• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter Tubuh dan SIfat-Sifat Karkas Sapi Potong Pada Kondisi Tubuh yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Parameter Tubuh dan SIfat-Sifat Karkas Sapi Potong Pada Kondisi Tubuh yang Berbeda"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS

SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH

YANG BERBEDA

SKRIPSI VINA MUHIBBAH

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

VINA MUHIBBAH. 2007. Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si

Pengukuran ukuran linear tubuh dan sifat-sifat karkas merupakan cara untuk menilai produktivitas ternak. Bobot badan sapi merupakan indikator produktivitas ternak yang menjadi salah satu ukuran penilaian keberhasilan manajemen pemeliharaan dan penentu harga sapi. Pendugaan bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan nilai ukuran linear tubuh sapi tanpa memperhatikan kondisi tubuh sapi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda.

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu perusahaan peternakan penggemukan sapi potong yang berada di Dusun Sranten, Desa Pangklungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2006. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi jantan hasil Inseminasi Buatan (Bos taurus X Bos indicus) sebanyak 25 ekor dan dibagi kedalam 3 kategori skor kondisi tubuh (kurus, sedang, dan gemuk) sebagai perlakuan. Jumlah ulangan sapi yang dipakai dari masing-masing kategori kondisi tubuh adalah 9 ekor (gemuk), 9 ekor (sedang) dan 7 ekor (kurus). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan data yang diperoleh dianalisa dengan prosedur General Linier Model (GLM). Hasil yang menunjukkan perbedaan nyata diuji lebih lanjut dengan uji jarak berganda Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tubuh yang berbeda menghasilkan bobot potong (P<0,05), tebal lemak pangkal ekor (P<0,01), bobot karkas, tebal lemak punggung (P<0,05) dan luas urat daging mata rusuk (P<0,05) yang berbeda. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi tubuh memiliki pengaruh yang nyata terhadap bobot hidup sapi karena adanya perbedaan perlemakan dan perdagingan. Ukuran linear tubuh ternak dan persentase karkas tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara kondisi tubuh. Ukuran linear tubuh yang sama dikarenakan sapi tersebut sudah mengalami dewasa tubuh dan termasuk dalam kelompok ternak dengan ukuran kerangka yang sama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam pendugaan bobot badan dan bobot karkas berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh.

(3)

ABSTRACT

Body Linear Measurements and Carcass Characteristics on Different Beef Cattle Body Condition

Muhibbah, V., R. Priyanto, and H. Nuraini

This study was aimed to examine the influence of beef cattle condition score on body linear measurements and carcass characteristics. The experiment used 25 cross bred bulls of Taurindicus cattle (Bos taurus X Bos indicus). They were grouped into three categories of condition score. These three categories are lean (n = 7), medium (n = 9), and fat (n = 9). The experiment was set up in a completely randomized design and the data was analyzed using General Linear Model (GLM) procedure. The results indicated that the body condition score had significant influences (P<0,05) on slaughter weight, anal fold fat thickness, weight carcass, 12th rib fat thickness and eye muscle area at the 12th rib. This means that body condition score will influence beef cattle body weight due to differences in muscling and fatness. The threatment did not have significant influence on body linear measurements and percentage of carcass. Therefore, the estimation of beef cattle body weight based on linear measurements should be corrected against body condition in order to improve the accuracy of prediction.

(4)

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS

SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH

YANG BERBEDA

VINA MUHIBBAH D 14103039

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS

SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH

YANG BERBEDA

Oleh

VINA MUHIBBAH D 14103039

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 23 Februari 2007

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Rudy Priyanto NIP. 131 622 682

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si NIP. 131 845 347

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Vina Muhibbah, dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 25 Mei

1985. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Shodiqin, S.Ag dan

Suprianah. Pendidikan dasar dimulai dari tahun 1991 di SDN Banjarsari dan

diselesaikan pada tahun 1997. Penulis pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan

di SLTP Negeri 1 Bandar Kedung Mulya sampai tahun 2000. Pendidikan lanjutan

menengah atas ditempuh pada tahun 2000 sampai tahun 2003 di SMU Negeri 1

Jombang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan

terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI).

Kepramukaan dan OSIS merupakan organisasi yang diikuti penulis selama

menempuh pendidikan. Selama di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan

antara lain Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Dewan

Perwakilan Mahasiswa (DPM-D), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Peternakan (BEM-D). Penulis merupakan mahasiswa daerah sehingga penulis juga

aktif dalam OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Jombang sebagai Bendahara

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, hidayah serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi yang Berbeda.

Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang memberikan kontribusi dalam

pemenuhan daging nasional. Peningkatan dalam berbagai manajemen pemeliharaan

sangatlah perlu dilakukan. Penilaian produktivitas adalah salah satu cara mengukur

tingkat keberhasilan peternakan. Bobot badan merupakan indikator penting dalam

manajemen peternakan. Prediksi bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan

ukuran linear tubuh ternak tanpa memperhatikan kondisi tubuh. Hal tersebut menjadi

dasar penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kondisi tubuh ternak

terhadap parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi.

Harapan penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan skripsi ini

semoga bermanfaat bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi perkembangan

peternakan Indonesia.

Bogor, Februari 2007

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Penggemukan (Finishing) Sapi Potong... 3

Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong... 4

Pertumbuhan Jaringan Otot dan Lemak... 6

Skor Kondisi Tubuh... 6

Prosedur Penelitian ... 12

Peubah yang diamati ... 14

Rancangan Percobaan ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Keadaan Umum Perusahaan ... 16

Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda... 20

Bobot Potong ... 21

Ukuran-ukuran Linear Tubuh ... 23

Tebal Lemak Pangkal Ekor... 24

(9)

Bobot Karkas ... 26

Persentase Karkas ... 27

Tebal Lemak Punggung ... 28

Luas Urat Daging Mata Rusuk ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

UCAPAN TERIMAKASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong ... 5

2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong ... 13

3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi... 17

4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur... 18

5. Bahan Baku dan Persentase Penggunaannya pada Konsentrat... 18

6. Rataan Produktivitas Peternakan Sapi ... 19

7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda ... 21

(11)

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS

SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH

YANG BERBEDA

SKRIPSI VINA MUHIBBAH

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

RINGKASAN

VINA MUHIBBAH. 2007. Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si

Pengukuran ukuran linear tubuh dan sifat-sifat karkas merupakan cara untuk menilai produktivitas ternak. Bobot badan sapi merupakan indikator produktivitas ternak yang menjadi salah satu ukuran penilaian keberhasilan manajemen pemeliharaan dan penentu harga sapi. Pendugaan bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan nilai ukuran linear tubuh sapi tanpa memperhatikan kondisi tubuh sapi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda.

