• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber panas selama penelitian berasal dari bohlam berdaya 60 watt yang dipasang sepanjang hari (24 jam) pada masing-masing kandang dan pemanas (brooder) berbahan bakar batu bara sebanyak 10 buah yang dipasang sesuai dengan keadaan suhu kandang yang mendukung cekaman panas. Selain itu sumber cekaman panas berasal dari tirai penutup kandang berupa plastik warna hitam yang tetap tertutup walaupun pada siang hari.

Suhu dan kelembaban kandang pada Tabel 5 didapat dari pengukuran menggunakan thermohygrometer yang digantung pada sisi kanan dan kiri kandang. Tabel 5. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif di Kandang Blok C (Perlakuan

Cekaman Panas) Setiap Minggu Selama 6 Minggu Pemeliharaan

Minggu Pagi Siang Malam

Suhu (°C) RH (%) Suhu (°C) RH (%) Suhu (°C) RH (%)

1 28,86 66,11 32,14 53,21 27,11 63,79 2 28,36 77,08 31,73 58,71 25,87 84,86 3 28,60 76,96 32,46 58,93 26,47 87,67 Rataan periode starter 28,61 73,38 32,11 56,95 26,48 78,77 4 28,52 84,14 30,01 70,43 27,94 77,21 5 28,69 91,00 29,44 85,93 28,24 85,25 6 30,23 79,46 29,91 75,71 28,00 90,89 Rataan periode finisher 29,01 82,89 30,45 72,75 27,67 85,25

Pengaruh cekaman panas terhadap ayam broiler selama pemeliharaan ditandai dengan perilaku ayam yang tidak banyak bergerak, saling memisahkan diri dengan melebarkan sayapnya, menempelkan tubuhnya di lantai serta panting (meningkatkan frekuensi pernapasan). Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat stress panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting

Sebagai pembanding dalam penelitian ini digunakan kandang pada kondisi suhu normal (kandang Blok A) yang suhunya dipertahankan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan optimum ayam broiler dengan menggunakan dua buah AC (Air Conditioner) dan dua buah exhause fan. Penggunaan AC dimulai pada saat ayam broiler berumur 3 minggu dengan tujuan suhu optimum pertumbuhan ayam broiler dapat dipertahankan. Rataan suhu dan kelembaban relatif di kandang blok A (Kontrol) setiap minggu selama 6 minggu pemeliharaan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif di Kandang Blok A (Kontrol) Setiap

Minggu Selama 6 Minggu Pemeliharaan

Minggu Pagi Siang malam

Suhu (°C) RH (%) Suhu(°C) RH (%) Suhu (°C) RH (%)

1 30,28 65,86 33,71 50,86 30,59 62,29 2 30,11 70,86 31,79 63,86 30,16 70,57 3 27,81 83,86 29,33 78,29 28,55 78,50 Rataan periode starter 29,40 73,53 31,61 64,34 29,77 70,45 4 24,65 91,50 26,51 86,57 23,95 90,64 5 24,61 97,14 25,33 95,14 24,49 93,64 6 25,11 95,71 25,34 93,14 24,97 89,79 Rataan periode finisher 25,54 92,05 26,63 88,28 25,49 88,14

Rata- rata suhu di kandang Blok C periode starter (umur 0- 3 minggu) adalah 29,07± 0,370 C dan di kandang Blok A adalah 30,26± 1,530 C. Suhu dalam kandang pada periode starter cukup optimal untuk pertumbuhan ayam. Kelembaban di kandang Blok C periode starter adalah 69,70±7,52 % dan kandang Blok A adalah 69,44±10,31%. Keadaan ini tidak sesuai dengan rekomendasi yang dikemukakan oleh Appleby et al. (2004), bahwa kelembaban yang baik untuk pertumbuhan broiler berkisar antara 50-60%. Kandang Blok C memiliki kelembaban kandang yang tinggi, hal ini menunjukkan kadar uap air di udara semakin meningkat. Kondisi ini akan menghambat sirkulasi udara di dalam kandang, dimana udara yang akan masuk atau keluar terhalang oleh butiran- butiran uap air. Sirkulasi atau kecepatan aliran udara yang kurang baik akan menghambat pertumbuhan ternak. Menurut May et al.

