• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Perusahaan

Peternakan pada penelitian ini merupakan peternakan penggemukan sapi milik CV Musika Purbantara Utama (MPU) yang berlokasi di Dusun Sranten Desa Pangklungan Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang Jawa Timur. Usaha peternakan ini berdiri pada bulan Februari 2002 yang awalnya bertujuan untuk memasok kebutuhan pupuk kandang untuk usaha perkebunan milik perusahaan tersebut. Peternakan ini berkembang dengan tujuan memenuhi kebutuhan daging sapi pasar tradisional Kabupaten Mojokerto. Manajemen pemeliharaan yang dilaksanakan pada peternakan ini adalah sistem intensif.

Peternakan ini juga melaksanakan sistem usaha inti plasma dalam hal ini sebagai inti adalah peternakan CV MPU dan sebagai plasma adalah masyarakat sekitar. Tujuan dari program inti plasma ini adalah untuk membantu masyarakat sekitarnya yaitu dengan memberikan kesempatan pada masyarakat yang ingin memelihara sapi dengan prinsip bagi hasil. Peternakan ini juga bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan beberapa instansi peternakan dalam mengembangkan peternakan tersebut sehingga sering dijadikan sebagai tempat praktik lapang.

Peternakan ini terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian 600 m dpl. Suhu lingkungan peternakan ini adalah 23-24 oC pada siang hari dan 15-18 oC pada malam hari dengan tingkat kelembaban 60%. Kondisi pegunungan ini sangat menguntungkan untuk peternakan penggemukan sapi karena air tersedia dari mata air yang ada sepanjang tahun. Luas lahan peternakan ini sekitar 4 ha yang terletak didalam lahan perkebunan cengkeh seluas 18 ha.

Jumlah sapi yang dipelihara di peternakan ini sampai bulan Agustus 2006 sebanyak 541 ekor yang terdiri atas 37 ekor sapi jantan berada di peternakan plasma, dan 504 ekor berada di peternakan inti. Sapi dikandangkan sesuai dengan umur sapi tersebut. Kelompok umur dan jumlah sapi pada peternakan inti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi

No Kelompok Sapi Jumlah(ekor)

1 Bakalan < 1 tahun 95

2 Bakalan 1-2 tahun 236

3 Jantan dewasa (finishing) > 2 tahun 66

4 Dara Betina 21

5 Betina bunting 71

6 Betina laktasi 15

Total 504

Sumber: Peternakan CV MPU (2006)

Perusahaan memproduksi bakalan sendiri dan juga bakalan yang dibeli dari pasar-pasar hewan sekitar. Bakalan yang diproduksi oleh perusahaan merupakan sapi hasil inseminasi buatan antara Bos taurus (Simmental dan Limousin) dengan Bos indicus (Brahman dan Peranakan Ongole). Bakalan yang berasal dari peternakan ini dipelihara terlebih dahulu pada wilayah kandang pembesaran sebelum masuk ke wilayah kandang finishing. Bakalan dari pasar menurut Sosroamidjojo (1991) seharusnya ditempatkan pada kandang karantina, tetapi dalam peternakan ini tidak demikian. Bakalan yang dibeli dari pasar langsung dimasukkan pada tempat yang kosong di kandang yang sesuai dengan umur sapi tersebut. Sapi-sapi yang baru masuk ditimbang kemudian diperiksa kondisi fisiknya dan diberi obat cacing sebelum dimasukkan ke area perkandangan.

Kandang dipisahkan berdasarkan umur dan program budidaya yang diterapkan. Sapi umur lebih dari satu tahun dipelihara pada kandang ganda berhadapan tanpa pent (tipe stanction head to head) yang memudahkan dalam pemberian pakan. Kandang sapi umur kurang dari satu tahun berbentuk kandang kelompok karena sapi tersebut belum diberi tali keluhan (tali hidung). Kandang induk dilengkapi dengan kandang kelompok untuk anak yang diberi litter dari serbuk gergaji untuk menjaga kehangatan.

