• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat yang digunakan untuk penelitian berada di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil, Laboratorium IPT Ruminansia Besar, dan Laboratorium Ilmu dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang berlokasi di kecamatan Darmaga. Penelitian dilakukan di kandang penggemukan yang terdiri atas tiga blok dengan kapasitas tampung 15 ekor per blok untuk ternak besar. Kandang individu yang digunakan untuk penelitian terletak di bagian pinggir kanan kandang dari pintu utama kandang. Tipe kandang yang digunakan merupakan tipe dinding tertutup dan tipe atap gravitasi (gable type). Satu kandang individu diisi dengan dua ekor ternak karena ukuran ternak tidak terlalu besar dan untuk memudahkan dalam pemberian pakan.

(a) (b) Gambar 5 : (a) Kandang Domba Penelitian, (b) Domba Penelitian

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Unit Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Jonggol (UP3J) dengan jenis domba ekor tipis sebanyak sembilan ekor. Pakan yang diberikan selama empat bulan pertama periode pemeliharaan adalah rumput Brachiaria humidicola dan kulit ubi jalar. Namun pertambahan bobot badan (PBB) domba hanya sedikit sekali, jadi pada 3 bulan terkahir masa pemeliharaan dilakukan pergantian pakan dari kulit ubi jalar ke konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar pertambahan bobot badan (PBB) domba dapat maksimal karena kandungan protein dari konsentrat lebih tinggi daripada kulit ubi

jalar. Namun hasil pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) yang dihasilkan selama tujuh bulan pemeliharaan hanya sebesar 1,33±0,05 kg (bobot awal domba adalah 20.08±2.30 kg dan bobot akhir 21.41±2.35 kg) (Satriawan, 2011). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pakan yang diberikan hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup pokoknya saja, sehingga cadangan energi yang seharusnya tersimpan dalam daging dan lemak menjadi tidak optimal. Faktor lain juga bisa menjadi penyebab tidak optimalnya pertambahan bobot badan (PBB) domba, yaitu tidak diberikannya pakan yang cukup oleh petugas kandang yang diberi tugas untuk member pakan ke domba penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat kandungan nutrisi dari rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar, dan konsentrat.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria Humidicola, Umbi Ubi Jalar dan Konsentrat

Pakan BK PK SK LK abu BETN TDN

B. humidicola1) 100 8,94 27,28 2,34 7,65 53,79 43,88

Kulit ubi jalar2) 100 1,65 24,28 0,4 - - - Konsentrat3) 100 16 - 17 14 - 15 6 - 7 - - 60 - 65 Keterangan: 1)

Alwi, 2009 (dalam persen BK)

2) Kotecha dan Kadam, 1998 (dalam persen BK) 3)

Tillman et al., 1991 (dalam persen BK)

PK = Protein Kasar TDN = Total Digestible Nutrient

SK = Serat Kasar Ca = Calcium

LK = Lemak Kasar BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Gangguan kesehatan yang terjadi selama penelitian adalah penyakit cacingan. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, penyakit cacingan ditandai dengan nafsu makan yang normal tetapi tidak diikuti dengan pertambahan bobot badan. Hal ini dimungkinkan penyebabnya adalah pemberian rumput yang masih basah dan diduga terdapat larva cacing yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaan. Pengobatan dilakukan dengan pemberian obat cacing merk Apridazol yang berbentuk cair. Pemberian dilakukan melalui mulut domba dengan menggunakan suntikan. Selain itu, ternak juga diberikan vitamin B kompleks yang diberikan dengan cara dicampurkan ke dalam air minum.