(2000), kecepatan aliran udara akan mempengaruhi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Broiler Periode Starter

(Umur 0- 3 Minggu)

Penambahan DL-methionine 0,2% sampai 0,4% dan Vitamin E 0 mg/kg sampai 200 mg/kg pada periode starter tidak efektif mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, mortalitas dan bobot badan akhir. Hal ini karena pada periode starter ayam belum mengalami cekaman panas. Menurut Guo et al. (2001), penambahan vitamin E sampai 100 mg/kg pada periode starter tidak mempengaruhi performa broiler.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan apabila makanan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu (Parakkasi, 1999). Tabel 7 menunjukkan konsumsi ransum ayam broiler selama periode starter (0-3 minggu). Konsumsi ransum ayam broiler periode starter di kandang C sebesar 1031,52± 43,21 gram/ekor sedangkan di kandang blok A sebesar 999,88±34,92 gram/ ekor. Konsumsi ransum di kandang C sama dengan kandang A karena tidak ada perbedaan suhu antara kandang A dan Kandang C selama periode starter. Bila dibandingkan dengan standar konsumsi ransum broiler strain Ross periode starter yang dikeluarkan oleh Aviagen (2009) yaitu 1087 gram/ekor, maka rataan konsumsi ransum penelitian lebih rendah daripada standar. Hal ini kemungkinan Aviagen menggunakan kandang yang lebih baik atau nyaman dan pakan berkualitas bagi broiler sehingga pertumbuhannya maksimal. Konsumsi ransum penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian supplementasi DL-

methionine 0,20% sampai 0,35% menurut Hani’ah (2008) yaitu 933,89 gram/ekor (selama 0- 3 minggu).

Leeson dan Summers (2001) mengemukakan faktor- faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat nutrisi, kecepatan pertumbuhan, dan stress.

Menurut Leeson dan Summers (2005) kebutuhan methionine untuk starter sebesar 0,5%. Penambahan DL-methionine 0,3% mengandung methionine sebesar 0,6% sehingga kandungan ransum M2 lebih tinggi 20% dibandingkan rekomendasi Leeson dan Summers. Menurut uji statistik, penambahan DL-methionine sampai taraf 0,4% pada Tabel 7 tidak berpengaruh nyata meningkatkan konsumsi ransum. Namun, secara kumulatif konsumsi tertinggi dicapai pada penambahan DL- methionine 0,3%. Penambahan DL-methionine 0,3 %. pada penelitian ini mampu meningkatkan konsumsi sebesar 10,96% dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Menurut Zhang dan Guo (2008), ransum yang kekurangan asam amino esensial tertentu menyebabkan asam amino lain dideaminasikan, lalu dioksidasikan menjadi energi dan pada akhirnya akan dieksresikan. Proses perombakan asam amino tersebut merupakan kerja berat, menuntut banyak energi yang mengakibatkan suhu tubuh semakin meningkat. Maka reaksi homeostatik tubuh terhadap peningkatan suhu tersebut adalah dengan cara mengurangi ransum.

Hani’ah (2008) menyatakan konsumsi ransum memiliki pengaruh yang sama

pada pemberian DL-methionine 0,2%; 0,25%: 0,3% maupun 0,35%. Jika dilihat dari nilai yang diperoleh, penambahan DL-methionine 0,25% menghasilkan konsumsi tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Tabel 7. Konsumsi Ransum Ayam Broiler Periode Starter (gram/ekor)

Vitamin E

DL-methionine Rataan±SD Kontrol

M1 M2 M3 E1 995,47±20,01 1016,02±15,72 1020,34±2,20 1010,61±13,29 999,88±34,92 E2 1016,84±3,38 1182,61±258,52 935,69±123,38 1045,05±125,85 E3 944,59±6,05 1122,14±155,14 1050,01±28,37 1038,91±89,29 Rataan± SD 985,63±37,12 1106,92±84,33 1002,01±59,32

Keterangan: M1= DL-met 0,15%, M2= DL- met 0,25%:, M3= DL- met 0,35 %, E1= Vit. E 0 mg/kg, E2= Vit. E 100 mg/kg, E3= Vit. E 200 mg/kg.