Pakan merupakan faktor terbesar dari budidaya peternakan. Pakan yang diberikan pada peternakan ini berbeda-beda kandungan proteinnya sesuai dengan program yang diterapkan. Kebutuhan nutrisi pakan disesuaikan dengan umur sapi seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur

No. Umur Sapi Protein Kasar TDN

---%---

1 Pedet (anak) < 4 bulan 20 70

2 Pedet (anak) 4-14 bulan 16 70

3 Jantan dewasa (finishing) > 2 tahun 12-13 75

4 Induk bunting dan laktasi 10 70

Sumber: Peternakan CV MPU (2006)

Pakan terdiri atas hijauan yang didapat dari limbah pertanian di sekitarnya dan konsentrat yang diproduksi oleh perusahaan ini. Pemberian pakan konsentrat untuk program finishing dan pembesaran diberikan dua kali sehari yaitu pagi hari dan siang hari, sedangkan untuk pakan hijauan pada sore hari. Pemberian pakan untuk induk dan anak (cow calf) sama dengan program yang lainnya tetapi hijauan diberikan ad libitum untuk anak sapi. Bahan baku konsentrat yang digunakan untuk program finishing dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Bahan Baku Konsentrat

No. Bahan Baku Jumlah Penggunaan

(%)

1. Bekatul 33,5

2. Dedak Jagung 10

3. Tumpi Jagung (Limbah rontokan penggilingan jagung) 10

4. Kedelai Afkir 12

5. Tumpi kedelai (Limbah rontokan penggilingan kedelai) 5

6. Bungkil kelapa 15

7. Kulit kopi 6

8. Klenteng (biji kapuk) 6

9. Tetes Tebu 1

10. Mineral 1

11. Garam 0.5

Tabel 5 dapat diketahui bahwa bahan baku untuk konsentrat berasal dari limbah pertanian. Bahan-bahan tersebut dipasok dari wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Konsentrat jadi ini bersifat sangat bulky sehingga dalam pemberiannya sering dicampur dengan air. Air minum diberikan setelah konsentrat habis sampai pada waktu pemberian konsentrat berikutnya. Penanganan limbah di peternakan ini sangatlah sederhana. Kotoran sapi hanya ditumpuk lalu diberi starter untuk mengurangi bau dari kotoran tersebut. Kotoran ini akan dijadikan kompos untuk memenuhi kebutuhan pupuk di perkebunan perusahaan.

Perusahaan ini menjual ternaknya dalam bentuk ternak hidup dan karkas. Penjualan ternak hidup baik sapi atau kambing untuk memenuhi kebutuhan ternak qurban. Penjualan dalam bentuk karkas dilakukan setiap hari sekitar 1-3 ekor. Proses pemotongan dilakukan di RPH Kabupaten Mojokerto untuk memenuhi kebutuhan pasar tradisional. Tabel 6 memperlihatkan hasil pengamatan terhadap 25 ekor sapi yang dipelihara diperusahaan.

Tabel 6. Rataan dan Kisaran Produktivitas Sapi

Rataan Kisaran

Bobot Potong (kg) 656,8 532,0 – 800,0

Tinggi Badan (cm) 141,60 132,00 – 155,00

Panjang Badan (cm) 158,68 141,00 – 177,00

Lingkar Dada (cm) 204,32 180,00 – 214,00

Tebal Lemak Pangkal Ekor (cm) 1,062 0,000 – 2,200

Bobot Karkas (kg) 358,72 262,00 – 409,00

Persentase Karkas (%) 47,472 43,650 – 53,530

Tebal Lemak Punggung (mm) 1,220 0,500 – 3,000

Luas Urat Daging Mata Rusuk (cm2) 139,86 99,27 – 174,70

Sapi yang akan dipotong rata-rata sudah berumur lebih dari empat tahun atau gigi seri keempat tinggal satu yang belum tanggal. Penentuan waktu yang tepat sapi tersebut akan dipotong (derajat finish) juga berdasarkan dari tipe bangsa sapi. Sapi tipe sedang atau besar bobot potongnya lebih dari 500 kg sedangkan untuk sapi tipe kecil yang akan dipotong bobot potongnya kurang dari 500 kg. Hal tersebut terlihat dari hasil bobot potong rata-rata yang didapat pada Tabel 6 sebesar 656,8 kg dengan