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu perusahaan peternakan penggemukan sapi potong yang berada di Dusun Sranten, Desa Pangklungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2006. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi jantan hasil Inseminasi Buatan (Bos taurus X Bos indicus) sebanyak 25 ekor dan dibagi kedalam 3 kategori skor kondisi tubuh (kurus, sedang, dan gemuk) sebagai perlakuan. Jumlah ulangan sapi yang dipakai dari masing-masing kategori kondisi tubuh adalah 9 ekor (gemuk), 9 ekor (sedang) dan 7 ekor (kurus). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan data yang diperoleh dianalisa dengan prosedur General Linier Model (GLM). Hasil yang menunjukkan perbedaan nyata diuji lebih lanjut dengan uji jarak berganda Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tubuh yang berbeda menghasilkan bobot potong (P<0,05), tebal lemak pangkal ekor (P<0,01), bobot karkas, tebal lemak punggung (P<0,05) dan luas urat daging mata rusuk (P<0,05) yang berbeda. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi tubuh memiliki pengaruh yang nyata terhadap bobot hidup sapi karena adanya perbedaan perlemakan dan perdagingan. Ukuran linear tubuh ternak dan persentase karkas tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara kondisi tubuh. Ukuran linear tubuh yang sama dikarenakan sapi tersebut sudah mengalami dewasa tubuh dan termasuk dalam kelompok ternak dengan ukuran kerangka yang sama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam pendugaan bobot badan dan bobot karkas berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh.

(13)

ABSTRACT

Body Linear Measurements and Carcass Characteristics on Different Beef Cattle Body Condition

Muhibbah, V., R. Priyanto, and H. Nuraini

This study was aimed to examine the influence of beef cattle condition score on body linear measurements and carcass characteristics. The experiment used 25 cross bred bulls of Taurindicus cattle (Bos taurus X Bos indicus). They were grouped into three categories of condition score. These three categories are lean (n = 7), medium (n = 9), and fat (n = 9). The experiment was set up in a completely randomized design and the data was analyzed using General Linear Model (GLM) procedure. The results indicated that the body condition score had significant influences (P<0,05) on slaughter weight, anal fold fat thickness, weight carcass, 12th rib fat thickness and eye muscle area at the 12th rib. This means that body condition score will influence beef cattle body weight due to differences in muscling and fatness. The threatment did not have significant influence on body linear measurements and percentage of carcass. Therefore, the estimation of beef cattle body weight based on linear measurements should be corrected against body condition in order to improve the accuracy of prediction.

(14)

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS

SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH

YANG BERBEDA

VINA MUHIBBAH D 14103039

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(15)

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS

SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH

YANG BERBEDA

Oleh

VINA MUHIBBAH D 14103039

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 23 Februari 2007

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Rudy Priyanto NIP. 131 622 682

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si NIP. 131 845 347

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(16)

RIWAYAT HIDUP

Vina Muhibbah, dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 25 Mei

1985. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Shodiqin, S.Ag dan

Suprianah. Pendidikan dasar dimulai dari tahun 1991 di SDN Banjarsari dan

diselesaikan pada tahun 1997. Penulis pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan

di SLTP Negeri 1 Bandar Kedung Mulya sampai tahun 2000. Pendidikan lanjutan

menengah atas ditempuh pada tahun 2000 sampai tahun 2003 di SMU Negeri 1

Jombang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan

terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI).

Kepramukaan dan OSIS merupakan organisasi yang diikuti penulis selama

menempuh pendidikan. Selama di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan

antara lain Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Dewan

Perwakilan Mahasiswa (DPM-D), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Peternakan (BEM-D). Penulis merupakan mahasiswa daerah sehingga penulis juga

aktif dalam OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Jombang sebagai Bendahara

(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, hidayah serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi yang Berbeda.

Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang memberikan kontribusi dalam

pemenuhan daging nasional. Peningkatan dalam berbagai manajemen pemeliharaan

sangatlah perlu dilakukan. Penilaian produktivitas adalah salah satu cara mengukur

tingkat keberhasilan peternakan. Bobot badan merupakan indikator penting dalam

manajemen peternakan. Prediksi bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan

ukuran linear tubuh ternak tanpa memperhatikan kondisi tubuh. Hal tersebut menjadi

dasar penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kondisi tubuh ternak

terhadap parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi.

Harapan penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan skripsi ini

semoga bermanfaat bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi perkembangan

peternakan Indonesia.

Bogor, Februari 2007

(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Penggemukan (Finishing) Sapi Potong... 3

Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong... 4

Pertumbuhan Jaringan Otot dan Lemak... 6

Skor Kondisi Tubuh... 6

Prosedur Penelitian ... 12

Peubah yang diamati ... 14

Rancangan Percobaan ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Keadaan Umum Perusahaan ... 16

Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda... 20

Bobot Potong ... 21

Ukuran-ukuran Linear Tubuh ... 23

Tebal Lemak Pangkal Ekor... 24

(19)

Bobot Karkas ... 26

Persentase Karkas ... 27

Tebal Lemak Punggung ... 28

Luas Urat Daging Mata Rusuk ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

UCAPAN TERIMAKASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong ... 5

2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong ... 13

3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi... 17

4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur... 18

5. Bahan Baku dan Persentase Penggunaannya pada Konsentrat... 18

6. Rataan Produktivitas Peternakan Sapi ... 19

7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda ... 21

(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bobot Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda ... 22

2. Tebal Lemak Pangkal Ekor pada Kondisi Tubuh Berbeda... 24

3. Bobot Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda ... 27

4. Tebal Lemak Punggung pada Kondisi Tubuh Berbeda ... 29

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Bobot Potong ... 37

2. Analisis Ragam Tinggi Badan ... 37

3. Analisis Ragam Panjang Badan ... 37

4. Analisis Ragam Lingkar Dada ... 37

5. Analisis Ragam Tebal Lemak Pangkal Ekor ... 38

6. Analisis Ragam Bobot Karkas ... 38

7. Analisis Ragam Persentase Karkas... 38

8. Analisis Ragam Tebal Lemak Punggung... 38

9. Analisis Ragam Luas Urat Daging Mata Rusuk ... 39

10. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Potong... 39

11. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Pangkal Ekor... 39

12. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Karkas... 40

13. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Punggung ... 40

14. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Luas Urat Daging

(23)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein. Data Dirjen

Peternakan (2005) menyebutkan bahwa produksi daging sapi 463.800 ton dan daging

sapi merupakan sumber daging yang paling digemari masyarakat Indonesia setelah

daging unggas. Peningkatan produktivitas sapi bisa dilakukan dengan cara

pemeliharaan dan budidaya yang baik. Ukuran keberhasilan manajemen

pemeliharaan sapi adalah dengan melihat produktivitas sapi tersebut.

Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang

dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi meliputi lingkar dada, panjang

badan dan tinggi badan (Kadarsih, 2003). Peternak umumnya menggunakan bobot

hidup sapi sebagai ukuran keberhasilan pemeliharaan dan pertumbuhan sapi yang

telah dipelihara apakah sesuai dengan harapan. Bobot hidup juga merupakan salah

satu penentu harga seekor sapi dalam bidang pemasaran.

Keterbatasan dalam penentuan bobot badan sapi dilapangan adalah minimnya

fasilitas timbangan ternak sehingga peternak harus melakukan penaksiran bobot

badan secara subjektif. Beberapa formula telah dikembangkan untuk memprediksi

bobot badan berdasarkan ukuran linear tubuh. Formula yang telah dikenal antara lain

formula Schoorl yang menggunakan lingkar dada dan formula Winter yang

menggunakan lingkar dada dan panjang badan sebagai faktor penduganya. Namun

demikian, pendugaan bobot badan berdasarkan formulasi-formulasi tersebut

menghasilkan keakurasian yang rendah karena perbedaan bangsa ternak dan latar

belakang nutrisi ternak sehingga menghasilkan skor kondisi ternak yang beragam.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi wilayah yang beragam

menyebabkan sistem pemeliharaan yang dilaksanakan berbeda-beda tergantung

potensi wilayah tersebut. Perbedaan penggunaan bangsa atau tipe ternak serta pakan

yang digunakan akan menyebabkan bobot hidup yang dicapai juga berbeda-beda

meskipun ukuran kerangka ternak relatif sama. Perbedaan sistem manajemen,

penggunaan pakan dan bangsa ternak akan mengakibatkan adanya keragaman

kondisi ternak (Wulandari, 2005).