Penambahan vitamin E sampai taraf 200 mg/kg berdasarkan uji statistik tidak berpengaruh nyata mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler periode starter. Secara kumulatif level Vitamin E 100 mg/kg (Tabel 7) menghasilkan konsumsi tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Level vitamin E 200 mg/kg dapat meningkatkan konsumsi sebesar 3,30 % dibandingkan perlakuan lainnya. Guo et al. (2001), melaporkan penambahan vitamin E 100 mg/kg tidak mempengaruhi konsumsi ayam broiler periode starter. Interaksi pemberian DL-methionine 0,3% dan vitamin E 100 mg/kg cenderung meningkatkan konsumsi ransum dibandingkan perlakuan lainnya.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Tabel Pertambahan bobot badan ayam broiler periode starter disajikan pada Tabel 8.

Rata- rata pertambahan bobot badan ayam broiler periode starter di kandang blok C sebesar 658,355±12,31 gram/ekor dan kandang blok A sebesar 606,68±71,24 gram/ekor. Pertambahan bobot badan di kandang C sama dengan di kandang A karena tidak ada perbedaan suhu antara kandang A dan kandang C selama periode starter. Nilai tersebut lebih rendah dari standar pertambahan bobot badan broiler strain Ross periode starter menurut Aviagen (2009) yaitu 807 gram/ekor. Tabel 8. Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Periode Starter (gram/ekor)

Vitamin E

DL-methionine Rataan±SD Kontrol

M1 M2 M3 E1 646,51±13,01 646,42±33,54 660,68±8,27 651,20±8,21 606,68±71,24 E2 661,04±42,24 686,91±66,88 650,19±83,82 664,31±16,00 E3 604,88±5,04 684,26±47,95 681,69±11,13 658,68±46,61 Rataan± SD 637,48±29,15 670,79±21,14 665,93±18,91

Keterangan: M1= DL-met 0,15%, M2= DL- met 0,25%:, M3= DL- met 0,35 %, E1= Vit. E 0 mg/kg, E2= Vit. E 100 mg/kg, E3= Vit. E 200 mg/kg.

manajemen perkandangan yang baik serta pakan yang lebih baik daripada penelitian ini. Rata-rata pertambahan bobot badan penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Hani’ah (2008) yang menyatakan pertambahan bobot badan ayam broiler periode starter yaitu sebesar 609,96 gram/ekor. Wahju (2004) mengemukakan faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah jenis kelamin, energi metabolis ransum, kandungan protein ransum dan lingkungan.

Berdasarkan analisis statisik penambahan DL-methionine sampai taraf 0,4% tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam broiler periode starter. Secara kumulatif penambahan DL-methionine 0,3% (lebih tinggi 20% dari kebutuhan) menghasilkan bobot badan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Penambahan DL-methionine 0,3 % mampu meningkatkan PBB sebesar 4,96%. Menurut Pond et al. (2005), jika pola konsentrasi asam amino kurang dari pola yang dibutuhkan tubuh, maka selera makan akan menurun dan pertumbuhan akan terhambat. Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Sutardi (1980) bahwa pola asam amino yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak akan direspon oleh bagian- bagian otak seperti lobus pyriform dan amygdaloid. Kedua bagian otak tersebut mempengaruhi pusat lapar dan kenyang untuk mengubah selera makan. lobus pyriform mampu menurunkan konsumsi ransum bila ransum yang defisien asam amino esensial, sedangkan daerah amygdaloid mampu menurunkan konsumsi makanan yang konsumsi asam aminonya tidak seimbang. Selain itu menurut Prawirokusumo et al. (1987) salah satu akibat bila terjadi kekurangan asam amino metionin adalah lambatnya laju pertumbuhan.

