SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING DOMBA LOKAL ASAL UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL
(UP3J) PADA GENOTIPE CALPASTATIN YANG BERBEDA
P SKRIPSI P DARI SAPUTRA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
Dari Saputra. D14061290. 2012. Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba Lokal Asal Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J) pada Genotipe Calpastatin yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahyu, M.Si.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Karkas merupakan produk utama usaha peternakan ternak potong. Karkas dipotong menurut potongan komersialnya. Selain karkas, masih ada juga bagian non karkas yang dapat dimakan. Pada umumnya, pengukuran kualitas karkas dari suatu ternak dilakukan setelah ternak tersebut dipotong. Namun kemajuan dalam bidang biologi molekuler memungkinkan upaya tersebut dapat dilakukan sebelum ternak dipotong yaitu dengan identifikasi DNA, dengan cara mencari keragaman gen yang mengontrol sifat ekonomis. Calpastatin merupakan sebuah gen yang berfungsi untuk menghambat degradasi protein sel-sel otot. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia daging domba jonggol pada genotipe calpastatin yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret sampai Oktober 2010 di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil dan Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan ternak domba ekor tipis jantan yang berasal dari Jonggol sebanyak sembilan ekor dengan bobot rata-rata 21,41±2,35 kg saat dipotong. Perlakuan terdiri atas dua macam genotipe calpastatin, yaitu genotipe MM dan MN dengan ulangan lima dan empat kali. Peubah yang diamati adalah daya mengikat air, pH, susut masak, keempukan, kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan kadar karbohidrat. Data dianalisis dengan uji Tukey.
Hasil penelitian menunjukkan genotipe MM dan MN tidak berbeda pada hasil uji sifat fisik dan kimia daging domba. Rataan nilai hasil uji pH adalah 5,4575±0,149, daya mengikat air 38,5±3,755, keempukan 2,926±0,6625, dan susut masak 45,795±3,68. Rataan nilai hasil uji kadar air adalah 75,705±4,069, protein 20,81±4,36, lemak 1,03±0,853, abu 0,9575±0,162, dan karbohidrat 1,697±0,931.
ABSTRACT
Physical and Chemical Properties of Local Sheep Meat from Education and Research Unit of Jonggol (UP3J) in Different
Genotype Calpastatin
Saputra, D., S. Rahayu, and C. Sumantri
Carcass is the main product in sheep fattening business. Carcass were cut into commercial pieces. Generally, carcass’s quality determine after the animal slaughtered. However, advances in molecular biology allow these methods can be done before the animal slaughter, such as identification of DNA, by looking for genes diversity that control of economic value. Calpastatin is the spesific inhibitor of µ- and m-calpain. Calpastatin activities related with the rate of postmortem proteolysis and tenderness. The increase of calpastatin activities has an effect to increase muscle mass and decrease meat tenderness. Calpastatin used as an indicator for selection of livestock that have a high carcass quality. The aims of this research is identify physical and chemical properties of representative sheep meat on a different calpastatin genotypes. Biceps femoris in leg (commercial pieces) used as sample. Samples were taken by separating the fat, meat, and bones. Tukey’s test used as experimental design with two genotypes (MM and MN). Result showed MM and MN’sgenotype didn’t have differences on physical and chemical properties of sheep meat.
SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING DOMBA LOKAL ASAL UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL
(UP3J) PADA GENOTIPE CALPASTATIN YANG BERBEDA
DARI SAPUTRA D14061290
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul Skripsi : Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba Lokal Asal Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) pada Genotipe
Calpastatin yang Berbeda
Nama : Dari Saputra
NIM : D14061290
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Ir. Sri Rahayu, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19570611 198703 2 001 NIP: 19591212 198603 1 004
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19591212 198603 1 004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sawit Permai, Siak Sri Indrapura - Riau pada tanggal 28
Februari 1988 dari pasangan Suhari dan Julaeha. Penulis merupakan anak kedua dari
3 bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2000, Sekolah
Menengah Pertama selesai pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas selesai
pada tahun 2006. Selanjutnya penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Di tahun 2007 penulis diterima di Fakultas
Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) voli. Penulis juga pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Produksi
Peternakan (HIMAPROTER), anggota di divisi infokom, dan panitia di beberapa
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puja, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT, atas limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhitung dan tak
ternilai jumlahnya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, ulama, dan juga kepada kita semua sebagai pengikutnya yang taat hingga akhir zaman nanti.
Skripsi dengan judul “Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba Lokal Asal Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J) pada Genotipe Calpastatin yang Berbeda” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perbedaan sifat fisik dan kimia daging domba pada gen calpastatin
yang berbeda. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan tambahan
informasi bagi kalangan akademisi dan praktisi untuk meningkatkan kemampuan dan
produktifitas sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, masih banyak
terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi dunia pendidikan dan
peternakan.
Bogor, Februari 2012
Prosedur ... 16
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
Keadaan Umum Penelitian ... 25
Sifat Fisik Daging ... 26
Sifat Kimia Daging ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
Kesimpulan ... 33
Saran ... 33
UCAPAN TERIMA KASIH ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
LAMPIRAN ... 39
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi Kimia Daging dari berbagai Spesies Ternak………... 10
2. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria Humidicola, Umbi Ubi
Jalar, dan Konsentrat………. 26
3. Rataan Hasil Sifat Fisik Domba Penelitian………... 27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Potongan Komersil Karkas Domba ... 6
2. Alat Pompa Tekanan ... 19
3. Warner Blatzer ... 20
4. pH Meter ... 20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Uji Tukey Kualitas Fisik Daging dengan Minitab 14 ... 40
PENDAHULUAN Latar Belakang
Peningkatan populasi penduduk, tingkat kesejahteraan, dan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya protein hewani menyebabkan meningkatnya
permintaan sumber protein hewani yang berupa daging. Jumlah konsumsi daging
domba pada tahun 2008 mencapai 51.894 ton dari jumlah konsumsi protein hewani
lainnya dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan daging yang cukup
besar tersebut belum dapat dipenuhi dari produksi daging domba dalam negeri,
meskipun jumlah populasi ternak domba sebesar 10,91 juta ekor dan dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan (Dirjennak, 2010). Oleh karena itu diperlukan
suatu usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak menjadi lebih baik dengan cara
perbaikan mutu genetik domba lokal yang ada di Indonesia, salah satunya yaitu
domba ekor tipis. Keunggulan dari domba ekor tipis adalah bersifat prolifik, beranak
sepanjang tahun dan mudah beradaptasi dengan baik di lingkungan setempat, namun
domba ekor tipis ini mempunyai kelemahan, yaitu produksi karkas yang dihasilkan
masih rendah.
Peningkatan mutu genetik domba ekor tipis dapat dilakukan dengan cara
seleksi. Kemajuan dalam bidang biologi molekuler memungkinkan upaya seleksi
dapat dilakukan pada tingkat DNA, yaitu dengan cara mencari keragaman gen yang
mengontrol sifat ekonomis, salah satunya gen calpastatin. Calpastatin merupakan
sebuah gen yang berfungsi untuk menghambat degradasi protein sel-sel otot.
