• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

(Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang,

Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe,

Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Oleh:

ERWIN EFENDI PARDOSI

041201013

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

(Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang,

Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe,

Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Oleh:

ERWIN EFENDI PARDOSI

041201013/Manajemen Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Penelitian : Nilai ekonomi perdagangan satwa liar (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)

Nama : Erwin Efendi Pardosi NIM : 041201013

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut., M.Sc. Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si. Ketua Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRAK

ERWIN EFENDI PARDOSI: Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan MA’RIFATIN ZAHRA.

Hampir setiap kota di Sumatera Utara dengan mudah dapat dijumpai tempat-tempat penjualan satwa liar, terutama pasar burung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penangkap satwa liar, mengetahui jenis satwa liar yang diperdagangkan oleh penangkap, mengetahui rantai perdagangan satwa liar dan menghitung nilai ekonomi satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis nilai ekonomi satwa liar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden berada pada kelompok umur produktif. Jenis satwa liar yang diperdagangkan di dua lokasi tersebut ada 21 jenis. Pemasaran satwa liar tersebut dilakukan dengan 2 cara yaitu dari responden langsung ke konsumen dan dari responden melalui pengecer. Nilai ekonomi satwa liar di Kelurahan Sidiangkat adalah Rp 45.480.000,00/tahun dan di Desa Sembahe adalah Rp 57.720.000,00/tahun.

(5)

ABSTRACT

ERWIN EFENDI PARDOSI: Economic Value of Wildlife Trade (Case Study: Sidiangkat Village, Sidikalang District, Dairi Regency and Sembahe Village, Sibolangit District, Deli Serdang Regency), supervised by PINDI PATANA and MA’RIFATIN ZAHRA.

Almost every city in North Sumatera is easily found places where the sale of wildlife, especially bird market. This study aimed to investigate the characteristics of capture of wildlife, find out the species of wildlife that are traded by cathcer, knowing the wildlife of flow trade and calculate the economic value of wildlife in the Sidiangkat Village and Sembahe Village. Data collected by interviews method using a questionnaire. Data were analyzed using analytical methods of economic value of wildlife.

Results showed that all respondents are in the productive age group. Species of wildlife trade in these two locations there are 21 specieses. Marketing wildlife is being made by 2 methods namely the respondents directly to consumers and from respondent through retailers. Economic value of wildlife in the

Sidiangkat Village is Rp 45.480.000,00/year and in the Sembahe Village is Rp 57.720.000,00/year.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 11 Oktober 1985 dari ayah

Guntur Pardosi dan ibu Ida Himne Sinaga. Penulis merupakan putra pertama dari

empat bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1, Sidikalang dan pada tahun

yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Manajemen Hutan,

Departemen Kehutanan.

Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan di

Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera

Utara pada tanggal 12 Juni sampai dengan 1 Juli 2006 dan melaksanakan Praktik

Kerja Lapang di PT. Musi Hutan Persada Kabupaten Muara Enim, Provinsi

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar (Studi Kasus: Kelurahan

Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe,

Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang)”.

Penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada

kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik

penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak

Pindi Patana, S.Hut., M.Sc. dan Ibu Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si. selaku ketua dan

anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai

masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan

penelitian, sampai pada ujian akhir.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan

pegawai di Departemen Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak

dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam

(8)

DAFTAR ISI

Nilai Ekonomi Lingkungan ... 4

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) ... 5

International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) ... 6

Perdagangan Satwa Liar ... 8

Pengendalian perdagangan satwa liar ... 8

Perdagangan satwa liar ilegal ... 10

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 12

Alat ... 12

Pengambilan Sampel ... 12

Pengumpulan Data ... 13

Data primer ... 13

Data sekunder ... 14

Pengolahan Data Nilai Ekonomi Satwa Liar ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaaan Umum Lokasi Penelitian ... 15

Karakteristik Responden ... 15

Umur responden ... 15

Tingkat pendidikan ... 16

Mata pencaharian dan pendapatan ... 21

Jenis-Jenis Satwa Liar ... 23

(9)

Halaman

Penangkapan Satwa Liar ... 32

Rantai Perdagangan Satwa Liar ... 35

Nilai Ekonomi Satwa Liar ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 39

Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kelompok umur responden ... 15

2. Tingkat pendidikan responden ... 17

3. Mata pencaharian responden ... 22

4. Tingkat pendapatan responden ... 23

5. Jenis satwa liar berdasarkan klasifikasi dan status konservasi ... 24

6. Jumlah penangkap, jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan satwa liar ... 33

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Tanaman pisang yang dirusak monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan tanaman talas yang dirusak

landak (Hystrix brachyura) ... 21

2. Landscape Kelurahan Sidiangkat ... 24

3. Posisi pintu kandang pikat cica daun sayap biru dan posisi pintu dan letak kandang pikat poksai genting ... 27

4. Letak kandang pikat cica daun sayap biru ... 28

5. Jerat pakai getah di hutan dan di tanah ... 29

6. Tombak pemburu babi hutan ... 30

7. Napuh (Tragulus napu) ditembak di kebun coklat ... 30

8. Jerat biawak ... 31

9. Jerat landak ... 32

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Daftar kuesioner untuk penangkap satwa liar ... 42

2. Daftar kuesioner untuk penadah satwa liar ... 44

3. Daftar kuesioner untuk pedagang satwa liar ... 46

4. Daftar kuesioner untuk responden ahli ... 48

5. Data responden penangkap satwa liar ... 50

6. Pengetahuan responden tentang konservasi satwa liar... 51

7. Jumlah satwa liar yang ditangkap responden ... 52

8. Perhitungan nilai ekonomi satwa liar... 54

9. Karakteristik satwa liar hasil tangkapan ... 56

10. Peta lokasi penelitian ... 63

(13)

ABSTRAK

ERWIN EFENDI PARDOSI: Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan MA’RIFATIN ZAHRA.

Hampir setiap kota di Sumatera Utara dengan mudah dapat dijumpai tempat-tempat penjualan satwa liar, terutama pasar burung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penangkap satwa liar, mengetahui jenis satwa liar yang diperdagangkan oleh penangkap, mengetahui rantai perdagangan satwa liar dan menghitung nilai ekonomi satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis nilai ekonomi satwa liar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden berada pada kelompok umur produktif. Jenis satwa liar yang diperdagangkan di dua lokasi tersebut ada 21 jenis. Pemasaran satwa liar tersebut dilakukan dengan 2 cara yaitu dari responden langsung ke konsumen dan dari responden melalui pengecer. Nilai ekonomi satwa liar di Kelurahan Sidiangkat adalah Rp 45.480.000,00/tahun dan di Desa Sembahe adalah Rp 57.720.000,00/tahun.

(14)

ABSTRACT

ERWIN EFENDI PARDOSI: Economic Value of Wildlife Trade (Case Study: Sidiangkat Village, Sidikalang District, Dairi Regency and Sembahe Village, Sibolangit District, Deli Serdang Regency), supervised by PINDI PATANA and MA’RIFATIN ZAHRA.

Almost every city in North Sumatera is easily found places where the sale of wildlife, especially bird market. This study aimed to investigate the characteristics of capture of wildlife, find out the species of wildlife that are traded by cathcer, knowing the wildlife of flow trade and calculate the economic value of wildlife in the Sidiangkat Village and Sembahe Village. Data collected by interviews method using a questionnaire. Data were analyzed using analytical methods of economic value of wildlife.

Results showed that all respondents are in the productive age group. Species of wildlife trade in these two locations there are 21 specieses. Marketing wildlife is being made by 2 methods namely the respondents directly to consumers and from respondent through retailers. Economic value of wildlife in the

Sidiangkat Village is Rp 45.480.000,00/year and in the Sembahe Village is Rp 57.720.000,00/year.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar

turut membeli barang-barang yang dihasilkan dari perdagangan ilegal tadi.