Hani’ah (2008) melaporkan penambahan DL-methionine berpengaruh nyata

meningkatkan pertambahan bobot badan ayam broiler periode starter dibandingkan ransum basal, tetapi pemberian DL-methionine 0,2%; 0,25%; 0,3% memilikipengaruh yang sama terhadap pertambahan bobot badan . Jika dilihat dari nilainya, penambahan DL-methionine 0,25 % menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Pemberian vitamin E sampai taraf 200 mg/kg menurut analisis statistik tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam broiler periode starter. Pertambahan Bobot Badan tertinggi dicapai pada pemberian vitamin E 100 mg/kg. Pertambahan Bobot Badan meningkat 1,97% pada level vitamin E 100 mg/gram dibandingkan

tanpa penambahan vitamin E. Menurut Guo et al. (2001), penambahan vitamin E sampai 100 mg/kg tidak mempengaruhi PBB ayam broiler periode starter. Jika dilihat dari nilai yang diperoleh (Tabel 8), penambahan vitamin E 100 mg/kg menghasilkan Pertambahan Bobot Badan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Pertambahan bobot badan tertinggi dicapai saat interaksi pemberian DL- methionine 0,3% dan vitamin E 100 mg/kg.

Konversi Ransum

Menurut Lacy dan Vest (2000), konversi ransum didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertumbuhan bobot badan yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Konversi ransum ayam broiler periode starter ditunjukkan pada Tabel 9.

Konversi ransum broiler periode starter di kandang blok C sebesar 1,5 ±0,05 dan kandang blok A sebesar 1,66±0,15. Konversi ransum di kandang C sama dengan di kandang A karena di kandang A konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan sama dengan kandang C. Konversi ransum penelitian kurang baik bila dibandingkan dengan standar konversi ransum broiler strain Ross periode starter yang dikeluarkan oleh Aviagen (2009) yaitu 1,3. Tingginya konversi ransum pada penelitian ini dibandingkan Aviagen kemungkinan karena pada Aviagen menggunakan manajemen pemeliharaan yang baik serta pakan yang berkualitas. Konversi ransum hasil penelitian ini sama dengan penelitian menurut Hani’ah (2008) yaitu 1,45.

Tabel 9. Konversi Ransum Ayam Broiler Periode Starter

Vitamin E DL-methionine Rataan±SD Kontrol

M1 M2 M3

E1 1,54±0,02 1,57±0,06 1,54±0,02 1,55±0,02 1,66±0,15

E2 1,54±0,10 1,73±0,35 1,44±0,13 1,57±0,15

E3 1,56±0,02 1,66±0,35 1,54±0,13 1,58±0,06

Rataan± SD 1,55±0,01 1,65±0,08 1,51±0,06

Keterangan: M1= DL-met 0,15%, M2= DL- met 0,25%:, M3= DL- met 0,35 %, E1= Vit. E 0 mg/kg, E2= Vit. E 100 mg/kg, E3= Vit. E 200 mg/kg. Kontrol= E1M1 pada kondisi normal (kisaran suhu 23,95-29,330C).

Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas pakan, jenis ransum, penggunaan zat aditif, kualitas air, pengafkiran, penyakit, dan pengobatan, serta manajemen pemeliharaan. Selain itu konversi ransum dipengaruhi faktor kualitas ransum, teknik pemberian pakan dan angka mortalitas (Amrullah, 2004)

Berdasarkan uji statistik pada Tabel 9 menunjukkan penambahan DL- methionine sampai taraf 0,4% tidak mempengaruhi konversi ransum. Secara kumulatif konversi ransum terendah diperoleh pada penambahan DL-methionine 0,4%. Menurut Hani’ah (2008) pemberian DL-methionine tidak mempengaruhi konversi ransum ayam broiler periode starter. Secara kumulatif penambahan DL- methionine 0,35% menghasilkan konversi paling rendah dibandingkan pemberian DL-methionine 0,20%:0,25%: 0,30%.

