Hasil uji beda Mann-Whiteney menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara alasan pengendalian berat badan pada kelompok status gizi kurang dengan normal (p=0.044), normal dengan lebih (p=0.034) dan kurang dengan lebih (p=0.013). Hasil uji beda

Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pula pada alasan suasana hati (p=0.019) antar status gizi berbeda. Hasil uji beda Mann-Whiteney

menunjukkan terdapat perbedaan alasan suasana hati pada kategori status gizi

Dokumen terkait