Kelurahan Sidiangkat berada di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi
dengan luas 2000 ha. Kelurahan Sidangkat memiliki batas-batas areal:
Sebelah Timur : Lae Songsang, Kabupaten Pak-Pak Bharat.
Sebelah Barat : Lae Bengkilu, Kecamatan Sumbul Berampu, Kabupaten Dairi.
Sebelah Utara : Lae Malum, Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang,
Kabupaten Dairi.
Sebelah Selatan : Deleng Lumut, Kabupaten Pak-Pak Bharat.
Desa Sembahe berada di Kecamatan sibolangit, Kabupaten Deli Serdang
dengan luas 207 ha. Desa Sembahe memiliki batas-batas areal:
Sebelah Timur : Desa Batu Mbelin.
Sebelah Barat : Desa Buah Nabar.
Sebelah Utara : Desa Bingkawan.
Sebelah Selatan : Desa Buah Nabar/Sibolangit.
Karakteristik Responden
Responden di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe adalah penangkap
satwa liar dan seluruhnya adalah laki-laki. Di Kelurahan Sidiangkat ada 17
responden namun tidak semua responden merupakan penduduk Kelurahan
Sidiangkat. Responden yang tinggal di Kelurahan Sidiangkat ada 10 orang dan 7
orang lagi berasal dari tempat lain tetapi masih tinggal dalam satu kecamatan
dengan kesepuluh responden tersebut.
Responden di Desa Sembahe ada 7 orang namun tidak semua responden
ada 6 orang dan 1 orang lagi berasal dari Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit
yang bermatapencaharian sebagai penangkap kalong. Keragaman karakteristik
responden diklasifikasikan sebagai berikut:
Umur responden
Umur responden di Kelurahan Sidiangkat berkisar antara 23 sampai
dengan 60 tahun. Di Desa Sembahe umur responden berkisar antara 33 sampai
dengan 55 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan kelompok umur dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok umur responden
Frekuensi Persentase (%)
No. Kelompok umur
(tahun) Kelurahan Sidiangkat Desa Sembahe Kelurahan Sidiangkat Desa Sembahe 1 23 – 29 9 0 52,9 0 2 30 – 36 1 2 5,9 28,6 3 37 – 43 3 4 17,6 57,1 4 44 – 50 3 0 17,6 0 5 51 – 57 0 1 0 14,3 6 58 – 64 1 0 5,9 0
Sumber: Kuesioner penelitian
Data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa persentase jumlah responden
paling banyak di Kelurahan Sidiangkat berada pada kelompok umur 23 sampai
dengan 29 tahun yaitu 52,9%, sedangkan persentase jumlah responden paling
sedikit berada pada kelompok umur 30 sampai dengan 36 tahun dan kelompok
umur 58 sampai dengan 64 tahun yaitu 5,9%. Di Desa Sembahe, persentase
jumlah responden paling banyak berada pada kelompok umur 37 sampai dengan
43 tahun yaitu 57,1%, sedangkan persentase jumlah responden paling sedikit
berada pada kelompok umur 51 sampai dengan 57 tahun yaitu 14,3%. Mengacu
dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa seluruh responden berada pada
kelompok umur produktif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjiptoherijanto (2001)
umur muda, di bawah 15 tahun; (b) kelompok umur produktif, usia 15 sampai 64 tahun; dan (c) kelompok umur tua, usia 65 tahun ke atas.
Responden pada umur produktif dengan kemampuan fisik yang
dimilikinya cenderung lebih aktif untuk melakukan kegiatan berburu satwa liar.