Guo et al. (2001) menjelaskan penambahan vitamin E sampai 100 mg/kg tidak mempengaruhi konversi ransum ayam broiler periode starter. Namun, dilihat dari nilainya pemberian vitamin E 100 mg/kg menghasilkan konversi yang rendah dibandingkan tanpa penambahan vitamin E.

Berdasarkan uji statistik, penambahan vitamin E sampai taraf 200 mg/kg tidak nyata mempengaruhi mortalitas. Secara kumulatif, ransum tanpa penambahan vitamin E menghasilkan konversi ransum terendah (Tabel 9). Konversi ransum terendah dicapai pada interaksi penambahan DL-methionine 0,4% dan vitamin E 200 mg/kg.

Mortalitas

Mortalitas di kandang blok C sebesar 1,23±1,96%. Mortalitas di kandang blok A 0%. Mortalitas di kandang C kemungkinan disebabkan oleh keadaan kandang yang lembab serta kebersihan kandang yang kurang.

Tabel. 10 menunjukkan mortalitas broiler periode starter. Mortalitas di kandang blok C lebih tinggi daripada kandang blok A kemungkinan karena lingkungan di kandang blok A lebih nyaman daripada kandang blok C. Faktor- faktor yang mempengaruhi presentase kematian antara lain bobot badan, bangsa, tipe ayam, iklim, kebersihan lingkungan, dan penyakit.

Berdasarkan uji statistik penambahan DL-methionine samapai tarf 0,4% dan vitamin E samapai taraf 200 mg/kg tidak berpengaruh nyata mempengaruhi mortalitas. Penambahan DL-methionine 0,2% menghasilkan mortalitas terendah. Mortalitas terendah dicapai ketika ransum tanpa ditambahkan vitamin E. Interaksi penambahan DL-methionine 0,4% dan vitamin E 200 mg/kg menghasilkan mortalitas tertinggi.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Broiler Periode Finisher

(Umur 3- 6 Minggu)

Rata- rata suhu di kandang blok C periode finisher (umur 3- 6 minggu) adalah 29,04± 0,29 0C dan di kandang blok A yaitu 25,89± 1,79 0C . Zona nyaman untuk ayam broiler yaitu pada suhu 19-27 0C (Kuezynski, 2002). Hal ini menunjukkan di kandang blok C mengalami cekaman panas. Ayam di kandang C mengalami cekaman panas terlihat dari ayam sering menunjukkan tingkah laku panting yaitu ayam terengah-engah dan membuka sayapnya. Cara ini dilakukan sebagai usaha pengeluaran panas melalui evaporasi. Selain itu, litter menjadi basah sehingga kadar amonia meningkat. Keadaan ini disebabkan oleh ayam yang sering Tabel 10. Mortalitas Ayam Broiler Periode Starter (%)

Vitamin E DL-methionine Rataan±SD Kontrol

M1 M2 M3

E1 0 0 0 0 0

E2 2,22±3,85 0 0 0,74±1,28

E3 0 2,22±3,85 4,44±3,85 2,22±2,22

Rataan±SD 0,74±1,28 0,74±1,28 1,48±2,56

Keterangan: M1= DL-met 0,15%, M2= DL- met 0,25%:, M3= DL- met 0,35 %, E1= Vit. E 0 mg/kg, E2= Vit. E 100 mg/kg, E3= Vit. E 200 mg/kg.

minum apabila suhu tubuhnya tinggi (Amrullah, 2004). Konsumsi air minum yang tinggi menyebabkan kadar air feses menjadi tinggi pula.

