• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suhu kandang indukan selama penelitian berkisar antara 26-29 °C dengan rataan 27,18 °C dan kelembaban yang berkisar antara 67%-94% dengan rataan 81,59% (Lampiran 1). Suhu kandang selama penelitian masih dalam kisaran normal, sedangkan kelembaban berada di atas kisaran normal. Jangkrik dapat hidup dengan baik pada kondisi lingkungan bersuhu antara 20-32 °C dengan kelembaban 65%-80% (Sukarno, 1999). Kelembaban yang tinggi pada hari-hari tertentu menimbulkan jamur pada telur yang sedang ditetaskan (diinkubasi), kemudian mati dan tidak dapat menetas sehingga perhitungan daya tetas tidak dapat dilakukan.

Penampilan Reproduksi Induk Jangkrik Kalung

Jangkrik yang dewasa dan siap kawin ditandai oleh ovipositor yang telah tumbuh sempurna (menumpul di bagian ujung seperti ujung korek api) pada jangkrik betina dan timbul suara kerikan dari jangkrik jantan. Tanda-tanda jangkrik yang telah dewasa muncul tidak serempak pada semua individu dalam setiap kandang. Jangkrik pada penelitian ini rata-rata telah memiliki sayap sempurna dan mulai bertelur pada umur 51 hari.

Umur pencapaian dewasa jangkrik pada penelitian ini lebih cepat daripada pernyataan Sukarno (1999) bahwa jangkrik mulai dapat kawin pada umur 60 hari dan Widiyaningrum (2001) yaitu G. bimaculatus mencapai dewasa (imago) dan bertelur pada umur 55-60 hari. Hasil penelitian ini hampir sama dengan pendapat Rahmawati (2005) bahwa jangkrik kalung mencapai dewasa pada umur 45 hari dan bertelur pada umur 50 hari. Penelitian Fitriyani (2005) dengan kombinasi pakan dan seks rasio yang sama menghasilkan jangkrik yang sedikit lebih dini dalam mencapai dewasa, yaitu pada umur 43-45 hari dan mulai bertelur pada umur 48 hari. Hasil ini dapat disebabkan oleh perbedaan tempat asal jangkrik yang digunakan. Jangkrik pada penelitian ini berasal dari sumber peternakan yang sama (Depok) dengan penelitian Rahmawati (2005) dan Fitriyani (2005) sedangkan jangkrik pada penelitian Widiyaningrum (2001) diperoleh dari peternakan jangkrik di Surabaya. Penampilan reproduksi jangkrik kalung dengan substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat pada berbagai persentase selama masa bertelur (mulai umur 51 hari) disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan dan Koefisien Keragaman Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Peubah

Rataan KK (%) Rataan KK (%) Rataan KK (%) Rataan KK (%)

Rataan

Konsumsi Pakan

(mg/ekor/hari) 90,38 29,69 117,38 38,00 78,24 42,80 82,66 41,00 92,17 PBB Induk Betina

(mg/ekor/hari) 5,91 - -2,56 - 9,87 - 1,00 - 3,56

Total Produksi Telur

(butir/ekor) 5.344,48 10,34 4.980,34 25,34 5.205,44 11,55 4.146,29 19,54 4.919,14 Produksi Telur Harian

(butir/ekor/hari) 91,12 66,33 102,68 64,88 104,70 73,47 82,91 71,74 95,35 Konversi Pakan terhadap

Jumlah Telur (mg/butir telur)

0,22 - 0,41 - 0,38 - 0,33 - 0,33

Waktu Tetas (hari) 12,42 11,52 12,46 10,07 12,33 9,33 12,27 10,04 12,37

Keterangan:

P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit KK : Koefisien Keragaman

