• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecamatan Seririt yang secara astronomis terletak antara 8°10’53” LU -

8°20’14’’ LS dan 114°25’53” BB - 114°52’59” BT, merupakan kecamatan

dengan luas 111.78 km2 (8.18% terhadap luas kabupaten dan 1.98% terhadap luas Provinsi Bali). Kecamatan Seririt terdiri dari 21 desa/kelurahan, yaitu Desa Banjar Asem, Bestala, Bubunan, Gunungsari, Joanyar, Kalianget, Kalisada, Lokapaksa, Mayong, Pangkung Paruk, Patemon, Pengastulan, Rangdu, Ringdikit, Seririt, Sulanyah, Tangguwisia, Ularan, Umeanyar, Unggahan, dan Yeh Anakan (BPS Buleleng 2013). Secara geografis Kecamatan Seririt memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sebelah timur

9

berbatasan dengan Kecamatan Banjar, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Busungbiu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gerokgak.

Kecamatan Seririt memiliki panjang pantai 11.61 km. Kondisi kependudukan di Kecamatan Seririt mengalami perkembangan yang sangat fluktuatif. Pertumbuhan penduduk Kecamatan Seririt pada tahun 2007-2008 mencapai 2.53%. Namun, angka tersebut mengalami penurunan menjadi 1.10% pada tahun 2008-2009. Pada tahun 2010-2011, angka pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan menjadi 3.31% dan mengalami penurunan menjadi -0.62% pada tahun 2011-2012. Penurunan persentase laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Seririt yang sangat mengkhawatirkan terjadi pada tahun tersebut (BPS Buleleng 2013). Jumlah penduduk Kecamatan Seririt tahun 2005 sebanyak 62,874, sedangkan pada tahun 2014 mencapai 81,756 jiwa dengan kepadatan penduduk 731 jiwa/km2 (BPS Seririt 2014).

Identifikasi Tata Guna Lahan dan Perubahannya

Lillesand dan Kiefer (1979) menyatakan bahwa penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut. Townshend dan Justice (1981) juga berpendapat mengenai penutupan lahan yaitu perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut, sedangkan Barret dan Curtis (1982) mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya. Sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan).

Informasi tentang penutupan lahan yang akurat dan up to date sangat penting dalam pengelolaan lahan (land management) pada suatu DAS. Perubahan aktivitas pada suatu penggunaan lahan dalam suatu ruang dan waktu sering mengakibatkan perubahan penutupan lahan sebagai indikasi aktivitas pengelolaan lahan. Untuk memperoleh perencanaan pengelolaan yang sesuai maka perlu

dipilah pemahaman antara ‘penutupan lahan’ dan ‘penggunaan lahan’. Dalam Peta

Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:250,000 tahun 1986, penutupan lahan / penggunaan lahan dibedakan menjadi hutan, perkebunan, ladang, permukiman, dan sawah. Oleh Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN), Departemen Kehutanan, klasifikasi penutupan lahan tersebut diperluas menjadi hutan (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder), perkebunan, permukiman, sawah, lahan kering / ladang (pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak), rawa, tanah terbuka, tubuh air, belukar (semak / belukar, belukar rawa). Akan tetapi, pada penelitian ini, tata guna lahan dibagi ke dalam 14 jenis seperti pada Tabel 4. Jenis lahan yang dikategorikan sebagai hutan dalam penelitian ini yaitu pepohonan, semak-semak, kebun, dan semua lahan tidak terbangun yang memiliki vegetasi selain padi (padi termasuk dalam tata guna lahan sawah). Hasil perhitungan luasan tata guna lahan di Kecamatan Seririt pada tahun 2005 dan 2014 dapat dilihat pada Tabel 4.