Peningkatan aktivitas calpastatin menyebabkan terjadinya pertambahan massa otot
dan penurunan keempukan daging. Keragaman gen calpastatin diduga terkait dengan
sifat pertumbuhan domba lokal.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat fisik dan kimia daging
domba lokal asal Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J) pada genotipe
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba
Domba domestikasi termasuk golongan hewan-hewan bertulang belakang,
menurut Blakely dan Bade (1998) klasifikasi domba adalah sebagai berikut:
Sub Kingdom : Vertebrata
Klass : Mammalia
Ordo : Ungulata
Sub-ordo : Artiodactyla
Section : Pecora
Familia : Bovidae
Sub-familia : Caprinae
Genus : Ovis
Species : Ovis aries
Domba merupakanhewan yang hampir tidak memiliki insting untuk
mempertahankan diri, serta begitu besar ketergantungannya pada manusia. Tidak
seperti hewan-hewan yang lain, domba mempunyai kecenderungan untuk cepat
menyerah terhadap tekanan yang dialaminya. Domba menghasilkan dua produk
utama yaitu daging dan wool. Cara seleksi untuk domba bervariasi, tergantung pada
tujuan pemanfaatan domba itu. Pada kelas-kelas untuk tujuan dipotong, domba
jantan dewasa (jantan kastrasi sebelum mencapai masa kelamin) adalah yang paling
umum diperbandingkan, meski yang betinapun dapat pula diperbandingkan (Blakely
dan Bade, 1991).
Gigi merupakan bagian tubuh ternak yang berada di rongga mulut yang
berguna untuk mengunyah makanan. Ternak juga sama halnya dengan manusia,
yaitu mempunyai gigi yang membantu dalam proses pencernaan pakan. Pada ternak
domba ada hal yang unik, yaitu gigi mengalami perubahan secara terus-menerus
dengan suatu karakteristik tertentu. Gigi pada domba dapat digunakan untuk
menduga umur domba jika tidak ada catatan produksi ataupun data kelahiran dari
ternak domba yang ingin diketahui umurnya (Frandson, 1992).
Frandson (1992) menyatakan bahwa pendugaan umur pada domba dapat
dilakukan dengan memperhatikan perubahan pada gigi seri domba. Perubahan gigi
seri sentral, domba berumur 1 hari – 1 minggu; (2) sepasang gigi seri susu lateral,
domba berumur 1 – 2 minggu; (3) sepasang gigi seri susu intermedial, domba
berumur 2 – 3 minggu; (4) sepasang gigi seri susu sudut, domba berumur 3 – 4
minggu; (5) sepasang gigi seri susu sentral digantikan oleh sepasang gigi seri
permanen, domba berumur 1 – 1,5 tahun; (6) sepasang gigi seri susu lateral
digantikan sepasang gigi seri permanen lateral, domba berumur 1,5 – 2,5 tahun; (7)
sepasang gigi seri susu intermedial digantikan sepasang gigi seri permanen
intermedial, domba berumur 2,5 – 3,5 tahun; (8) sepasang gigi seri sudut digantikan
sepasang gigi seri permanen sudut, domba berumur 3,5 – 4 tahun.
Domba Lokal
Menurut Subandriyo dan Djajanegara (1996) domba lokal terdiri atas dua
bangsa yaitu domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Asal-usul domba ini tidak
diketahui dengan pasti. Namun diduga berasal dari India dan domba ekor gemuk
berasal dari Asia Barat.
Domba lokal Jonggol merupakan domba ekor tipis silangan dengan domba
Garut secara acak. Domba Jonggol telah dipelihara dengan sistem manajemen
penggembalaan sejak tahun 1980 di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan
Jonggol (UP3J) Fapet - IPB dan terseleksi secara alami untuk lingkungan panas dan
kering. Domba Jonggol jantan dewasa mempunyai bobot tubuh sebesar 34,9 kg,
sedangkan bobot tubuh domba betina sebesar 26,1 kg (Sumantri et al., 2007). Bobot
tubuh domba Jonggol lebih tinggi bila dibandingkan sejumlah domba lokal lainnya,
misalnya bila dibandingkan dengan bobot tubuh dewasa jantan dan betina dari
domba Donggala (24,0 dan 25,3 kg), Kisar (25,8 dan 18,9 kg), dan Rote (27,9 dan
20,3 kg), tetapi hampir sama dengan bobot dewasa domba jantan dan betina dari
Sumbawa (33,8 dan 26,9 kg).
Domba ekor tipis mempunyai karakteristik reproduksi yang spesifik, yang
dipengaruhi oleh gen Prolifikasi dan dapat beranak sepanjang tahun (Subandriyo dan
Djajanegara, 1996). Bobot karkas domba ekor tipis adalah 41,11 – 44% (Adiwinarti,
1999). Domba ekor tipis ini memiliki tubuh yang kecil, untuk domba jantan dewasa
15 - 20 kg. Domba ekor tipis memiliki warna dominan putih dan terdapat belang
melengkung, sedangkan domba betina biasanya tidak bertanduk. Domba ekor tipis
mempunyai telinga ukuran sedang dan wool yang kasar (Mason, 1980). Menurut
Permana (2003), domba ekor tipis memiliki resistensi yang tinggi terhadap cacing
Haemoncus contortus.
Ubi Jalar
Tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) diduga berasal dari benua Amerika,
tetapi para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar
adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar mulai
menyebar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara beriklim tropis pada abad
ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina,
Jepang, dan Indonesia. Cina merupakan penghasil ubi jalar terbesar mencapai 90%
(rata-rata 114,7 juta ton) dari yang dihasilkan dunia (FAO, 2004).
Menurut Yufdy et al., (2006) varietas ubi jalar cukup banyak, namun baru
142 jenis yang sudah diidentifikasi oleh para peneliti. Varietas yang digolongkan
sebagai varietas unggul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) berdaya
hasil tinggi, di atas 30 ton/hektar, b) berumur pendek (genjah) antara 3 - 4 bulan, c)
rasa ubi enak dan manis, d) tahan terhadap hama penggerek ubi (Cylas sp) dan
penyakit kudis oleh cendawan Elsinoe sp, e) kadar karoten tinggi di atas 10 mg/100
g, dan f) keadaan serat ubi relatif rendah. Beberapa varietas unggul yang telah
dilepaskan ke lapangan memiliki umur yang berbeda, demikian juga dengan
ketahanan terhadap hama boleng (kumbang Cylas formicarius).
Secara fisik,kulit ubi jalar lebih tipis dibandingkan kulit ubi kayu dan
merupakan umbi dari bagian batang tanaman. Warna kulit ubi jalar bervariasi dan
tidak selalu sama dengan warna umbi. Warna daging umbinya bermacam-macam,
dapat berwarna putih, kuning, jingga kemerahan, atau keabuan.Demikian pula bentuk
umbinya seringkali tidak seragam (Syarief dan Irawati, 1988).
Daging
Daging menurut SNI-01-3947-1995 merupakan urat daging yang melekat
pada kerangka kecuali urat daging dari bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari
hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Menurut
olahannya yang baik untuk dimakan dan tidak menganggu kesehatan bagi yang
mengonsumsinya.
Daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan,
sering juga diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot,
dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging (Aberle et al., 2001)
dan (Lawrie, 2003). Soeparno (1998) menyatakan bahwa otot hewan berubah
menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot
merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan
ikat, epithelial, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah, dan lemak.