kisaran bobotnya yaitu dari 532 kg sampai 800 kg. Sapi yang dipotong tersebut merupakan sapi sedang. Program finishing yang dijalankan sesuai dengan Neumann dan Lusby (1986) bahwa bobot potong untuk program ini berkisar antara 500-625 kg. Hasil ukuran linear tubuh pada Tabel 6 terlihat bahwa rata-rata untuk tinggi badan 141,6 cm, panjang badan 158,68 cm dan lingkar dada sebesar 204,32 cm. Ukuran linear tubuh tersebut lebih tinggi dari ukuran minimal sapi Peranakan Ongole bibit berdasarkan Natasasmita dan Mudikdjo (1979) yang merupakan sapi tipe kecil yaitu untuk sapi jantan dewasa tinggi badan 135 cm, panjang badan 133 cm dan lingkar dada 171 cm. Nilai ukuran linear tubuh tersebut mengindikasikan bahwa sapi-sapi yang dipotong merupakan sapi tipe besar. Field dan Taylor (2002) menambahkan bahwa sapi tipe sedang pada umur empat tahun bobot badan berkisar antara 500 sampai 1000 kg.

Hasil bobot karkas sapi tersebut rata-rata 358,72 kg dengan rataan persentase karkas sebesar 47,472 %. Persentase karkas ini lebih rendah dari pada persentase karkas sapi Brahman Cross berdasarkan penelitian Kurniawan (2005) yaitu sebesar 50 %. Lemak yang dihasilkan dari sapi ini rendah berdasarkan nilai rataan tebal lemak pangkal ekor sebesar 1,062 cm dan tebal lemak punggung sebesar 1,220 mm. Lemak yang sedikit disesuaikan dengan selera konsumen pada pasar tradisional. Nilai urat daging mata rusuk 139,86 cm2 merupakan nilai yang cukup luas dan mengindikasikan perdagingan yang dihasilkan dari karkas tersebut sangat besar dan juga dikarenakan pengukuran dilakukan saat karkas segar sehingga konsistensi daging masih rendah.

Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda

Produktivitas seekor sapi merupakan parameter penilaian keberhasilan suatu manajemen pemeliharaan dalam beternak. Parameter tubuh merupakan ukuran- ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo,1980). Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan (Kadarsih, 2003). Tabel 7 menyajikan hasil pengukuran parameter sapi potong pada penelitian ini.

Tabel 7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda Skor Kondisi Tubuh

Parameter Tubuh

Kurus (2) Sedang (3) Gemuk (4)

Bobot Potong (kg) 620,0b ± 83,6 639,8b ± 32,9 702,3a± 50,2 Tinggi Badan (cm) 140,71 ± 7,72 141,78± 2,17 142,11 ± 2,98 Panjang Badan (cm) 156,71 ± 9,27 160,11 ± 10,35 158,78 ± 8,81 Lingkar Dada (cm) 200,57± 13,10 203,89 ± 4,96 207,67± 3,20

TLPE (cm) 0,36b ± 0,62 1,09a ± 0.86 1,58a± 0,38

Keterangan: TLPE : Tebal Lemak Pangkal Ekor

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Bobot Potong

Bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan dalam keadaan hidup merupakan definisi dari bobot badan, sedangkan bobot potong merupakan bobot yang di timbang sesaat sebelum sapi dipotong. Waktu yang tepat untuk memotong sapi harus disesuaikan dengan imbangan antara komposisi tubuh dan biaya yang dikeluarkan agar didapatkan persentase karkas yang sesuai (Phillips, 2001). Pratiwi (1997) menambahkan bahwa untuk memotong sapi harus memperhatikan kondisi sapi tersebut.