10

Tabel 4 Hasil identifikasi tata guna lahan di Kecamatan Seririt No Tata guna lahan Jumlah bangunan Luas (km

2) 2005 2014 2005 2014 Perubahan 1 Rumah ∞ ∞ 6,345 7,161 0,816 2 Hotel 29 44 0,021 0,154 0,133 3 Kantor 26 26 0,006 0,006 0,000 4 Lahan kosong - - 1,876 1,452 -0,424 5 Masjid 6 7 0,004 0,005 0,001 6 Industri 47 107 0,048 0,133 0,086 7 Pasar 1 1 0,004 0,004 0,000 8 Hutan - - 101,483 103,576 2,093 9 Sawah - - 21,461 18,032 -3,428 10 Sekolah 153** 154** 0,024 0,027 0,003 11 Sungai - - 0,377 0,413 0,037 12 Waduk 0 1* 0* 0,688* 0,688 13 Rumah Sakit 1 1 0,008 0,008 0,000 14 Terminal 1 1 0,001 0,001 0,000 Total 131,668a 131,668a 6,003

Keterangan: atotal luas yang dipergunakan dalam perhitungan adalah yang menurut BPS Seririt yaitu sebesar 111.78 km2.

Jenis lahan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lahan terbangun dan lahan tidak terbangun. Lahan terbangun yaitu area yang telah mengalami substitusi penutup lahan alami ataupun semi alami dengan penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen (SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi penutup lahan). Area selain dari definisi tersebut dikategorikan sebagai lahan yang tidak terbangun. Lahan terbangun yang dihitung luasnya dalam penelitian ini yaitu rumah, hotel, kantor, masjid, industry (pabrik), pasar, sekolah, waduk, rumah sakit, dan terminal. Lahan tidak terbangun terdiri atas lahan kosong (lahan yang tidak ditumbuhi vegetasi yang tinggi), sawah, dan hutan.

Total luas pada Tabel 4 merupakan hasil pengolahan data menggunakan

Microsoft Excel 2013. Akan tetapi, normalisasi dilakukan pada data tersebut karena menurut BPS Seririt luas wilayah Kecamatan Seririt adalah 111.78 km2, sehingga dalam perhitungan dipakai angka luas menurut BPS. Tanda negatif pada nilai perubahan fungsi lahan sawah dan lahan kosong disebabkan lahan tersebut dari tahun 2005 ke tahun 2014 berkurang, sedangkan untuk fungsi lahan yang lainnya mengalami penambahan dengan urutan dari yang terbesar yaitu hutan, rumah, hotel, pabrik, sungai, waduk, sekolah, masjid. Lahan yang tidak mengalami perubahan yaitu terminal, pasar, rumah sakit, dan kantor. Persentase perubahan yang terdapat pada Tabel 4 adalah persen perubahan terhadap luas total Kecamatan Seririt. Peta perubahan tata guna lahan pada tahun 2005 terdapat pada Gambar 3.

11

Gambar 3 Peta tata guna lahan Kecamatan Seririt tahun 2005

Berdasarkan data atribut peta pada ArcMap yang telah disortir di Microsoft Excel, perubahan yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun tersebut telah mengkonversikan lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun (Lampiran 2) seluas 1.12 km2 dari total luas lahan 124.82 km2. Selain itu, konversi lahan juga terjadi antar sesama lahan tidak terbangun (Lampiran 3), yaitu dari hutan menjadi sawah dan sebaliknya, dari lahan kosong ke hutan dan sebaliknya, serta dari lahan kosong ke sawah dan sebaliknya.

12

Akan tetapi, yang terpenting adalah penggunaan lahan permukiman dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah mengalami perkembangan wilayah seluas 0.82 km2. Hal tersebut diikuti dengan berkurangnya luasan sawah seluas 4.78 km2. Berkurangnya sawah dikarenakan pada tahun 2005 hingga tahun 2014 terjadi konversi penggunaan lahan dari sawah menjadi lahan terbangun. Peta tata guna lahan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta tata guna lahan Kecamatan Seririt tahun 2014

Analisis Pemakaian Air Bersih dan Kuantitas Air Limbah yang Dihasilkan Perhitungan kebutuhan air bersih disini dibagi menjadi tiga yaitu sektor domestik, irigasi, dan non-domestik. Untuk sektor domestik (rumah tangga) di Kecamatan Seririt dihitung berdasarkan jumlah penghuni. Perhitungan total

13

kebutuhan air sektor domestik yang mempunyai satuan liter/hari dapat diketahui dengan cara mengalikan angka yang tertera pada kolom standar kebutuhan air (liter/jiwa/hari) dengan banyaknya jumlah penduduk terlayani (jiwa). Tabel 5 berisi data kebutuhan air bersih domestik serta air buangan yang dihasilkan pada tahun 2005 dan 2014.