Menurut Soeparno (2005), daging didefinisikan sebagai semua jaringan
hewan dan semua produk hasil pengolahan yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging adalah komponen
utama karkas. Karkas tersusun dari lemak jaringan adipose, tulang, tulang rawan,
jaringan ikat dan tendon. Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri
kualitas dan kuantitas daging. Daging domba memiliki serat yang lebih halus
dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, berwarna merah
muda, konsistensinya cukup tinggi, dan lemaknya terdapat dibawah kulit yaitu antara
otot dan kulit.
Karkas
Karkas adalah bagian dari tubuh ternak setelah dipisahkan dari darah, saluran
pencernaan, saluran urin, jantung, limpa, hati, dan jaringan-jaringan lemak yang
melekat pada bagian-bagian tersebut ( Lawrie, 1995). Soeparno (1994) karkas adalah
berat semua bagian tubuh dari ternak setelah pemotongan dikurangi dari carpus dan
tarsus sampai kebawah kulit.
Karkas domba dapat dibedakan berdasarkan berat, umur domba, jenis
kelamin dan tingkat perlemakan. Tingkat keempukan dari daging domba dapat
dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging, pembekuan dan metode pemasakan
(Gatenby, 1991). Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot dan kondisi
ternak, bangsa, proporsi bagian-bagian non-karkas dan ransum serta umur, jenis
kelamin dan pengebirian (Devendra dan Burns, 1994).
merupakan faktor yang penting diperhatikan untuk memperoleh bobot karkas yang
tinggi dari seekor ternak. Ternak membutuhkan makanan sejak dalam kandungan
untuk tumbuh dan berkembang menjadi foetus dan dilahirkan, kemudian
tumbuh menjadi dewasa. Bentuk grafik pertumbuhan ternak ditentukan oleh jumlah
makanannya (Tillman et al., 1991). Bila jumlah makanan yang dikonsumsi tinggi,
maka pertumbuhan akan cepat bagi ternak untuk mencapai bobot badan yang
diharapkan serta bobot karkas yang maksimal sesuai dengan potensi genetiknya
(Sitorus dan Subandriyo, 1982). Jumlah makanan dan mutu makanan yang baik tidak
dapat mengubah tubuh ternak secara genetik bertubuh kecil, tetapi pemberian
makanan dalam jumlah yang rendah tidak akan mampu memberikan pertambahan
bobot badan dan pertumbuhan karkas secara optimal sesuai dengan potensi genetik
yang ada pada masing-masing ternak seperti kecepatan tumbuh dan persentase
karkas yang tinggi. Hal tersebut hanya mungkin dapat terealisasi apabila ternak
tersebut dapat memperoleh makanan yang cukup (Rismaniah et al., 1989).
Potongan Komersil Karkas
Karkas dapat dibagi dalam bentuk potongan karkas (yield grade). Potongan
komponen karkas berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan sistem
pemotongan untuk dijual dan kebiasaan masyarakat dalam memilih depot
perdagingan pada karkas.
Gambar 1. Potongan Komersil Karkas domba (Salim, 1988)
Besarnya bobot komponen karkas dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin,
laju pertumbuhan, berat potong, dan perlakuan pakan. Menurut Gaili dan Mahgoub
(1983) bahwa berat Shoulder dan Neck domba jantan lebih tinggi dari pada betina
sedangkan bagian karkas lainnya tidak berbeda. Makanan sangat berpengaruh
terhadap komponen karkas. Salim (1988) menyatakan bahwa pada ruminansia kecil
yang diberi makanan yang bernilai gizi rendah berpengaruh terhadap proporsi bagian
ekor, leher, Lemusir, Pelvis, bahu, dada dan paha. Pengaruh yang paling besar bagi
makanan yang bernilai gizi rendah adalah menurunkan bobot pada bagian
dada, Lemusir dan Pelvis.
Ruminansia kecil lebih cenderung untuk menghasilkan perlemakan.
Perletakan lemak lebih banyak dijumpai pada pangkal ekor dan tungging (rump) lalu
menyebar sepanjang punggung sampai ke leher dilanjutkan ke sekeliling karkas dan
berakhir pada bagian kaki. Menurut Salim (1988), kecepatan pertumbuhan urat
daging pada berbagai lokasi adalah berbeda. proporsi urat daging yang tinggi ada
pada potongan paha, menyusul pada potongan bahu, sedangkan potongan dada dan
lemusir memiliki proporsi urat daging yang lebih kecil.
Sifat Fisik Daging
Istilah daging segar digunakan dalam konteks khusus untuk menyebutkan
produk yang belum mengalami perubahan kimia dan fisik setelah penyembelihan
tetapi hanya mengalami pengolahan minimal, misalnya pembekuan (freezing). Sifat
daging segar sendiri sangat berguna untuk penjual, untuk ditampilkan ke pembeli
atau konsumen, dan kesesuaiannya untuk pengolahan lebih lanjut. Hal yang penting
adalah daya mengikat air (water-holding capacity), warna, struktur, kealotan
(firmness), dan tekstur (Aberle et al., 2001).
Daya Mengikat Air (DMA) Daging
Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water
binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1998).
Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak,
Daya mengikat air (DMA) dipengaruhi oleh pH. Selain itu daya mengikat air
juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air
diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi dan
temperatur kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan,
perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuscular (Soeparno, 1998).
Air yang terikat didalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air,
yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan
monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai kedua dari molekul air
terhadap group hidrofilik sebesar 4%, dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein
bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas
diantara molekul protein berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan
pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh
denaturasi ptrotein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein
daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1998).
Periode pembentukan asam laktat yang menyebakan penurunan pH otot post
mortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein
otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik (5,0-5,1) protein
myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang
diantara filament-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP
(Adiphosa Triphospat) serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigor
mortis menyebabkan penurunan DMA. Dua pertiga dari penurunan DMA otot adalah
karena pembentukan aktomiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor, dan
sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Soeparno, 1998).
Keempukan Daging
Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan
ternyata dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003).
Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging,
yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan
jaringan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta juiciness daging
(Soeparno, 1998).
Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan
Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).
Jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih
banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya
terlihat lebih kasar, sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat
halus (Natasasmita et al., 1994).
Umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang
dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi yang
baik dan penanganan yang baik, dapat menghasilkan daging yang lebih empuk
dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak yang lebih muda namun
mendapatkan nutrisi dan penanganan yang jelek. Dengan nutrisi dan penanganan
yang baik, maka otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga jumlah
kolagen per satuan luas otot akan lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak
yang mendapat nutrisi yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan
akan lebih empuk (Bouton et al., 1978).
Susut Masak Daging
Susut masak daging yaitu perbedaan antara bobot daging sebelum dan
sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi
dari temperatur dan lama dari pemasakannya. Susut masak dapat dipengaruhi oleh
pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi
myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang melintang daging
(Soeparno, 1998).
Menurut Soeparno (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada
bermacam-macam seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot
yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang
serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan
bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan
perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mempunyai pengaruh
yang kecil terhadap susut masak, berat potong mempengaruhi susut masak terutama
bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga
Nilai pH Daging
Otot yang mengalami penurunan pH yang sangat cepat akan menjadi pucat
dan permukaannya tampak sangat basah. Di sisi lain, otot yang mempunyai pH tinggi
selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya,
dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001).
Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis post
mortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah
5,4-5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan
tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim
yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi
daging. Suatu kenaikan pH daging akan meningkatkan juiciness dan daya mengikat
air serta menurunkan susut masak otot semi membranosus dan longissimus dorsi
domba secara linier (Soeparno, 1998).