Hal ini didukung oleh pernyataan Chahya (2000) bahwa kelompok masyarakat
yang masih aktif berburu merupakan kelompok masyarakat golongan usia
produktif, sedangkan kelompok yang tidak aktif adalah dari golongan usia lanjut
yang secara fisik tidak mampu lagi melakukan kegiatan berburu.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan responden dilihat dari jenjang pendidikan sekolah
formal yang pernah diduduki oleh reponden, yaitu antara SD sampai dengan
SMA. Untuk mengetahui klasifikasi responden berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat pendidikan responden
Frekuensi Persentase (%)
No. Tingkat pendidikan
Kelurahan Sidiangkat Desa Sembahe Kelurahan Sidiangkat Desa Sembahe 1 SD 5 3 29,4 42,8 2 SMP 4 1 23,5 14,3 3 SMA 8 3 47,1 42,8
Sumber: Kuesioner penelitian
Persentase jumlah responden di Kelurahan Sidiangkat yang berpendidikan
SMA yaitu 47,1%, SMP yaitu 23,5% dan SD yaitu 29,4%. Perbedaan persentase
jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan dikarenakan, responden yang
berpendidikan SMA memiliki cara berpikir yang lebih maju bahwa mereka bisa
membaca situasi dimana peminat satwa liar (penghobi burung) pada umumnya
adalah orang yang memiliki kemampuan membeli dan memelihara. Hal ini
pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu
yang datang dari luar. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional dan juga dalam motivasi kerjanya akan
berpotensi daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah atau sedang.
Persentase jumlah responden di Desa Sembahe yang berpendidikan SMA
dan SD sama yaitu 42,8%, sedangkan persentase jumlah responden yang
berpendidikan SMP yaitu 14,3%. Hal ini dikarenakan, responden yang
berpendidikan SD merupakan penduduk yang sudah turun-temurun tinggal di
Desa Sembahe dan mereka pada masa kecilnya juga sudah ikut berburu.
Responden di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe masih ada yang
hanya berpendidikan SD. Hal ini disebabkan minimnya fasilitas pendidikan
berupa gedung sekolah dan kondisi ekonomi yang juga rendah, sehingga
mengakibatkan kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi rendah.
Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada pengetahuan responden tentang
konservasi satwa liar. Hal ini didukung oleh Miardini (tanpa tahun) yang
menyatakan secara umum rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman
masyarakat terhadap konservasi disebabkan karena tingkat pendidikan masyarakat
yang rendah ditambah dengan penghargaan masyarakat terhadap sumberdaya
alam hayati khususnya yang berada di dalam kawasan relatif rendah. Untuk
mengetahui bagaimana pengetahuan responden tentang konservasi satwa liar,
maka dibuatkan beberapa pertanyaan tentang konservasi satwa liar seperti yang
Data pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa persentase jumlah responden
di Kelurahan Sidiangkat yang mengetahui manfaat satwa liar di alam lebih kecil
dari pada jumlah responden yang tidak mengetahui manfaat satwa liar di alam.
Responden mengatakan bahwa manfaat satwa liar di alam adalah menjaga
keseimbangan alam dan meramaikan hutan. Seluruh responden mengatakan
bahwa habitat satwa liar di Kelurahan Sidiangkat masih bagus. Hal ini bisa dilihat
dari keadaan alamnya yang dekat dengan Bukit Barisan. Jumlah persentase
responden yang mengetahui upaya apa yang harus dilakukan agar satwa liar tetap
ada (tidak punah) hanya 11,8%. Menurut responden upaya yang harus dilakukan
agar satwa liar tetap ada (tidak punah) yaitu dengan cara tidak menangkap anakan
satwa liar dan hutan sebagai habitatnya juga harus dipertahankan.
Seluruh responden mengatakan bahwa satwa liar yang ditangkap tidak
termasuk satwa liar yang dilindungi dan tidak harus dilindungi. Sebagian
responden mengatakan bahwa satwa liar yang mereka tangkap dari alam masih
banyak ditemukan. Pernyataan responden bisa saja dibenarkan jika satwa liar yang
dimaksud adalah cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), poksai
genting (Garrulax mitratus), bentet kelabu (Lanius schach) dan kucica kampung
(Copsychus saularis); karena burung-burung ini sering terlihat pada saat
penelitian ini dilakukan. Namun, berbeda halnya dengan jenis cekakak belukar
(Halcyon smyrnensis), srigunting batu (Dicrurus paradiseus), ekek layongan
(Cissa chinensis), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan
(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus); karena
Seluruh responden mengatakan bahwa tidak ada sosialisasi/penyuluhan
mengenai penangkapan satwa liar dari instansi pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat sehingga mereka tidak memerlukan izin untuk menangkap satwa liar.
Alasan ini mereka jadikan untuk membenarkan tindakan mereka dalam
menangkap satwa liar di alam.
Hasil wawancara di Desa Sembahe menunjukkan bahwa persentase jumlah
responden yang mengetahui manfaat satwa liar di alam hanya 42,8%, sisanya
57,2% mengatakan tidak tahu. Responden mengatakan bahwa satwa liar seperti
kalong (Pteropus vampyrus) bermanfaat untuk mengawinkan bunga durian, tetapi
sebagian lagi beranggapan bahwa satwa liar merupakan hama yang harus dibasmi.
Padahal satwa liar sebenarnya menguntungkan bagi petani buah di Desa Sembahe
karena satwa liar seperti kalong (Pteropus vampyrus) dan musang
(Paradoxurus hermaphroditus) dapat membantu pertumbuhan tanaman dalam hal
penyerbukan bunga durian dan penyebaran biji tanaman.
Seluruh responden mengatakan bahwa habitat satwa liar di Desa Sembahe
sudah tidak bagus lagi sehingga satwa liar yang seharusnya tinggal di hutan kini
sudah memasuki ladang atau kebun petani. Hal ini bisa dilihat dari keadaan alam
Desa Sembahe yang sudah dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat. Seorang
responden yang bermatapencaharian sebagai penangkap kalong mengatakan,
upaya yang harus dilakukan agar satwa liar tetap ada (tidak punah) yaitu dengan
cara tidak menebang pohon durian. Alasan ini bisa diterima karena banyak pohon
durian yang sudah tua ditebang di Desa Sembahe, namun tanaman pengganti yang
digunakan bukan durian lagi tetapi tanaman coklat yang dianggap lebih banyak
Seluruh responden mengatakan bahwa satwa liar yang mereka tangkap
tidak termasuk satwa liar yang dilindungi. Namun, hasil wawancara menemukan
ada satwa liar yang dilindungi ditangkap oleh responden seperti kukang
(Nycticebus coucang), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura)
dan napuh (Tragulus napu). Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak tahu
bahwa ada satwa liar yang mereka tangkap termasuk satwa yang dilindungi,
sehingga diperlukan penyuluhan tentang konservasi satwa liar bagi para
responden.
Seluruh responden mengatakan bahwa satwa liar yang mereka tangkap
seharusnya tidak dilindungi jika satwa liar tersebut sudah memasuki areal
perladangan atau kebun masyarakat. Hal ini diungkapkan karena satwa liar yang
memasuki perladangan atau kebun masyarakat berpotensi menimbulkan
kerusakan bagi tanaman seperti terlihat pada Gambar 1a dan 1b.
(a) (b)
Gambar 1. (a) tanaman pisang yang dirusak monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan (b) tanaman talas yang dirusak landak (Hystrix brachyura)
Sosialisasi/penyuluhan mengenai penangkapan satwa liar dari instansi
pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat di Desa Sembahe tidak ada,
seorang responden di Desa Bingkawan yang bermatapencaharian sebagai
penangkap kalong mengatakan bahwa ada sosialisasi/penyuluhan dari Dinas
Kehutanan di Desa Bingkawan dan responden diberi izin untuk menangkap
kalong (Pteropus vampyrus).
Mata pencaharian dan pendapatan
Responden menangkap satwa liar pada umumnya didasarkan oleh hobi,
bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau bukan sebagai mata
pencahariannya. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 5 yang menunjukkan alasan
responden menangkap satwa liar. Untuk mengetahui mata pencaharian responden
yang telah diklasifikasikan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Mata pencaharian responden
Frekuensi Persentase (%)
No. Mata pencaharian
Kelurahan Sidiangkat Desa Sembahe Kelurahan Sidiangkat Desa Sembahe 1 Penjerat burung 1 0 5,9 0 2 Petani 9 6 52,9 85,7 3 Wiraswasta 5 0 29,4 0 4 PNS 2 0 11,8 0 5 Penangkap kalong 0 1 0 14,3
Sumber: Kuesioner penelitian
Data pada Tabel 3 menunjukkan 52,9% responden di Kelurahan
Sidiangkat bermatapencaharian petani. Hal ini disebabakan karena anggapan
responden bahwa menangkap satwa liar seperti babi hutan (Sus scrofa) dapat
mengurangi hama tanaman pertanian mereka. Responden yang
bermatapencaharian wiraswasta (pedagang dan tukang pangkas) menempati posisi
ke dua dengan persentase 29,4%. Hal ini disebabkan karena responden yang
memiliki mata pencaharian wiraswasta dapat mengatur waktunya sendiri dan
dibandingkan responden yang memiliki mata pencaharian PNS yang banyak
menghabiskan waktu di kantor.
Persentase responden yang bermatapencaharian petani di Desa Sembahe
adalah 85,7% sedangkan mata pencaharian sebagai penangkap kalong hanya
14,3%. Hal ini disebabkan karena petani berharap dengan memburu satwa liar
akan mengurangi hama tanaman di kebun atau ladang mereka yang banyak
ditanami oleh pohon-pohon yang menghasilkan buah.
Pendapatan responden dihitung dalam setahun, pendapatan ini dihitung
dengan menjumlahkan pendapatannya selama setahun dari mata pencaharian.
Uraian mengenai tingkat pendapatan responden ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat pendapatan responden
Frekuensi Persentase (%)
No. Tingkat pendapatan (Rp/tahun)
KS DS KS DS Keterangan 1 18.000.000,00 – 25.000.000,00 12 5 70,6 71,4 P, W, PB 2 26.000.000,00 – 33.000.000,00 1 1 5,9 14,3 PNS, P 3 34.000.000,00 – 41.000.000,00 4 0 23,5 0 PNS, W, P 4 42.000.000,00 – 49.000.000,00 0 0 0 0 - 5 50.000.000,00 – 57.000.000,00 0 0 0 0 - 6 58.000.000,00 – 65.000.000,00 0 1 0 14,3 PK
Sumber: Kuesioner penelitian
Keterangan: KS = Kelurahan Sidiangkat, DS = Desa Sembahe, P = Petani, W = Wiraswasta, PB = Penjerat burung, PNS = Pegawai Negeri Sipil, PK = Penangkap kalong
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa 70,6% responden di Kelurahan
Sidiangkat memiliki tingkat pendapatan antara Rp 18.000.000,00 sampai dengan
Rp 25.000.000,00/tahun. Di Desa Sembahe, 71,4% responden memiliki tingkat
pendapatan antara Rp 18.000.000,00 sampai dengan Rp 25.000.000,00/tahun. Hal
ini disebabkan oleh mata pencaharian responden yang terbesar di ke dua lokasi
tersebut adalah petani. Karena tingkat pendapatan yang dirasa masih kurang,
sekedar untuk memenuhi kebutuhan protein hewani responden berburu satwa liar
seperti napuh (Tragulus napu), bajing kelapa (Callosciurus notatus), musang
beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura) dan biawak
(Varanus salvator). Hal ini didukung oleh pernyataan Pattiselanno (2007) bahwa
pemanfaatan satwa untuk dikonsumsi memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pemenuhan konsumsi protein hewani masyarakat di daerah pedalaman
Papua.
Jenis-Jenis Satwa Liar
Ada 21 jenis satwa liar yang ditangkap oleh responden di Kelurahan
Sidiangkat dan Desa Sembahe. Uraian mengenai klasifikasi dan status
konservasinya seperti terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis satwa liar berdasarkan klasifikasi dan status konservasi
Lokasi Jenis satwa liar Famili Kelas Status konservasi Keterangan
Cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis)
Chloropseidae Aves Non-Apendiks BD
Poksai genting (Garrulax mitratus)
Timaliidae Aves Non-Apendiks BD
Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)
Alcedinidae Aves Non-Apendiks D
Bentet kelabu (Lanius schach) Laniidae Aves Non-Apendiks BD Kucica kampung
(Copsychus saularis)
Muscicapidae Aves Non-Apendiks BD
Srigunting batu (Dicrurus paradiseus)
Dicruridae Aves Non-Apendiks BD
Ekek layongan (Cissa chinensis) Corvidae Aves Non-Apendiks BD Poksai jambul
(Garrulax leucoluphus)
Timaliidae Aves Non-Apendiks BD
Kucica hutan
(Copsychus malabaricus)
Muscicapidae Aves Non-Apendiks BD
Tangkar ongklet
(Platylophus galericulatus)
Corvidae Aves Non-Apendiks BD
Kelurahan Sidiangkat
Babi hutan (Sus scrofa) Suidae Mamalia Non-Apendiks BD
Napuh (Tragulus napu) Tragulidae Mamalia Apendiks II D
Bajing kelapa (Callosciurus notatus)
Sciuridae Mamalia Non-Apendiks BD
Musang
(Paradoxurus hermaphroditus)
Viverridae Mamalia Non-Apendiks BD
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
Cercopithecidae Mamalia Apendiks II BD Beruk
(Macaca nemestrina)
Cercopithecidae Mamalia Apendiks II BD Landak (Hystrix brachyura) Hystricidae Mamalia Apendiks I D Trenggiling
(Manis javanica)
Manidae Mamalia Apendiks II D
Kukang
(Nycticebus coucang)
Lorisidae Mamalia Apendiks II D
Biawak (Varanus salvator) Varanidae Reptil Apendiks II BD Desa
Sembahe
Kalong (Pteropus vampyrus) Pteropodidae Mamalia Apendiks II BD Sumber: BBKSDASU, 2009
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis-jenis satwa liar yang
ditangkap di Kelurahan Sidiangkat kebanyakan dari kelas aves. Hal ini disebabkan
oleh topografi Kelurahan Sidiangkat yang terletak di ketinggian sekitar 1400 mdpl
dan dekat dengan Bukit Barisan seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Landscape Kelurahan Sidiangkat
Bukit Barisan merupakan habitat sebagian burung yang ditangkap oleh
responden seperti cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), poksai
genting (Garrulax mitratus), srigunting batu (Dicrurus paradiseus), ekek
layongan (Cissa chinensis), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan
(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus).
Sedangkan jenis cekakak belukar (Halcyon smyrnensis), bentet kelabu
(Lanius schach), kucica kampung (Copsychus saularis) dan babi hutan
(Sus scrofa) ditangkap di perladangan masyarakat. Jika dilihat dari
penyebarannya, seluruh satwa liar ini memang umum terdapat di Sumatera pada
ketinggian sekitar 700 sampai dengan 2.100 mdpl.
Klasifikasi famili menunjukkan bahwa jenis satwa liar yang terbanyak
berasal dari famili Timaliidae seperti poksai genting (Garrulax mitratus) dan
(Copsychus saularis) dan kucica hutan (Copsychus malabaricus); dan Corvidae
seperti ekek layongan (Cissa chinensis) dan tangkar ongklet
(Platylophus galericulatus). Hal ini disebabkan oleh ketertarikan responden pada
suara dan warna yang indah dari ketiga famili tersebut.
Hasil wawancara menemukan ada 1 jenis satwa liar hasil tangkapan yang
merupakan spesies yang dilindungi di Indonesia. Cekakak belukar
(Halcyon smyrnensis) yang berasal dari famili Alcedinidae merupakan jenis
burung yang dilindungi berdasarkanPP nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa. Namun, dalam status konservasi CITES burung ini
masih termasuk pada status Non-Apendiks. Jika dilihat dari jumlah tangkapan dan
frekuensi penangkapan responden, menunjukkan bahwa jumlahnya di alam
memang sedikit dan patut untuk dilindungi.
Jenis-jenis satwa liar yang ditangkap di Desa Sembahe kebanyakan dari
kelas mamalia yang pada umumnya menyukai aneka buah seperti coklat, durian,
manggis, langsat dan pisang. Sehingga keberadaan kebun masyarakat yang
menghasilkan aneka buah menjadikan desa ini sebagai tempat mencari makan
bagi satwa liar di sekitarnya. Jika dilihat dari klasifikasi famili, jenis satwa liar
yang terbanyak berasal dari famili Cercopithecidae seperti monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina). Hal ini disebabkan jenis
satwa liar yang masuk dalam famili ini merupakan satwa yang aktif mencari
makan ke kebun atau ladang masyarakat.