Tabel 5 Kebutuhan air sektor domestik di Kecamatan Seririt Jenis

penggunaan lahan

Tahun Luas Kepadatan

Penduduk terlayani Standar kebutuhan air Kebutuhan air (km2) (jiwa/km2) (jiwa) (L/Jiwa/Hari) (m3/hari) Pemukiman 2005 6.351 9909.50 62,874 100b 6,287.40

2014 7.167 11417.37 81,756 8,157.70

Sumber: bKemen PU 1996

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat dibuktikan bahwa pertambahan luas pemukiman dan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan rumah tangga akan air bersih meningkat. Untuk itu, nilai air buangan dapat diestimasikan dengan perhitungan yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Air buangan dan grey water yang dihasilkan untuk sektor domestik Tahun Kebutuhan air (m3/hari) Air buangan (m3/hari) Grey water (m3/hari) 2005 6,287.4 5,344.29 4,008.22 2014 8,157.7 6,118.27 4,588.71

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan yaitu air buangan adalah 85% dari total volume kebutuhan air bersih dan bagian dari grey water adalah 75% dari total volume air buangan, grey water yang dihasilkan sektor domestik tahun 2014 telah mengalami kenaikan sebesar 580.48 m3/hari atau 12.6% dari tahun 2005. Kebutuhan air bersih untuk sektor irigasi pertanian sawah menurut SNI 19-6728.1-2002 tentang Penyusunan Neraca Sumber Daya memiliki standar kebutuhan air sebesar 1 L/detik/ha atau jika dikonversi sama dengan 86,400 L/hari/ha. Perhitungan kebutuhan air untuk sawah terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kebutuhan air irigasi di Kecamatan Seririt Tahun Luas (ha) Standar kebutuhan air Kebutuhan air (m3/hari) (L/hari/ha) 2005 2,146.10 86,400c 185,423.04 2014 1,803.25 155,800.80 Sumber: cBSN 2002

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai kebutuhan air bersih untuk lahan sawah berkurang sebanyak 29,622.24 m3/hari. Penurunan angka tersebut disebabkan luasan lahan sawah yang semakin berkurang dan digantikan dengan lahan terbangun. Standar kebutuhan air non-domestik adalah kebutuhan air bersih di luar keperluan rumah tangga, namun termasuk keperluan industri, komersial, dan sarana penunjang yang mencakup kebutuhan perkantoran, rumah ibadah, fasilitas kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Pada penelitian ini diperlukan data-data

14

penunjang untuk menganalisis kebutuhan air bersih sektor non domestik di Kecamatan Seririt pada tahun 2005 dan 2014. Misalnya, data penunjang berupa jumlah siswa dan guru untuk kebutuhan air sekolah terdapat pada Lampiran 4, data jumlah kamar untuk kebutuhan air hotel pada Lampiran 5, dan data rata-rata pegawai industri pada Lampiran 6.