Bila ternak yang akan di potong mengalami cukup masa istirahat, maka
cadangan glikogen dalam otot akan cukup tinggi (Lawrie, 1995). Dikemukakan juga
bahwa glikogen yang tinggi dalam otot, akan diubah melalui proses glikolisis
menjadi asam laktat. Bila asam laktat yang terbentuk cukup banyak, maka pH daging
akan rendah dan mikroorganisme tidak akan tumbuh dan daging akan lebih awet.
Sifat Kimia Daging
Komposisi kimia daging bervariasi di antara spesies, bangsa, dan individu
ternak. Komposisi kimia daging dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan
termasuk di dalamnya faktor nutrisi. Pada Tabel 1 dapat dilihat komposisi kimia
daging dari ternak sapi, ayam, domba, dan babi.
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging dari berbagai Spesies Ternak
Spesies Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%)
Sapi 70 – 75 20 – 22 4 – 8 1
Ayam 73.7 20 – 23 4.7 1
Domba 73 20 5 – 6 1.6
Babi 68 – 70 19 - 20 9 - 11 1.4
Kadar Air
Air merupakan bahan yang penting untuk kehidupan manusia. Selain itu, air
juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampilan, tekstur, dan citarasa dari makanan yang kita makan.
Kadar air dalam makanan juga ikut menentukan daya terima konsumen, kesegaran,
dan daya tahan dari suatu bahan pangan (Winarno, 1997). Kandungan air dalam
bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang
dinyatakan dengan water activity (Winarno, 1995).
Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin tinggi kadar lemak,
maka kadar airnya semakin rendah. Apabila kadar lemak rendah, maka kadar airnya
akan tinggi (Gaman dan Sherrington, 1981). Kadar air dalam pangan akan
berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya dan sangat erat kaitannya dengan daya awet
bahan pangan tersebut (Lawrie, 2003).
Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar air dalam daging domba adalah
sebesar 73%. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar air dalam daging domba
adalah 59,8%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa kandungan air
dalam daging domba adalah 66,3%, sedangkan USDA (2007) menyatakan
kandungan air dalam daging domba adalah 75,84%.
Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena
disamping berfungsi sebagai bahan bakar, protein juga berfungsi sebagai pembangun
dan pengikat (Winarno, 1997). Protein adalah sumber asam amino yang mengandung
C, H, O, dan N. Selain itu juga mengandung fosfor dan belerang seperti besi dan
tembaga.
Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan
jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi
apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karohidrat dan lemak.
Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam
tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion,
1995).
domba adalah 16,7%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa
kandungan protein dalam daging domba adalah 17,1%, sedangkan USDA (2007)
menyatakan kandungan protein dalam daging domba adalah 20,60%.
Lemak
Lemak merupakan zat gizi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh
manusia. Lemak merupakan sumber energi yang efisien karena menghasilkan kalori
lebih tinggi dibanding protein dan karbohidrat. Selain itu, lemak juga berfungsi untuk
memberi rasa gurih, pelarut vitamin A, D, E, dan K serta memperbaiki tekstur dan
citarasa bahan pangan.
Lemak merupakan senyawa yang terbentuk dari asam lemak dan gliserol yang
tersusun oleh unsure C, H, dan O (Nasoetion, 1995). Lemak dalam tubuh berfungsi
sebagai sumber energi bagi sel, sedangkan lemak di dalam baha pangan merupakan
unsure pokok yang mampu meningkatkan keempukan pangan, memperbaiki tekstur,
dan citarasa dalam pangan (Aberle et al., 2001).
Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar lemak dalam daging domba adalah
sebesar 5 – 6 %. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar lemak dalam daging
domba adalah 22,4%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa
kandungan lemak dalam daging domba adalah 14,8%, sedangkan USDA (2007)
menyatakan kandungan lemak dalam daging domba adalah 2,31%.
Abu
Kadar abu dalam daging pada umumnya terdiri atas kalsium, fosfor, sulfur,
sodium, klorin, magnesium, dan besi (Price dan Schweigert, 1971). Kadar abu dalam
daging umumnya bervariasi yang dipengaruhi oleh kandungan protein dan lemak
(Aberle et al., 2001). Menurut Gaman dan Sherrington (1981), kadar abu dalam
daging domba adalah 0,7%. Daging olahan mengandung lebih banyak mineral yang
disebabkan karena penambahan bumbu-bumbu, garam, dan pengaruh dari metode
pemasakan (Soeparno, 2005). Tingginya kadar abu dapat disebabkan oleh adanya
pemberian rempah-rempah, garam, bahan pencampur, dan kesalahan pada saat
pengolahan (Sudarmadji et al., 1989).
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi hampir seluruh penduduk
mempunyai rumus kimia Cn(H2O)n. Kurang lebih 80% energi yang diperoleh tubuh
manusia berasal dari karbohidrat (Nasoetion et al., 1995).
Karbohidrat pada daging umumnya terdapat dalam bentuk glikogen dengan jumlah
yang sangat kecil dan biasanya terdiri dari kompleks polisakarida serta banyak
diantaranya yang berkaitan dengan protein (Price dan Schweigert, 1971).
Keragaman Gen Calpastatin
Jumlah kromosom sel diploid pada ternak domba adalah 54 (Noor, 2008).
Gen calpastatin terletak pada kromosom domba nomor 5 (Hediger et al., 1991),
sedangkan pada ternak sapi (Bos taurus) terletak pada kromosom nomor 7 (Kappes
et al., 1997). Gen calpastatin adalah gen yang berfungsi sebagai penghambat
(inhibitor) dalam sistem calpain. Gen calpastatin berfungsi untuk menghambat
degradasi protein sel-sel otot. Peningkatan aktifitas dari gen calpastatin
menyebabkan pertambahan massa otot (hypertrophy) dan penurunan keempukan
daging (Raynaud et al., 2005).
Gen calpastatin dengan simbol CAST terletak diantara dua penciri apit
mikrosatelit MCM527 dan BMS1247 pada posisi lokus 5q15 – q21 antara
96,057-96,136 Mb. Hasil analisis Quantitative Traits Loci (QTL) menunjukkan bahwa gen
calpastatin berasosiasi kuat dengan sifat pertumbuhan pada domba silang balik
antara DET dengan domba Merino (Margawati, 2005).
Palmer et al. (1998) melaporkan bahwa terdapat keragaman gen calpastatin
domba Dorset pada bagian ekson 1C, intron 1 dan ekson 1D (no.akses GenBank
AF016006 dan AF016007). Hasil pemotongan produk PCR dengan enzim restriksi
MspI dan NcoI menghasilkan dua alel, yaitu alel M dan N. Enzim restriksi MspI
menghasilkan produk 336 dan 286 bp sedangkan NcoI menghasilkan
potonganproduk 374 dan 248 bp. Beberapa penelitian serupa juga telah dilakukan
pada ternak sapi. Lonergan et al. (1995) menemukan keragaman DNA gen bovine
calpastatin pada lokus BamHI dan EcoRI. Chung et al. (1999) menemukan
keragaman gen calpastatin dengan metode PCR-SSCP. Primer yang didesain dari
domain I cDNA bovine calpastatin (nomor akses GenBank : L14450), berhasil
mengamplifikasi lokus CAST1 sepanjang 500 pb dan menghasilkan dua alel, yaitu
pertumbuhan sapi Angus jantan. Sapi Angus dengan genotipe BB mempunyai bobot
badan lebih tinggi dari pada sapi dengan genotipe AB dan AA.