Sapi yang memiliki kondisi gemuk, mempunyai bobot potong yang terbesar yaitu 702,3 kg, sedangkan kondisi sedang dan kurus masing-masing mempunyai bobot potong 620,0 kg dan 639,8 kg. Nilai bobot potong tersebut lebih ringan dari bobot dewasa sapi Limousin menurut Blakely dan Bade (1991) sebesar 1100 kg. Hal tersebut dikarenakan sapi-sapi pada penelitian ini bukan merupakan bangsa sapi asli tapi sudah mengalami persilangan dengan sapi Brahman dan PO sehingga bobot potong yang dihasilkan saat dewasa lebih rendah.

Perbedaan bobot potong tersebut lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan kenaikan bobot badan dengan meningkatnya kondisi tubuh ternak. Sapi yang semakin gemuk akan memperlihatkan bobot potong yang semakin berat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nielsen (2002) bahwa bobot badan memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat kegemukan ternak.

Gambar 1. Bobot Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan : BP (Bobot Potong)

Sapi dengan kondisi tubuh yang berbeda berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bobot potong yang cenderung berbeda pula. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa bobot badan dewasa sapi potong yang berbeda- beda akan berbeda-beda pula dalam tingkat kegemukannya pada umur dan makanan yang sama. Perbedaan bobot badan tersebut dikarenakan adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah disimpan dalam tubuh.

Kemampuan beradaptasi sapi juga dapat menentukan besarnya nilai bobot potong yang dapat dipengaruhi oleh bangsa, manajemen pemeliharaan, isi saluran pencernaan dan kesehatan sapi (Blakely dan Bade, 1991). Neumann dan Lusby (1986) juga menjelaskan bahwa sapi yang telah mencapai bobot tubuh dewasa mengeluarkan sekitar 25% atau 40 kg kotoran per hari yang dapat mempengaruhi bobot badan sapi.

Sapi yang memiliki kondisi tubuh kurus dan sedang memiliki bobot potong yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan sapi yang memiliki kondisi gemuk. Hal tersebut menurut Blakely dan Bade (1991) bisa juga disebabkan karena adanya perbedaan efisiensi dalam pemanfaatan nutrien pakan oleh tubuh sapi. Sapi yang memiliki bobot badan lebih berat maka menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan pakannya lebih besar sehingga dapat menghasilkan nilai produktivitas

Kurus 620 Sedang 639,8 Gemuk 702,3 400 450 500 550 600 650 700 750 Kondisi Tubuh BP (kg)

yang lebih baik. Perbedaan bobot badan juga dapat disebabkan faktor fisiologis dari masing-masing sapi yang berbeda. Bobot potong yang sama pada sapi kondisi kurus dan sedang juga bisa disebabkan adanya pengaruh isi saluran pencernaan, nilai perlemakan dan nilai perdagingan. Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa keadaan isi saluran pencernaan juga sangat menentukan nilai bobot potong ternak sehingga sapi yang kurus dapat menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi.

Ukuran-ukuran Linear Tubuh

Sapi pada penelitian ini memiliki kondisi tubuh berbeda (kurus, sedang dan gemuk) tidak berpengaruh terhadap ukuran linear tubuh seperti tinggi badan, panjang badan dan lingkar dada. Rataan tinggi badan untuk sapi gemuk, sedang dan kurus masing-masing sebesar 142,11 cm, 141,78 cm 140,71 cm. Panjang badan untuk sapi dengan kondisi kurus, sedang dan gemuk berturut-turut adalah 156,71 cm, 160,11 cm dan 58,78 cm. Rataan lingkar dada untuk sapi dengan kondisi kurus sebesar 200,57 cm, sedang 203,89 cm dan gemuk sebesar 207,67 cm.

Hasil rataan ukuran-ukuran linear tubuh sapi tersebut tidak jauh berbeda dengan sapi Brahman PO dan Simmental PO hasil penelitian Suparlan (2004). Sapi dalam penelitian Suparlan memiliki tinggi gumba sebesar 137,7 cm, panjang badan 137,3 dan lingkar dada 161 cm. Hasil tersebut lebih rendah dari hasil penelitian ini karena sapi dalam penelitian Suparlan masih berumur dua tahun sedangkan sapi pada penelitian ini sudah berumur empat tahun.

Tabel 7 memperlihatkan ukuran linear tubuh pada kondisi tubuh berbeda. Ukuran linear tubuh yang hampir sama dikarenakan sapi-sapi ini diukur pada umur lebih dari empat tahun. Blakely dan Bade (1991) umur sapi jantan pada saat tercapainya pubertas bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran antara 8 sampai 18 bulan dan bobot badan 350 sampai 450 kg. Sapi berumur lebih dari empat tahun merupakan umur yang telah melewati kedewasaan tubuh dan memiliki pertumbuhan tulang dan otot yang cenderung tetap.

Ukuran linear tubuh pada sapi dewasa bukan merupakan indikator yang baik bila digunakan untuk memprediksi bobot badan. Sapi yang telah mengalami dewasa tubuh pertulangannya sudah tidak berkembang lagi sehingga ukuran linear tubuh sapi tersebut relatif konstan. Tabel 7 menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut memiliki ukuran linear tubuh yang hampir sama tetapi memiliki bobot potong yang berbeda.

Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh deposisi otot dan lemak yang berbeda di antara kondisi tubuh yang berbeda (Preston dan Willis, 1974).

Kemampuan ternak dalam mendeposisikan otot bisa dikarenakan perbedaan bangsa, umur, manajemen pemeliharaan, keadaan sistem pencernaan dan kesehatan sapi (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang memiliki kondisi tubuh yang baik menunjukkan jumlah perlemakan dan perototan yang lebih besar karena merupakan refleksi dari pakan yang baik (Neumann dan Lusby, 1986). Blakely dan bade (1991) menambahkan bahwa sapi kurus pakannya lebih dimanfaatkan terlebih dahulu untuk perawatan tubuh kemudian sisa nutrien pakannya untuk memenuhi fungsi-fungsi tubuh.

Tebal Lemak Pangkal Ekor

Tebal lemak pangkal ekor di antara kondisi tubuh menunjukkan hasil yang berbeda (Tabel 7). Tebal lemak pangkal ekor sapi kondisi gemuk (1,58 cm) tidak berbeda nyata dengan kondisi sedang (1,09 cm), tetapi berbeda nyata dengan sapi kondisi kurus (0,36 cm). Selama fase penggemukan lemak merupakan jaringan dengan jumlah dan penyebaran yang berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi proporsi jaringan otot dan nilai karkas (Field dan Taylor, 2002). Gambar 2 memperlihatkan adanya perbedaan nilai tebal lemak pangkal ekor pada kondisi tubuh yang berbeda.

Gambar 2. Tebal Lemak Pangkal Ekor pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan : TLPE (Tebal Lemak Pangkal Ekor)

Kurus 0,36 Sedang 1,09 Gemuk 1,58 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 Kondisi Tubuh TLPE (cm)

Nilai ketebalan lemak pangkal ekor pada Gambar 2 cenderung meningkat akan tetapi untuk kondisi sedang dan gemuk tidak berbeda nyata sedangkan sapi kurus memiliki tebal lemak pangkat ekor yang sangat berbeda nyata dengan kategori kondisi tubuh yang lain. Encinias dan Lardy (2000) menjelaskan bahwa salah satu kriteria penilaian kondisi ternak adalah dengan menentukan nilai perlemakan dan perdagingannya. Sapi kurus dengan sedang berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa meskipun memiliki bobot potong yang tidak berbeda nyata tetapi tebal lemak pangkal ekornya menunjukkan perbedaan. Nilai tebal lemak pangkal ekor yang berbeda tersebut yang menyebabkan perbedaan penentuan kriteria kondisi ternak (Phillips, 2001).

Perbedaan ketebalan lemak tersebut mengindikasikan bahwa kondisi ternak mampu menunjukkan nilai perlemakan secara visual pada sapi dan dapat digunakan untuk mengestimasi nilai perlemakan karkas (Encinias dan Lardy, 2000). Penyimpanan lemak tertinggi terjadi pada daerah paha, dada, tulang punggung dan rusuk sampai pangkal ekor. Perbedaan jumlah lemak yang terdeposisikan bisa dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan (Field dan Taylor, 2002). Tebal lemak pangkal ekor merupakan posisi perlemakan yang paling mudah dilihat pada sapi. Hafid (2004) menjelaskan bahwa tebal lemak pangkal ekor dan nilai butt shape sapi dapat memprediksikan komposisi karkas sapi. Pratiwi (1997) menambahkan tebal lemak pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak juga dapat menduga besarnya komposisi karkas.

Sifat-sifat Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda

Tujuan utama dari usaha penggemukan sapi potong adalah menghasilkan karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga potongan daging yang bisa dikonsumsi menjadi tinggi serta sesuai dengan selera konsumen. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menambahkan bahwa karkas sapi Bos taurus terdiri atas daging (53,4%), lemak (28,2%) dan tulang (14,8%) sedangkan sapi Bos indicus terdiri atas daging (68,5%), lemak (8,1%) dan tulang (20,7%).

Komposisi karkas dan kualitasnya menurut Hafid (2004) dapat dilihat berdasarkan nilai sifat-sifat karkas yang dihasilkan. Hasil pengukuran sifat-sifat karkas antara lain bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk pada kondisi tubuh berbeda-beda dan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Skor Kondisi Tubuh Berbeda

Skor Kondisi Tubuh Sifat Karkas

Kurus (2) Sedang (3) Gemuk (4)

Bobot Karkas (kg) 330,1b± 61,4 362,44ba ± 29,46 377,28 a± 21,14 Pesentase Karkas (%) 52,58± 3,33 56,18 ± 4,61 53,740 ± 1,859 TLP (mm) 0,79b± 0,2673 1,06b ± 0,5833 1,72a ± 0,7546 Luas UDMR (cm2) 127,14b ± 24,43 130,76b ± 21,08 158,84a±15,18

Keterangan: TLP : Tebal Lemak Punggung; UDMR: Urat Daging Mata Rusuk

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Bobot Karkas

Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas dan dapat digunakan sebagai ukuran produktivitas karkas yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 8 semakin bagus kondisi tubuh, bobot karkas cenderung meningkat untuk kondisi kurus (330,1 kg) tidak berbeda nyata dengan kondisi sedang (362,44 kg) dan kondisi sedang tidak berbeda nyata dengan gemuk (377,28 kg), tetapi kondisi kurus memiliki bobot karkas yang berbeda nyata dengan kondisi gemuk.

Kurniawan (2005) melaporkan bahwa sapi Brahman Cross dengan bobot potong 500 kg memiliki bobot karkas sebesar 224 kg. Hasil penelitian Kurniawan menunjukkan nilai bobot karkas yang lebih berat dari nilai bobot karkas pada penelitian ini karena memiliki bobot potong yang lebih berat pula. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Herman et al. (1983) semakin berat bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi yang mempunyai kondisi kurus dan sedang memiliki bobot karkas dan bobot potong yang tidak berbeda. Sapi yang mempunyai kondisi kurus dan gemuk memiliki bobot potong dan bobot karkas yang berbeda. Hal tersebut menjelaskan bahwa peningkatan bobot karkas seiring dengan peningkatan bobot potong. Herman et al. (1983) menyatakan bahwa bobot karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potong. Hasil bobot karkas pada kondisi tubuh berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bobot Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan: BK: Bobot Karkas

Bobot karkas sapi kondisi sedang dan gemuk tidak berbeda, akan tetapi mempunyai perbedaan pada bobot potong. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai bobot non karkas yang berbeda dan mengindikasikan bahwa bobot non karkas sapi gemuk lebih tinggi dari sapi sedang. Pengaruh bobot non karkas terhadap bobot karkas sesuai dengan penjelasan Brahmantiyo (1996) bahwa sapi dengan bobot potong yang berbeda maka nilai bobot karkas yang sama dipengaruhi oleh nilai bobot non karkas. Perbedaan bobot karkas bisa disebabkan adanya variasi tipe, bangsa, nutrisi dan jenis pertumbuhan jaringan serta perbedaan bobot non karkas yang dihasilkan (Blakely dan Bade, 1991).

Persentase Karkas

Persentase karkas didapatkan dari hasil rasio antara bobot karkas dengan bobot potong kali seratus persen. Persentase karkas yang dihasilkan untuk sapi dengan kategori kondisi tubuh kurus sebesar 52,58 %, sedang (56,18 %) dan gemuk (53,74 %). Hasil tersebut lebih besar dari laporan Kurniawan (2005) bahwa sapi Brahman Cross dengan bobot badan 500 kg menghasilkan persentase karkas sebesar 48,62 %.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa persentase karkas sama pada kondisi yang berbeda. Ngadiyono (1988) menjelaskan bahwa ketidaksesuaian peningkatan bobot

Kurus 330,1 Sedang 362,44 Gemuk 377,28 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 Kondisi Tubuh BK ( k g )

potong dengan peningkatan bobot karkas dapat mempengaruhi persentase karkas. Peningkatan antara kondisi tubuh dan bobot potong tidak sejalan dengan peningkatan bobot karkasnya. Persentase karkas bertambah dengan meningkatnya bobot potong maka persentase nonkarkas dan isi saluran pencernaan akan berkurang dengan meningkatnya bobot potong (Herman et al., 1983).

Brahmantiyo (1996) menambahkan bahwa persentase non karkas dan isi saluran pencernaan bertambah atau berbeda-beda pada masing-masing kondisi sapi . Natasasmita (1979) juga menjelaskan bahwa persentase karkas semu sangat dipengaruhi oleh bobot isi saluran pencernaan sehingga dalam menilai produktivitas ternak (kerbau) lebih baik didasarkan pada persentase karkas sebenarnya. Berdasarkan pengamatan di lapang, sapi dalam kondisi gemuk mengalami trimming yang berlebihan dibandingkan kondisi sedang. Hal ini dapat menghasilkan persentase sapi kondisi gemuk relatif rendah dari pada sapi dengan kondisi sedang. Cole (1962) menyatakan bahwa persentase karkas dapat dipengaruhi oleh metode pemotongan, pengulitan atau penyayatan lemak yang berlebihan.

Tebal Lemak Punggung

Perlemakan karkas dapat ditentukan dengan menggunakan tebal lemak subkutan atau lemak punggung (Taylor et al., 1996). Tebal lemak punggung pada sapi kondisi tubuh kurus, sedang dan gemuk masing-masing sebesar 0,79 mm, 1,06 mm dan 1,72 mm. Kurniawan (2005) melaporkan bahwa ketebalan lemak punggung pada sapi Brahman Cross steer antara 2,5-4,5 mm, hasil tersebut lebih tebal dari hasil rataan tebal lemak punggung yang didapat pada penelitian ini. Perbedaan tebal lemak punggung yang dihasilkan dapat disebabkan perbedaan jenis kelamin yang digunakan. Menurut Neumann dan Lusby (1986) sapi jantan perlemakannya lebih rendah dari pada sapi steer dan heifer.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh sapi yang semakin gemuk maka nilai tebal lemak punggung cenderung lebih tebal, tetapi kondisi kurus

Dokumen terkait