Berdasarkan Lampiran 4 diketahui jumlah total keseluruhan murid dan guru dari setiap jenjang pendidikan di Kecamatan Seririt pada tahun 2014. Jumlah murid dan guru tersebut dikalikan dengan standar kebutuhan air sekolah, yaitu sebesar 10 L/murid/hari dan hasilnya sebesar 237,110 L/hari atau sama dengan dengan 237.11 m3/hari sebagai kuantitas kebutuhan air sekolah pada tahun 2014. Tahun 2005, jumlah SMP hanya 5, tetapi menjadi 6 sekolah pada tahun 2014. Oleh karena itu, jumlah murid dan guru yang terdapat di sekolah tersebut dihitung berdasarkan hasil bagi antara jumlah murid atau guru dengan jumlah sekolah yang ada pada tahun 2014. Setelah itu, diperoleh hasil bahwa dalam satu sekolah terdapat 393 murid dan 22 guru. Oleh karena itu, untuk tahun 2005 diasumsikan jumlah murid yang ada sebanyak 21,858 murid dan 1,438 guru. Angka tersebut dikalikan dengan standar kebutuhan air sekolah, lalu didapatkanlah hasil sebesar 232.97 m3/hari sebagai kuantitas kebutuhan air sekolah pada tahun 2005.

Kebutuhan air hotel juga memerlukan asumsi karena adanya keterbatasan data. Hasil identifikasi penggunaan lahan jenis hotel menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah hotel ada 29, sedangkan pada tahun 2014 ada 44. Menurut data BPS Buleleng tahun 2013 hanya ada 5 nama hotel yang diketahui beserta jumlah kamarnya yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan data tersebut diperoleh rata-rata jumlah kamar hotel yaitu 19 kamar. Jumlah hotel yang tidak diketahui nama beserta jumlah kamarnya dikalikan dengan jumlah rata-rata kamar hotel di Kabupaten Buleleng. Hasilnya yaitu sebanyak 554 kamar hotel untuk tahun 2005 dan 745 kamar untuk tahun 2014. Jumlah kamar tersebut dikalikan dengan standar kebutuhan air untuk fasilitas hotel. Untuk sektor pabrik, data sekunder yang dibutuhkan adalah rata-rata jumlah pekerja. Hal itu karena untuk sektor ini hanya memperhitungan pemakaian air pegawai, bukan untuk proses produksi. Berdasarkan Lampiran 6, rata-rata jumlah pekerja di suatu industri pada tahun 2005 sebesar 78 orang. Akibat terbatasnya data sekunder dari pustaka, maka jumlah pekerja tahun 2014 diasumsikan sama dengan tahun 2005.

Total kebutuhan air bersih untuk sektor non-domestik tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan perhitungan kebutuhan air pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 besarnya kebutuhan air untuk sektor non-domestik yakni 394.19 m3/hari, dan besarnya grey water yang terhitung adalah 251.30 m3/hari. Dengan diketahuinya kedua angka tersebut sebenarnya dapat pula digunakan untuk menghitung rasio air buangan yaitu perbandingan data debit air buangan terukur per hari dengan debit air bersih yang digunakan. Akan tetapi, hal tersebut berada di luar ruang lingkup penelitian.

15

Tabel 8 Total kebutuhan air sektor non-domestik di Kecamatan Seririt tahun 2005

Tata guna

lahan Jumlah Satuan

Standar Kebutuh an Air (Satuan/ L/hari)d Kebutuhan Air (L/hari) Kebutuh an Air (m3/hari) Air buangan (m3/hari) Grey water (m3/hari) hotel 554 bed 150 83,072 83.07 70.64 52.97 kantor 71 pegawai 10 710 0.71 0.60 0.45 masjid 6 unit 3,000 18,000 18 15.3 11.48 pabrik 3,666 pegawai 0.2-0.8 2,933 2.93 2.49 1.87 pasar 0.43 hektar 12,000 5,221 5.22 4.39 3.29 sekolah 23,297 murid 10 232,970 232.97 198.03 148.52 puskesmas 21 unit 2,000 42,000 42 35.70 26.77 rumah sakit 46 bed 200 9,200 9.20 7.82 5.86 terminal 30 penumpang 3 90 0.09 0.08 0.06 Total 394,190 394.19 335.06 251.30 Sumber: dKemen PU 1996

Selanjutnya, besarnya kebutuhan air untuk sektor non-domestik pada tahun 2014 dihitung untuk dibandingkan apabila terjadi penambahan atau penurunan dengan tahun 2005. Cara perhitungannya sama dengan pada tahun 2005, yang berbeda hanya luas, unit, atau jumlah orangnya yang akan dikalikan dengan standar kebutuhan air bersih yang mengacu pada Kriteria Perencanaan Sektor Air Bersih Peraturan Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum tahun 1996. Kuantitas dan fluktuasi air buangan fasilitas institusi dan komersial dipengaruhi oleh jenis fasilitas, jumlah pengguna, luas bangunan, lama waktu beroperasi, keragaman beraktifitas, sosial budaya dan ketersediaan air bersih.

Tabel 9 Total kebutuhan air sektor non domestik di Kecamatan Seririt tahun 2014

Tata guna

lahan Jumlah Satuan

Standar Kebutuhan Air (L/hari) Kebutuhan Air (L/hari) Kebutuhan Air (m3/hari) Air buangan * (m3/hari) Grey water (m3/hari) hotel 843 bed 150 126,418 126.418 107.48 80.61 kantor 71 pegawai 10 710 0.71 0.60 0.45 masjid 7 unit 3,000 21,000 21 17.85 13.39 pabrik 8,346 pegawai 0.2-0.8 6,676 6.68 5.68 4.26 pasar 0.43 hektar 12,000 5,221 5.22 4.43 3.33 sekolah 23,711 murid 10 237,110 237.11 201.54 151.16 puskesmas 21 unit 2,000 42,000 42 35.70 26.77 rumah sakit 46 bed 200 9,200 9.20 7.82 5.87 terminal 30 penumpang 3 90 0.09 0.08 0.06 Total 448,420 448.42 381.16 285.87 Sumber: eKemen PU 1996

Berdasarkan perhitungan kebutuhan air pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa pada tahun 2014 besarnya kebutuhan air untuk sektor non-domestik yakni

16

448.42 m3/hari, dan besarnya grey water yang terhitung adalah 285.87 m3/hari. Dengan demikian, perubahan yang terjadi antara tahun 2005 dengan tahun 2014 adalah peningkatan sebesar 54.23 m3/hari untuk kebutuhan air bersih dan 34.57 m3/hari untuk banyaknya grey water. Besarnya peningkatan kebutuhan air bersih di Kecamatan Seririt dalam 10 tahun tersebut diilustrasikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Peningkatan kebutuhan air bersih sektor non-domestik

Peningkatan grey water sektor non-domestik ditunjukkan pada Gambar 6. Peningkatan kebutuhan air bersih dan grey water yang dihasilkan tentunya merupakan dampak dari konversi lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Selain permukiman berupa rumah, pembangunan hotel sebagai fasilitas komersil juga banyak menggunakan lahan sawah dan perkebunan di Kecamatan Seririt. Hasil penelitian nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu data dasar dalam perencanaan sistem penyaluran dan pengolahan air buangan (grey water). Kabupaten Buleleng belum memiliki Master Plan Air Limbah, namun sudah pernah dilakukan studi-studi atau kegiatan tentang Perencanaan Air Limbah tetapi khusus untuk wilayah Kota Singaraja sebagai ibukota Kabupaten Buleleng. Akan tetapi, Kecamatan Seririt tidak termasuk dalam wilayah yang mendapatkan pelayanan IPAL tersebut.

Gambar 6 Peningkatan grey water sektor non-domestik hotel kanto r masji d pabrik pasar sekola h puske smas Ruma h Sakit Termi nal kebutuhan air 2005 83.100 0.710 18.000 2.933 5.160 232.970 42.000 9.200 0.090 kebutuhan air 2014 126.450 0.710 21.000 6.677 5.220 237.110 42.000 9.200 0.090 0.000 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 m 3/h ar i hotel kanto r masji d pabri k pasar sekol ah pusk esma s Ruma h Sakit Termi nal grey water 2005 70.635 0.6035 15.300 2.4928 4.3860 198.02 35.700 7.8200 0.0765 grey water 2014 107.48 0.6035 17.850 5.6752 4.4370 201.54 35.700 7.8200 0.0765 0.000000 50.000000 100.000000 150.000000 200.000000 250.000000 m 3/har i

17

Kualitas Air Sungai Saba

Semakin meningkatnya penggunaan lahan di Kecamatan Seririt dalam kurun waktu 10 tahun (tahun 2005 hingga tahun 2014) tentunya meningkatkan limbah cair sebagai sisa aktivitas manusia. Limbah cair yang mencemari Sungai Saba berperan besar dalam menentukan kualitas air Sungai tersebut, mengingat letak muara Sungai Saba berada di daerah administratif Kecamatan Seririt. Kemampuan sungai untuk memulihkan diri sendiri dari pencemaran dipengaruhi oleh laju aliran air sungai dan berkaitan dengan jenis bahan pencemar yang masuk ke dalam badan air.

Dikarenakan keterbatasan dalam memperoleh data kualitas air Sungai Saba pada tahun 2005 dan 2014, data yang digunakan pun hanya data pada tahun 2010 dan 2013 untuk membuktikan terjadinya penurunan kualitas air seiring berjalannya waktu. Data tahun 2010 diperoleh dari Pokja Sanitasi yang diterbitkan oleh BPLHD Kabupaten Buleleng dengan nilai parameter terukur seperti pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil uji kualitas air Sungai Saba tengah dan hilir tahun 2010

Waktu pantau 18/10/10

Parameter Lokasi sampling

Tukad Saba tengah Tukad Saba hilir Fisika Temperatur (°C) 27.10 32.60 Residu terlarut (mg/L) 178.50 185 Kimia anorganik pH 7.47 7.56 BOD (mg/L) 1.33 4.89 COD (mg/L) 3.59 10.21 DO (mg/L) 5.38 4.82

Total fosfat sebagai P (mg/L) 0.19 0.63

NO3 sebagai N (mg/L) 0.32 0.82 Besi (mg/L) 0.52 0.63 Mangan (mg/L) 2.10x10-3 9.1x10-3 Klorida (mg/L) 13.47 14.05 Fluorida (mg/L) 0.03 0.08 Nitrit sebagai N (mg/L) 0.02 0.02 Sulfat (mg/L) 7.10 11.66 Mikrobiologi Fecal coliform (jml/100mL) 325 840 Total coliform (jml/100mL) 965 2,250 Kimia organik

Minyak dan lemak (μg/L) 0.01 0.23

Detergen sebagai MBAS (μg/L) 1.85x10-2 9.3x10-2 Berdasarkan Tabel 10, parameter yang menyimpang dari nilai ambang batas menurut PP No. 82 tahun 2001 adalah deterjen, minyak dan lemak, besi,

18

fosfat, dan coli tinja (fecal coliform) untuk Tukad (sungai) Saba tengah, sedangkan untuk Tukad Saba hilir parameter yang menyimpang dari nilai ambang batas yaitu BOD, COD, deterjen, besi, nitrit, fosfat, tembaga, dan coli tinja (fecal coliform). Oleh sebab itu, pada tahun 2010, kualitas air Sungai Saba masuk ke dalam Kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kriteria mutu air berdasarkan kelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pengujian kualitas air Sungai Saba pada tahun 2013 dilakukan dengan mengambil sampel air sungai dan mengukur kecepatan aliran di tujuh titik. Lokasi dan nama ketujuh titik dapat dilihat pada Gambar 7.

Dari ketujuh titik tersebut hanya tiga titik yang berada dalam wilayah Seririt yaitu Saba III, Saba IV, dan Panas. Berdasarkan pengujian di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Divisi Teknologi dan Manajemen Lingkungan, IPB tahun 2013, dan telah dipresentasikan dalam Basic diagnose of the present situation of water quality environment in the Saba River Basin 2013