Hubungan Antara Sistem Calpain-Calpastatin dengan Sifat Pertumbuhan Pertumbuhan adalah peningkatan ukuran tubuh dan perubahan komposisi
tubuh seiring dengan semakin bertambahnya umur anak domba. Sifat pertumbuhan
pada anak domba dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah
tingkat pemberian pakan, genotip, jenis kelamin, kesehatan dan manajemen
pemeliharaan (Gatenby, 1991). Pada tingkat sel pertumbuhan hewan ternak dapat
didefinisikan sebagai hyperplasia yaitu pertambahan jumlah sel melalui proses
mitosis, dan hypertropi yaitu bertambahnya ukuran atau volume sel-sel otot
(Hossner, 2005). Menurut Chung et al. (1999), kejadian hypertropi ini erat kaitannya
dengan sistem calpain-calpastatin yang terdapat dalam jaringan tubuh.
Calpain merupakan sebuah enzim proteolytic terkait dengan ion kalsium
(Ca2+), yang ada dalam dua bentuk, yaitu μ-calpain dan m-calpain. μ-calpain
merupakan calpain yang memerlukan ion Ca2+ dalam konsentrasi rendah, sedangkan
m-calpain merupakan calpain yang memerlukan ion Ca2+ dalam konsentrasi tinggi.
Calpain berfungsi untuk mendegradasi protein sel-sel otot (myofibril) di dalam
jaringan otot (Goll et al., 1992). Selanjutnya dinyatakan oleh Killefer dan
Koohmaraie (1993) bahwa aktivitas calpain dalam jaringan otot postmortem dapat
menyebabkan struktur protein sel otot menjadi lemah. Hal ini berakibat pada kualitas daging yang menjadi lebih empuk. Selain μ-calpain dan m-calpain, dalam sistem calpain juga terdapat calpastatin. Calpastatin ini merupakan inhibitor spesifik terhadap fungsi μ-calpain dan m-calpain. Morgan et al. (1993) melaporkan bahwa ketika aktivitas degradasi protein pada jaringan otot hewan hidup menurun, maka
aktivitas calpastatin meningkat.
Aktivitas calpastatin yang tinggi dapat ditemukan pada domba yang
mempunyai fenotipe callipyge. Kejadian hipertropi ini disebabkan oleh kandungan
DNA otot yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kapasitas sintesis protein otot.
Kejadian hipertropi terjadi setelah hewan dilahirkan, sehingga tidak menyebabkan
kesulitan beranak (dystocia). Selain itu hipertropi pada domba callipyge juga
disebabkan oleh menurunnya degradasi protein otot sebagai akibat dari
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil,
Laboratorium IPT Ruminansia Besar, dan Laboratorium Ilmu dan Nutrisi Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
Maret sampai Oktober 2010.
Materi Ternak
Ternak yang digunakan adalah domba lokal jantan umur satu setengah tahun.
Ternak sebanyak sembilan ekor dengan berat badan pada awal pemeliharaan sebesar
20,08 ± 2,30 kg dan pada akhir pemeliharaan sebesar 21,41 ± 2,35 kg. Domba
berasal dari Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J). Proses
pemeliharaan dilakukan selama tujuh bulan.
Data Genotipe
Data genotipe gen calpastatin MM dan MN yang digunakan merupakan data
yang sudah diperoleh pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan ternak yang
sama dari Laboratorium Genetik Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Pakan
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria
humidicola, kulit ubi jalar, dan konsentrat.
Obat-obatan
Untuk mencegah dan mengobati penyakit pada ternak selama pemeliharaan
diberikan obat cacing Apridazol dan juga vitamin B kompleks.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang individu dengan ukuran
125 x 50 x 150 cm dan setiap kandang terdiri dari dua ekor domba. Kandang
plastik. Peralatan yang digunakan selama penelitian antara lain timbangan pegas
dengan kapasitas 50 kg untuk menimbang bobot badan domba, karung bekas sebagai
penopang domba pada saat ditimbang, timbangan digital, pisau, chiller, gergaji
mesin pemotong karkas, bandsaw, dan scalpel.
Prosedur Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan selama tujuh bulan pada bulan Maret sampai
September 2010 di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil. Pakan yang
diberikan yaitu rumput Brachiaria humidicola sebanyak 2 kg/ekor/hari pada pagi dan
sore hari, serta kulit ubi jalar sebanyak 150 gram/ekor/hari yang diberikan pada siang
hari selama empat bulan pertama. Pada tiga bulan terakhir, pakan yang diberikan
adalah rumput Brachiaria humidicola sebanyak 2 kg/ekor/hari pada pagi dan sore
hari, serta konsentrat sebanyak 150 gram/ekor/hari yang diberikan pada siang hari.
Pakan yang diberikan sekitar 10% dari bobot badan domba. Rumput Brachiaria
humidicola ditempatkan dalam tempat pakan yang telah tersedia pada kandang,
sedangkan kulit ubi jalar dan konsentrat diberikan dalam wadah kecil agar tidak
tercecer yang sebelumnya telah ditimbang menggunakan timbangan. Air minum
diberikan ad libitum di dalam ember plastik. Selain itu, diberikan juga obat cacing
Apridazol dan juga vitamin B kompleks. Obat cacing yang berbentuk cair diberikan
melalui mulut domba dengan menggunakan suntikan, sedangkan vitamin B
kompleks diberikan dengan cara dicampur kedalam air minum.
Pada minggu kedua periode pemeliharaan dilakukan pencukuran bulu dan
pemandian domba. Selain memberantas kutu domba, pencukuran bulu mampu
mengurangi stress panas dan memperbaiki penampilan domba agar tidak terkesan
kumal. Sedangkan tujuan domba dimandikan adalah agar domba tampak bersih
dan bulu-bulunya tidak digunakan sebagai sarang kuman dan penyakit. Memandikan
domba sebaiknya menggunakan air bersih agar kotoran domba terangkat saat
bulu-bulunya disikat. Pada minggu keempat di bulan ke enam periode pemeliharaan
dilakukan pencukuran bulu dan pemandian domba untuk kedua kalinya.
Pemotongan Ternak
Domba yang dipotong sebelumnya telah ditimbang terlebih dahulu untuk
selama 18 jam, namun air minum tersedia ad libitum. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi isi saluran pencernaan dan untuk menghindari pencemaran pada karkas
oleh isi saluran pencernaan serta untuk mendapatkan bobot tubuh kosong.
Pemotongan dilakukan dengan memotong bagian leher dekat tulang rahang bawah
sehingga semua pembuluh darah, oesophagus dan trakea terpotong untuk
mendapatkan pengeluaran darah yang sempurna. Darah ditampung dan ditimbang
sebagai darah tertampung. Ujung oesophagus diikat untuk mencegah cairan rumen
mengalir keluar dan mencemari karkas.
Kepala dilepaskan dari tubuh pada sendi occipito atlantis, kemudian
ditimbang sebagai bobot kepala. Kaki depan dan kaki belakang dilepaskan pada
sendi carpo metacarpal dan sendi tarso metatarsal. Keempat kaki tersebut ditimbang
sebagai bobot kaki. Untuk melepaskan kulit, hewan digantung pada kaki belakang di
tendon Achilles. Kulit disayat dari anus sampai di bagian leher, kemudian dari arah
kaki belakang dan kaki depan menuju sayatan tersebut. Kulit setelah dilepaskan,
kemudian digantung sebagai bobot kulit. Untuk mengeluarkan organ tubuh dari
rongga perut dan rongga dada, dilakukan penyayatan pada dinding abdomen sampai
dada. Sebelumnya, rektum dibebaskan dan diikat untuk mencegah feses keluar,
mengotori karkas dan mengurangi penyusutan.