Alat timbangan seekor sapi tidak praktis digunakan di lapangan terutama

(24)

bobot badan yang akurat sangat perlu untuk diketahui. Skor kondisi merupakan salah

satu faktor yang penting untuk diperhatikan dalam menilai produktivitas dan prediksi

bobot badan sapi. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai

hubungan skor kondisi sapi terhadap parameter tubuh dan sifat–sifat karkas.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mambandingkan parameter tubuh dan

sifat-sifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda. Manfaat penelitian ini

adalah peternak dapat mempertimbangkan kondisi tubuh untuk menduga bobot

badan sapi berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh.

Hipotesis

Skor kondisi tubuh sapi potong yang berbeda akan menunjukkan parameter

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Penggemukan (Finishing) Sapi Potong

Program penggemukan (finishing) sapi potong menurut Parakkasi (1999) bertujuan untuk memperbaiki kualitas karkas dengan jalan membentuk lemak

seperlunya. Program finishing untuk sapi yang belum dewasa bersifat membesarkan sambil menggemukkan atau memperbaiki kualitas karkas. Intensifikasi menurut

Parakkasi (1999) bertujuan untuk lebih mengefisienkan produksi dengan

meminimalkan waktu pemeliharaan. Sapi potong yang dipelihara secara intensif

pertumbuhannya akan lebih tinggi dari pada sapi yang dipelihara secara ekstensif

sehingga lebih cepat mencapai bobot potong yang diinginkan (Phillips, 2001).

Pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan dapat dilakukan dengan

menggunakan sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif. Phillips

(2001) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem dimana

sapi dipelihara dalam kandang dengan pemberian pakan konsentrat berprotein tinggi

dan juga dapat ditambah dengan memberikan hijauan. Sistem pemeliharaan semi

intensif adalah sapi selain dikandangkan juga digembalakan di padang rumput,

sedangkan sistem ekstensif pemeliharaannya dipadang penggembalaan dengan

pemberian peneduh untuk istirahat sapi. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa

sistem intensif biasanya dilakukan pada daerah yang banyak tersedia limbah

pertanian sedangkan sistem ekstensif diterapkan pada daerah yang memiliki padang

penggembalaan yang luas. Penggunaan lahan menurut Blakely dan Bade (1991)

untuk sistem intensif lebih efisien dari pada sistem ekstensif sehingga pemeliharaan

secara intensif cocok dipakai didaerah padat penduduk.

Keuntungan dari sistem pemeliharaan intensif adalah dapat menggunakan

bahan pakan berasal dari hasil ikutan industri pertanian dibanding dengan

pemeliharaan dilapangan. Neumann dan Snapp (1969) menambahkan bahwa

pemeliharaan intensif pada program finishing dapat menekan jumlah kematian dan

dapat menghasilkan feses yang lebih banyak dari pada sistem pastura atau ekstensif.

Kekurangan dari sistem ini menurut Parakkasi (1999) yaitu mudah sekali penyebaran

penyakitnya, investasinya juga banyak dan sering ditemukan permasalahan akan

(26)

secara intensif antara lain banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, peralatan serta

modal yang cukup besar (Phillips, 2001).

Pakan yang digunakan pada pemeliharaan intensif biasanya konsentrat penuh

atau 60% konsentrat dan 40% hijauan (Blakely dan Bade, 1991). Neumann dan

Lusby (1986) menambahkan bahwa rasio pemberian pakan dalam sistem intensif

yaitu 95% konsentrat dan 10-15% hijauan makanan ternak. Berdasarkan Parakkasi

(1999) sapi dewasa (finish-sedang) dapat mengkonsumsi pakan bahan kering sebesar 1,4 % bobot badan sedangkan untuk sapi steer sampai 3 % bobot badan.

Lama pemeliharaan program penggemukan (finishing) sangat singkat yaitu

kurang dari satu tahun. Perbedaan lama waktu penggemukan berbeda-beda

dipengaruhi oleh umur, kondisi, bobot awal penggemukan, jenis kelamin, kualitas

bakalan dan mutu pakan serta bangsa sapi. Neumann dan Lusby (1986) menjelaskan

bahwa untuk program penggemukan finishing, waktu penggemukan dimulai dengan

bobot badan awal antara 325-400 kg sampai dicapai bobot potong antara 500-625 kg

yaitu kurang dari enam bulan pemeliharaan. Waktu penggemukan semakin lama

menurut Hafid (1998) memiliki kecenderungan meningkatkan persentase lemak

karkas dan menurunkan persentase komposisi daging dan tulang, selain itu

cenderung menurunkan persentase total non karkas, persentase komposisi kepala,

kaki dan jantung.

Penggemukan sapi sering memanfaatkan kondisi pertumbuhan kompensasi.

Pertumbuhan ini terjadi setelah sapi mengalami pertumbuhan negatif. Pertambahan

bobot badan yang dicapai saat kondisi pertumbuhan ini bisa mencapai dua kali

pertumbuhan normal (Phillips, 2001). Penggemukan selama dua bulan menurut

Hafid (1998) pada sapi yang memanfaatkan pertumbuhan kompensasi menghasilkan

pertambahan bobot badan yang tinggi, konsumsi yang rendah, konversi pakan yang

lebih efisien, meningkatkan bobot potong dan nilai ekonomis sapi lebih

menguntungkan.

Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong

Pertumbuhan adalah proses bertambah besar dan tinggi seekor ternak serta

terjadinya peningkatan bobot badan sampai ukuran dewasa tubuh tercapai

(Lawrie,1998). Perubahan ukuran-ukuran meliputi bobot hidup, bentuk, dimensi

(27)

komponen kimia juga dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan (Field dan Taylor,

2002). Pertumbuhan menurut Hafez (1969) termasuk proses pertambahan sel

(hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertrophy).

Proses pertumbuhan berdasarkan Field dan Taylor (2002) terbagi atas dua

tahap yaitu pertumbuhan prenatal dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan sebelum lahir (prenatal) terjadi saat embrio, meliputi pembelahan sel dan pertambahan jumlah

sel tubuh serta terjadi perubahan fungsi sel menjadi sistem-sistem organ tubuh.

Embrio juga mengalami perkembangan sel menjadi lebih besar sehingga

membutuhkan asupan nutrisi yang lebih banyak. Pertumbuhan setelah lahir

(postnatal) menurut Gall (1969) meliputi beberapa aspek yaitu proses pematangan

organ reproduksi, peningkatan dimensi dan linear, pertambahan bobot badan,

pertambahan masa organ dan perbanyakan sel. Phillips (2001) menjelaskan bahwa

laju pertumbuhan ternak setelah lahir berbentuk sigmoid yaitu terjadi peningkatan

bobot badan secara signifikan dari lahir sampai pubertas dan cenderung tetap setelah

periode pubertas tercapai.

Neumann dan Lusby (1986) menjelaskan bahwa sapi mencapai waktu

pubertas dipengaruhi umur, bobot badan dan bangsa. Waktu pencapaian pubertas pada beberapa bangsa persilangan dapat diketahui pada Tabel 1.

Tabel 1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong.

Bangsa Bobot Badan (kg) Umur (hari)

Simmental Cross 333 358

Limousin Cross 339,5 384

Brahman Cross 356 429

Sumber: Neumann dan Lusby (1986)

Pada awal dewasa kelamin, pertumbuhan otot bagian leher atau tengkuk dan

rongga dada relatif cepat. Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin, hormon,

pakan, gen, iklim dan kesehatan induk (Phillips, 2001). Sapi tipe besar laju

pertumbuhannya lebih besar dari pada sapi tipe kecil (Neumann dan Lusby, 1986).

Perbedaan laju pertumbuhan ini mengakibatkan bobot potong untuk sapi tipe besar

akan lebih tinggi dari pada sapi tipe kecil.

Perkembangan adalah perubahan konformasi tubuh dan bentuk serta

(28)

(Lawrie,1998). Pertumbuhan dan perkembangan sangat ditentukan oleh faktor

genetik, lingkungan, manajemen pakan dan manipulasi exogenous.

Pertumbuhan Jaringan Tulang, Otot dan Lemak

Pertumbuhan bagian tubuh hewan mengalami peningkatan yang berbeda

tetapi laju pertumbuhannya sama. Setiap kenaikan bobot tubuh terjadi perbedaan

proporsi organ dan jaringan otot, tulang dan lemak. Semua zat makanan dalam

pertumbuhan hewan akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk pertumbuhan tulang,

jaringan otot kemudian lemak.

Pertumbuhan tulang sangat penting bagi pertumbuhan ternak karena

pertumbuhan dan perkembangan tulang akan menentukan ukuran tubuh ternak (Field

dan Taylor, 2002). Tulang tumbuh secara kontinyu dengan laju pertumbuhan yang

relatif lambat sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat, sehingga rasio antara

otot dan tulang meningkat selama pertumbuhan (Parakkasi, 1999). Otot mencapai

pertumbuhan maksimal kemudian terjadi pertambahan bobot otot terutama karena

deposisi lemak intra muscular. Perbedaan pertumbuhan jaringan otot, tulang dan lemak akan mengakibatkan perubahan komposisi karkas (Field dan Taylor, 2002).

Jaringan lemak tumbuh lambat pada awal pertumbuhan tetapi setelah

mencapai dewasa kelamin jaringan ini tumbuh lebih cepat melebihi kecepatan

pertumbuhan otot dan tulang. Nutrisi pakan cukup maka pada pertumbuhan

selanjutnya lemak akan disimpan dibawah kulit (subkutan), diantara otot

(intermuskular) dan didalam otot (intramuskular atau marbling). Selama fase

penggemukan lemak merupakan jaringan dengan jumlah dan penyebaran yang

berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi proporsi jaringan otot dan nilai karkas

(Field dan Taylor, 2002).

Skor Kondisi Tubuh

Suatu sistem penilaian secara umum yang telah dikembangkan untuk

menduga rataan kondisi sapi dalam suatu pemeliharaan merupakan definisi skor

kondisi tubuh menurut Encinias dan Lardy (2000). Sistem ini membantu peternak

dalam penilaian suatu kondisi ternak dengan mengevaluasi nilai perlemakan serta

penonjolan kerangka. Skor kondisi tubuh merupakan metode penilaian secara visual

(29)

Perguruan tinggi Pertanian Scotlandia Timur adalah pelopor pembuatan

sistem scoring (Rutter et al., 2000). Kondisi tubuh dinilai dari satu (sangat kurus) sampai lima (sangat gemuk). Penggunaan metode ini pertama kali dikemukakan

tahun 1917 digunakan untuk memprediksi rasio antara nilai lemak dan bukan lemak

pada sapi (Phillips, 2001). Pengelompokan skor kondisi tubuh pada tahun 1976

dibagi menjadi lima kategori dengan mempertimbangkan metode palpasi pada spinous processus dan pangkal ekor sangat berhasil diterapkan pada domba. Pembagian lima point kategori skor kondisi pada umumnya berdasarkan nilai

perlemakan dan perdagingan sapi.

Skor kondisi tubuh dapat menentukan hubungan antara penampilan produksi

dan reproduksi dengan manajemen pakan yang telah diterapkan. Sapi yang memiliki

skor kondisi yang bagus menunjukkan jumlah perlemakan dan perototan yang lebih

besar karena merupakan refleksi dari pakan yang baik (Neumann dan Lusby, 1986).

Kondisi tubuh juga sangat menentukan hasil potongan komersial, karkas dan

penampilan sapi. Sapi dengan kondisi yang lebih gemuk akan menghasilkan

potongan karkas yang lebih besar. Sapi kurus dapat diperbaiki nilai produktivitasnya

dengan meningkatkan kualitas pakan (Apple, 1999). Penilaian produktivitas dan laju

pertumbuhan hanya dengan ukuran bobot badan kurang akurat dalam memberikan

informasi bobot badan yang sebenarnya dikarenakan adanya perbedaan isi perut.

Sapi yang telah mencapai bobot tubuh dewasa mengeluarkan sekitar 25% atau 40 kg

kotoran per hari (Neumann dan Lusby, 1986).

Keuntungan dari penggunaan skor kondisi tubuh menurut Rutter et al. (2000)

adalah mudah untuk dipelajari, cepat, sederhana, murah, tidak memerlukan peralatan

khusus dan cukup akurat untuk beberapa situasi manajemen dan penelitian. Skor

kondisi tubuh pada umumnya digunakan untuk penilaian sapi betina. Skor kondisi

juga berhubungan dengan frame size sapi dan menurut Vargas et al. (1999) heifer dengan large frame size cenderung memiliki skor kondisi tubuh yang rendah.

Wulandari (2005) dalam laporannya menjelaskan perbedaan score kondisi tubuh sapi

dapat diakibatkan adanya perbedaan ketersediaan pakan dan tata laksana

(30)

Parameter Tubuh

Parameter tubuh adalah nilai-nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh ternak

termasuk ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain

ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo,

1979). Indikator penilaian produktivitas ternak dapat dilihat berdasarkan parameter

tubuh ternak tersebut. Parameter tubuh yang sering dipergunakan dalam menilai

produktivitas antara lain tinggi badan, lingkar dada dan panjang badan. Bobot badan

juga merupakan indikator penilaian produktivitas dan keberhasilan manajemen

peternakan (Blakely dan Bade, 1991).

Bobot badan merupakan bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan

dalam keadaan hidup, sedangkan bobot potong merupakan bobot yang ditimbang

sesaat sebelum sapi dipotong (Natasasmita dan Mudikdjo,1979). Bobot badan sapi

merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan

ukuran linear tubuh sapi (Kadarsih, 2003). Sapi seharusnya dipotong pada waktu

yang optimum bagi peternak, yaitu saat bobot badan dan komposisi tubuh yang

dihasilkan seimbang dengan pakan dan biaya yang dikeluarkan (Phillips, 2001).

Perbedaan bobot badan dewasa sapi pedaging yang berbeda-beda akan menghasilkan

tingkat kegemukannya yang berbeda pula pada umur dan makanan yang sama

(Parakkasi, 1999). Perbedaan bobot badan tersebut dikarenakan adanya perbedaan

pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing

individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah

disimpan oleh tubuh. Perbedaan tersebut akan menjadikan komposisi tubuh atau

frame size ternak berbeda (Field dan Taylor, 2002).

Ukuran-ukuran linear tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak

yang pertambahannya satu sama lain saling berhubungan secara linear. Kadarsih

(2003) menyatakan bahwa ukuran linear tubuh yang dapat dipakai dalam

memprediksi produktivitas sapi antara lain panjang badan, tinggi badan, lingkar

dada. Ukuran linear tubuh menurut Minish dan Fox (1979) dapat mengidentifikasi

pola atau tingkat kedewasaan fisiologis ternak sehingga dapat dijadikan parameter

(31)

pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak dapat menduga besarnya komposisi

karkas (Pratiwi, 1997).

Sifat-sifat Karkas

Usaha sapi potong bertujuan menghasilkan karkas berkualitas dan

berkuantitas tinggi sehingga potongan daging yang bisa dikonsumsi menjadi tinggi.

Menurut Lawrie (1998) karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah

dihilangkan kepala, kaki bagian bawah (carpus sampai tarsus), kulit, darah, organ

dalam (jantung, hati paru-paru, limpa, saluran pencernaan dan isi, saluran

reproduksi). Sapi potong menurut Kauffman (2001) terdiri atas non karkas termasuk

kulit (38% Bobot Badan), lemak karkas (17%), Tulang karkas (10%) dan daging

karkas (35%).

Bobot Karkas

Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas. Penggunaan

bobot karkas perlu dikombinasikan dengan indikator-indikator lainnya agar evaluasi

karkas menghasilkan penilaian yang akurat. Hal tersebut dikarenakan bobot karkas

dipengaruhi oleh variasi tipe, bangsa, nutrisi dan jenis dalam pertumbuhan jaringan.

Keragaman tersebut dapat diperkecil dengan mengkombinasikan bobot karkas

dengan tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk dalam mengevaluasi

karkas (Johnson et al., 1992).

Bobot karkas juga sangat dipengaruhi oleh bobot potong, berdasarkan

Herman et al. (1983) semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah. Bobot karkas untuk sapi persilangan Brahman mencapai 225 kg (Taylor

et al., 1996). Kauffman (2001) menjelaskan bahwa bobot karkas sebagian besar dipengaruhi oleh bobot otot dan perototan sangat menentukan kondisi tubuh ternak.

Brahman Cross relatif menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi karena ukuran

saluran pencernaan sapi tersebut relatif lebih kecil (Brahmantiyo, 1996).

Persentase Karkas

Persentase karkas juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan bangsa

(Phillips, 2001). Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa sapi jantan

memiliki persentase karkas yang lebih rendah tetapi rasa dagingnya kurang disukai

(32)

Persentase karkas bertambah dengan meningkatnya bobot potong maka persentase

nonkarkas dan isi saluran pencernaan akan berkurang dengan meningkatnya bobot

potong (Herman et al., 1983). Brahmantiyo (1996) menjelaskan bahwa sapi yang

memiliki bobot badan berbeda tetapi persentase karkasnya sama maka hal tersebut

dikarenakan adanya perbedaan bobot non karkas yang dihasilkan.

Tebal Lemak Punggung

Indikator yang sangat penting untuk menentukan perlemakan karkas adalah

menggunakan tebal lemak subkutan atau lemak punggung (Taylor et al., 1996).

Penilaian banyaknya lemak yang menutupi karkas (lemak sub kutan) dilakukan

dengan mengukur tebal lemak punggung diatas ¾ urat daging mata rusuk antara

rusuk 12 dan 13 (Ockerman, 1985). Tebal lemak punggung sapi dengan bobot badan

625 kg sebesar 5,08 cm. Sapi Brahman cross dengan bobot karkas 225 kg memiliki

tebal lemak punggung sebesar 4,1 mm (Taylor et al., 1996).

Hasil penelitian Ngadiyono (1988) tebal lemak punggung sapi Brahman Cross dan Australian Comercial Cross lebih tinggi dari pada sapi Simmental Ongole meskipun pakan diberikan sama untuk ketiga bangsa sapi tersebut menunjukkan

adanya efek heterosis akibat persilangan dengan sapi-sapi Bos taurus yang punya tebal lemak punggung yang relatif tinggi. Neumann dan Lusby (1986) menambahkan

bahwa ketebalan lemak punggung 0,50 inchi pada sapi yang memiliki frame size yang berbeda dicapai pada bobot yang berbeda pula. Steer memiliki ketebalan lemak punggung yang lebih tinggi (0,64 inchi) dibandingkan dengan sapi jantan (0,5 inchi).

Hal tersebut menjelaskan bahwa ketebalan lemak punggung seekor sapi dipengaruhi

pula oleh frame size sapi, jenis kelamin atau kondisi sapi, dan bobot badan.

Luas Urat Daging Mata Rusuk

Luas urat daging mata rusuk diukur pada irisan melintang daging

(Longissimus dorsi et lumbarum) antara rusuk 12 dan 13 dengan menggunakan plastik grid dalam satuan inchi kuadrat atau dengan menggunakan planimeter

(Ockerman, 1985). Luas urat daging mata rusuk sering dipakai sebagai indikator

perdagingan pada karkas tetapi lebih akurat digunakan sebagai indikator pelengkap

(33)

1992). Berdasarkan Brahmantiyo (1996) nilai perdagingan sangat dipengaruhi oleh

bobot badan, bobot karkas, lemak yang menutupi, konformasi tubuh serta bangsa.

Jumlah serabut otot juga sangat menentukan nilai perdagingan dan

berdasarkan Kauffman (2001) jumlah serabut otot sangat ditentukan oleh faktor

genetik, fase pertumbuhan, jenis kelamin dan jumlah aktifitas fisik ternak. Briskey

(1969) menambahkan bahwa diameter serabut otot bervariasi tergantung spesies,

perkembangan bobot badan setelah lahir, ukuran tubuh, umur, pakan, aktivitas dan

bangsa. Sapi dengan bobot badan 550 kg memiliki luas urat daging mata rusuk

sekitar 17,0 inchi2, sedangkan untuk sapi dengan bobot badan 625 kg memiliki luas

urat daging mata rusuk sekitar 19,5 inchi2. Sapi jantan (13,05 inchi2) memiliki luas

(34)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dengan dua tahapan. Pelaksanaan penimbangan

dan pengukuran parameter tubuh sapi dilakukan di peternakan penggemukan sapi

milik CV. Musika Purbantara Utama Dusun Sranten, Desa Pangklungan, Kecamatan

Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pengukuran sifat-sifat karkas

dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini

dimulai pada tanggal 26 Juni sampai 20 Agustus 2006.

Materi

Penelitian ini menggunakan sapi hasil Inseminasi Buatan (Bos taurus X Bos indicus) yang berasal dari peternakan penggemukan sapi milik CV. Musika Purbantara Utama. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak 25 ekor sapi jantan (Bull)

yang terdiri atas sembilan ekor gemuk, sembilan ekor sedang dan tujuh ekor kurus.

Peralatan timbangan sapi hidup merk Fairbank kapasitas 1000 kg dan timbangan

karkas (timbangan gantung) merk LGN seri 910949 dengan kapasitas 110 kg,

tongkar ukur untuk mengukur panjang badan dan tinggi badan, pita ukur untuk

mengukur lingkar dada, jangka sorong untuk mengukur tebal lemak pangkal ekor,

plastik mika untuk mensketsa luasan udamaru, planimeter untuk mengukur sketsa

udamaru, spidol, penggaris dan fasilitas peralatan rumah potong hewan.

Metode Prosedur Penelitian

Sapi yang siap potong dinilai skor kondisi tubuhnya. Sapi tersebut kemudian

diambil tiga kategori dari lima kategori kondisi tubuh berdasarkan Rutter et al.

(2000) yaitu kurus, sedang dan gemuk. Diskripsi kategori skor kondisi tubuh tersebut

dapat dilihat pada Tabel 2. Sapi yang telah dipilih ditimbang untuk mengetahui

bobot potongnya. Pengukuran ukuran linear tubuh antara lain tinggi badan, panjang

badan dan lingkar dada sapi dilakukan langsung setelah penimbangan bobot potong.

Sapi yang telah ditimbang dan diukur dipisahkan untuk dipuasakan selama kurang

(35)

Tabel 2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong.

Skor Kategori Deskripsi

1 Sangat Kurus ƒ Lemak tidak ada di sekitar pangkal ekor.

ƒ Tulang pinggul, pangkal ekor dan tulang rusuk

secara visual terlihat jelas.

2 Kurus ƒ Tulang rusuk dapat diidentifikasi bila disentuh,

mulai sedikit tidak jelas.

ƒ Pangkal ekor, tulang pinggul dan panggul mulai

tertutupi lemak.

3 Sedang ƒ Tulang rusuk dapat dirasakan dengan tekanan

tangan.

ƒ Pangkal ekor mulai tertutupi lemak dan dapat

dengan mudah dirasakan

4 Gemuk ƒ Lemak penutup di sekitar pangkal ekor jelas,

sedikit membulat, lembek bila disentuh.

ƒ Tulang rusuk tidak bisa dirasakan dengan tekanan

tangan.

ƒ Lipatan lemak mulai berkembang diatas tulang

rusuk dan paha ternak.

5 Sangat Gemuk ƒ Struktur tulang tidak lagi nyata dan ternak

menunjukkan penampilan yang sintal dan

membulat.

ƒ Tulang pinggul, pangkal ekor, tulang rusuk dan

paha dipenuhi dengan lipatan lemak.

ƒ Mobilitas ternak lemah yang diakibatkan oleh

lemak yang dibawanya.

Sumber: Rutter et al. (2000)

Pemotongan sapi dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) kabupaten

Mojokerto. Sistem pemotongan yang diterapkan pada RPH ini adalah sistem

pemotongan tradisional. Proses pemotongan dilakukan dengan merebahkan sapi

(36)

konsumen pada umumnya beragama Islam. Leher dipotong dengan pisau potong

yang tajam pada rahang bawah sehingga oesophagus, Vena jugularis, Arteri carotis dan trachea dapat terpotong dengan sempurna sehingga mendapatkan pendarahan

yang sempurna pula.

Tahap selanjutnya adalah memisahkan bagian kepala dan kaki depan serta

belakang. Pengulitan diawali dengan membelah atau melepaskan kulit di bagian

perut ke arah punggung. Eviserasi dilakukan setelah proses pengulitan selesai dengan menyayat dinding abdomen sampai dada kemudian dikeluarkan organ-organ yang

ada pada perut dan dada. Organ-organ non karkas seperti hati, limpa, ginjal, jantung,

paru-paru dan trakhea dikeluarkan serta lemak yang menempel dihilangkan kecuali

lemak dibagian punggung. Karkas yang diperoleh dipisahkan menjadi beberapa

bagian yaitu paha depan, paha belakang dan bagian kerangka (badan) karkas.

Masing-masing bagian dari potongan-potongan tersebut ditimbang dan total berat

dari semua potongan tersebut adalah bobot karkas yang didapat. Pengukuran luas

urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung dilakukan setelah karkas

ditimbang.

Peubah yang Diamati

Bobot Potong. Bobot potong (kg) diperoleh dari hasil penimbangan sapi sebelum dipotong dengan menggunakan timbangan sapi hidup kapasitas 1000 kg.

Parameter Tubuh. Panjang badan (cm) diukur dari sendi bahu (humerus) sampai pada tulang duduk (tuber ischi) dengan menggunakan tongkat ukur. Lingkar dada

(cm) diukur melingkar bagian dada dibelakang sendi siku dengan menggunakan pita

ukur .Tinggi badan/pundak (cm) diukur dititik tertinggi pundak tegak lurus sampai

ke tanah. Tebal Lemak Pangkal Ekor (cm) diukur dibagian pangkal ekor yang

menonjol dengan menggunakan jangka sorong.

Bobot Karkas. Bobot karkas (kg) diperoleh dengan menimbang karkas yang dipisahkan dari bagian-bagian non karkas.

Persentase Karkas. Persentase karkas diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot potong sapi dikalikan 100%.

(37)

mata rusuk antara rusuk 12 dan 13. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan

penggaris (millimeter).

Luas Urat Daging Mata Rusuk. Pengukuran terhadap luas urat daging mata rusuk dilakukan dengan menggunakan planimeter. Sampel urat daging mata rusuk antara rusuk 12 dan 13 digambarkan pada plastik transparan, kemudian gambar pada plastik

tersebut diukur luasnya dengan alat ukur planimeter.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalahRancangan

Acak Lengkap dengan tiga perlakuan kondisi tubuh yaitu gemuk, sedang dan kurus.

Ulangan untuk masing-masing perlakuan adalah 9 ekor (gemuk), 9 ekor (sedang) dan

7 ekor (kurus). Analisis data menggunakan prosedur General Linier Model (GLM). Data yang menunjukkan perbedaan selanjutnya dilakukan uji Jarak Berganda

Duncan. Model matematika menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = μ + τi+ εIj

Keterangan:

Yij :Nilai Parameter tubuh dan sifat-sifat karkas pada kondisi tubuh ke-i dan

sapi ke-j

μ : Rataan Umum

τi :Pengaruh kondisi tubuh ke-i

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Perusahaan

Peternakan pada penelitian ini merupakan peternakan penggemukan sapi

milik CV Musika Purbantara Utama (MPU) yang berlokasi di Dusun Sranten Desa

Pangklungan Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang Jawa Timur. Usaha

peternakan ini berdiri pada bulan Februari 2002 yang awalnya bertujuan untuk

memasok kebutuhan pupuk kandang untuk usaha perkebunan milik perusahaan

tersebut. Peternakan ini berkembang dengan tujuan memenuhi kebutuhan daging sapi

pasar tradisional Kabupaten Mojokerto. Manajemen pemeliharaan yang dilaksanakan

pada peternakan ini adalah sistem intensif.

Peternakan ini juga melaksanakan sistem usaha inti plasma dalam hal ini sebagai inti adalah peternakan CV MPU dan sebagai plasma adalah masyarakat

sekitar. Tujuan dari program inti plasma ini adalah untuk membantu masyarakat

sekitarnya yaitu dengan memberikan kesempatan pada masyarakat yang ingin

memelihara sapi dengan prinsip bagi hasil. Peternakan ini juga bekerjasama dengan

beberapa perguruan tinggi dan beberapa instansi peternakan dalam mengembangkan

peternakan tersebut sehingga sering dijadikan sebagai tempat praktik lapang.

Peternakan ini terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian 600 m dpl.

Suhu lingkungan peternakan ini adalah 23-24 oC pada siang hari dan 15-18 oC pada

malam hari dengan tingkat kelembaban 60%. Kondisi pegunungan ini sangat

menguntungkan untuk peternakan penggemukan sapi karena air tersedia dari mata air

yang ada sepanjang tahun. Luas lahan peternakan ini sekitar 4 ha yang terletak

didalam lahan perkebunan cengkeh seluas 18 ha.

Jumlah sapi yang dipelihara di peternakan ini sampai bulan Agustus 2006

sebanyak 541 ekor yang terdiri atas 37 ekor sapi jantan berada di peternakan plasma, dan 504 ekor berada di peternakan inti. Sapi dikandangkan sesuai dengan umur sapi tersebut. Kelompok umur dan jumlah sapi pada peternakan inti dapat dilihat pada

(39)

Tabel 3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi

No Kelompok Sapi Jumlah(ekor)

1 Bakalan < 1 tahun 95

Sumber: Peternakan CV MPU (2006)

Perusahaan memproduksi bakalan sendiri dan juga bakalan yang dibeli dari

pasar-pasar hewan sekitar. Bakalan yang diproduksi oleh perusahaan merupakan sapi

hasil inseminasi buatan antara Bos taurus (Simmental dan Limousin) dengan Bos indicus (Brahman dan Peranakan Ongole). Bakalan yang berasal dari peternakan ini dipelihara terlebih dahulu pada wilayah kandang pembesaran sebelum masuk ke

wilayah kandang finishing. Bakalan dari pasar menurut Sosroamidjojo (1991)

seharusnya ditempatkan pada kandang karantina, tetapi dalam peternakan ini tidak

demikian. Bakalan yang dibeli dari pasar langsung dimasukkan pada tempat yang

kosong di kandang yang sesuai dengan umur sapi tersebut. Sapi-sapi yang baru

masuk ditimbang kemudian diperiksa kondisi fisiknya dan diberi obat cacing

sebelum dimasukkan ke area perkandangan.

Kandang dipisahkan berdasarkan umur dan program budidaya yang

diterapkan. Sapi umur lebih dari satu tahun dipelihara pada kandang ganda

berhadapan tanpa pent (tipe stanction head to head) yang memudahkan dalam pemberian pakan. Kandang sapi umur kurang dari satu tahun berbentuk kandang

kelompok karena sapi tersebut belum diberi tali keluhan (tali hidung). Kandang

induk dilengkapi dengan kandang kelompok untuk anak yang diberi litter dari serbuk gergaji untuk menjaga kehangatan.

Pakan merupakan faktor terbesar dari budidaya peternakan. Pakan yang

diberikan pada peternakan ini berbeda-beda kandungan proteinnya sesuai dengan

program yang diterapkan. Kebutuhan nutrisi pakan disesuaikan dengan umur sapi

(40)

Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur

Sumber: Peternakan CV MPU (2006)

Pakan terdiri atas hijauan yang didapat dari limbah pertanian di sekitarnya dan

konsentrat yang diproduksi oleh perusahaan ini. Pemberian pakan konsentrat untuk

program finishing dan pembesaran diberikan dua kali sehari yaitu pagi hari dan siang

hari, sedangkan untuk pakan hijauan pada sore hari. Pemberian pakan untuk induk

dan anak (cow calf) sama dengan program yang lainnya tetapi hijauan diberikan ad libitum untuk anak sapi. Bahan baku konsentrat yang digunakan untuk program finishing dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Bahan Baku Konsentrat

No. Bahan Baku Jumlah Penggunaan

(%)

1. Bekatul 33,5

2. Dedak Jagung 10

3. Tumpi Jagung (Limbah rontokan penggilingan jagung) 10

4. Kedelai Afkir 12

5. Tumpi kedelai (Limbah rontokan penggilingan kedelai) 5

6. Bungkil kelapa 15

(41)

Tabel 5 dapat diketahui bahwa bahan baku untuk konsentrat berasal dari

limbah pertanian. Bahan-bahan tersebut dipasok dari wilayah Jawa Timur dan

sekitarnya. Konsentrat jadi ini bersifat sangat bulky sehingga dalam pemberiannya

sering dicampur dengan air. Air minum diberikan setelah konsentrat habis sampai

pada waktu pemberian konsentrat berikutnya. Penanganan limbah di peternakan ini

sangatlah sederhana. Kotoran sapi hanya ditumpuk lalu diberi starter untuk

mengurangi bau dari kotoran tersebut. Kotoran ini akan dijadikan kompos untuk

memenuhi kebutuhan pupuk di perkebunan perusahaan.

Perusahaan ini menjual ternaknya dalam bentuk ternak hidup dan karkas.

Penjualan ternak hidup baik sapi atau kambing untuk memenuhi kebutuhan ternak

qurban. Penjualan dalam bentuk karkas dilakukan setiap hari sekitar 1-3 ekor. Proses

pemotongan dilakukan di RPH Kabupaten Mojokerto untuk memenuhi kebutuhan

pasar tradisional. Tabel 6 memperlihatkan hasil pengamatan terhadap 25 ekor sapi

yang dipelihara diperusahaan.

Tabel 6. Rataan dan Kisaran Produktivitas Sapi

Rataan Kisaran

Persentase Karkas (%) 47,472 43,650 – 53,530

Tebal Lemak Punggung (mm) 1,220 0,500 – 3,000

Luas Urat Daging Mata Rusuk (cm2) 139,86 99,27 – 174,70

Sapi yang akan dipotong rata-rata sudah berumur lebih dari empat tahun atau

gigi seri keempat tinggal satu yang belum tanggal. Penentuan waktu yang tepat sapi

tersebut akan dipotong (derajat finish) juga berdasarkan dari tipe bangsa sapi. Sapi tipe sedang atau besar bobot potongnya lebih dari 500 kg sedangkan untuk sapi tipe

kecil yang akan dipotong bobot potongnya kurang dari 500 kg. Hal tersebut terlihat

(42)

kisaran bobotnya yaitu dari 532 kg sampai 800 kg. Sapi yang dipotong tersebut

merupakan sapi sedang. Program finishing yang dijalankan sesuai dengan Neumann dan Lusby (1986) bahwa bobot potong untuk program ini berkisar antara 500-625 kg.

Hasil ukuran linear tubuh pada Tabel 6 terlihat bahwa rata-rata untuk tinggi

badan 141,6 cm, panjang badan 158,68 cm dan lingkar dada sebesar 204,32 cm.

Ukuran linear tubuh tersebut lebih tinggi dari ukuran minimal sapi Peranakan Ongole

bibit berdasarkan Natasasmita dan Mudikdjo (1979) yang merupakan sapi tipe kecil

yaitu untuk sapi jantan dewasa tinggi badan 135 cm, panjang badan 133 cm dan

lingkar dada 171 cm. Nilai ukuran linear tubuh tersebut mengindikasikan bahwa

sapi-sapi yang dipotong merupakan sapi tipe besar. Field dan Taylor (2002)

menambahkan bahwa sapi tipe sedang pada umur empat tahun bobot badan berkisar

antara 500 sampai 1000 kg.