Konsumsi Pakan

Pakan menyediakan protein dan energi bagi kelangsungan berbagai proses dalam tubuh yang dapat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, dan sifat-sifat morfologis lainnya. Konsumsi pakan total harian (konsentrat dan hijauan) jangkrik selama periode bertelur berkisar antara 78,24-117,38 mg/ekor/hari dengan rataan 92,17 mg/ekor/hari (Tabel 7). Rataan konsumsi pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian Fitriyani (2005) dengan

penggunaan jenis pakan yang sama (konsentrat dan daun singkong) yaitu sebesar 124,8 mg/ekor/hari. Perbedaan jumlah rataan konsumsi ini dapat disebabkan oleh

kepadatan kandang yang berbeda yaitu 48 ekor jangkrik dalam kandang berukuran 60x45x30 cm atau 56,25 cm2/ekor (Fitriyani, 2005), sedangkan penelitian ini memiliki tingkat kepadatan kandang sebesar 45 cm2/ekor. Tingkat kepadatan kandang mempengaruhi konsumsi pakan karena semakin banyak jumlah individu per satuan luas kandang, semakin tinggi pula persaingan dalam mendapatkan pakan (Janwar, 2001).

Konsumsi pakan tertinggi (117,38 mg/ekor/hari) terdapat pada jangkrik dengan substitusi 0,2% tepung kunyit (P0,2) sedangkan konsumsi pakan terendah terdapat pada P0,4 (78,24 mg/ekor/hari). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa tepung kunyit dengan kadar 0,2% dalam pakan konsentrat lebih disukai jangkrik daripada tepung kunyit dengan kadar 0%; 0,4%; dan 0,8%.

Pola konsumsi pakan total mengalami peningkatan dari masa bertelur hari pertama sampai hari ke-12 untuk mendukung produksi telur yang tinggi dan sesuai dengan hasil penelitian Fitriyani (2005) yang memiliki puncak produksi rata-rata terjadi pada masa bertelur hari ke-12. Grafik konsumsi pakan total jangkrik kalung dengan substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat dapat dilihat pada Gambar 10.

Konsumsi pakan secara umum menurun setelah masa bertelur hari ke-18 (umur 69 hari) tetapi kemudian terjadi peningkatan kembali meskipun pada akhirnya semakin menurun. Peningkatan konsumsi pada menjelang akhir masa bertelur ini diakibatkan telah banyak jangkrik yang mati sehingga persaingan untuk memperoleh pakan tidak terjadi. Jangkrik yang masih hidup dapat dengan mudah mengkonsumsi pakan tanpa ada saingan dari jangkrik lain.

200 4060 10080 120140 160180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-) Konsumsi Pakan Total (mg/ekor/hari)

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Gambar 10. Grafik Konsumsi Pakan Total Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Konsumsi pakan total yang lebih rendah daripada hasil penelitian Fitriyani

(2005) disebabkan oleh konsumsi hijauan yang lebih rendah pada penelitian ini, yaitu 23,24 mg/ekor/hari (Tabel 8) berbanding dengan 40,5 mg/ekor/hari, sedangkan

konsumsi konsentrat hampir sama (75,55 mg/ekor/hari berbanding dengan 84,3 mg/ekor/hari). Konsumsi hijauan yang lebih rendah pada penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban selama penelitian. Suhu pada penelitian Fitriyani (2005) berkisar antara 25-27 °C dengan kelembaban 60%-68%

yang lebih rendah daripada penelitian ini, yaitu berkisar antara 67%-94% (suhu 26-29 °C). Kelembaban yang tinggi mengakibatkan penguapan air tubuh menjadi rendah sehingga jangkrik mengkonsumsi lebih sedikit pakan hijauan yang mengandung kadar air lebih tinggi daripada konsentrat. Hal ini dilakukan oleh jangkrik untuk memperkecil penguapan air tubuh. Paimin et al. (1999) menyatakan bahwa jangkrik memperoleh air dari pakan yang dikonsumsi.

Tabel 8. Rataan Konsumsi Pakan Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

P0 P0,2 P0,4 P0,8 Rataan P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit

Konsumsi konsentrat berkisar antara 67,08-94,52 mg/ekor/hari dengan rataan 75,55 mg/ekor/hari. Jangkrik dengan substitusi tepung kunyit dalam berbagai persentase (0,2%-0,8%) memiliki konsumsi konsentrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan jangkrik yang tidak mendapat substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat. Konsumsi konsentrat yang lebih tinggi terdapat pada jangkrik dengan substitusi 0,2% tepung kunyit (P0,2) yaitu sebesar 94,52 mg/ekor/hari. Jumlah ini lebih besar daripada rataan konsumsi pakan konsentrat hasil penelitian Fitriyani (2005) pada masa reproduksi yaitu 84,3 mg/ekor/hari. Kunyit mengandung kurkumin yang pada kadar tertentu dapat menambah nafsu makan (Darwis et al., 1991), tetapi jika diberikan berlebihan akan dapat menurunkannya (Sambaiah, 1982). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar tepung kunyit yang dapat menambah nafsu makan jangkrik yaitu sebanyak 0,2% dalam pakan konsentrat. Hal inilah yang mendukung mengapa konsumsi pakan total tertinggi diperoleh jangkrik pada P0,2.