Semua organ tubuh, terdiri atas hati dan empedu, limpa, ginjal, jantung,
paru-paru dan trakea, dikeluarkan dan dibebaskan dari lemak dan ditimbang dan dicatat
bobotnya. Alat pencernaan dengan isinya dibersihkan dari lemak perut dan
oesophagus dengan isi dan usus dengan isi, ditimbang bobotnya. Setelah dibersihkan
dan dikeringkan, maka bobot perut dan oesophagus kosong serta bobot usus kosong
dapat diperoleh. Bobot isi saluran pencernaan diperoleh dari bobot perut dan
oesophagus dengan isi serta bobot usus dengan isi dikurangi dengan bobot perut dan
oesophagus kosong serta bobot usus kosong. Kemudian, perut dan oesophagus
kosong diurai menjadi oesophagus, rumen, retikulum, omasum dan abomasum lalu
ditimbang bobotnya. Karkas segar ditimbang bobotnya sebagai bobot karkas segar,
kemudian dibungkus dalam kantong plastik yang diikat erat dan diberi label agar
tidak tertukar, lalu disimpan dalam chiller pada suhu 4°C untuk diuraikan keesokan
Penguraian Karkas
Karkas yang telah disimpan dalam chiller, dikeluarkan dan ditimbang
bobotnya, kemudian dicatat sebagai bobot karkas dingin. Karkas dibelah sepanjang
tulang belakang dari leher (Ossa vertebrae cervicalis) sampai sakral (Ossa vertebrae
sacralis). Masing-masing separuh karkas ditimbang sebagai bobot karkas sebelah
kiri dan kanan.
Karkas yang akan diurai adalah karkas sebelah kanan dan dipotong menjadi
delapan potongan sesuai dengan potongan komersial domba, yaitu neck, shoulder,
rack, loin, leg, shank, breast, dan flank. Bobot masing-masing potongan ditimbang
bobotnya. Masing-masing dari potongan komersial tersebut kemudian diurai menjadi
daging, tulang, lemak subkutan, dan lemak intermuskular, kemudian ditimbang
bobotnya. Setelah itu diambil otot bagian biceps femoris pada bagian leg untuk
dilakukan pengujian sifat fisik dan kimia daging.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ada 9 peubah, yaitu 4 peubah dari sifat
fisik dan 5 peubah dari sifat kimia. Sampel daging yang digunakan dalam penelitian
adalah otot Biceps femoris, salah satu otot yang berada di potongan komersial leg
(paha).
1. Sifat Fisik
a. Daya Mengikat Air (DMA)
Daya Mengikat Air (DMA) dianalisis berdasarkan persentase air yang keluar
(mgH2O), yaitu dengan cara mengambil sampel sebanyak 0,3 gram, kemudian
sampel di bebani atau dipress dengan carper press elama 5 menit dengan tekanan
sebesar 35 kg/cm2. Area pada kertas saring yang tertutup sampel daging yang telah
pipih dan area basah disekelilingnya ditandai. Luas area basah dapat diperoleh
dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari total area yang terbentuk pada
kertas saring. Luas area basah yang dalam inchi dikonfersikan ke dalam centimeter
(1 inchi = 2,54 cm). Kandungan air yang keluar dari daging setelah penekanan dapat
Persentase air yang yang keluar dari sampel daging dapat digunakan sebagai
pendekatan kemampuan daging dalam mengikat air (DMA). Persentase air yang
terlepas dapat dihitung dengan rumus :
100 mg
300
terlepas yang
air Berat
x keluar
yang air Persentase
Semakin tinggi nilai mgH2O yang keluar dari daging, maka daya mengikat
airnya semakin rendah.
Gambar 2. (a). Carper Press, (b). Plat Besi, (c). Alat Beban, (d). Alat Pompa Tekanan, (e). Kertas Saring yang telah di press
a b c
d
b. Keempukan Daging
Keempukan daging diperoleh dengan cara merebus daging dalam panci dan
daging ditusuk dengan termometer agar terlihat suhu dalam daging. Daging direbus
sampai suhu dalam daging mencapai 81°C. Setelah suhu dalam daging mencapai
81°C, daging didinginkan. Setelah daging dingin kemudian di score dengan alat
score meter. Satuan dari score meter adalah kg/cm2.
a b c
Gambar 3 : a. Warner Blatzer (score meter), b. Selongsong Warner Blatzer, c. Daging yang telah di Corning
c. Pengukuran pH Daging
Daging diukur dengan menggunakan pH-meter. Sebelum digunakan untuk
mengukur pH daging, pH-meter dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4
dan 7. Setelah itu daging diukur dengan cara ditusuk dengan plat dari pH-meter,
kemudian nilai pH daging akan tertera pada layar pH-meter.
d. Susut Masak
Susut masak daging diperoleh dengan cara menimbang daging sebelum
direbus dan menusukkan termometer agar suhu dalam daging dapat terlihat. Setelah
itu daging direbus sampai suhu dalam daging 81°C. Setelah suhu dalam daging
mencapai 81°C, daging kemudian diangkat dan didinginkan. Setelah dingin daging
kemudian ditimbang. Berat daging sebelum direbus dikurangi berat daging setelah
direbus adalah susut masak yang dicari.
2. Sifat Kimia (Proksimat) a. Kadar Air
Terlebih dahulu botol timbang dikeringkan kira-kira 1 jam dalam oven pada
suhu 105 °C. Kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang sebagai (x).
Kadar air diperoleh dengan menimbang dengan teliti kira-kira 5 gram (y),
dimasukkan ke dalam botol timbang. Kemudian botol timbang dan sampel yang
berada di dalamnya dimasukkan dalam oven selama 4 – 6 jam pada suhu 105°C.
Kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Pekerjaan ini diulangi
selama 3 kali sampai beratnya konstan (z). Penentuan kadar air dapat ditentukan
Terlebih dahulu cawan porselin dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °C
selama beberapa jam. Kemudian didinginkan dengan memasukkan cawan tersebut ke
dalam eksikator dan ditimbang sebagai (x).
Kadar abu dapat diperoleh dengan menimbang sampel sebanyak 5 gram (y)
dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Sampel kemudian dipijarkan di atas nyala
kemudian diangkat dan didinginkan dengan cara memasukkannya ke dalam
secara garis besar terbagi menjadi tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
Jumlah protein didapat sebagai jumlah nitrogen dalam bahan yang tertittrasi
dikalikan dengan faktor konversi protein (6,25).
Kadar protein kasar dapat diketahui dengan menimbang 0,3 gram sampel (x),
kemudian dimasukkan dalam labu destruksi. Kemudian ditambahkan 3 sendok kecil
katalis campuran selen serta 20 ml H2SO4 pekat secara homogen. Campuran tersebut
kemudian dipanaskan dengan alat destruksi mula-mula pada posisi ”low” selama 10
menit, kemudian pada posisi ”med” selama 5 menit, dan pada posisi ”high” sampai
larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Proses ini berlangsung dalam
ruang asam.