Sifat Fisik Daging

Faktor yang ikut menentukan kelezatan dan daya terima daging yang dikonsumsi antara lain adalah pH daging, daya ikat air oleh protein daging (DMA),

keempukan, bau, dan kadar jus atau cairan daging. Dalam penelitian yang telah dilakukan, sifat fisik yang diteliti adalah daya mengikat air (DMA), keempukan, pH, dan susut masak. Hasil rataan sifat fisik domba penelitian yang telah diolah dengan uji Tukey dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Hasil Sifat Fisik Domba Penelitian

Peubah Genotipe Rata-rata MM MN

pH 5,444 ± 0,153 5,471 ± 0,145 5,4575 ± 0,149 DMA (%) 40 ± 5,28 37 ± 2,23 38,5 ± 3,755 Keempukan (kg/cm2) 2,642 ± 0,625 3,210 ± 0,7 2,926 ± 0,6625 Susut Masak (%) 46,10 ± 3,49 45,49 ± 3,87 45,795 ± 3,68

Hasil rataan sifat fisik domba penelitian yang diperoleh dengan uji Tukey adalah tidak berbeda pada pH, DMA, keempukan, dan susut masak. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe MM dan MN tidak menunjukkan penampakan yang berbeda. Genotipe MM adalah gen calpastatin yang bisa terpotong sempurna oleh enzim Msp1 menjadi dua fragmen dengan ukuran 336 dan 286 panjang basa (pb). Genotipe MN adalah gen calpastatin yang ditunjukkan dengan tiga fragmen yaitu 622, 336, dan 286 panjang basa (pb), sedangkan genotipe NN ditunjukkan dengan satu pita fragmen berukuran 622 panjang basa (pb) (Sumantri et al., 2008). Gen

calpastatin domba lokal bersifat polimorfik pada semua populasi domba lokal, kecuali domba Rote. Tipe genotipe calpastatin pada domba Rote semuanya adalah NN atau monomorfik.

Rataan hasil uji fisik domba penelitian pada daya mengikat air tidak berbeda dengan hasil penelitian dari Sarjito (2010) 37,52±1,33(%), yaitu 38,5 ± 3,755%. Daging dengan DMA lebih tinggi mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan dengan DMA yang rendah. Tingginya DMA pada daging menyebabkan keempukan daging meningkat dan menurunkan susut masak daging, sehingga kehilangan nutrisi lebih rendah (Arnim, 1996). Daya Mengikat air sangat dipengaruhi oleh pH daging. Menurut Soeparno (2005), apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0 - 5,1) maka nilai DMA daging

Menuurt Soeparno (2005), pH ultimat adalah pH yang tercapai setelah glikogen menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. Perubahan pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air (DMA), kesan jus, keempukan, warna, dan susut masak daging. Forrest et al., 2001 menyatakan laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6 – 5,7 dalam waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir (umumnya setelah 24 jam pemotongan) sekitar 5,3 – 5,7. Pola pH ini adalah normal. (2) Nilai pH menuurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap (relatif tinggi), serta mencapai pH akhir sekitar 6,5 – 6,8. Sifat daging yang dihasilkan gelap (dark), keras (firm), dan kering (dry), sehingga disebut daging DFD. (3) Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5,4 – 5,5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4 – 5,6. Sifat daging yang dihasilkan pucat (pale), lembek (soft), dan berair (exudative), sehingga disebut daging PSE. Rataan hasil uji fisik pada pH terdapat perbedaan, yaitu hasil dari Sarjito (2010) adalah 5,99±0,11 dan hasil penelitian 5,4575±0,149. Nilai pH yang diperoleh pada hasil penelitian masuk ke dalam pH normal. Sedangkan hasil dari Sarjito (2010) sedikit di atas normal.

Rataan hasil uji fisik pada keempukan berbeda dengan hasil dari penelitian Sarjito (2010), yaitu 5,44±0,28. Aberle et al., (1981) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan. Ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Hasil penelitian Duldjaman (1989) menunjukkan bahwa domba lokal yang diberi pakan tambahan ampas tahu menghasilkan daging yang lebih empuk daripada domba yang diberi rumput. Nilai shear force otot Longisimus Dorsi domba yang diberi pakan tambahan ampas tahu adalah 2,48 sedangkan domba yang diberi pakan rumput adalah 3,83.