Kelembaban di kandang C periode finisher adalah 80,29±5,53% dan di kandang A adalah 89,49±6,62%. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban kandang tinggi. Kelembaban yang sesuai untuk broiler berkisar antara 50-60% Appleby et al. (2004). Penambahan DL-methionine dan Vitamin E pada periode finisher tidak mempengaruhi konsumsi, penambahan bobot badan, konversi pakan, mortalitas, dan bobot badan akhir.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum broiler periode finisher di kandang blok C sebesar 3110,06±79,20 gram/ ekor sedangkan di kandang blok A sebesar 3049,73±234,12 gram/ekor. Konsumsi ransum broiler periode finisher (3-6 minggu) disajikan pada Tabel 11.

Konsumsi ransum pada cekaman panas lebih tinggi daripada kondisi nyaman. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Pada kondisi cekaman panas ayam akan mengurangi konsumsi ransum. Ransum yang dikonsumsi akan dirombak oleh tubuh dan perombakannya membutuhkan energi. Energi tersebut nantinya akan

Tabel 11. Konsumsi Ayam Broiler Periode Finisher (gram/ekor)

Vitamin E DL-methionine Kontrol M1 M2 M3 Rataan± SD E1 3239,60±223,02 2997,55±105,72 3084,09±112,64 3107,08 ±122,65 3049,73 ±234,12 E2 3305,33 ±416,72 3490,48 ±512,65 2865,08±256,86 3220,29 ±321,25 E3 2835,76 ±76,31 2997,79 ±317,06 3174,86±248,88 3002,80 ±169,60 Rataan ± SD 3126,89 ±254,26 3161,94 ±284,52 3041,34±159,25

Keterangan: M1= DL-met 0,15%, M2= DL- met 0,25%:, M3= DL- met 0,35 %, E1= Vit. E 0 mg/kg, E2= Vit. E 100 mg/kg, E3= Vit. E 200 mg/kg.

menghasilkan panas tubuh. Semakin banyak ransum yang dikonsumsi maka produksi panas akan semakin tinggi (Amrullah, 2004). Oleh karena itu ayam akan mengurangi konsumsi ransum pada kondisi cekaman panas. Kondisi ini sama dengan penelitian Batshan (2002) bahwa konsumsi pakan pada kondisi cekaman panas lebih rendah daripada suhu nyaman. Dilihat dari konsumsi ransum ayam broiler yang dipelihara pada dua kandang yang berbeda belum menunjukkan adanya cekaman panas sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Menurut Mujahid et al. (2007) peningkatan suhu lingkungan 5 0C yang melebihi kisaran zona suhu nyaman menyebabkan stres oksidatif (kondisi aktitivitas radikal bebas melebihi antioksidan) pada ayam broiler. Hal ini berarti suhu yang menyebabkan stress tersebut adalah 32 0C. Kuezynski (2002) menyatakan zona nyaman untuk ayam broiler yaitu pada suhu 19- 270C. Suhu di kandang blok C 29,04± 0,29 0C dan di kandang blok A yaitu 25,89± 1,79 0C

Rata-rata konsumsi penelitian ini lebih rendah dari standar strain Ross (jumbo) periode finisher menurut Aviagen (2009) yaitu 2474 gram/ekor karena selama penelitian ini broiler mengalami cekaman panas.. Upaya mengatasi cekaman panas tersebut ayam akan melakukan panting dan banyak minum sehingga berdampak terhadap pengurangan konsumsi pakan (Amrullah,2003). Menurut

Hani’ah (2008) yang konsumsi ransum broiler strain Ross periode finisher sebesar

2755,59 gram/ekor, maka konsumsi ransum penelitian ini lebih tinggi.