Labu destruksi kemudian didinginkan dan larutan tersebut dimasukkan ke
dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N.
Kemudian ditambahkan beberapa butir batu didih dan larutan dijadikan basa dengan
menambahkan kira-kira 100 ml NaOH 33%, kemudian labu penyuling dipasang
dengan cepat di atas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan sampai semua
R tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam erlenmeyer atau sampai 2/3 dari cairan
dalam labu penying telah menyerap.
Labu erlenmeyer yang berisi hasil sulingan diambil dan kelebihan H2SO4
dititar kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi berhenti
setelah terjadi perubahan warna dari biru kehijauan yang menandakan titik akhir
titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai x ml. Kemudian dibandingkan dengan titar
blanko y ml.
%
Penentuan kadar lemak dapat dilakukan dengan metode sochlet.
pertama-tama sebuah labu lemak dengan beberapa butir batu didih di dalamnya dikeringkan
dalam oven dengan suhu 105 – 110 °C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dalam
eksikator selama 1 jam dan ditimbang sebagai x gram. Sampel ditimbang kira-kira 1
gram dan dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan
ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong kemudian dimasukkan dalam
alat FATEX S dan ditambahkan larutan petroleum Ether sebagai larutan
pengekstrak. Suhu diatur pada alat FATEX S pada suhu 60 °C dan waktu 25 menit.
Proses ekstraksi dilakukan sampai alat berbunyi, kemudian larutan petroleum ether
diturunkan bersama lemak yang telah larut dan dilakukan proses evaporasi dengan
mengubah suhu pada 105 °C sampai alat FATEX Z berbunyi. Proses ini dilakukan
sebanyak 2 kali proses ekstraksi dan evaporasi. Selanjutnya labu lemak dikeringkan
dalam oven dengan suhu 105 °C selama 1 jam. Setelah itu didinginkan di dalam
eksikator selama 1 jam dan ditimbang sebagai berat b gram.
Penentuan kadar lemak kasar adalah:
Penentuan karbohidrat dilakukan secara by different dihitung sebagai selisih
100 dikurangi kadar air, abu, protein, dan lemak.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perlakuan pada penelitian yang dilakukan adalah perbedaan genotipe gen
calpastatin. Perlakuan terdiri atas dua macam genotipe yaitu MM dan MN dengan
ulangan sebanyak lima dan empat kali. Data hasil penelitian diuji dengan
menggunakan uji Tukey. Gasper (1994) menyatakan model uji Tukey adalah sebagai
Keterangan :
t = nilai uji Tukey Xi = rataan taraf ke-i Xj = rataan taraf ke-j
ni = jumlah sampel taraf ke-i nj = jumlah sampel taraf ke-j Si = ragam taraf ke-i
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian
Tempat yang digunakan untuk penelitian berada di Laboratorium Lapangan
IPT Ruminansia Kecil, Laboratorium IPT Ruminansia Besar, dan Laboratorium Ilmu
dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang berlokasi di
kecamatan Darmaga. Penelitian dilakukan di kandang penggemukan yang terdiri atas
tiga blok dengan kapasitas tampung 15 ekor per blok untuk ternak besar. Kandang
individu yang digunakan untuk penelitian terletak di bagian pinggir kanan kandang
dari pintu utama kandang. Tipe kandang yang digunakan merupakan tipe dinding
tertutup dan tipe atap gravitasi (gable type). Satu kandang individu diisi dengan dua
ekor ternak karena ukuran ternak tidak terlalu besar dan untuk memudahkan dalam
pemberian pakan.
(a) (b)
Gambar 5 : (a) Kandang Domba Penelitian, (b) Domba Penelitian
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Unit Penelitian,
Pendidikan, dan Pengembangan Jonggol (UP3J) dengan jenis domba ekor tipis
sebanyak sembilan ekor. Pakan yang diberikan selama empat bulan pertama periode
pemeliharaan adalah rumput Brachiaria humidicola dan kulit ubi jalar. Namun
pertambahan bobot badan (PBB) domba hanya sedikit sekali, jadi pada 3 bulan
terkahir masa pemeliharaan dilakukan pergantian pakan dari kulit ubi jalar ke
konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar pertambahan bobot badan (PBB) domba dapat
jalar. Namun hasil pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) yang dihasilkan
selama tujuh bulan pemeliharaan hanya sebesar 1,33±0,05 kg (bobot awal domba
adalah 20.08±2.30 kg dan bobot akhir 21.41±2.35 kg) (Satriawan, 2011). Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pakan yang diberikan hanya dapat mencukupi
kebutuhan hidup pokoknya saja, sehingga cadangan energi yang seharusnya
tersimpan dalam daging dan lemak menjadi tidak optimal. Faktor lain juga bisa
menjadi penyebab tidak optimalnya pertambahan bobot badan (PBB) domba, yaitu
tidak diberikannya pakan yang cukup oleh petugas kandang yang diberi tugas untuk
member pakan ke domba penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat kandungan nutrisi
dari rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar, dan konsentrat.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria Humidicola, Umbi Ubi Jalar dan
Gangguan kesehatan yang terjadi selama penelitian adalah penyakit cacingan.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian, penyakit cacingan ditandai dengan nafsu
makan yang normal tetapi tidak diikuti dengan pertambahan bobot badan. Hal ini
dimungkinkan penyebabnya adalah pemberian rumput yang masih basah dan diduga
terdapat larva cacing yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaan. Pengobatan
dilakukan dengan pemberian obat cacing merk Apridazol yang berbentuk cair.
Pemberian dilakukan melalui mulut domba dengan menggunakan suntikan. Selain
itu, ternak juga diberikan vitamin B kompleks yang diberikan dengan cara
dicampurkan ke dalam air minum.
Sifat Fisik Daging
Faktor yang ikut menentukan kelezatan dan daya terima daging yang
keempukan, bau, dan kadar jus atau cairan daging. Dalam penelitian yang telah
dilakukan, sifat fisik yang diteliti adalah daya mengikat air (DMA), keempukan, pH,
dan susut masak. Hasil rataan sifat fisik domba penelitian yang telah diolah dengan
uji Tukey dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Hasil Sifat Fisik Domba Penelitian
Peubah Genotipe Rata-rata
MM MN
pH 5,444 ± 0,153 5,471 ± 0,145 5,4575 ± 0,149
DMA (%) 40 ± 5,28 37 ± 2,23 38,5 ± 3,755
Keempukan (kg/cm2) 2,642 ± 0,625 3,210 ± 0,7 2,926 ± 0,6625
Susut Masak (%) 46,10 ± 3,49 45,49 ± 3,87 45,795 ± 3,68
Hasil rataan sifat fisik domba penelitian yang diperoleh dengan uji Tukey
adalah tidak berbeda pada pH, DMA, keempukan, dan susut masak. Hal ini
menunjukkan bahwa genotipe MM dan MN tidak menunjukkan penampakan yang
berbeda. Genotipe MM adalah gen calpastatin yang bisa terpotong sempurna oleh
enzim Msp1 menjadi dua fragmen dengan ukuran 336 dan 286 panjang basa (pb).
Genotipe MN adalah gen calpastatin yang ditunjukkan dengan tiga fragmen yaitu
622, 336, dan 286 panjang basa (pb), sedangkan genotipe NN ditunjukkan dengan
satu pita fragmen berukuran 622 panjang basa (pb) (Sumantri et al., 2008). Gen
calpastatin domba lokal bersifat polimorfik pada semua populasi domba lokal,
kecuali domba Rote. Tipe genotipe calpastatin pada domba Rote semuanya adalah
NN atau monomorfik.