Kriteria keempukan menurut Suryati et al., (2008) berdasarkan panelis yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Blatzler) < 3,30 kg/cm2, daging empuk 3,30 - 5 kg/cm2, daging agak empuk 5 - 6,71

kg/cm2, daging agak a lot 6,71 - 8,42 kg/cm2, daging alot 8,42 - 10,12 kg/cm2, dan daging sangat alot > 10,12 kg/cm2. Jika melihat batasan-batasannya, maka hasil penelitian menunjukkan daging domba sangat empuk dengan nilai keempukan 2,926±0,6625. Hasil dari Sarjito (2010) adalah 5,44±0,28 dan jika melihat batasan- batasannya maka daging domba penelitian Sarjito termasuk dalam daging agak empuk.

Rataan hasil uji fisik pada susut masak adalah 45,79533 ±3,68%, sedangkan hasil dari Sarjito 2010 adalah 31,8633 ±0,28%. Nilai susut masak yang tinggi mencerminkan jumlah air yang hilang dari daging selama proses perebusan. Menurut Ranken (2000), proses pemanasan dengan suhu 50 - 60°C dapat menyebabkan kehilangan air sampai 80% dan pemanasan pada suhu yang lebih tinggi akan mengakibatkan kehilangan air yang lebih tinggi juga. Widiati et al. (2002) menambahkan bahwa pengeluaran cairan daging disebabkan terjadinya pengerutan otot Selama proses pemasakan dan pemanasan. Pengerutan otot yang terjadi selama proses pemanasan inilah yang mengakibatkan nilai putus Warner Blatzler (WB) semakin tinggi, yang berarti daging semakin alot dan semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging. Berdasarkan Widiati et al. (2002), dengan susut masak yang lebih besar seharusnya nilai putus WB hasil penelitian lebih besar dibandingkan dengan hasil dari Sarjito (2010) dengan susut masak yang lebih kecil. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan hasil adalah perbedaan otot yang digunakan sebagai sampel pengujian, dimana Sarjito (2010) menggunakan otot

longisimus dorsi (LD) sedangkan pada penelitian menggunakan otot biceps femoris

(BF).

Sifat Kimia Daging

Sifat kimia adalah sifat yang terkandung dalam daging dan untuk mengetahuinya perlu dilakukan pengujian di laboratorium. Pengujian ini berbeda- beda tergantung kandungan apa yang ingin diketahui. Dalam penelitian dilakukan pengujian untuk mengetahui kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat. Hasil rataan sifat kimia domba penelitian yang telah diolah dengan uji Tukey dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Hasil Sifat Kimia Domba Penelitian

Peubah Genotipe Rata-rata

MM MN Kadar Air (%) 73,33 ± 7,36 78,08 ± 0,778 75,705 ± 4,069 Protein (%) 24,09 ± 7,55 17,53 ± 1,17 20,81 ± 4,36 Lemak (%) 1,260 ± 0.943 0,80 ± 0,763 1,03 ± 0,853 Abu (%) 1,010 ± 0,142 0,905 ± 0,182 0,9575 ± 0,162 Karbohidrat (%) 0,714 ± 0,412 2,68 ± 1,45 1,697 ± 0,931

Sumber : Lab. Ilmu dan Nutrisi Ternak

Hasil rataan sifat kimia domba penelitian yang diperoleh dengan uji Tukey adalah tidak berbeda pada kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat. Air merupakan bahan penting untuk kehidupan manusia. Selain itu, air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampilan, tekstur, dan citarasa dari makanan yang kita makan. Kadar air dalam makanan juga ikut menentukan daya terima konsumen, kesegaran, dan daya tahan dari suatu bahan pangan (Winarno, 1997). Kandungan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan water activity (Winarno, 1995). Rataan hasil uji kimia pada kadar air adalah 75,705± 4,069%, sedangkan pada hasil penelitian Astuti (2006) adalah 64,38%. Hasil yang diperoleh pada penelitian tidak berbeda dengan hasil menurut Fennema (1985), yaitu 73%.

Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karohidrat dan lemak. Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion, 1995). Rataan hasil uji kimia pada kadar protein adalah 20,81±4,36%, sedangkan hasil dari Astuti (2006) adalah 21,29. Kedua hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil menurut Fennema (1985) yang menyatakan kadar protein daging domba adalah 20%.

Lemak merupakan zat gizi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak merupakan sumber energi yang efisien karena menghasilkan kalori

lebih tinggi dibanding protein dan karbohidrat. Selain itu, lemak juga berfungsi untuk memberi rasa gurih, pelarut vitamin A, D, E, dan K serta memperbaiki tekstur dan citarasa bahan pangan. Lemak merupakan senyawa yang terbentuk dari asam lemak dan gliserol yang tersusun oleh unsur C, H, dan O (Nasoetion, 1995). Lemak dalam tubuh berfungsi sebagai sumber energi bagi sel, sedangkan lemak di dalam bahan pangan merupakan unsur pokok yang mampu meningkatkan keempukan pangan, memperbaiki tekstur, dan citarasa dalam pangan (Aberle et al., 2001). Rataan hasil uji kimia pada kadar lemak adalah 1,03±0,853, sedangkan hasil dari Astuti (2006) adalah 9,27%. Hasil yang diperoleh Astuti (2006) lebih tinggi dibandingkan hasil dari Fennema (1985). Kadar lemak dalam daging juga berbanding lurus dengan umur. Artinya semakin tua ternak domba maka kadar lemaknya dapat diperkirakan lebih tinggi dan apabila umurnya lebih rendah maka kadar lemaknya juga diperkirakan lebih rendah. Hasil yang diperoleh pada penelitian sangat kecil apabila dibandingkan dengan hasil yang dinyatakan Fennema (1985), yaitu 5 – 6%. Hal ini dikarenakan sampel yang digunakan pada penelitian adalah otot yang telah dipisahkan dari lemak intermuscular atau lemak yang memisahkan satu otot dengan otot yang lain. Lemak yang terkandung dalam sampel penelitian hanya lemak

intramuscular atau lemak dalam daging yang biasa disebut marbling.

Kadar abu dalam daging pada umumnya terdiri atas kalsium, fosfor, sulfur, sodium, klorin, magnesium, dan besi (Price dan Schweigert, 1971). Kadar abu dalam daging umumnya bervariasi yang dipengaruhi oleh kandungan protein dan lemak (Aberle et al., 2001). Rataan hasil uji kimia pada kadar abu adalah 0,9575±0,162%, sedangkan hasil dari Astuti (2006) adalah 1,81%. Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar abu pada domba adalah 1,6%. Hasil dari penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil Fennema (1985) dan hasil dari Astuti (2006) lebih tinggi dari hasil Fennema (1985).

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi hampir seluruh penduduk dunia. Karbohidrat terdiri dari unsur-unsur C, H, dan O yang pada umumnya mempunyai rumus kimia Cn(H2O)n. Kurang lebih 80% energi yang diperoleh tubuh menusia berasal dari karbohidrat (Nasoetion et al., 1995). Karbohidrat pada daging umumnya terdapat dalam bentuk glikogen dengan jumlah yang sangat kecil dan biasanya terdiri dari kompleks polisakarida serta banyak diantaranya yang berkaitan

dengan protein (Price dan Schweigert, 1971). Rataan hasil uji kimia pada karbohidrat adalah 1.697±0.931%, sedangkan hasil dari Astuti (2006) adalah 3,25%. Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar karbohidrat domba adalah 0,4%. Hasil penelitian dan Astuti (2006) lebih besar dibandingkan hasil Fennema (1985). Menurut Soeparno (2005), kadar karbohidrat pada domba adalah 1%.

Dokumen terkait