Cindera mata untuk para wisatawan yang terbuat dari gading, kulit penyu, bulu

burung, kulit hewan, tulang atau kulit satwa langka diperjualbelikan secara

terbuka. Penjualan produk-produk ini menyebabkan banyak hewan terancam

punah dan tindak kejahatan semakin meningkat. Secara global, perdagangan satwa

liar ilegal telah berkembang dan memberi kontribusi yang signifikan pada

punahnya satwa liar kita yang paling berharga. Sebagai contoh, 95% penyusutan

populasi harimau sejak awal abad ke-20 terjadi dalam 25 tahun terakhir,

perburuan dan perdagangan ilegal memberi andil pada penyusutan ini. Nilai dari

perdagangan ilegal ini diperkirakan berkisar antara US $ 10 sampai 20 miliar per

tahun (Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia, 2008).

Satwa liar yang dilindungi di Indonesia seperti orangutan, harimau, badak,

dan gajah, menghadapi ancaman serius dari aksi perburuan dan perdagangan.

Wildlife Conservation Society (WCS) menilai perdagangan satwa liar makin

marak karena lemahnya hukum yang ada di Indonesia (Amarullah, 2008).

Hampir setiap kota di Sumatera Utara dengan mudah dapat dijumpai

tempat-tempat penjualan satwa liar, terutama pasar burung. Biasanya satwa-satwa

tersebut diperdagangkan dalam keadaan hidup sebagai satwa peliharaan, makanan

atau sebagai obat. Kondisi tersebut menjadi latar belakang kegiatan dalam

(16)

Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa

Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Karena sampai

sekarang belum diketahui nilai ekonomi perdagangan satwa liar di dua loksai

tersebut.

Perumusan Masalah

Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang diminati sebagian

masyarakat, sehingga penangkapannya di alam selalu berlanjut tanpa henti.

Penangkapan satwa liar didasarkan pada nilai. Nilai yang dicari oleh penangkap

satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe adalah nilai ekonomi yang

terdapat pada satwa liar.

Karakteristik penangkap dan jenis satwa liar yang ditangkap untuk

diperdagangkan belum diketahui secara pasti, begitu juga dengan rantai

perdagangan serta nilai ekonomi yang terdapat pada satwa liar tersebut. Hal ini

menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik penangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat

dan Desa Sembahe?

2. Jenis satwa liar apa yang diperdagangkan oleh penangkap di Kelurahan

Sidiangkat dan Desa Sembahe?

3. Bagaimana rantai perdagangan satwa liar dari penangkap di Kelurahan

Sidiangkat dan Desa Sembahe?

4. Berapa nilai ekonomi hasil perdagangan satwa liar di Kelurahan

(17)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik penangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat

dan Desa Sembahe.

2. Mengetahui jenis satwa liar yang diperdagangkan oleh penangkap di

Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe.

3. Mengetahui rantai perdagangan satwa liar dari penangkap di Kelurahan

Sidiangkat dan Desa Sembahe.

4. Menghitung nilai ekonomi satwa liar yang diperdagangkan oleh

penangkap di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam:

1. Menyediakan informasi tentang perdagangan satwa liar bagi pihak yang

berkepentingan.

2. Menambah pengetahuan dan kesadaran berbagai pihak akan pentingnya

penilaian ekonomi terhadap hasil hutan selain kayu seperti satwa liar.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetian Satwa Liar

Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 UU RI No. 5/1990, menyatakan satwa

adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air,

dan/atau di udara. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau

di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup

bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Berdasarkan penjelasan atas UU RI

No. 5/1990, ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi

termasuk di dalam pengertian satwa (UU, 1990).

Nilai Ekonomi Lingkungan

Apakah sumber daya alam itu mempunyai nilai? Menurut Karl Marx,

selama sumber daya alam itu belum dicampuri oleh tenaga manusia, maka sumber

daya alam itu tidak mempunyai nilai. Sebaliknya, menurut para ahli ekonomi di

negara barat, segala sesuatu yang dapat dijualbelikan pasti mempunyai nilai

(Suparmoko, 1997).

Ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan manusia

dalam memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga fungsi/peranan

lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan dalam

penggunaannya untuk jangka panjang (Suparmoko dan Maria, 2000).

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

Bab I, Ketentuan Umum, Bagian Kesatu, Pasal 1 KEPMENHUT RI

No. 447/2003, menyatakan CITES adalah konvensi (perjanjian) internasional

(19)

pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar.

CITES didasarkan atas tiga Apendiks untuk menentukan status suatu spesies

tertentu (KEPMENHUT, 2003):

1. Apendiks I adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang

telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional

spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan

hanya diperkenankan untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan

izin khusus.

2. Apendiks II adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang

saat ini belum terancam punah, namun dapat menjadi terancam punah

apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan.

3. Apendiks III adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang

oleh suatu negara tertentu pemanfaatannya dikendalikan dengan ketat dan

memerlukan bantuan pengendalian internasional.

International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN)

IUCN (2001) menyatakan kategori konservasi IUCN versi 3.1 meliputi:

1. Punah (Extinct; EX)

Suatu takson dinyatakan punah apabila tidak ada keraguan lagi bahwa

individu terakhir sudah mati. Takson diasumsikan punah ketika survei

secara terus menerus pada habitat yang diketahui pada rentang waktu

tertentu gagal untuk menemukan satu individu. Survei dilakukan sesuai

(20)

2. Punah di alam liar (Extinct in the wild; EW)

Suatu takson dinyatakan punah di alam liar ketika takson tersebut

diketahui hanya bisa ditemui di penangkaran tertentu.

3. Kritis atau sangat terancam punah (Critically endangered; CR)

Suatu takson dinyatakan kritis atau sangat terancam akan kepunahan

apabila memenuhi salah satu kriteria A sampai E untuk sangat terancam

punah sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di

alam liar.

4. Terancam (Endangered; EN)

Suatu takson dinyatakan genting ketika dinyatakan memenuhi salah satu

kriteria A sampai E untuk keadaan genting, sehingga dianggap sedang

menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar.

5. Rentan (Vulnerable; VU)

Suatu takson dinyatakan rentan ketika data-data mengindikasikan

kesesuaian dengan salah satu kriteria A sampai E untuk rentan atau rawan,

sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam

liar.

6. Hampir Terancam (Near Threatened; NT)

Suatu takson dinyatakan mendekati terancam punah apabila dalam

evaluasi tidak memenuhi kategori kritis, genting, atau rentan pada saat ini

tetapi mendekati kualifikasi atau dinilai akan memenuhi kategori terancam

(21)

7. Risiko Rendah (Least Concern; LC)

Suatu takson dinyatakan berisiko rendah ketika dievaluasi, tidak

memenuhi kriteria kritis (Critically Endangered; CR), genting

(Endangered; EN), rentan (Vulnerable; VU), atau mendekati terancam

punah (Near Threatened; NT).

8. Data Kurang (Data Deficient; DD)

Suatu takson dinyatakan "informasi kurang" ketika informasi yang ada

kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya

berdasarkan distribusi dan status populasi.

9. Tidak dievaluasi (Not Evaluated; NE)

Suatu takson dinyatakan "tidak dievaluasi" ketika tidak dievaluasi untuk

kriteria-kriteria di atas.

Perdagangan Satwa Liar

Pengendalian perdagangan satwa liar

BKSDA (2007) meyatakan kegiatan perdagangan satwa liar, sebagaimana

diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku dan CITES, secara umum

mengikuti tahapan penentuan kuota, perizinan, perdagangan satwa liar, dan

pengawasan peredaran satwa liar sebagai suatu sistem dalam pengendalian

perdagangan satwa liar.

1. Kuota

Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan penetapan kuota

pengambilan/penangkapan satwa liar dari alam. Kuota merupakan batas maksimal

(22)

pengambilan/penangkapan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan

dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi.

Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam (PHKA) berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) untuk setiap kurun waktu satu tahun. Dalam proses penyusunan kuota

disadari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan

populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Untuk itu peranan

lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan sangat berarti dalam

membantu informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang

dimanfaatkan.

2. Perizinan

Perdagangan jenis satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha

yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan mendapat izin dari Pemerintah

(Departemen Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal PHKA). Menurut

Keputusan Menteri Kehutanan No. 477/Kpts-II/2003, dikenal tiga jenis izin

perdagangan satwa liar, yaitu :

1. Izin mengambil atau menangkap satwa liar, yang diterbitkan Balai

Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

2. Izin sebagai pengedar satwa liar Dalam Negeri, yang diterbitkan BKSDA.

3. Izin sebagai pengedar satwa liar ke dan dari Luar Negeri, yang diterbitkan

oleh Direktur Jenderal PHKA.