Berdasarkan Tabel 11 diperoleh bahwa penambahan DL-methionine samapai taraf 0,35% menurut uji statistik tidak berpengaruh nyata mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler periode finisher. Kebutuhan methionine untuk broiler periode finisher menurut Leeson dan Summers (2005) yaitu 0,38%. Berdasarkan analisis kandungan ransum, penambahan DL-methionine 0,25% mengandung methionine sebesar 0,47% (lebih besar dari 20% dari Leeson dan Summers, 2005) secara kumulatif menunjukan penambahan DL-methionine 0,25% mampu meningkatkan konsumsi sebesar 1,11% dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Menurut Batshan (2002), peningkatan protein dapat meningkatkan konsumsi ransum selama kondisi cekaman panas. Konsumsi pakan rendah disebabkan ketidakseimbangan asam amino dalam pakan tersebut. Pond et al., (2005) melaporkan bahwa pakan yang tidak seimbang kandungan nutriennya akan menurunkan konsumsi.

Hani’ah (2008) menjelaskan pemberian DL-methionine tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan. Namun, secara kumulatif pemberian DL-methionine 0,25% menghasilkan konsumsi ransum tertinggi dibandingkan dibandingkan pemberian DL-methionine 0,15%;0,25% maupun 0,30%.

Pada penelitian ini pemberian DL-methionine tidak mempengaruhi performa ayam broiler. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan metionin bervariasi tergantung pada konsumsi pakan, umur, jenis, status fisiologi dan kondisi Iingkungan (Ishibashi dan Kamilake, 1985).

Pemberian vitamin E sampai taraf 200 mg/kg menurut uji statistik tidak mempengaruhi konsumsi ransum periode finisher. Konsumsi ransum pada Tabel 11 meningkat 6,7% ketika ditambahkan vitamin E 100 mg/gram dibandingkan perlakuan lainnya. Sahin et al. (2002) menyatakan peningkatan level vitamin E 0 mg/kg, 125 mg/kg, 250 mg/kg secara linier meningkatkan konsumsi ayam broiler pada kondisi cekaman panas (320C). Menurut Niu et al. (2009), penambahan vitamin E 200 mg/kg lebih tinggi meningkatkan konsumsi dibandingkan vitamin E 100 mg/kg pada kondisi cekaman panas. Interaksi penambahan DL-methionine 0,25% dan vitamin E 100 mg/kg menghasilkan konsumsi ransum paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Pada penelitian ini pemberian Vitamin E tidak mempengaruhi performa ayam broiler. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan vitamin E yaitu sumber vitamin E, selenium, dan berbagai antioksidan lain, kandungan lemak dan asam lemak (Guo et al., 2001)

Pertambahan Bobot Badan

Rata- rata pertambahan bobot badan broiler periode finisher disajikan pada Tabel 12. Rata- rata pertambahan bobot badan broiler periode finisher di kandang C sebesar 1113,77±15,74 gram/ekor dan kandang blok A sebesar 1417,93±39,22 gram/ekor. Nilai tersebut lebih rendah dari standar strain Ross periode finisher menurut Aviagen (2009) yaitu 2550 gram/ekor. Rendahnya pertambahan bobot badan broiler pada penelitian ini dibandingkan dengan standar disebabkan ayam mengalami cekaman panas sehingga bobot badan yang dihasilkan rendah karena konsumsi juga rendah.

Menurut Hani’ah (2008), pertambahan bobot badan ayam broiler periode finisher sebesar 1191,59 gram/ekor. Pada suhu nyaman pertambahan bobot badan lebih tinggi daripada cekaman panas. Suhu yang tinggi selama penelitian menyebabkan ayam mengurangi konsumsi ransum. Cara ini dilakukan karena ayam mengurangi penimbunan panas dalam tubuh yang tentunya akan diikuti dengan berkurangnya pertumbuhan (Kusnadi, 2006).

Berdasarkan uji statistik, Tabel 12 menunjukkan penambahan DL-methionine samapai taraf 0,35% tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam broiler periode finisher. Secara kumulatif penambahan DL-methionine pada perlakuan M2 (lebih tinggi 20% dari rekomendasi Leeson dan Summers, 2005) menghasilkan PBB tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Penambahan DL-methionine 0,15% mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 11,97% dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Bunchasak et al. (2006) melaporkan bahwa broiler yang disuplementasi DL- metionin mempunyai PBB yang lebih tinggi dibandingkan dengan pakan basal yang defisien protein. Pemberian DL-methionine perlu memperhatikan tingkat protein, fisik, dan palatabilitas bahan makanan. Selain itu metionin sebagai asam amino yang bersifat racun bila berlebihan maka harus diperhatikan dengan baik. Kelebihan pemberiannya akan berakibat buruk pada penambahan berat badan. Terjadinya Tabel 12. Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Periode Finisher (gram/ekor)

Vitamin E

DL-methionine Rataan±SD Kontrol

M1 M2 M3 E1 1209,64±88,57 1039,49±64,51 1087,15±50,55 1112,09±87,77 1417,93 ±39,22 E2 1122,07±50,85 1246,60±152,49 1036,84±139,81 1135,17±105,49 E3 1080,70±44,74 1085,55±112,41 1145,88±138,79 1104,04±36,31 Rataan± SD 1137,47±65,84 1123,88±108,75 1089,96±54,57

Keterangan: M1= DL-met 0,15%, M2= DL- met 0,25%:, M3= DL- met 0,35 %, E1= Vit. E 0 mg/kg, E2= Vit. E 100 mg/kg, E3= Vit. E 200 mg/kg.

penurunan selera makan atau penurunan laju pertumbuhan dapat diakibatkan antagonisme asam-asam amino (Pesti et al., 2005)

Pemberian DL-methionine berpengaruh nyata meningkatkan PBB dibandingkan dengan kontrol (Hani’ah, 2008). Selain itu, secara kumulatif pemberian DL-methionine 0,20% meningkatkan pertambahan bobot badan teringgi dibandingkan dengan penambahan DL-methionine 0,15%: 0,25%: maupun 0,3%.

Pertambahan bobot badan tidak dipengaruhi penambahan vitamin E sampai taraf 200 mg/kg menurut uji statistik. Secara kumulatif penambahan vitamin E 100 mg/gram mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 2,03% dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Menurut Sahin et al. (2002), peningkatan level vitamin E 0 mg/kg, 125 mg/kg, 250 mg/kg secara linier meningkatkan konsumsi ayam broiler pada kondisi cekaman panas (320C). Niu et al. (2009) menyatakan pemberian vitamin E 100 mg/kg menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan vitamin E. Interaksi supplementasi DL-methionine pada penelitian ini (0,25 %) dan vitamin E 100 mg/kg meningkatkan pertambahan bobot badan dibandingkan perlakuan lainnya.

Konversi ransum

Tabel 13 menunjukkan konversi ransum broiler periode finisher. Konversi ransum broiler periode finisher di kandang blok C sebesar 2,80±0,05 dan kandang blok A sebesar 2,15±0,14.

Konversi di kandang C lebih tinggi daripada di kandang A karena konsumsi dan bobot badan yang dihasilkan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa konversi ransum kandang A lebih efektif daripada kandang C.

Konversi di kandang C lebih tinggi daripada di kandang A karena konsumsi dan bobot badan yang dihasilkan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa konversi ransum kandang A lebih efektif daripada kandang C.

Konversi ransum penelitian kurang baik bila dibandingkan dengan standar konversi ransum periode finisher strain Ross yang dikeluarkan oleh Aviagen (2009) yaitu yaitu 1,72. Hal ini disebabkan oleh suhu yang tinggi selama penelitian.

Hani’ah (2008) menyatakan konversi ransum periode finisher strain Ross sebesar

2,3. Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas pakan, jenis ransum, penggunaan zat aditif, kualitas air, pengafkiran, penyakit, dan pengobatan, serta manajemen pemeliharaan. Selain itu

Dokumen terkait