Rataan hasil uji fisik domba penelitian pada daya mengikat air tidak berbeda
dengan hasil penelitian dari Sarjito (2010) 37,52±1,33(%), yaitu 38,5 ± 3,755%.
Daging dengan DMA lebih tinggi mempunyai kualitas relatif lebih baik
dibandingkan dengan DMA yang rendah. Tingginya DMA pada daging
menyebabkan keempukan daging meningkat dan menurunkan susut masak daging,
sehingga kehilangan nutrisi lebih rendah (Arnim, 1996). Daya Mengikat air sangat
dipengaruhi oleh pH daging. Menurut Soeparno (2005), apabila nilai pH lebih tinggi
Menuurt Soeparno (2005), pH ultimat adalah pH yang tercapai setelah
glikogen menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada
pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim
glikolitik. Perubahan pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air (DMA),
kesan jus, keempukan, warna, dan susut masak daging. Forrest et al., 2001
menyatakan laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
(1) Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6 – 5,7 dalam waktu
6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir (umumnya setelah 24 jam
pemotongan) sekitar 5,3 – 5,7. Pola pH ini adalah normal. (2) Nilai pH menuurun
sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap (relatif tinggi),
serta mencapai pH akhir sekitar 6,5 – 6,8. Sifat daging yang dihasilkan gelap (dark),
keras (firm), dan kering (dry), sehingga disebut daging DFD. (3) Nilai pH menurun
relatif cepat sampai berkisar 5,4 – 5,5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan
mencapai pH akhir sekitar 5,4 – 5,6. Sifat daging yang dihasilkan pucat (pale),
lembek (soft), dan berair (exudative), sehingga disebut daging PSE. Rataan hasil uji
fisik pada pH terdapat perbedaan, yaitu hasil dari Sarjito (2010) adalah 5,99±0,11
dan hasil penelitian 5,4575±0,149. Nilai pH yang diperoleh pada hasil penelitian
masuk ke dalam pH normal. Sedangkan hasil dari Sarjito (2010) sedikit di atas
normal.
Rataan hasil uji fisik pada keempukan berbeda dengan hasil dari penelitian
Sarjito (2010), yaitu 5,44±0,28. Aberle et al., (1981) menyatakan bahwa pengaturan
ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat
daging setelah pemotongan. Ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan
menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan.
Hasil penelitian Duldjaman (1989) menunjukkan bahwa domba lokal yang diberi
pakan tambahan ampas tahu menghasilkan daging yang lebih empuk daripada domba
yang diberi rumput. Nilai shear force otot Longisimus Dorsi domba yang diberi
pakan tambahan ampas tahu adalah 2,48 sedangkan domba yang diberi pakan rumput
adalah 3,83.
Kriteria keempukan menurut Suryati et al., (2008) berdasarkan panelis yang
terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner
kg/cm2, daging agak a lot 6,71 - 8,42 kg/cm2, daging alot 8,42 - 10,12 kg/cm2, dan
daging sangat alot > 10,12 kg/cm2. Jika melihat batasan-batasannya, maka hasil
penelitian menunjukkan daging domba sangat empuk dengan nilai keempukan
2,926±0,6625. Hasil dari Sarjito (2010) adalah 5,44±0,28 dan jika melihat
batasan-batasannya maka daging domba penelitian Sarjito termasuk dalam daging agak
empuk.
Rataan hasil uji fisik pada susut masak adalah 45,79533 ±3,68%, sedangkan
hasil dari Sarjito 2010 adalah 31,8633 ±0,28%. Nilai susut masak yang tinggi
mencerminkan jumlah air yang hilang dari daging selama proses perebusan. Menurut
Ranken (2000), proses pemanasan dengan suhu 50 - 60°C dapat menyebabkan
kehilangan air sampai 80% dan pemanasan pada suhu yang lebih tinggi akan
mengakibatkan kehilangan air yang lebih tinggi juga. Widiati et al. (2002)
menambahkan bahwa pengeluaran cairan daging disebabkan terjadinya pengerutan
otot Selama proses pemasakan dan pemanasan. Pengerutan otot yang terjadi selama
proses pemanasan inilah yang mengakibatkan nilai putus Warner Blatzler (WB)
semakin tinggi, yang berarti daging semakin alot dan semakin banyak gaya yang
diperlukan untuk memutus serabut daging. Berdasarkan Widiati et al. (2002), dengan
susut masak yang lebih besar seharusnya nilai putus WB hasil penelitian lebih besar
dibandingkan dengan hasil dari Sarjito (2010) dengan susut masak yang lebih kecil.
Hal yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan hasil adalah perbedaan otot
yang digunakan sebagai sampel pengujian, dimana Sarjito (2010) menggunakan otot
longisimus dorsi (LD) sedangkan pada penelitian menggunakan otot biceps femoris
(BF).
Sifat Kimia Daging
Sifat kimia adalah sifat yang terkandung dalam daging dan untuk
mengetahuinya perlu dilakukan pengujian di laboratorium. Pengujian ini
berbeda-beda tergantung kandungan apa yang ingin diketahui. Dalam penelitian dilakukan
pengujian untuk mengetahui kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat. Hasil
rataan sifat kimia domba penelitian yang telah diolah dengan uji Tukey dapat dilihat
Tabel 4. Rataan Hasil Sifat Kimia Domba Penelitian
Peubah Genotipe Rata-rata
MM MN
Kadar Air (%) 73,33 ± 7,36 78,08 ± 0,778 75,705 ± 4,069
Protein (%) 24,09 ± 7,55 17,53 ± 1,17 20,81 ± 4,36
Lemak (%) 1,260 ± 0.943 0,80 ± 0,763 1,03 ± 0,853
Abu (%) 1,010 ± 0,142 0,905 ± 0,182 0,9575 ± 0,162
Karbohidrat (%) 0,714 ± 0,412 2,68 ± 1,45 1,697 ± 0,931
Sumber : Lab. Ilmu dan Nutrisi Ternak
Hasil rataan sifat kimia domba penelitian yang diperoleh dengan uji Tukey
adalah tidak berbeda pada kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat. Air
merupakan bahan penting untuk kehidupan manusia. Selain itu, air juga merupakan
komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi
penampilan, tekstur, dan citarasa dari makanan yang kita makan. Kadar air dalam
makanan juga ikut menentukan daya terima konsumen, kesegaran, dan daya tahan
dari suatu bahan pangan (Winarno, 1997). Kandungan air dalam bahan pangan akan
mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan water
activity (Winarno, 1995). Rataan hasil uji kimia pada kadar air adalah 75,705±
4,069%, sedangkan pada hasil penelitian Astuti (2006) adalah 64,38%. Hasil yang
diperoleh pada penelitian tidak berbeda dengan hasil menurut Fennema (1985), yaitu
73%.
Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan
jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi
apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karohidrat dan lemak.
Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam
tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion,
1995). Rataan hasil uji kimia pada kadar protein adalah 20,81±4,36%, sedangkan
hasil dari Astuti (2006) adalah 21,29. Kedua hasil tersebut tidak berbeda dengan
hasil menurut Fennema (1985) yang menyatakan kadar protein daging domba adalah
20%.
Lemak merupakan zat gizi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh