• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga jenis hijauan yaitu daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro. Ke tiga hijauan ini diperoleh dari lahan yang sama yaitu di kandang C Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Ke tiga hijauan tersebut dipanen pada hari yang berbeda tapi dengan kondisi cuaca yang sama. Pemanenan hijauan tersebut dilakukan pada pagi hari (pukul 05.30 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB) dan malam hari (pukul 18.30). Pembuatan silase dari hijauan tersebut dilakukan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan ensilase selama tiga minggu.

Perbedaan waktu pemanenan bertujuan untuk melihat pengaruh perbedaan kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) pada setiap hijauan. Water Soluble Carbohydrate merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Apabila kandungan WSC pada bahan rendah, maka fermentasi tidak berjalan sempurna karena produksi asam laktat akan berhenti (Jones et al. 2004). Kandungan WSC pada jenis daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro setelah pemanenan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan WSC Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro Jenis Daun Waktu Panen

Pagi Siang Malam

---(%BK)---DSK 7.56 8.22 12.38

DUJ 13.21 19.80 24.17

DLR 1.75 2.12 2.65

Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro Karakteristik Fisik Silase

Indikator keberhasilan silase dapat dilihat dari karakteristik fisik silase yang dihasilkan yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase (Bolsen dan Sapienza, 1993). Kriteria penilaian silase untuk menentukan baik atau tidaknya kualitas silase dapat dilihat dari warna, bau, dan tekstur silase (Haustein, 2003). Hasil pengamatan terhadap warna, bau, dan tekstur silase daun

 

17 singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro setelah tiga minggu ensilase dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Silase Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro setelah Tiga Minggu Ensilase

Silase Peubah Waktu Panen Hijauan

Pagi Siang Malam

SDSK

Warna Hijau Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Bau Agak masam Agak masam Agak masam Tekstur Lembut Lembut Lembut

SDUJ

Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Bau Agak masam Agak masam Masam

Tekstur Lembut Lembut Lembut

SDLR

Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Bau Agak masam Agak masam Agak masam Tekstur Lembut Lembut Lembut Keterangan: SDSK= Silase Daun Singkong, SDUJ= Silase Daun Ubi Jalar, SDLR= Silase Daun Lamtoro

Hasil pengamatan sifat fisik silase daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro secara umum memiliki sifat fisik yang relatif sama. Warna dari silase daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro adalah hijau kecoklatan kecuali warna silase dari daun singkong yang dipanen pada pagi hari. Warna coklat yang terlihat pada ketiga silase tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan selama ensilase, seperti terjadinya reaksi pencoklatan akibat bahan kering yang tinggi atau pembusukan oleh bakteri Clostridia karena kelebihan kadar air, tetapi warna coklat dan hijau tersebut merupakan pengaruh bahan yang digunakan pada pembuatan silase. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan Macaulay (2004) bahwa silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase. Sementara Saun dan Henrich (2008) menyatakan bahwa warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan jika kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna asalnya.

Pengamatan bau pada ketiga silase menunjukkan silase yang dihasilkan memiliki bau asam sampai agak asam yang tidak menyengat. Hasil ini sesuai dengan Saun dan Henrich (2008) yang menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau asam karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Terbentuknya asam pada waktu proses fermentasi menyebabkan pH silase menjadi turun. Keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis, dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Coblentz, 2003). Fermentasi Clostridia akan menimbulkan bau busuk pada silase (Saun dan Henrich, 2008). Pengamatan terhadap tekstur ketiga silase menunjukan silase yang dihasilkan memiliki tekstur yang lembut. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Haustein (2003) yang menyatakan kualitas silase yang baik diantaranya memiliki tekstur yang lembut. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur.

Keberadaan Jamur

Keberadaan jamur pada permukaan silo merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses ensilase. Idealnya silase yang baik mempunyai permukaan yang tidak berjamur (Lendrawati, 2009). Rataan keberadaan jamur pada silase dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Keberadaan Jamur Silase

Jenis Daun Waktu Panen Rata-rata Pagi Siang Malam

---(%)---

DSK 0 0 0 0

DUJ 0,61±0,16 0,26±0,45 0 0,29±0,23 DLR 0,18±0,31 0,73±0,51 0,30±0,27 0,40±0,29 Rata-rata 0,25±0,31 0,50±0,37 0,10±0,17

Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro

Hasil sidik ragam menunjukkan jenis hijauan, waktu panen, dan interaksi antara jenis hijauan dengan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap keberadaan jamur. Perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada pagi dan siang serta

 

19 perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam ditemukan jamur berturut-turut sebesar 0,61%; 0,26%; 0,18%; 0,73% dan 0,30%, sementara pada perlakuan daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam serta perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari tidak ditemukan jamur setelah tiga minggu ensilase.

Keberadaan jamur yang ditemukan ini kemungkinan disebabkan masih adanya udara pada kantong plastik. Adanya udara pada kantong plastik ini kemungkinan disebabkan karena komposisi batang dan daun yang berbeda pada ke tiga jenis hijauan tersebut. Perlakuan daun singkong kemungkinan memiliki komposisi daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan batangnya sehingga dapat menekan keberadaan udara di dalam kantong plastik, sedangkan perlakuan daun ubi jalar dan daun lamtoro kemungkinan komposisi batang dan daunnya sama sehingga proses pemadatan menjadi tidak optimal yang mengakibatkan masih adanya udara dalam kantong plastik. Hal ini sesuai dengan pernyataan McDonald et al. (1991) bahwa kehadiran jamur erat kaiatannya dengan keberadaan udara yang terperangkap pada silo, baik pada fase awal ensilase ataupun akibat kebocoran silo selama penyimpanan. Jamur yang terdapat pada silase ini tidak menyebabkan silase menjadi rusak, karena persentase jamur yang didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dari pernyataan Davies (2007) bahwa keberadaan jamur pada produk silase mencapai 10%. Silase yang berjamur ini sebaiknya dibuang sebelum diberikan ke ternak. Keberadaan jamur pada silase merupakan hal yang wajar jika jamur tersebut tidak menyebabkan silase menjadi rusak.

Derajat Keasaaman (pH)

pH merupakan indikator utama untuk mengetahui pengaruh ensilase terhadap nilai nutrisi pada silase berkadar air tinggi, pH lebih rendah menunjukkan kualitas lebih baik (Kung dan Nylon 2001). Macaulay (2004) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3,2−4,2; baik pH 4,2−4,5; sedang pH 4,5−4,8 dan buruk pH >4,8. Rataan pH silase dapat dilihat pada Tabel 6.

Hasil sidik ragam menunjukan jenis hijauan, waktu panen, dan interaksi antara jenis hijauan dengan waktu panen nyata (P<0,05) mempengaruhi nilai pH silase. Jenis hijauan mempengaruhi nilai pH silase kemungkinan dikarenakan

berbedanya kandungan WSC dan populasi BAL pada hijauan tersebut. Tabel 3 memperlihatkan kandungan WSC yang berbeda-beda pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari. Daun ubi jalar memiliki kandungan WSC yang tertinggi jika dibandingkan dengan daun singkong dan lamtoro.

Tabel 6. Rataan pH Silase

Jenis Daun Waktu Panen Rata-rata Pagi Siang Malam

DSK 4.50±0.09d 4.50±0.12d 4.04±0.06b 4.42±0.32y DUJ 4.23±0.22c 3.97±0.03ab 3.85±0.09a 4.02±0.19x DLR 5.80±0.01f 5.89±0.01f 5.45±0.05e 5.71±0.23z Rata-rata 4.88±0.82z 4.82±0.98z 4.45±0.88y

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05). DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro

Waktu panen mempengaruhi nilai pH silase kemungkinan dikarenakan kandungan Water Soluble Carbohidrate (WSC) yang tinggi pada hijauan di malam hari hasil fotosintesis di siang harinya. Lakitan (2008) menyatakan proses fotosintesis ini terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari dan lebih rendah lagi pada pagi hari melalui proses respirasi (pelepasan CO2). Interaksi yang terjadi pada penelitian ini adalah dengan memilih bahan baku silase yang memiliki kandungan WSC yang tinggi dan memilih waktu panen yang tepat, maka dapat menurunkan pH silase dengan optimal.

Perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari memiliki nilai pH yang baik sekali untuk silase dibandingkan dengan yang lain, yaitu 3,85. Perlakuan daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari memiliki nilai yang baik untuk silase yaitu berturut 4,50; 4,50; dan 4,04. Sedangkan perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari memiliki nilai pH yang buruk untuk silase yaitu bertururt-turut 5,80; 5,89; dan 5,45. Nilai pH yang rendah pada perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari dikarenakan tingginya kandungan WSC pada daun ubi jalar (24,17 %BK). Water Soluble Carbohidrate (WSC) yang terkandung pada hijauan tersebut akan dimanfaatkan oleh bakteri

 

21 penghasil asam laktat untuk menurunkan pH silase. Nilai pH yang tinggi pada perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari dikarenakan rendahnya kandungan WSC pada daun lamtoro yaitu berturut-turut 1,75 %BK; 2,12 %BK; dan 2,65 %BK, sehingga aktifitas bakteri penghasil asam laktat tidak berjalan secara optimal dalam menurunkan pH.

Populasi Bakteri Asam Laktat

Jumlah bakteri asam laktat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses silase selain kadar air dan kandungan WSC bahan silase. Jumlah bakteri asam laktat akan dipengaruhi oleh nilai pH, semakin rendah nilai pH maka jumlah bakteri asam laktat akan meningkat (Lendrawati, 2009). Bakteri asam laktat (BAL) dalam ensilase memiliki peranan yang penting terutama dalam membantu mempercepat penurunan pH, mempercepat pembentukan asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat serta dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang dapat merusak dalam pembuatan silase. Populasi bateri asam laktat pada silase sekitar 106 cfu/ml (Schroeder, 2004). Rataan populasi bakteri asam laktat dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Populasi Bakteri Asam Laktat

Jenis Daun Waktu Panen

Pagi Siang Malam

---(log10

cfu/ml)---DSK 6,52 6,63 6,69

DUJ 6,67 6,81 6,90

DLR 5,30 5,36 5,39

Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro

Perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari memiliki populasi bakteri asam laktat yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain 6,90 (log10 cfu/ml), sedangkan perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada malam hari memiliki populasi bakteri asam laktat yang rendah 5,30 (log10 cfu/ml). Tingginya populasi bakteri asam laktat pada perlakuan daun ubi jalar (DUJ) yang dipanen pada malam hari menunjukan bakteri penghasil asam laktat bekerja secara optimal. Hal ini kemungkinan dikarenakan tingginya karbohidrat pada malam hari hasil fotosintesis

di siang hari. Karbohidrat ini akan digunakan oleh bakteri untuk menurunkan pH silase. Sehingga populasi bakteri asam laktat akan meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH silase. Sedangakan rendahnya populasi bakteri asam laktat pada perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada malam hari menunjukan terhambatnya aktifitas bakteri tersebut. Hal ini kemungkinan dikarenakan bakteri kekurangan karbohidrat yang merupakan substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat. Konsentrasi karbohidrat akan menurun pada pagi hari akibat proses respirasi pada malam hari.

Kehilangan Bahan Kering

Kehilangan bahan kering pada produk silase disebabakan oleh proses pendegradasian WSC atau gula-gula mudah tercerna menjadi produk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, laktat dan asam butirat).  Produk akhir paling menguntungkan adalah asam asetat dan asam laktat. (Lendrawati, 2009). Davies (2007) menyatakan bahwa kehilangan bahan kering silase terjadi pada saat pengisian (5%), menjadi cairan silase (3%), selama proses fermentasi (5%), kerusakan karena udara (10%) dan kehilangan di lapangan (4%). Rataan kehilangan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Kehilangan BK Silase

Jenis Daun Waktu Panen Rata-rata Pagi Siang Malam

---(%)--- DSK 0,13±0,15 0,06±0,04 0,09±0,04 0,09±0,04 DUJ 0,09±0,02 0,10±0,05 0,14±0,02 0,11±0,03 DLR 0,14±0,04 0,21±0,05 0,10±0,08 0,15±0,06 Rata-rata 0,12±0,03 0,12±0,08 0,11±0,03

Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro Hasil sidik ragam menunjukkan jenis hijauan, waktu panen, dan interaksi antara jenis hijauan dengan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering silase. Kehilangan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 0,10% - 0,21%. Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Muck (2007) yang menemukan bahwa kualitas silase, baik yang mendapatkan penambahan bakteri atau inokulan akan kehilangan bahan kering sebesar 1%-2%. Rendahnya kehilangan

 

23 bahan kering pada silase ini kemungkinan dikarenakan pada waktu pembuatan silase tidak didahului oleh proses pelayuan hijauan dan pada waktu pembuatan silase juga ditambahkan bakteri asam laktat (BAL) dalam bentuk cair sehingga kadar air hijauan menjadi tinggi. Tingginya kadar air pada hijauan ini yang mungkin menyebabkan kehilangan bahan kering pada penelitian ini menjadi rendah. Mc Donald et.al, (1991) menyatakan Kehilangan bahan kering dipengaruhi oleh kadar air silase, kandungan Water Soluble Carbohidrate (WSC) bahan, penambahan zat aditif, dan kecepatan penurunan pH.

Kehilangan Water Soluble Carbohydrate (WSC)

Karbohidrat yang mudah larut dalam air (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Apabila kandungan WSC pada bahan rendah, maka fermentasi tidak berjalan sempurna karena produksi asam laktat akan berhenti (Jones et al. 2004). Water Soluble Carbohydrate tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur dan waktu panen tanaman (Downing et al. 2008). Mc Donald et.al, (1991) menyatakan untuk mendapatkan fermentasi yang baik kandungan WSC bahan baku sebelum ensilase adalah 3-5% BK. Sementara Hutton (2004) menyatakan kebutuhan WSC selama fermentasi silase berkisar 6−12% BK. Tabel 3 meperlihatkan kandungan WSC yang berbeda-beda pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari. Rataan kehilangan WSC dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Kehilangan WSC

Jenis Daun Waktu Panen Rata-rata Pagi Siang Malam

---(%BK)---DSK 3,01±0,41 3,14±0,85 8,93±0,49 5,03±2,38y DUJ 5,73±0,48 8,63±0,72 13,85±0,97 9,41±4,12z DLR 0,93±0,46 0,59±0,44 1,57±0,61 1,03±0,50x Rata-rata 3,22±1,41x 4,12±2,11x 8,12±4,18y

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05). DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro.

Hasil sidik ragam menunjukkan jenis hijauan dan waktu panen nyata (P<0,05) mempengaruhi kehilangan WSC silase, sedangkan interaksi antara jenis hijauan dan waktu panen tidak mempengaruhi kehilangan WSC. Jenis hijauan mempengaruhi kehilangan WSC silase kemungkinan dikarenakan kandungan nutrien yang berbeda terutama kandungan WSC pada hijauan tersebut. Tingginya kandungan WSC daun ubi jalar yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari membuat proses fermentasi berjalan optimal. Selama proses fermentasi, WSC ini akan di rombak oleh mikroorganisme menjadi asam laktat. Jones et al. (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi merupakan aktivitas biologis bakteri asam laktat mengkonversi gula-gula sederhana menjasi asam organik terutama asam laktat. Terbentuknya asam laktat pada proses silase ini akan mempercepat penurunan pH. Hal ini didukung oleh rendahnya nilai pH pada silase berbahan baku daun ubi jalar yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari yaitu berturut- turut 4,23; 3,97; dan 3,85. Silase berbahan baku daun singkong yang dipanen pada pagi, siang dan malam hari memiliki WSC bahan yang lebih rendah dari daun ubi jalar yaitu sebesar 7,56, 8,22, dan 12,38 %BK . Kandungan WSC ini masih dalam syarat yang dinyatakan oleh Mc Donald et.al, (1991) yaitu sebesar 3-5 %BK. Ketersedian WSC yang cukup pada daun singkong membuat proses fermentasi berjalan optimal. Hal ini didukung oleh cukup rendahnya nilai pH pada silase berbahan baku daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari yaitu berturut- turut 4,50; 4,50; dan 4,04. Silase berbahan baku daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang dan malam hari memiliki WSC bahan yang rendah yaitu sebesar 1,75; 2,12; dan 2,65 %BK. Rendahnya kandungan WSC ini memebuat proses fermentasi tidak berjalan optimal, sehingga pH yang dihasilkan pada silase berbahan baku lamtoro menjadi tinggi yaitu berturut- turut 5,80; 5,89; dan 5,45.

Waktu panen mempengaruhi kehilangan WSC silase kemungkinan dikarenakan penerimaan cahaya matahari yang berbeda oleh ketiga hijauan tersebut. Cahaya matahari akan digunakan oleh hijauan untuk melakukan proses fotosintesis. Hasil dari fotosintesis hijauan ini adalah karbohidrat (WSC) yang sangat diperlukan dalam proses silase. Karbohidrat (WSC) yang dihasilkan tergantung dari penerimaan cahaya matahari oleh hijauan, semakin tinggi cahaya yang diterima maka WSC yang dihasilkan akan tinggi. Lakitan (2008) menyatakan konsentrasi WSC secara umum

 

25 lebih tinggi pada sore hari. Konsentrasi WSC mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi (pelepasan CO2) dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Data pada tabel 3 menunjukkan kandungan WSC pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro tertinggi pada malam hari dan terendah pada pagi hari. Tingginya WSC pada malam hari disebabakan karena masih terkumpulnya WSC pada hijauan hasil dari fotosintesis pada siang sampai sore hari, sedangkan rendahnya WSC pada pagi hari disebabkan karena hijauan melakukan proses respirasi pada malam hari. Tingginya WSC pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro yang dipanen malam hari jika dibandingkan dengan pagi dan siang hari membuat proses fermentasi berjalan lebih optimal pada malam hari.

Kelarutan

Kelarutan berhubungan erat dengan nutrien yang digunakan dalam ensilase tersebut. Nutrien tersebut yang akan dimanfaatkan untuk produksi asam-asam organik (Schroeder, 2004). Rataan kelarutan silase dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan jenis hijauan nyata (P<0,05) mempengaruhi kelarutan silase, sedangkan waktu panen dan interaksi antara jenis hijauan dan waktu panen tidak mempengaruhi kelarutan silase. Jenis hijauan mempengaruhi kelarutan silase kemungkinan disebabkan karena jenis hijauan mempengaruhi tingkat kecernaan, dimana kelarutan dan kecernaan memiliki korelasi yang positif. Schroeder (2004) menyatakan bahwa kelarutan akan berkorelasi positif dengan kecernaan, jika kelarutan tinggi maka kecernaan bahan pakan tinggi.

Tabel 10. Rataan Kelarutan Silase

Jenis Daun Waktu Panen Rata-rata Pagi Siang Malam

---(%)--- DSK 63,03±3,15 64,14±2,32 61,41±2,12 62,86±1,37x

DUJ 68,78±0,47 68,87±1,97 63,46±1,23 67,04±3,09y DLR 72,07±0,63 72,20±0,48 70,93±1,47 71,73±0,69z Rata-rata 66,56±4,79 68,03±4,63 67,07±5,01

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05). DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro

Kelarutan tertinggi terdapat pada silase berbahan baku lamtoro yaitu 72,07%; 72,20% dan 70,93%. Hal ini dikarenakan kecernaan lamtoro lebih tinggi jika dibandingkan dengan daun singkong dan daun ubi jalar. Haryanto (1985) menyatakan nilai cerna bahan kering lamtoro yang digunakan sebagai ransum campuran berkisar antara 50% – 70%, sedangkan jika digunakan sebagai ransum tunggal nilai cerna bahan keringnya lebih dari 71% dengan menggunakan hewan percobaan sapi dan kambing, sedangkan kecernaan bahan organiknya adalah 78%. Futiha (2010) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pelet yang menggandung 5% daun lamtoro lebih tinggi dibandingkan dengan pelet yang mengandung 5% daun ubi jalar (78,88% vs 67,62%) dan (78,94% vs 67,23%) dengan menggunakan hewan percobaan kelinci. Hal ini disebabkan karena tingginya protein dan rendahnya serat kasar daun lamtoro jika dibandingkan dengan daun ubi jalar (26.07% vs 25.51%) dan (17.73% vs 24.29%).

Kelarutan silase berbahan baku daun ubi jalar pada penelitian ini adalah 68,78%; 68,87%; dan 63,46%. Hasil penelitian Futiha (2010) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kelinci yang diberi pakan pelet yang mengandung 5% daun ubi jalar adalah 67,62%  dan 67.23%. Kelarutan silase berbahan baku daun singkong adalah 63,03%; 64,14%; dan 61,41%. Hasil penelitian Haryanto (1985) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik pada hewan kerbau yang pakannya dicampur dengan daun singkong sebanyak 0,50% bobot badan adalah sebesar 62,47% dan 64,64%.  

Dokumen terkait