Ada 4 jenis satwa liar hasil tangkapan yang merupakan spesies yang
dilindungi di Indonesia. Napuh (Tragulus napu) dari famili Tragulidae, landak
famili Manidae dan kukang (Nycticebus coucang) dari familiLorisidae merupakan
mamalia yang dilindungi berdasarkanPP nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa. Dilihat dari status konservasi CITES, napuh
(Tragulus napu), trenggiling (Manis javanica) dan kukang (Nycticebus coucang)
termasuk pada Apendiks II sedangkan landak (Hystrix brachyura) termasuk pada
Apendiks I. Hal ini berarti, keempat satwa liar tersebut seharusnya tidak bisa
ditangkap dari alam untuk diperdagangkan diakibatkan oleh populasinya di alam
sudah menurun.
Metode Penangkapan
Metode yang digunakan responden untuk menangkap satwa liar
berbeda-beda. Dari hasil wawancara, dapat diketahui beberapa metode yang digunakan
responden untuk menangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa
Sembahe yaitu:
1. Menggunakan pikat
Kandang pikat yang digunakan untuk menangkap cica daun sayap biru
(Chloropsis cochinchinensis) dan poksai genting (Garrulax mitratus) memiliki
perbedaan, hal ini tampak pada posisi pintu dan letak kandang pikat. Untuk cica
daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis) posisi pintu kandang pikatnya
berada di atas seperti pada Gambar 3a. Hal ini dikarenakan cara terbangnya yang
menukik tajam dari atas ke arah kandang pikat. Sedangkan posisi pintu kandang
pikat poksai genting berada di depan karena burung ini datangnya dari arah depan
(a) (b)
Gambar 3. (a) posisi pintu kandang pikat cica daun sayap biru dan (b) posisi pintu dan letak kandang pikat poksai genting
Letak kandang pikat poksai genting biasanya ditempatkan di atas
tumbuhan bawah seperti pada Gambar 3b (lokasi penangkapan terletak di
koordinatNorth 20 41’ 3.8”, East 980 17’ 38.1”). Kandang pikat cica daun sayap
biru ditempatkan pada cabang pohon dengan menggunakan tali sebagai pengait
untuk menarik dan menurunkan kandang pikat seperti pada Gambar 4 (lokasi
penangkapan terletak di koordinatNorth 20 40’ 28.8”, East 980 17’ 24.8”).
Gambar 4. Letak kandang pikat cica daun sayap biru
Responden biasanya memikat burung pada hari Sabtu dan Minggu, antara
hari Senin sampai dengan Jumat, sedangkan hari Sabtu dan Minggu digunakan
untuk istirahat dengan menyalurkan hobbi memikat burung. Burung pikat yang
dibawa diusahakan berbunyi dengan cara diajak bersiul agar burung yang hendak
ditangkap datang menghampiri dan terperangkap di dalam kandang pikat.
2. Menggunakan getah
Jerat yang digunakan responden ini terbuat dari lidi yang masih muda
(hijau) dan sudah diolesi dengan getah. Jerat pakai getah yang digunakan di hutan
dimaksudkan untuk menangkap srigunting batu (Dicrurus paradiseus), ekek
layongan (Cissa chinensis), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan
(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus).
Umpan yang digunakan berupa jangkrik yang masih hidup yang diikatkan pada
kayu yang sudah ditempeli dengan lidi seperti pada Gambar 5a (lokasi
penangkapan terletak di koordinatNorth 20 41’ 3.8”, East 980 17’ 38.1”).
Ada juga jerat yang dipasang di tanah. Jerat ini dimaksudkan untuk
menangkap cekakak belukar (Halcyon smyrnensis), bentet kelabu (Lanius schach)
dan kucica kampung (Copsychus saularis). Lidi yang sudah diolesi getah
ditancapkan ke dalam tanah dengan posisi miring dan diberi umpan jangkrik yang
masih hidup seperti pada Gambar 5b (lokasi penangkapan terletak di koordinat
North 20 42’ 52.1”, East 980 19’ 2.1”). Responden biasanya memasang jerat mulai
(a) (b)
Gambar 5. (a) jerat pakai getah di hutan dan (b) di tanah 3. Menggunakan tombak
Pemburu babi hutan terdiri dari 1 grup yang beranggotakan 7 orang.