(Hashimoto et al 2013), hasil uji kualitas air berdasarkan beberapa parameter penting terdapat pada Tabel 11. Apabila dibandingkan dengan baku mutu dari PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Pasal 8), air Sungai Saba termasuk ke dalam Kelas IV, yakni air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh kadar COD dan fosfor yang cukup tinggi di beberapa titik. Pembuangan air limbah ke badan air dengan kandungan beban COD dan BOD di atas 200 mg/liter akan menyebabkan turunnya jumlah oksigen dalam air. Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan biota pada badan air terutama biota yang hidupnya tergantung pada oksigen terlarut di air. Hal tersebut di atas menyebabkan berkurangnya potensi yang dapat digali dari sumber daya

19

alam badan air yang telah tercemar COD dan BOD. Pengaruh lain yaitu adanya kandungan COD dan BOD dalam air yang melebihi batas waktu 18 jam, akan menyebabkan penguraian (degradasi) secara anaerob, sehingga menimbulkan bau dan kematian ikan dalam air.

Tabel 11 Hasil uji kualitas air Sungai Saba tahun 2013 Parameter Satuan Hasil Uji Saba III Saba IV Panas Total Nitrogen mg/L 6 1 1 Posphat (PO4) mg/L 3.7 2.45 5.34 COD mg/L 53 56 60 Phosfor mg/L 1.21 0.799 1.74 Ammoniak (NH3-N) mg/L 0.14 0.14 0.14 Nitrat (NO3-N) mg/L 4.61 0.499 0.913 pH 7.75 7.86 8.05 Daya Hantar Listrik μmhos/cm 196 223 268 Sumber: Hashimoto et al. 2013

Berdasarkan Tabel 10 dan 11, parameter terukur yang sama-sama terdapat datanya yaitu pH, COD, dan nitrat. Nilai pH cenderung tetap dan berkisar antara 7 dan 8, serta masih berada dalam rentang baku mutu semua kelas air. Sedangkan, nilai COD pada tahun 2010 yaitu 3-10 mg/L. Kemudian, di tahun 2013 naik hingga 56 mg/L, sehingga telah melebihi nilai baku mutu air dalam kelas III. Nitrat pada tahun 2010 berkisar 0.3-0.8 mg/L, sedangkan tahun 2013 menjadi 0.5 bahkan sampai 4 mg/L, angka tersebut masih ada di bawah baku mutu kelas air. Hasil perbandingan dengan baku mutu menurut PP 82 tahun 2001 seperti pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Saba dari tahun ke tahun semakin menurun, karena nilai kualitas air tahun 2013 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010. Penanganan grey water di Indonesia saat ini adalah langsung dibuang ke saluran drainase tanpa pengolahan sebelumnya. Saluran drainase penyalur grey water dan air hujan ini akan berujung di badan air permukaan atau di IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah).

Karakteristik grey water pada umumnya banyak mengandung unsur nitrogen, fosfat, dan potasium (Lindstrom 2000). Unsur-unsur tersebut merupakan nutrien bagi tumbuhan, sehingga jika grey water dialirkan begitu saja ke badan air permukaan maka akan menyebabkan eutrofikasi pada badan air tersebut. Eutrofikasi adalah sebuah peristiwa dimana badan air menjadi kaya akan materi organik, sehingga menyebabkan pertumbuhan ganggang yang pesat pada permukaan badan air tersebut (Metcalf dan Eddy 1991). Peristiwa eutrofikasi ini dapat menurunkan kualitas badan air permukaan karena dapat menurunkan kadar oksigen terlarut di dalam badan air tersebut. Sebagai akibatnya, makhluk hidup air yang hidup di badan air tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik atau mungkin

20

mati. Pada masa ini, kualitas air Sungai Saba memang masih bagus digunakan untuk irigasi baik di bagian hulu maupun hilirnya. Akan tetapi, dibutuhkan adanya survei lebih lanjut untuk mendapatkan hasil uji yang dapat dipercaya. Penilaian dampak dari pembangunan Waduk Titab terhadap kualitas air dan lingkungan juga dibutuhkan dengan harapan dapat diketahui bila ada perubahan kualitas air yang pengukurannnya diperhitungkan oleh perpanjangan waktu detensi (waktu tinggal) air.

Dokumen terkait