3. Perdagangan satwa liar

Legalitas peredaran satwa liar untuk tujuan perdagangan ditunjukkan

(23)

Dalam Negeri (SATS-DN), untuk meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar di

dalam negeri. Dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri

(SATS-LN), untuk meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri

(ekspor)/CITES export permit, dari luar negeri (impor)/CITES import permit, dan

pengiriman lagi ke luar negeri (re-ekspor)/CITES re-export permit. Dokumen

tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar

yang diangkut, nama dan alamat pengirim, serta asal dan tujuan pengiriman.

4. Pengawasan dan pembinaan perdagangan satwa liar

Dilakukan mulai dari tingkat kegiatan pengambilan atau penangkapan

spesimen satwa liar, pengawasan peredaran dalam negeri, dan pengawasan ke dan

dari luar negeri.

Pengawasan penangkapan satwa liar di alam dilakukan dengan tujuan agar

pemanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap),

penangkapan dilakukan dengan tidak merusak habitat atau populasi di alam, dan

untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup, tidak menimbulkan

banyak kematian yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang

tidak benar. Di samping itu, dalam rangka pengendalian perdagangan satwa liar,

Direktorat Jenderal PHKA beserta BKSDA melakukan pembinaan kepada para

penangkap satwa liar, pengedar satwa liar dalam negeri, pengedar satwa liar luar

negeri, dan para asosiasi pemanfaat satwa liar. Namun demikian, pengawasan

terhadap berbagai aktivitas di atas, mulai dari penangkapan di habitat alam,

pengiriman di dalam negeri dan pengiriman ke luar negeri, adalah pekerjaan yang

(24)

PHKA dan BKSDA dengan instansi terkait seperti Bea Cukai, Balai Karantina,

dan Kepolisian serta masyarakat (lembaga swadaya masyarakat) sangat penting.

Perdagangan satwa liar ilegal

Pengaturan perdagangan satwa liar yang dijalankan berdasarkan peraturan

perundangan nasional dan CITES, adalah dalam upaya memanfaatkan potensi

satwa liar secara lestari. Di balik itu, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa

perdagangan satwa liar ilegal juga terjadi baik di tingkat nasional maupun

internasional (BKSDA, 2007).

Satwa liar yang yang menjadi sasaran perdagangan ilegal mengancam

lebih parah kelestarian suatu jenis satwa liar, karena pada umumnya dari

jenis-jenis yang berdasarkan hukum nasional termasuk dalam kategori dilindungi, atau

masuk dalam kategori Apendiks I CITES. Beberapa jenis satwa liar yang

diperdagangkan secara ilegal yang masuk dalam dua kategori itu, yaitu dilindungi

dan masuk Apendiks I CITES, diantaranya adalah orangutan, harimau Sumatera,

gajah, dan badak. Perburuan liar terhadap jenis-jenis tersebut dilakukan untuk

tujuan peliharaan, kulit, taring, dan gading atau cula (BKSDA, 2007).

Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 1999 dan CITES menjelaskan

bahwa, pemanfaatan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Apendiks I CITES

dimungkinkan dilakukan, melalui upaya penangkaran. Satwa liar dilindungi dapat

dimanfaatkan melalui upaya penangkaran, setelah hasil penangkaran mencapai

generasi kedua (F2), dan unit usaha penangkarannya telah terdaftar di Sekretariat

CITES. Namun demikian perdagangan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam

Apendiks I CITES dari hasil penangkaran, di Indonesia tidak banyak dilakukan,

(25)

perdagangan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Apendiks I CITES yang

diambil dari habitat alam masih terjadi, baik untuk perdagangan di dalam negeri

dan perdagangan ke luar negeri. Tentu saja, perburuan ilegal ini semakin

mengancam keberadaan populasi jenis satwa liar yang di habitat alam sudah

semakin sedikit, dengan habitat yang semakin terbatas. Langkah penting untuk

mengatasi perburuan ilegal adalah melakukan penegakan hukum secara tegas, dan

mengembangkan secara terus menerus teknik/metode penangkaran satwa liar

(26)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang,

Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten

Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada bulan September sampai dengan

November 2009.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalkulator, kamera,

Global Positioning System (GPS) serta lembar kuesioner. Kuesioner ditujukan

kepada seorang responden ahli yang berasal dari Balai Besar Konservasi Sumber

Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDASU) dan masyarakat penangkap satwa liar

di Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa

Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.

Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat penangkap satwa liar di

Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa

Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah snowball sampling

(Sampel Bola Salju). Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu

tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang

berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan

lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukkan

(27)

jumlah sampel sebagai responden dilakukan dengan sensus, yang artinya seluruh

penangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten

Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang

dijadikan sebagai sampel.

Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode

wawancara dengan menggunakan kuesioner. Metode wawancara adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara

(Bungin, 2001). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer

dan data sekunder.

Data primer

Data primer yang dibutuhkan antara lain:

1. Karakteristik responden terdiri dari: umur, jenis kelamin, pendidikan, mata

pencaharian dan pendapatan.

2. Informasi tentang penangkapan satwa liar terdiri dari: jenis dan jumlah

satwa liar yang ditangkap, harga per jenis satwa liar di daerah penelitian,

frekuensi penangkapan, waktu penangkapan dan kegiatan dilakukan

individu atau kelompok.

(28)

Data sekunder

Data sekunder yang diperlukan meliputi keadaan umum lokasi penelitian

dan informasi tentang penangkapan dan perdagangan satwa liar yang diperoleh

dari responden ahli yang berasal dari BBKSDASU.

Pengolahan Data Nilai Ekonomi Satwa Liar

Alikodra (2006) menyatakan nilai satwa liar dihitung dengan

menggunakan metode analisis nilai ekonomi satwa liar dengan rumus sebagai

berikut:

MLSLij = nilai manfaat langsung satwa liar (Rp)

RMSLij = nilai manfaat rata-rata satwa liar jenis i yang diperoleh responden per tahun, di lokasi penelitian j (Rp/tahun)

JPPSLij = jumlah masyarakat penangkap satwa liar jenis i di lokasi penelitian j (orang)

KTSLij = kemampuan rata-rata responden menangkap satwa liar jenis ke-i dalam setahun, di lokasi penelitian j (unit/orang/tahun)

HSLij = harga per jenis satwa liar di daerah penelitian j (Rp/unit) i = jenis satwa liar (burung dan satwa lainnya)

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Sidiangkat berada di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi

dengan luas 2000 ha. Kelurahan Sidangkat memiliki batas-batas areal:

Sebelah Timur : Lae Songsang, Kabupaten Pak-Pak Bharat.

Sebelah Barat : Lae Bengkilu, Kecamatan Sumbul Berampu, Kabupaten Dairi.

Sebelah Utara : Lae Malum, Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang,

Kabupaten Dairi.

Sebelah Selatan : Deleng Lumut, Kabupaten Pak-Pak Bharat.

Desa Sembahe berada di Kecamatan sibolangit, Kabupaten Deli Serdang

dengan luas 207 ha. Desa Sembahe memiliki batas-batas areal:

Sebelah Timur : Desa Batu Mbelin.

Sebelah Barat : Desa Buah Nabar.

Sebelah Utara : Desa Bingkawan.

Sebelah Selatan : Desa Buah Nabar/Sibolangit.

Karakteristik Responden

Responden di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe adalah penangkap

satwa liar dan seluruhnya adalah laki-laki. Di Kelurahan Sidiangkat ada 17

responden namun tidak semua responden merupakan penduduk Kelurahan

Sidiangkat. Responden yang tinggal di Kelurahan Sidiangkat ada 10 orang dan 7

orang lagi berasal dari tempat lain tetapi masih tinggal dalam satu kecamatan

dengan kesepuluh responden tersebut.

Responden di Desa Sembahe ada 7 orang namun tidak semua responden

(30)

ada 6 orang dan 1 orang lagi berasal dari Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit

yang bermatapencaharian sebagai penangkap kalong. Keragaman karakteristik

responden diklasifikasikan sebagai berikut:

Umur responden

Umur responden di Kelurahan Sidiangkat berkisar antara 23 sampai

dengan 60 tahun. Di Desa Sembahe umur responden berkisar antara 33 sampai

dengan 55 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan kelompok umur dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelompok umur responden

Frekuensi Persentase (%)

No. Kelompok umur

Sumber: Kuesioner penelitian

Data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa persentase jumlah responden

paling banyak di Kelurahan Sidiangkat berada pada kelompok umur 23 sampai

dengan 29 tahun yaitu 52,9%, sedangkan persentase jumlah responden paling

sedikit berada pada kelompok umur 30 sampai dengan 36 tahun dan kelompok

umur 58 sampai dengan 64 tahun yaitu 5,9%. Di Desa Sembahe, persentase

jumlah responden paling banyak berada pada kelompok umur 37 sampai dengan

43 tahun yaitu 57,1%, sedangkan persentase jumlah responden paling sedikit

berada pada kelompok umur 51 sampai dengan 57 tahun yaitu 14,3%. Mengacu

dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa seluruh responden berada pada

kelompok umur produktif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjiptoherijanto (2001)

(31)

umur muda, di bawah 15 tahun; (b) kelompok umur produktif, usia 15 sampai 64

tahun; dan (c) kelompok umur tua, usia 65 tahun ke atas.

Responden pada umur produktif dengan kemampuan fisik yang

dimilikinya cenderung lebih aktif untuk melakukan kegiatan berburu satwa liar.

Hal ini didukung oleh pernyataan Chahya (2000) bahwa kelompok masyarakat

yang masih aktif berburu merupakan kelompok masyarakat golongan usia

produktif, sedangkan kelompok yang tidak aktif adalah dari golongan usia lanjut

yang secara fisik tidak mampu lagi melakukan kegiatan berburu.

Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan responden dilihat dari jenjang pendidikan sekolah

formal yang pernah diduduki oleh reponden, yaitu antara SD sampai dengan

SMA. Untuk mengetahui klasifikasi responden berdasarkan tingkat pendidikan

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat pendidikan responden

Frekuensi Persentase (%)

No. Tingkat pendidikan

Kelurahan Sidiangkat

Desa Sembahe

Kelurahan Sidiangkat

Desa Sembahe

1 SD 5 3 29,4 42,8

2 SMP 4 1 23,5 14,3

3 SMA 8 3 47,1 42,8

Sumber: Kuesioner penelitian

Persentase jumlah responden di Kelurahan Sidiangkat yang berpendidikan

SMA yaitu 47,1%, SMP yaitu 23,5% dan SD yaitu 29,4%. Perbedaan persentase

jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan dikarenakan, responden yang

berpendidikan SMA memiliki cara berpikir yang lebih maju bahwa mereka bisa

membaca situasi dimana peminat satwa liar (penghobi burung) pada umumnya

adalah orang yang memiliki kemampuan membeli dan memelihara. Hal ini

(32)

pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu

yang datang dari luar. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan

memberikan respon yang lebih rasional dan juga dalam motivasi kerjanya akan

berpotensi daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah atau sedang.

Persentase jumlah responden di Desa Sembahe yang berpendidikan SMA

dan SD sama yaitu 42,8%, sedangkan persentase jumlah responden yang

berpendidikan SMP yaitu 14,3%. Hal ini dikarenakan, responden yang

berpendidikan SD merupakan penduduk yang sudah turun-temurun tinggal di

Desa Sembahe dan mereka pada masa kecilnya juga sudah ikut berburu.

Responden di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe masih ada yang

hanya berpendidikan SD. Hal ini disebabkan minimnya fasilitas pendidikan

berupa gedung sekolah dan kondisi ekonomi yang juga rendah, sehingga

mengakibatkan kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih

tinggi menjadi rendah.

Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada pengetahuan responden tentang

konservasi satwa liar. Hal ini didukung oleh Miardini (tanpa tahun) yang

menyatakan secara umum rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman

masyarakat terhadap konservasi disebabkan karena tingkat pendidikan masyarakat

yang rendah ditambah dengan penghargaan masyarakat terhadap sumberdaya

alam hayati khususnya yang berada di dalam kawasan relatif rendah. Untuk

mengetahui bagaimana pengetahuan responden tentang konservasi satwa liar,

maka dibuatkan beberapa pertanyaan tentang konservasi satwa liar seperti yang

(33)

Data pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa persentase jumlah responden

di Kelurahan Sidiangkat yang mengetahui manfaat satwa liar di alam lebih kecil

dari pada jumlah responden yang tidak mengetahui manfaat satwa liar di alam.

Responden mengatakan bahwa manfaat satwa liar di alam adalah menjaga

keseimbangan alam dan meramaikan hutan. Seluruh responden mengatakan

bahwa habitat satwa liar di Kelurahan Sidiangkat masih bagus. Hal ini bisa dilihat

dari keadaan alamnya yang dekat dengan Bukit Barisan. Jumlah persentase

responden yang mengetahui upaya apa yang harus dilakukan agar satwa liar tetap

ada (tidak punah) hanya 11,8%. Menurut responden upaya yang harus dilakukan

agar satwa liar tetap ada (tidak punah) yaitu dengan cara tidak menangkap anakan

satwa liar dan hutan sebagai habitatnya juga harus dipertahankan.

Seluruh responden mengatakan bahwa satwa liar yang ditangkap tidak

termasuk satwa liar yang dilindungi dan tidak harus dilindungi. Sebagian

responden mengatakan bahwa satwa liar yang mereka tangkap dari alam masih

banyak ditemukan. Pernyataan responden bisa saja dibenarkan jika satwa liar yang

dimaksud adalah cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), poksai

genting (Garrulax mitratus), bentet kelabu (Lanius schach) dan kucica kampung

(Copsychus saularis); karena burung-burung ini sering terlihat pada saat

penelitian ini dilakukan. Namun, berbeda halnya dengan jenis cekakak belukar

(Halcyon smyrnensis), srigunting batu (Dicrurus paradiseus), ekek layongan

(Cissa chinensis), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan

(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus); karena

(34)

Seluruh responden mengatakan bahwa tidak ada sosialisasi/penyuluhan

mengenai penangkapan satwa liar dari instansi pemerintah atau lembaga swadaya

masyarakat sehingga mereka tidak memerlukan izin untuk menangkap satwa liar.

Alasan ini mereka jadikan untuk membenarkan tindakan mereka dalam

menangkap satwa liar di alam.

Hasil wawancara di Desa Sembahe menunjukkan bahwa persentase jumlah

responden yang mengetahui manfaat satwa liar di alam hanya 42,8%, sisanya

57,2% mengatakan tidak tahu. Responden mengatakan bahwa satwa liar seperti

kalong (Pteropus vampyrus) bermanfaat untuk mengawinkan bunga durian, tetapi

sebagian lagi beranggapan bahwa satwa liar merupakan hama yang harus dibasmi.

Padahal satwa liar sebenarnya menguntungkan bagi petani buah di Desa Sembahe

karena satwa liar seperti kalong (Pteropus vampyrus) dan musang

(Paradoxurus hermaphroditus) dapat membantu pertumbuhan tanaman dalam hal

penyerbukan bunga durian dan penyebaran biji tanaman.

Seluruh responden mengatakan bahwa habitat satwa liar di Desa Sembahe

sudah tidak bagus lagi sehingga satwa liar yang seharusnya tinggal di hutan kini

sudah memasuki ladang atau kebun petani. Hal ini bisa dilihat dari keadaan alam

Desa Sembahe yang sudah dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat. Seorang

responden yang bermatapencaharian sebagai penangkap kalong mengatakan,

upaya yang harus dilakukan agar satwa liar tetap ada (tidak punah) yaitu dengan

cara tidak menebang pohon durian. Alasan ini bisa diterima karena banyak pohon

durian yang sudah tua ditebang di Desa Sembahe, namun tanaman pengganti yang

digunakan bukan durian lagi tetapi tanaman coklat yang dianggap lebih banyak

(35)

Seluruh responden mengatakan bahwa satwa liar yang mereka tangkap

tidak termasuk satwa liar yang dilindungi. Namun, hasil wawancara menemukan

ada satwa liar yang dilindungi ditangkap oleh responden seperti kukang

(Nycticebus coucang), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura)

dan napuh (Tragulus napu). Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak tahu

bahwa ada satwa liar yang mereka tangkap termasuk satwa yang dilindungi,

sehingga diperlukan penyuluhan tentang konservasi satwa liar bagi para

responden.

Seluruh responden mengatakan bahwa satwa liar yang mereka tangkap

seharusnya tidak dilindungi jika satwa liar tersebut sudah memasuki areal

perladangan atau kebun masyarakat. Hal ini diungkapkan karena satwa liar yang

memasuki perladangan atau kebun masyarakat berpotensi menimbulkan

kerusakan bagi tanaman seperti terlihat pada Gambar 1a dan 1b.

(a) (b)

Gambar 1. (a) tanaman pisang yang dirusak monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan (b) tanaman talas yang dirusak landak (Hystrix brachyura)

Sosialisasi/penyuluhan mengenai penangkapan satwa liar dari instansi

pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat di Desa Sembahe tidak ada,

(36)

seorang responden di Desa Bingkawan yang bermatapencaharian sebagai

penangkap kalong mengatakan bahwa ada sosialisasi/penyuluhan dari Dinas

Kehutanan di Desa Bingkawan dan responden diberi izin untuk menangkap

kalong (Pteropus vampyrus).

Mata pencaharian dan pendapatan

Responden menangkap satwa liar pada umumnya didasarkan oleh hobi,

bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau bukan sebagai mata

pencahariannya. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 5 yang menunjukkan alasan

responden menangkap satwa liar. Untuk mengetahui mata pencaharian responden

yang telah diklasifikasikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Mata pencaharian responden

Frekuensi Persentase (%)

No. Mata pencaharian

Kelurahan Sidiangkat

Desa Sembahe

Kelurahan Sidiangkat

Desa Sembahe

1 Penjerat burung 1 0 5,9 0

2 Petani 9 6 52,9 85,7

3 Wiraswasta 5 0 29,4 0

4 PNS 2 0 11,8 0

5 Penangkap kalong 0 1 0 14,3

Sumber: Kuesioner penelitian

Data pada Tabel 3 menunjukkan 52,9% responden di Kelurahan

Sidiangkat bermatapencaharian petani. Hal ini disebabakan karena anggapan

responden bahwa menangkap satwa liar seperti babi hutan (Sus scrofa) dapat

mengurangi hama tanaman pertanian mereka. Responden yang

bermatapencaharian wiraswasta (pedagang dan tukang pangkas) menempati posisi

ke dua dengan persentase 29,4%. Hal ini disebabkan karena responden yang

memiliki mata pencaharian wiraswasta dapat mengatur waktunya sendiri dan

(37)

dibandingkan responden yang memiliki mata pencaharian PNS yang banyak

menghabiskan waktu di kantor.

Persentase responden yang bermatapencaharian petani di Desa Sembahe

adalah 85,7% sedangkan mata pencaharian sebagai penangkap kalong hanya

14,3%. Hal ini disebabkan karena petani berharap dengan memburu satwa liar

akan mengurangi hama tanaman di kebun atau ladang mereka yang banyak

ditanami oleh pohon-pohon yang menghasilkan buah.

Pendapatan responden dihitung dalam setahun, pendapatan ini dihitung

dengan menjumlahkan pendapatannya selama setahun dari mata pencaharian.

Uraian mengenai tingkat pendapatan responden ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Tingkat pendapatan responden

Frekuensi Persentase (%)

No. Tingkat pendapatan (Rp/tahun)

KS DS KS DS

Keterangan

1 18.000.000,00 – 25.000.000,00 12 5 70,6 71,4 P, W, PB

2 26.000.000,00 – 33.000.000,00 1 1 5,9 14,3 PNS, P

3 34.000.000,00 – 41.000.000,00 4 0 23,5 0 PNS, W, P

4 42.000.000,00 – 49.000.000,00 0 0 0 0 -

5 50.000.000,00 – 57.000.000,00 0 0 0 0 -

6 58.000.000,00 – 65.000.000,00 0 1 0 14,3 PK

Sumber: Kuesioner penelitian

Keterangan: KS = Kelurahan Sidiangkat, DS = Desa Sembahe, P = Petani, W = Wiraswasta, PB = Penjerat burung, PNS = Pegawai Negeri Sipil, PK = Penangkap kalong

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa 70,6% responden di Kelurahan

Sidiangkat memiliki tingkat pendapatan antara Rp 18.000.000,00 sampai dengan

Rp 25.000.000,00/tahun. Di Desa Sembahe, 71,4% responden memiliki tingkat

pendapatan antara Rp 18.000.000,00 sampai dengan Rp 25.000.000,00/tahun. Hal

ini disebabkan oleh mata pencaharian responden yang terbesar di ke dua lokasi

tersebut adalah petani. Karena tingkat pendapatan yang dirasa masih kurang,

sekedar untuk memenuhi kebutuhan protein hewani responden berburu satwa liar

seperti napuh (Tragulus napu), bajing kelapa (Callosciurus notatus), musang

(38)

beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura) dan biawak

(Varanus salvator). Hal ini didukung oleh pernyataan Pattiselanno (2007) bahwa

pemanfaatan satwa untuk dikonsumsi memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap pemenuhan konsumsi protein hewani masyarakat di daerah pedalaman

Papua.

Jenis-Jenis Satwa Liar

Ada 21 jenis satwa liar yang ditangkap oleh responden di Kelurahan

Sidiangkat dan Desa Sembahe. Uraian mengenai klasifikasi dan status

konservasinya seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis satwa liar berdasarkan klasifikasi dan status konservasi

Lokasi Jenis satwa liar Famili Kelas Status konservasi Keterangan

Cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis)

Chloropseidae Aves Non-Apendiks BD

Poksai genting (Garrulax mitratus)

Timaliidae Aves Non-Apendiks BD

Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)

Alcedinidae Aves Non-Apendiks D

Bentet kelabu (Lanius schach) Laniidae Aves Non-Apendiks BD Kucica kampung

(Copsychus saularis)

Muscicapidae Aves Non-Apendiks BD

Srigunting batu (Dicrurus paradiseus)

Dicruridae Aves Non-Apendiks BD

Ekek layongan (Cissa chinensis) Corvidae Aves Non-Apendiks BD Poksai jambul

(Garrulax leucoluphus)

Timaliidae Aves Non-Apendiks BD

Kucica hutan

(Copsychus malabaricus)

Muscicapidae Aves Non-Apendiks BD

Tangkar ongklet

(Platylophus galericulatus)

Corvidae Aves Non-Apendiks BD

Kelurahan Sidiangkat

Babi hutan (Sus scrofa) Suidae Mamalia Non-Apendiks BD

Napuh (Tragulus napu) Tragulidae Mamalia Apendiks II D

Bajing kelapa (Callosciurus notatus)

Sciuridae Mamalia Non-Apendiks BD

Musang

(Paradoxurus hermaphroditus)

Viverridae Mamalia Non-Apendiks BD

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

Cercopithecidae Mamalia Apendiks II BD

Beruk

(Macaca nemestrina)

Cercopithecidae Mamalia Apendiks II BD

Landak (Hystrix brachyura) Hystricidae Mamalia Apendiks I D Trenggiling

(Manis javanica)

Manidae Mamalia Apendiks II D

Kukang

(Nycticebus coucang)

Lorisidae Mamalia Apendiks II D

Biawak (Varanus salvator) Varanidae Reptil Apendiks II BD Desa

Sembahe

Kalong (Pteropus vampyrus) Pteropodidae Mamalia Apendiks II BD Sumber: BBKSDASU, 2009

(39)

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis-jenis satwa liar yang

ditangkap di Kelurahan Sidiangkat kebanyakan dari kelas aves. Hal ini disebabkan

oleh topografi Kelurahan Sidiangkat yang terletak di ketinggian sekitar 1400 mdpl

dan dekat dengan Bukit Barisan seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Landscape Kelurahan Sidiangkat

Bukit Barisan merupakan habitat sebagian burung yang ditangkap oleh

responden seperti cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), poksai

genting (Garrulax mitratus), srigunting batu (Dicrurus paradiseus), ekek

layongan (Cissa chinensis), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan

(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus).

Sedangkan jenis cekakak belukar (Halcyon smyrnensis), bentet kelabu

(Lanius schach), kucica kampung (Copsychus saularis) dan babi hutan

(Sus scrofa) ditangkap di perladangan masyarakat. Jika dilihat dari

penyebarannya, seluruh satwa liar ini memang umum terdapat di Sumatera pada

ketinggian sekitar 700 sampai dengan 2.100 mdpl.

Klasifikasi famili menunjukkan bahwa jenis satwa liar yang terbanyak

berasal dari famili Timaliidae seperti poksai genting (Garrulax mitratus) dan

(40)

(Copsychus saularis) dan kucica hutan (Copsychus malabaricus); dan Corvidae

seperti ekek layongan (Cissa chinensis) dan tangkar ongklet

(Platylophus galericulatus). Hal ini disebabkan oleh ketertarikan responden pada

suara dan warna yang indah dari ketiga famili tersebut.

Hasil wawancara menemukan ada 1 jenis satwa liar hasil tangkapan yang

merupakan spesies yang dilindungi di Indonesia. Cekakak belukar

(Halcyon smyrnensis) yang berasal dari famili Alcedinidae merupakan jenis

burung yang dilindungi berdasarkanPP nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan

jenis tumbuhan dan satwa. Namun, dalam status konservasi CITES burung ini

masih termasuk pada status Non-Apendiks. Jika dilihat dari jumlah tangkapan dan

frekuensi penangkapan responden, menunjukkan bahwa jumlahnya di alam

memang sedikit dan patut untuk dilindungi.

Jenis-jenis satwa liar yang ditangkap di Desa Sembahe kebanyakan dari

kelas mamalia yang pada umumnya menyukai aneka buah seperti coklat, durian,

manggis, langsat dan pisang. Sehingga keberadaan kebun masyarakat yang

menghasilkan aneka buah menjadikan desa ini sebagai tempat mencari makan

bagi satwa liar di sekitarnya. Jika dilihat dari klasifikasi famili, jenis satwa liar

yang terbanyak berasal dari famili Cercopithecidae seperti monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina). Hal ini disebabkan jenis

satwa liar yang masuk dalam famili ini merupakan satwa yang aktif mencari

makan ke kebun atau ladang masyarakat.

Ada 4 jenis satwa liar hasil tangkapan yang merupakan spesies yang

dilindungi di Indonesia. Napuh (Tragulus napu) dari famili Tragulidae, landak

(41)

famili Manidae dan kukang (Nycticebus coucang) dari familiLorisidae merupakan

mamalia yang dilindungi berdasarkanPP nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan

jenis tumbuhan dan satwa. Dilihat dari status konservasi CITES, napuh

(Tragulus napu), trenggiling (Manis javanica) dan kukang (Nycticebus coucang)

termasuk pada Apendiks II sedangkan landak (Hystrix brachyura) termasuk pada

Apendiks I. Hal ini berarti, keempat satwa liar tersebut seharusnya tidak bisa

ditangkap dari alam untuk diperdagangkan diakibatkan oleh populasinya di alam

sudah menurun.

Metode Penangkapan

Metode yang digunakan responden untuk menangkap satwa liar

berbeda-beda. Dari hasil wawancara, dapat diketahui beberapa metode yang digunakan

responden untuk menangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa

Sembahe yaitu:

1. Menggunakan pikat

Kandang pikat yang digunakan untuk menangkap cica daun sayap biru

(Chloropsis cochinchinensis) dan poksai genting (Garrulax mitratus) memiliki

perbedaan, hal ini tampak pada posisi pintu dan letak kandang pikat. Untuk cica

daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis) posisi pintu kandang pikatnya

berada di atas seperti pada Gambar 3a. Hal ini dikarenakan cara terbangnya yang

menukik tajam dari atas ke arah kandang pikat. Sedangkan posisi pintu kandang

pikat poksai genting berada di depan karena burung ini datangnya dari arah depan

(42)

(a) (b)

Gambar 3. (a) posisi pintu kandang pikat cica daun sayap biru dan (b) posisi pintu dan letak kandang pikat poksai genting

Letak kandang pikat poksai genting biasanya ditempatkan di atas

tumbuhan bawah seperti pada Gambar 3b (lokasi penangkapan terletak di

koordinatNorth 20 41’ 3.8”, East 980 17’ 38.1”). Kandang pikat cica daun sayap

biru ditempatkan pada cabang pohon dengan menggunakan tali sebagai pengait

untuk menarik dan menurunkan kandang pikat seperti pada Gambar 4 (lokasi

penangkapan terletak di koordinatNorth 20 40’ 28.8”, East 980 17’ 24.8”).

Gambar 4. Letak kandang pikat cica daun sayap biru

Responden biasanya memikat burung pada hari Sabtu dan Minggu, antara

(43)

hari Senin sampai dengan Jumat, sedangkan hari Sabtu dan Minggu digunakan

untuk istirahat dengan menyalurkan hobbi memikat burung. Burung pikat yang

dibawa diusahakan berbunyi dengan cara diajak bersiul agar burung yang hendak

ditangkap datang menghampiri dan terperangkap di dalam kandang pikat.

2. Menggunakan getah

Jerat yang digunakan responden ini terbuat dari lidi yang masih muda

(hijau) dan sudah diolesi dengan getah. Jerat pakai getah yang digunakan di hutan

dimaksudkan untuk menangkap srigunting batu (Dicrurus paradiseus), ekek

layongan (Cissa chinensis), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan

(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus).

Umpan yang digunakan berupa jangkrik yang masih hidup yang diikatkan pada

kayu yang sudah ditempeli dengan lidi seperti pada Gambar 5a (lokasi

penangkapan terletak di koordinatNorth 20 41’ 3.8”, East 980 17’ 38.1”).

Ada juga jerat yang dipasang di tanah. Jerat ini dimaksudkan untuk

menangkap cekakak belukar (Halcyon smyrnensis), bentet kelabu (Lanius schach)

dan kucica kampung (Copsychus saularis). Lidi yang sudah diolesi getah

ditancapkan ke dalam tanah dengan posisi miring dan diberi umpan jangkrik yang

masih hidup seperti pada Gambar 5b (lokasi penangkapan terletak di koordinat

North 20 42’ 52.1”, East 980 19’ 2.1”). Responden biasanya memasang jerat mulai

(44)

(a) (b)

Gambar 5. (a) jerat pakai getah di hutan dan (b) di tanah

3. Menggunakan tombak

Pemburu babi hutan terdiri dari 1 grup yang beranggotakan 7 orang.

Masing-masing membawa tombak yang berbeda seperti pada Gambar 6 (lokasi

penangkapan terletak di koordinatNorth 20 42’ 52.1”, East 980 19’ 2.1”), selain itu

pemburu juga membawa anjing untuk melacak keberadaan babi hutan

(Sus scrofa). Perburuan babi hutan (Sus scrofa) biasanya dilakukan pada hari

Minggu yang dimulai dari pagi hingga sore hari.

(45)

4. Menggunakan senapan angin

Satwa liar yang diburu menggunakan senapan angin antara lain napuh

(Tragulus napu), bajing kelapa (Callosciurus notatus), musang

(Paradoxurus hermaphroditus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan

beruk (Macaca nemestrina). Dengan menggunakan metode ini jarang sekali

didapat satwa liar dalam keadaan hidup, seperti yang terlihat pada Gambar 7

(lokasi penangkapan terletak di koordinatNorth 30 21’ 50.7”, East 980 34’ 53.6”).

Gambar 7. Napuh (Tragulus napu) ditembak di kebun coklat

Perburuan dilakukan pada malam dan sore hari. Perburuan pada malam

hari biasanya dimulai dari jam 9 sampai jam 2 pagi. Alat yang digunakan untuk

mencari keberadaan satwa liar adalah senter. Pada perburuan ini, lokasi yang

dituju adalah kebun coklat dan tanaman aren. Satwa liar yang diburu adalah napuh

(Tragulus napu) dan musang (Paradoxurus hermaphroditus), namun bisa saja

satwa liar yang ditemui adalah trenggiling (Manis javanica) dan kukang

(Nycticebus coucang) tetapi hal ini jarang terjadi.

Perburuan pada sore hari biasanya dilakukan sehabis pulang dari ladang

(46)

(Callosciurus notatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk

(Macaca nemestrina).

5. Menggunakan jerat

Satwa liar yang ditangkap menggunakan jerat adalah landak

(Hystrix brachyura) dan biawak (Varanus salvator). Jerat ini menggunakan tali

klos sepeda motor yang diikatkan pada ranting pohon atau batang bambu kecil.

Menurut responden jerat ini akan mengenai leher atau badan biawak

(Varanus salvator) atau landak (Hystrix brachyura). Jerat biawak biasanya

dipasang pada pagi hari di dekat kolam, umpannya berupa daging busuk di dalam

kantong plastik seperti terlihat pada Gambar 8 (lokasi penangkapan terletak di

koordinatNorth 30 21’ 30.8”, East 980 34’ 58.1”).

Gambar 8. Jerat biawak

Jerat landak dipasang pada daerah yang dianggap sering dilaluinya seperti

terlihat pada Gambar 9 (lokasi penangkapan terletak di koordinat

North 30 21’ 30.8”, East 980 34’ 58.1”). Jerat ini dibiarkan terpasang setiap hari

dan diperiksa kembali jika hendak pergi atau pulang dari ladang. Responden

(47)

merupakan hama di ladang mereka. Biawak (Varanus salvator) sering mencuri

ikan yang ada di kolam dan ayam yang ditinggal di ladang, begitu juga dengan

landak (Hystrix brachyura) sering merusak tanaman ubi talas, ubi jalar dan

kacang tanah yang sengaja ditanam oleh masyarakat.

Gambar 9. Jerat landak

6. Menggunakan jaring

Penangkapan kalong (Pteropus vampyrus) dilakukan hanya pada saat

musim yaitu bulan April. Penangkap kalong biasanya menggunakan jaring untuk

menangkapnya. Jaring yang akan digunakan diletakkan pada pohon yang tinggi.

Penangkapannya dilakukan dari jam 3 hingga jam 6 pagi.

Penangkapan Satwa Liar

Jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan satwa liar bervariasi

diantara responden. Begitu juga dengan jumlah penangkapnya bervariasi menurut

(48)

Tabel 6. Jumlah penangkap, jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan satwa

Poksai genting (Garrulax mitratus)

3 336 26,7 192 12,3

Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)

1 36 2,9 180 11,5

Bentet kelabu (Lanius schach)

1 360 28,6 180 11,5

Kucica kampung (Copsychus saularis)

1 108 8,6 180 11,5

Srigunting batu (Dicrurus paradiseus)

1 12 0,9 48 3,1

Ekek layongan (Cissa chinensis)

1 12 0,9 48 3,1

Poksai jambul (Garrulax leucoluphus)

Bajing kelapa (Callosciurus notatus)

3 1.728 80,7 864 33,8

Musang

(Paradoxurus hermaphroditus)

4 72 3,4 48 1,9

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

Sumber: Kuesioner penelitian

Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa jenis satwa liar yang memiliki

jumlah tangkapan tertinggi di Kelurahan Sidiangkat adalah bentet kelabu

(Lanius schach) dengan nilai persentase 28,6% (360 ekor/tahun). Hal ini

dikarenakan jumlahnya banyak ditemukan dalam suatu kelompok di perladangan

sehingga mudah untuk menemukannya. Sedangkan Jenis satwa liar yang memiliki

(49)

layongan (Cissa chinensis), kucica hutan (Copsychus malabaricus), tangkar

ongklet (Platylophus galericulatus) dan babi hutan (Sus scrofa) dengan nilai

persentase masing-masing 0,9% (12 ekor/tahun). Hal ini dikarenakan sulitnya

untuk menemukan jenis-jenis burung tersebut, ditambah dengan frekuensi

penangkapan yang masih rendah pada babi hutan.

Jenis satwa liar yang memiliki frekuensi penangkapan tertinggi adalah cica

daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis) dengan nilai persentase 33,8%

(528 kali/tahun). Hal ini dikarenakan jumlah penangkapnya banyak dan

menunjukkan bahwa burung ini adalah burung yang paling digemari, karena

selain mudah didapat juga memiliki daya tarik seperti warna dan suara yang

indah. Sedangkan frekuensi penangkapan terendah berada pada babi hutan

(Sus scrofa) dengan nilai persentase 0,8% (12 kali/tahun), hal ini dikarenakan

penangkapannya dilakukan hanya sekali dalam sebulan. Penangkapannya

dilakukan jika ada informasi dari masyarakat tentang keberadaannya yang

menimbulkan gangguan terhadap tanaman pertanian masyarakat.

Bajing kelapa (Callosciurus notatus) merupakan jenis satwa liar di Desa

Sembahe yang memiliki jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan tertinggi

dengan nilai persentase masing-masing 80,7% (1.728 ekor/tahun) dan 33,8%

(864 kali/tahun). Hal ini dikarenakan kebiasaan responden yaitu selalu membawa

senapan angin ketika hendak pergi ke ladang. Senapan angin digunakan untuk

menembak satwa liar yang ditemui dalam perjalanan seperti bajing kelapa

(Callosciurus notatus). Sedangkan trenggiling (Manis javanica) dan kukang

(Nycticebus coucang) menempati posisi terendah pada jumlah tangkapan maupun

(50)

ketika berburu di malam hari, melainkan napuh (Tragulus napu) dan musang

(Paradoxurus hermaphroditus).

Rantai Perdagangan Satwa Liar

Cara pemasaran yang dilakukan responden di Kelurahan Sidiangkat dan

Desa Sembahe ada dua cara, yaitu:

1. Secara langsung yaitu responden memasarkan satwa liar hasil

tangkapannya langsung ke konsumen.

2. Secara tidak langsung yaitu responden memasarkan satwa liar hasil

tangkapannya melalui pengecer.

Cara pemasaran satwa liar di kedua lokasi jika digambarkan dalam suatu

bagan alir akan membentuk rantai perdagangan seperti pada Gambar 10.

Responden

Konsumen Pengecer

Gambar 10. Rantai perdagangan satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe

Responden di Kelurahan Sidiangkat yang memasarkan secara langsung ke

konsumen terjadi pada responden yang menangkap babi hutan (Sus scrofa).

Mereka memasarkan hasil buruan kepada tetangga di sekitar kampung mereka dan

tidak pernah memasarkannya ke pekan. Jika hasil buruannya kecil, maka hanya

dibagi dengan cara makan bersama.

Responden yang memasarkan melalui pengecer dibagi dua yaitu ke toko

burung di Sidikalang dan toko burung di Pasar Bintang Medan. Responden yang

memasarkan ke toko burung di Sidikalang terjadi pada responden yang

(51)

(Garrulax mitratus), poksai jambul (Garrulax leucoluphus), kucica hutan

(Copsychus malabaricus) dan tangkar ongklet (Platylophus galericulatus). Hal ini

dilakukan karena hasil tangkapan mereka pada umumnya masih sedikit.

Responden yang memasarkan ke toko burung di Pasar Bintang Medan

terjadi pada responden yang menangkap cekakak belukar (Halcyon smyrnensis),

bentet kelabu (Lanius schach), kucica kampung (Copsychus saularis), srigunting

batu (Dicrurus paradiseus), ekek layongan (Cissa chinensis) dan poksai jambul

(Garrulax leucoluphus). Hal ini dilakukan karena hasil tangkapan responden lebih

banyak. Terkadang responden juga memasarkan hasil tangkapannya ke toko

burung di Sidikalang jika hasil tangkapannya sedikit. Menurut Nugroho dalam

Sander dkk. (tanpa tahun) bahwa tingginya permintaan pasar terhadap satwa

burung karena nilai jual satwa ini berdasarkan nilai eksotis, kelangkaan dan

tingkat kesulitan penangkapan.

Responden di Desa Sembahe yang memasarkan secara langsung ke

konsumen terjadi pada responden yang memasarkan napuh (Tragulus napu),

bajing kelapa (Callosciurus notatus), musang (Paradoxurus hermaphroditus),

monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), landak

(Hystrix brachyura) dan biawak (Varanus salvator). Hal ini dilakukan karena

hasil tangkapan responden hanya dikonsumsi oleh anggota keluarganya, jika

daging hasil tangkapan ada yang lebih akan ditawarkan kepada tetangga yang

bersedia untuk membeli.

Responden yang memasarkan melalui pengecer terjadi pada responden

yang memasarkan kukang (Nycticebus coucang) dan trenggiling (Manis javanica).

(52)

seekor kukang (Nycticebus coucang) atau trenggiling (Manis javanica) ketimbang

mengkonsumsi dagingnya sebagai lauk.

Namun, berbeda halnya dengan responden yang memasarkan kalong

(Pteropus vampyrus), karena volumenya relatif besar maka pemasarannya

dilakukan secara sekaligus yaitu dengan cara memasarkannya kepada konsumen

dan melalui pengecer.

Nilai Ekonomi Satwa Liar

Data pada Tabel 7 menunjukkan hasil perhitungan nilai ekonomi yang

didapat seluruh responden dari penangkapan satwa liar.

Tabel 7. Hasil perhitungan nilai ekonomi satwa liar

Lokasi Jenis satwa liar Nilai manfaat langsung

(MLSLij) (Rp/tahun)

Persentase (%)

Cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis) 16.200.000,00 35,6

Poksai genting (Garrulax mitratus) 5.040.000,00 11,1

Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis) 1.080.000,00 2,4

Bentet kelabu (Lanius schach) 9.000.000,00 19,8

Kucica kampung (Copsychus saularis) 2.160.000,00 4,7

Srigunting batu (Dicrurus paradiseus) 960.000,00 2,1

Ekek layongan (Cissa chinensis) 1.080.000,00 2,4

Poksai jambul (Garrulax leucoluphus) 2.160.000,00 4,7

Kucica hutan (Copsychus malabaricus) 1.800.000,00 4

Tangkar ongklet (Platylophus galericulatus) 1.200.000,00 2,6

Kelurahan Sidiangkat

Babi hutan(Sus scrofa) 4.800.000,00 10,6

Jumlah 45.480.000,00 100

Napuh (Tragulus napu) 4.800.000,00 8,3

Bajing kelapa (Callosciurus notatus) 17.280.000,00 29,9

Musang (Paradoxurus hermaphroditus) 10.800.000,00 18,7

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) 1.440.000,00 2,5

Monyet ekor pendek (Macaca nemestrina) 1.440.000,00 2,5

Landak (Hystrix brachyura) 2.400.000,00 4,2

Trenggiling (Manis javanica) 2.160.000,00 3,7

Kukang (Nycticebus coucang) 120.000,00 0,2

Biawak (Varanus salvator) 2.880.000,00 5

Desa Sembahe

Kalong (Pteropus vampyrus) 14.400.000,00 25

Jumlah 57.720.000,00 100

Sumber: Kuesioner penelitian

Nilai manfaat langsung satwa liar diperoleh dari perkalian antara nilai

manfaat rata-rata suatu jenis satwa liar dengan jumlah penangkap satwa liar

tersebut. Nilai manfaat rata-rata suatu jenis satwa liar diperoleh dari perkalian

antara tangkapan rata-rata seorang responden dari suatu jenis satwa liar selama

(53)

Hasil penelitian di Kelurahan Sidiangkat menunjukkan bahwa nilai total

manfaat langsung yang diperoleh 17 responden dari 11 jenis satwa liar yang

ditangkap sebesar Rp 45.480.000,00/tahun. Jenis satwa liar yang memiliki nilai

manfaat langsung terbesar adalah cica daun sayap biru (Chloropsis

cochinchinensis) yaitu Rp 16.200.000,00/tahun (35,6%). Dari nilai tersebut, nilai

manfaat rata-rata yang diperoleh seorang responden yaitu Rp 2.700.000,00/tahun.

Hal ini dikarenakan jumlah tangkapan, frekuensi penangkapan dan harga burung

ini relatif tinggi. Sementara satwa liar yang memiliki nilai manfaat langsung

terkecil adalah srigunting batu (Dicrurus paradiseus) yaitu Rp 960.000,00 (2,1%).

Dari nilai tersebut, nilai manfaat rata-rata yang diperoleh seorang responden juga

sama yaitu Rp 960.000,00/tahun. Hal ini dikarenakan harganya yang lebih rendah

dari burung lain meskipun memiliki nilai yang sama dalam jumlah tangkapan.

Hasil penelitian di Desa Sembahe menunjukkan bahwa nilai total manfaat

langsung yang diperoleh 7 responden dari 10 jenis satwa liar yang ditangkap

sebesar Rp 57.720.000,00/tahun. Jenis satwa liar yang memiliki nilai manfaat

langsung terbesar adalah bajing kelapa (Callosciurus notatus) yaitu

Rp 17.280.000,00/tahun (29,9%). Dari nilai tersebut, nilai manfaat rata-rata yang

diperoleh seorang responden yaitu Rp 5.760.000,00/tahun. Hal ini dikarenakan

jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan bajing kelapa relatif tinggi.

Sementara satwa liar yang memiliki nilai manfaat langsung terkecil adalah kukang

(Nycticebus coucang) yaitu Rp 120.000,00/tahun (0,2%). Dari nilai tersebut, nilai

manfaat rata-rata yang diperoleh seorang responden juga sama yaitu

Rp 120.000,00/tahun. Hal ini dikarenakan harganya lebih rendah dari trenggiling

(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Karakteristik responden yang memiliki persentase terbesar di Kelurahan

Sidiangkat, antara lain: kelompok umur 23 sampai dengan 29 tahun yaitu

52,9%; tingkat pendidikan SMA yaitu 47,1%; mata pencaharian petani

yaitu 52,9% dan tingkat pendapatan antara Rp 18.000.000,00 sampai

dengan Rp 25.000.000,00/tahun yaitu 70,6%. Karakteristik responden

yang memiliki persentase terbesar di Desa Sembahe, antara lain: kelompok

umur 37 sampai dengan 43 tahun yaitu 57,1%; tingkat pendidikan SD dan

SMA yaitu masing-masing 42,8%; mata pencaharian petani yaitu 85,7%

dan tingkat pendapatan antara Rp 18.000.000,00 sampai dengan

Rp 25.000.000,00/tahun yaitu 71,4%.

2. Jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan di Kelurahan Sidiangkat ada 11

jenis dengan status Non-Apendiks, sedangkan di Desa Sembahe ada 10

jenis satwa liar yang diperdagangkan dengan status Non-Apendiks ada 2

jenis,Apendiks II ada 7 jenis danApendiks I ada 1 jenis.

3. Rantai perdagangan satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe

dilakukan dengan 2 cara yaitu dari responden langsung ke konsumen dan

dari responden melalui pengecer.

4. Nilai ekonomi satwa liar di Kelurahan Sidiangkat yaitu

Rp 45.480.000,00/tahun, dari nilai tersebut kontribusi terbesar (35,6%)

dimiliki cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), sedangkan

kontribusi terkecil (2,1%) dimiliki srigunting batu (Dicrurus paradiseus).

Gambar

Tabel 1. Kelompok umur responden
Gambar 1. (a) tanaman pisang yang dirusak monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)    dan (b) tanaman talas yang dirusak landak (Hystrix brachyura)
Tabel 3. Mata pencaharian responden
Tabel 5. Jenis satwa liar berdasarkan klasifikasi dan status konservasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) karakteristik pekerja anak di lihat dari segi biologis, sosial, dan ekonomi di Desa Perbarakan dan (2) faktor- faktor

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1)jenis pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat serta (2) nilai manfaat langsung dan tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis makanan yang dikonsumsi burung Belibis batu (Dendrocygna javanica) liar yang hidup pada habitat alami di Kecamatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik budidaya tanaman kopi Arabika, tindakan yang dilakukan petani dalam hal konservasi lahan miring dan produksi

Tujuan penelitian adalah Untuk mengetahui saluran pemasaran asam glugur di daerah penelitian, untuk mengetahui fungsi-fungsi pemasaran asam glugur di daerah penelitian,

Sehingga dari uraian latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kasus tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi yang ditangani

Tujuan penelitian adalah Untuk mengetahui saluran pemasaran asam glugur di daerah penelitian, untuk mengetahui fungsi-fungsi pemasaran asam glugur di daerah penelitian,

Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengaruh dari karakteristik, pengetahuan,