Konsumsi pakan konsentrat jangkrik secara umum lebih tinggi daripada konsumsi hijauan (Tabel 8). Konsentrat memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan tekstur yang lebih halus daripada hijauan. Jangkrik membutuhkan pakan dengan protein tinggi untuk mendukung produksi telur dan menurut Patton (1963), jangkrik menyukai pakan dengan tekstur yang halus. Perbandingan konsumsi pakan hijauan dan konsentrat pada jangkrik kalung dalam penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 11. Grafik konsumsi pakan hijauan relatif lebih rendah daripada konsentrat dengan pola (trend) yang berbeda.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 Masa Bertelur (hari ke-)

Konsumsi Hijauan (mg/ekor/hari)

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(a)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-) Konsumsi Konsentrat (mg/ekor/hari)

P0 P0,2 P0,4 P0,8

(b)

Gambar 11. Grafik Konsumsi Pakan Hijauan (a) dan Konsentrat (b) Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Konsumsi hijauan relatif rendah pada awal masa bertelur tetapi cukup tinggi pada hari ke-42 (umur 93 hari) kemudian menurun, sedangkan konsumsi konsentrat sangat tinggi pada awal masa bertelur sampai hari ke-12 (umur 63 hari). Konsumsi konsentrat pada 12 hari pertama lebih tinggi karena konsentrat mengandung protein dan energi yang cukup tinggi dan diperlukan jangkrik untuk kawin dan berkembang biak (Hasegawa dan Kubo, 1996).

Produksi Telur

Total Produksi Telur per Ekor. Produksi telur jangkrik dimulai pada umur 51 hari setelah tanda-tanda dewasa pada jangkrik muncul (sayap tumbuh sempurna, ovipositor pada betina telah tumbuh sempurna dan muncul suara kerikan dari jangkrik jantan). Pemanenan telur dilakukan setiap hari sampai induk mati seluruhnya.

Selama periode bertelur, jangkrik kalung rata-rata menghasilkan 4.146-5.344 butir/ekor (Tabel 7). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Widiyaningrum (2001) dengan jenis jangkrik, seks rasio, dan pakan kombinasi yang

sama (konsentrat dan daun singkong) yaitu 1.318 butir/ekor (masa bertelur 32-36 hari), Fitriyani (2005) yaitu sebanyak 3.154-4.128 butir/ekor (masa bertelur 46 hari) dan Rahmawati (2005) yaitu sebanyak 5.159 butir/ekor (masa bertelur 43 hari). Produksi telur yang tinggi dapat disebabkan oleh faktor genetik (jenis jangkrik) dan lingkungan (pakan dan tempat asal jangkrik diperoleh).

Faktor genetik kemungkinan lebih berpengaruh karena faktor lingkungan jangkrik pada penelitian ini sama dengan Fitriyani (2005) dan Rahmawati (2005).

Faktor lingkungan disini adalah tempat asal jangkrik diperoleh (peternakan jangkrik di Depok) dan kombinasi pakan yang diberikan (daun singkong dan konsentrat).

Keragaman genetik pada penampilan reproduksi jangkrik juga terlihat pada pencapaian waktu dewasa dan bertelur pertama. Beberapa penelitian menghasilkan umur pencapaian dewasa yang beragam yaitu berkisar antara umur 48-60 hari, seperti yang ditunjukkan di awal pembahasan penampilan reproduksi induk jangkrik kalung. Produksi telur jangkrik yang beragam menunjukkan bahwa jangkrik kalung memiliki potensi pengembangan produksi telur yang tinggi. Diagram total produksi telur jangkrik kalung dengan substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat disajikan pada Gambar 12.