Masing-masing membawa tombak yang berbeda seperti pada Gambar 6 (lokasi
penangkapan terletak di koordinatNorth 20 42’ 52.1”, East 980 19’ 2.1”), selain itu
pemburu juga membawa anjing untuk melacak keberadaan babi hutan
(Sus scrofa). Perburuan babi hutan (Sus scrofa) biasanya dilakukan pada hari
Minggu yang dimulai dari pagi hingga sore hari.
4. Menggunakan senapan angin
Satwa liar yang diburu menggunakan senapan angin antara lain napuh
(Tragulus napu), bajing kelapa (Callosciurus notatus), musang
(Paradoxurus hermaphroditus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan
beruk (Macaca nemestrina). Dengan menggunakan metode ini jarang sekali
didapat satwa liar dalam keadaan hidup, seperti yang terlihat pada Gambar 7
(lokasi penangkapan terletak di koordinatNorth 30 21’ 50.7”, East 980 34’ 53.6”).
Gambar 7. Napuh (Tragulus napu) ditembak di kebun coklat
Perburuan dilakukan pada malam dan sore hari. Perburuan pada malam
hari biasanya dimulai dari jam 9 sampai jam 2 pagi. Alat yang digunakan untuk
mencari keberadaan satwa liar adalah senter. Pada perburuan ini, lokasi yang
dituju adalah kebun coklat dan tanaman aren. Satwa liar yang diburu adalah napuh
(Tragulus napu) dan musang (Paradoxurus hermaphroditus), namun bisa saja
satwa liar yang ditemui adalah trenggiling (Manis javanica) dan kukang
(Nycticebus coucang) tetapi hal ini jarang terjadi.
Perburuan pada sore hari biasanya dilakukan sehabis pulang dari ladang
(Callosciurus notatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk
(Macaca nemestrina).
5. Menggunakan jerat
Satwa liar yang ditangkap menggunakan jerat adalah landak
(Hystrix brachyura) dan biawak (Varanus salvator). Jerat ini menggunakan tali
klos sepeda motor yang diikatkan pada ranting pohon atau batang bambu kecil.
Menurut responden jerat ini akan mengenai leher atau badan biawak
(Varanus salvator) atau landak (Hystrix brachyura). Jerat biawak biasanya
dipasang pada pagi hari di dekat kolam, umpannya berupa daging busuk di dalam
kantong plastik seperti terlihat pada Gambar 8 (lokasi penangkapan terletak di
koordinatNorth 30 21’ 30.8”, East 980 34’ 58.1”).
Gambar 8. Jerat biawak
Jerat landak dipasang pada daerah yang dianggap sering dilaluinya seperti
terlihat pada Gambar 9 (lokasi penangkapan terletak di koordinat
North 30 21’ 30.8”, East 980 34’ 58.1”). Jerat ini dibiarkan terpasang setiap hari
dan diperiksa kembali jika hendak pergi atau pulang dari ladang. Responden
merupakan hama di ladang mereka. Biawak (Varanus salvator) sering mencuri
ikan yang ada di kolam dan ayam yang ditinggal di ladang, begitu juga dengan
landak (Hystrix brachyura) sering merusak tanaman ubi talas, ubi jalar dan
kacang tanah yang sengaja ditanam oleh masyarakat.
Gambar 9. Jerat landak 6. Menggunakan jaring
Penangkapan kalong (Pteropus vampyrus) dilakukan hanya pada saat
musim yaitu bulan April. Penangkap kalong biasanya menggunakan jaring untuk
menangkapnya. Jaring yang akan digunakan diletakkan pada pohon yang tinggi.
Penangkapannya dilakukan dari jam 3 hingga jam 6 pagi.
Penangkapan Satwa Liar
Jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan satwa liar bervariasi
diantara responden. Begitu juga dengan jumlah penangkapnya bervariasi menurut
Tabel 6. Jumlah penangkap, jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan satwa liar
Lokasi Jenis satwa liar
Jumlah penangkap