Rataan total produksi telur tertinggi terdapat pada jangkrik yang mendapat perlakuan pakan tanpa substitusi tepung kunyit, diikuti oleh jangkrik yang mendapat perlakuan 0,4%; 0,2%; dan 0,8% tepung kunyit (Gambar 12). Hasil ini didukung Aisyah (1997) yang menyatakan bahwa kunyit bersifat antifertilitas (pengurang kesuburan) dan Sudiarsih (1999) yang menyatakan bahwa kurkumin dalam tanaman

ini mempunyai potensi untuk menghambat reproduksi serangga hama gudang (Sitophilus zeamais).

4146,3 5205,4

4980,3 5344,5

3000 3500 4000 4500 5000 5500

0% 0,2% 0,4% 0,8%

Persentase Tepung Kunyit

Total Produksi Telur (butir/ekor)

Gambar 12. Diagram Total Produksi Telur Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Penelitian Sudiarsih (1999) menghasilkan pengaruh yang sangat nyata pada campuran ekstrak kencur 0% dan ekstrak kunyit 1,5% dalam menghambat perkembangan (reproduksi) serangga hama gudang. Efek ini diduga disebabkan oleh adanya daya tolak (repellent), daya pencegah pakan (antifeedant), dan daya insektisida dalam ekstrak kunyit dan kencur.

Gambar 12 menunjukkan produksi telur jangkrik dengan substitusi 0%

sampai 0,4% tepung kunyit jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi telur jangkrik dengan substitusi 0,8% tepung kunyit. Hasil ini menunjukkan bahwa efek antifertilitas yang ditimbulkan kunyit hanya muncul pada pemberian pakan campuran dengan persentase tepung kunyit tertinggi pada perlakuan ini, yaitu sebesar 0,8%.

Efek antifeedant yang diduga menjadi salah satu penyebab penghambat reproduksi serangga hama gudang, tidak terlihat pada penelitian ini. Kesimpulan sementara ini ditunjukkan oleh jangkrik dengan substitusi tepung kunyit memiliki konsumsi pakan konsentrat yang lebih tinggi daripada jangkrik dengan pemberian konsentrat tanpa substitusi tepung kunyit (Tabel 8). Hal ini menunjukkan pendugaan adanya suatu zat dari kunyit yang belum diketahui dan dapat menghambat reproduksi tanpa menurunkan konsumsi pakan.

Produksi Telur Harian per Ekor. Produksi telur jangkrik dari hari pertama sampai hari kedelapan (umur 51-59 hari) membentuk kurva peningkatan bertahap, kemudian menurun setelah hari kesembilan (Gambar 13). Puncak produksi telur jangkrik terjadi pada hari keenam sampai kedelapan masa bertelur (umur 57-59 hari) yaitu 243 butir/ekor pada P0, 248 butir/ekor pada P0,2, 317 butir/ekor pada P0,4 dan 263 butir/ekor pada P0,8. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Fitriyani (2005), yaitu peningkatan produksi telur terjadi dari hari pertama sampai hari ke-12 (umur 60 hari) dan Rahmawati (2005), yaitu puncak produksi telur terjadi pada hari keenam masa bertelur (umur 56 hari) dengan rataan jumlah produksi yang tidak berbeda jauh (265 butir/ekor).

0 50 100 150 200 250 300 350

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 M asa Bertelur (hari ke-)

Produksi Telur Harian (butir/ekor)

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Gambar 13. Grafik Produksi Telur Harian Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Produksi telur tertinggi pada awal tetapi terendah pada akhir masa bertelur terdapat pada jangkrik dengan substitusi 0,4% tepung kunyit. Semakin bertambah umur, produksi telur jangkrik semakin menurun karena aktivitas reproduksi yang semakin menurun seiring dengan mortalitas induk yang tinggi (Anggaraswatie, 2004). Total produksi telur jangkrik pada P0,4 bukan merupakan produksi yang tertinggi tetapi cukup lebih tinggi dibandingkan dengan P0,2 dan P0,8 dengan masa bertelur yang lebih pendek. Jangkrik dengan substitusi 0% tepung kunyit memiliki masa bertelur yang paling lama meskipun produksi telurnya paling rendah di awal masa bertelur, sehingga memiliki total produksi telur yang paling tinggi.

Produksi telur jangkrik pada P0,4 secara ekonomis lebih menguntungkan daripada produksi telur jangkrik pada P0. Keuntungan yang didapat dari jangkrik yang memiliki produksi telur tinggi di awal masa bertelur antara lain, peternak dapat memanen telur dalam jumlah besar di awal masa bertelur dan tidak perlu mengeluarkan biaya produksi lebih banyak lagi untuk pemeliharaan setelah masa produksi telur tinggi berlalu. Jangkrik dengan produksi telur yang sudah rendah menjelang akhir masa bertelur dapat diafkir dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pakan. Menurut Widiyaningrum (2001), kandungan protein dan asam amino pada jangkrik yang telah dewasa pada masa reproduksi lebih tinggi daripada jangkrik pada masa pertumbuhan. Hasil ini dapat dikarenakan pada masa pertumbuhan, jangkrik masih menggunakan protein dan asam amino untuk pertumbuhan tubuh jangkrik itu sendiri sedangkan pada akhir masa reproduksi, jangkrik tidak terlalu banyak menggunakannya sehingga protein dan asam-asam amino masih terdapat dalam tubuh jangkrik.

Grafik produksi telur harian jangkrik sangat sesuai jika dibandingkan dengan grafik konsumsi pakan konsentrat yaitu mencapai puncak pada awal masa bertelur sampai hari kedelapan (umur 59 hari) kemudian menurun. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk memproduksi telur dalam jumlah yang tinggi di awal masa bertelur diperlukan pakan konsentrat yang tinggi pula.

Masa bertelur jangkrik dengan substitusi 0%; 0,2%; 0,4%; dan 0,8% tepung kunyit berturut-turut yaitu 65, 51, 51 dan 57 hari. Masa bertelur ini lebih lama daripada penelitian-penelitian reproduksi jangkrik kalung sebelumnya antara lain 32-36 hari (Widiyaningrum, 2001), 46 hari (Fitriyani, 2005), dan 43 hari (Rahmawati, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum produksi telur berakhir pada masa bertelur hari ke-51 tetapi produksi telur pada jangkrik dengan substitusi 0% tepung kunyit masih berlangsung karena masih ada jangkrik yang hidup walaupun hanya satu ekor. Hal inilah yang menjadikan produksi telur pada P0 lebih tinggi daripada perlakuan yang lain. Masa bertelur yang lebih lama pada penelitian ini kemungkinan besar berasal dari faktor genetik karena faktor lingkungan jangkrik yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Induk

Perhitungan bobot badan dan pertambahan bobot badan induk yang ditekankan pada penelitian ini hanya pada induk betina karena bobot badan pada masa reproduksi berhubungan erat dengan produksi telur yang hanya dihasilkan oleh jangkrik betina. Jumlah telur yang terdapat dalam organ reproduksi betina secara langsung menambah bobot badan normal betina sebelum masa bertelur. Rataan bobot badan jangkrik kalung betina pada masa bertelur disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Akhir 1075 15,89 650 10,88 983 28,00 900 29,40

Keterangan:

P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit KK = Koefisien Keragaman (%)

Rataan bobot badan jangkrik betina pada awal masa bertelur lebih seragam daripada rataan bobot badan akhir. Hal ini diperlihatkan oleh koefisien keragaman yang lebih kecil pada rataan bobot badan awal. Keragaman yang lebih tinggi pada rataan bobot badan akhir disebabkan oleh jumlah produksi telur yang dihasilkan induk pada masing-masing perlakuan juga beragam. Perlakuan dengan substitusi 0%

dan 0,4% tepung kunyit memiliki bobot badan akhir yang tinggi dengan jumlah produksi telur yang tinggi pula (Tabel 7). Jumlah telur yang tinggi dalam organ reproduksi mengakibatkan bobot badan jangkrik betina lebih tinggi. Bobot badan akhir yang tinggi memiliki keuntungan ekonomis dalam hal pemanfaatan jangkrik sebagai pakan ternak yaitu tepung jangkrik. Semakin berat bobot badan jangkrik yang diafkir karena jumlah telur yang telah menurun maka akan semakin banyak tepung jangkrik yang dihasilkan.

Bobot badan akhir pada jangkrik dengan substitusi 0,8% tepung kunyit cukup tinggi tetapi tidak diimbangi dengan produksi telur yang tinggi. Penyebab terjadinya hal ini kemungkinan karena jangkrik pada P0,8 lebih menyalurkan pakan yang dikonsumsi menjadi bobot badan dan bukan produksi telur. Sebaliknya, jangkrik dengan substitusi 0,2% tepung kunyit memiliki bobot badan akhir yang jauh lebih rendah daripada bobot awal tetapi memiliki produksi telur yang cukup dan lebih tinggi daripada P0,8. Kemungkinan ada penyimpangan metabolisme pada tubuh jangkrik dengan perlakuan 0,2% tepung kunyit yang belum diketahui sebabnya.

Bobot badan jangkrik kalung betina selama masa bertelur disajikan pada Gambar 14.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-) Bobot Badan Betina (mg/ekor)

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Gambar 14. Grafik Bobot Badan Jangkrik Kalung Betina Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit pada Pakan Konsentrat

Bobot badan jangkrik meningkat pada awal masa bertelur kemudian cenderung konstan sampai hari ke- 24. Grafik bobot badan ini sesuai dengan grafik produksi telur harian dan konsumsi pakan (terutama konsentrat). Produksi telur meningkat dan cenderung tinggi dari awal masa bertelur sampai hari ke-24 (umur 75 hari), begitu pula dengan konsumsi pakan.

Pertambahan bobot badan jangkrik kalung dengan substitusi 0%; 0,2%; 0,4%;

dan 0,8% tepung kunyit masing-masing 5,91; -2,56; 9,87; dan 1,00 mg/ekor/hari (Gambar 15). Penurunan bobot badan pada perlakuan 0,2% tepung kunyit ini berada di bawah normal dan dapat disebabkan oleh pakan yang dimakan jangkrik tidak didistribusikan kepada bobot badan, melainkan memproduksi telur. Nilai minus atau

penurunan bobot badan juga dapat disebabkan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi lebih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian Fitriyani (2005) karena kelembaban yang lebih tinggi pada penelitian ini. Jangkrik akan tetap memproduksi telur meskipun asupan pakan sedikit, oleh karena itu jangkrik mengambil zat nutrisi dari tubuh untuk menghasilkan telur. Konsumsi pakan yang tinggi pada jangkrik dengan perlakuan 0,2% tepung kunyit mungkin tidak mencukupi untuk memproduksi telur sehingga jangkrik tersebut harus mengambil zat nutrisi dari tbuhnya sendiri.

Nutrisi dari tubuh yang digunakan jangkrik menjadikan pertambahan bobot badan menurun sehingga bernilai minus.

5,91

-2,56

9,87

1,00

-4 -2 0 2 4 6 8 10 12

0% 0,2% 0,4% 0,8%

Persentase Tepung Kunyit Pertambahan Bobot Badan (mg/ekor/hari)

Gambar 15. Diagram Pertambahan Bobot Badan Jangkrik Kalung selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Pertambahan bobot badan jangkrik yang mendapat substitusi tepung kunyit pada pakan sebanyak 0,4% memiliki nilai tertinggi yaitu 9,87 mg/ekor/hari. Hasil ini menunjukkan meskipun jangkrik pada P0,4 memiliki produksi telur yang tinggi, mereka masih dapat mendistribusikan pakan yang diperoleh untuk pemeliharaan diri induk. Grafik pertambahan bobot badan induk jangkrik kalung selama masa bertelur disajikan pada Gambar 16.

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Masa Bertelur (hari ke-)

Pertambahan Bobot Badan (mg/ekor/hari

0% 0,2% 0,4% 0,8%

Gambar 16. Grafik Pertambahan Bobot Badan Jangkrik Kalung selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Grafik pertambahan bobot badan jangkrik telah menurun pada awal masa bertelur karena produksi telur pada masa ini sedang meningkat pesat sehingga pakan yang dikonsumsi didistribusikan untuk memproduksi telur. Peningkatan grafik pertambahan bobot badan terjadi pada hari ke-30 masa bertelur, karena pada masa ini produksi telur sudah mulai menurun sehingga pakan yang dikonsumsi dapat tersalurkan dalam bobot badan.

Konversi Pakan terhadap Produksi Telur

Konversi pakan merupakan perbandingan antara unit pakan yang diberikan dengan unit produk yang dihasilkan (Hardjosubroto dan Astuti, 1994). Semakin kecil nilai konversi pakan maka semakin efisien hewan tersebut dalam menghasilkan unit produksi. Produk yang dihasilkan jangkrik pada masa reproduksi adalah telur, bukan bobot badan. Konversi pakan terhadap produksi telur diperlukan untuk mengetahui seberapa efisien jangkrik tersebut dalam menghasilkan satu butir telur. Diagram konversi pakan terhadap produksi telur jangkrik kalung disajikan pada Gambar 17.

0,22

0,41

0,38

0,33

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

0% 0,2% 0,4% 0,8%

Persentase T epung Kunyit

Konversi Pakan terhadap Produksi Telur

Gambar 17. Diagram Konversi Pakan terhadap Produksi Telur Jangkrik Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat

Konversi pakan jangkrik kalung dengan substitusi 0%; 0,2%; 0,4%; dan 0,8%

tepung kunyit masing-masing sebesar 0,22; 0,41; 0,38; dan 0,33. Hasil ini menunjukkan bahwa konversi pakan terbaik terdapat pada jangkrik dengan substitusi 0% tepung kunyit. Nilai konversi sebesar 0,22 berarti dibutuhkan pakan konsentrat sebanyak 0,22 mg untuk menghasilkan satu butir telur. Penelitian Rahmawati (2005) menghasilkan nilai konversi pakan terhadap produksi telur sebesar 0,001 g/butir atau dibutuhkan pakan sebanyak satu miligram untuk menghasilkan satu butir telur. Hal ini menunjukkan bahwa jangkrik pada penelitian ini lebih efisien dalam memproduksi telur. Nilai konversi yang rendah pada perlakuan 0,2% tepung kunyit terjadi karena masih ada satu ekor jangkrik yang memproduksi telur yang cukup banyak pada akhir masa bertelur sehingga nilai konversi ini dianggap kurang valid.

Grafik konversi pakan terhadap produksi telur jangkrik kalung per enam hari dapat dilihat pada Gambar 18.

Pola grafik konversi ini hampir sama dengan hasil penelitian Rahmawati (2005) yaitu meningkat pada sepuluh hari keempat masa bertelur. Peningkatan nilai konversi ini disebabkan oleh produksi telur yang mulai menurun sehingga pakan yang dikonsumsi jangkrik digunakan untuk mempertahankan hidup.

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60

Masa Bertelur (hari ke-) Konversi Pakan terhadap Produksi Telur

P0 P0,2 P0,4 P0,8

Gambar 18. Grafik Konversi Pakan terhadap Produksi Telur Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat Konversi pakan dari awal masa bertelur sampai hari ke-36 cenderung konstan dan lebih rendah daripada konversi pakan setelah hari ke-36 (umur 87 hari). Grafik ini menunjukkan bahwa jangkrik lebih efisien dalam memproduksi telur pada awal masa bertelur sampai mencapai hari ke-36. Jangkrik yang sudah memasuki hari ke-42 masa bertelur (umur 93) secara umum memiliki nilai konversi pakan lebih dari satu dan dapat dikatakan sudah tidak efisien lagi. Hal ini didukung oleh tingginya

Gambar 18. Grafik Konversi Pakan terhadap Produksi Telur Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat Konversi pakan dari awal masa bertelur sampai hari ke-36 cenderung konstan dan lebih rendah daripada konversi pakan setelah hari ke-36 (umur 87 hari). Grafik ini menunjukkan bahwa jangkrik lebih efisien dalam memproduksi telur pada awal masa bertelur sampai mencapai hari ke-36. Jangkrik yang sudah memasuki hari ke-42 masa bertelur (umur 93) secara umum memiliki nilai konversi pakan lebih dari satu dan dapat dikatakan sudah tidak efisien lagi. Hal ini didukung oleh tingginya

Dokumen terkait