Hasil bobot karkas sapi tersebut rata-rata 358,72 kg dengan rataan persentase

karkas sebesar 47,472 %. Persentase karkas ini lebih rendah dari pada persentase

karkas sapi Brahman Cross berdasarkan penelitian Kurniawan (2005) yaitu sebesar

50 %. Lemak yang dihasilkan dari sapi ini rendah berdasarkan nilai rataan tebal

lemak pangkal ekor sebesar 1,062 cm dan tebal lemak punggung sebesar 1,220 mm.

Lemak yang sedikit disesuaikan dengan selera konsumen pada pasar tradisional.

Nilai urat daging mata rusuk 139,86 cm2 merupakan nilai yang cukup luas dan

mengindikasikan perdagingan yang dihasilkan dari karkas tersebut sangat besar dan

juga dikarenakan pengukuran dilakukan saat karkas segar sehingga konsistensi

daging masih rendah.

Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda

Produktivitas seekor sapi merupakan parameter penilaian keberhasilan suatu

manajemen pemeliharaan dalam beternak. Parameter tubuh merupakan

ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain ukuran-ukuran kepala,

tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo,1980). Bobot

badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga

berdasarkan ukuran linear tubuh sapi meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi

badan (Kadarsih, 2003). Tabel 7 menyajikan hasil pengukuran parameter sapi potong

(43)

Tabel 7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan: TLPE : Tebal Lemak Pangkal Ekor

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Bobot Potong

Bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan dalam keadaan hidup

merupakan definisi dari bobot badan, sedangkan bobot potong merupakan bobot

yang di timbang sesaat sebelum sapi dipotong. Waktu yang tepat untuk memotong

sapi harus disesuaikan dengan imbangan antara komposisi tubuh dan biaya yang

dikeluarkan agar didapatkan persentase karkas yang sesuai (Phillips, 2001). Pratiwi

(1997) menambahkan bahwa untuk memotong sapi harus memperhatikan kondisi

sapi tersebut.

Sapi yang memiliki kondisi gemuk, mempunyai bobot potong yang terbesar

yaitu 702,3 kg, sedangkan kondisi sedang dan kurus masing-masing mempunyai

bobot potong 620,0 kg dan 639,8 kg. Nilai bobot potong tersebut lebih ringan dari

bobot dewasa sapi Limousin menurut Blakely dan Bade (1991) sebesar 1100 kg. Hal

tersebut dikarenakan sapi-sapi pada penelitian ini bukan merupakan bangsa sapi asli

tapi sudah mengalami persilangan dengan sapi Brahman dan PO sehingga bobot

potong yang dihasilkan saat dewasa lebih rendah.

Perbedaan bobot potong tersebut lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan kenaikan bobot badan

dengan meningkatnya kondisi tubuh ternak. Sapi yang semakin gemuk akan

memperlihatkan bobot potong yang semakin berat. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Nielsen (2002) bahwa bobot badan memiliki hubungan yang positif

(44)

Gambar 1. Bobot Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan : BP (Bobot Potong)

Sapi dengan kondisi tubuh yang berbeda berdasarkan hasil tersebut

menunjukkan bobot potong yang cenderung berbeda pula. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Parakkasi (1999) bahwa bobot badan dewasa sapi potong yang

berbeda-beda akan berberbeda-beda-berbeda-beda pula dalam tingkat kegemukannya pada umur dan makanan

yang sama. Perbedaan bobot badan tersebut dikarenakan adanya perbedaan

pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing

individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah

disimpan dalam tubuh.

Kemampuan beradaptasi sapi juga dapat menentukan besarnya nilai bobot

potong yang dapat dipengaruhi oleh bangsa, manajemen pemeliharaan, isi saluran

pencernaan dan kesehatan sapi (Blakely dan Bade, 1991). Neumann dan Lusby

(1986) juga menjelaskan bahwa sapi yang telah mencapai bobot tubuh dewasa

mengeluarkan sekitar 25% atau 40 kg kotoran per hari yang dapat mempengaruhi

bobot badan sapi.

Sapi yang memiliki kondisi tubuh kurus dan sedang memiliki bobot potong

yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan sapi yang memiliki kondisi

gemuk. Hal tersebut menurut Blakely dan Bade (1991) bisa juga disebabkan karena

adanya perbedaan efisiensi dalam pemanfaatan nutrien pakan oleh tubuh sapi. Sapi

yang memiliki bobot badan lebih berat maka menunjukkan bahwa efisiensi

(45)

yang lebih baik. Perbedaan bobot badan juga dapat disebabkan faktor fisiologis dari

masing-masing sapi yang berbeda. Bobot potong yang sama pada sapi kondisi kurus

dan sedang juga bisa disebabkan adanya pengaruh isi saluran pencernaan, nilai

perlemakan dan nilai perdagingan. Neumann dan Lusby (1986) menambahkan

bahwa keadaan isi saluran pencernaan juga sangat menentukan nilai bobot potong

ternak sehingga sapi yang kurus dapat menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi.

Ukuran-ukuran Linear Tubuh

Sapi pada penelitian ini memiliki kondisi tubuh berbeda (kurus, sedang dan

gemuk) tidak berpengaruh terhadap ukuran linear tubuh seperti tinggi badan, panjang

badan dan lingkar dada. Rataan tinggi badan untuk sapi gemuk, sedang dan kurus

masing-masing sebesar 142,11 cm, 141,78 cm 140,71 cm. Panjang badan untuk sapi

dengan kondisi kurus, sedang dan gemuk berturut-turut adalah 156,71 cm, 160,11 cm

dan 58,78 cm. Rataan lingkar dada untuk sapi dengan kondisi kurus sebesar 200,57

cm, sedang 203,89 cm dan gemuk sebesar 207,67 cm.

Hasil rataan ukuran-ukuran linear tubuh sapi tersebut tidak jauh berbeda

dengan sapi Brahman PO dan Simmental PO hasil penelitian Suparlan (2004). Sapi

dalam penelitian Suparlan memiliki tinggi gumba sebesar 137,7 cm, panjang badan

137,3 dan lingkar dada 161 cm. Hasil tersebut lebih rendah dari hasil penelitian ini

karena sapi dalam penelitian Suparlan masih berumur dua tahun sedangkan sapi pada

penelitian ini sudah berumur empat tahun.

Tabel 7 memperlihatkan ukuran linear tubuh pada kondisi tubuh berbeda.

Ukuran linear tubuh yang hampir sama dikarenakan sapi-sapi ini diukur pada umur

lebih dari empat tahun. Blakely dan Bade (1991) umur sapi jantan pada saat

tercapainya pubertas bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran

antara 8 sampai 18 bulan dan bobot badan 350 sampai 450 kg. Sapi berumur lebih

dari empat tahun merupakan umur yang telah melewati kedewasaan tubuh dan

memiliki pertumbuhan tulang dan otot yang cenderung tetap.

Ukuran linear tubuh pada sapi dewasa bukan merupakan indikator yang baik

bila digunakan untuk memprediksi bobot badan. Sapi yang telah mengalami dewasa

tubuh pertulangannya sudah tidak berkembang lagi sehingga ukuran linear tubuh sapi

tersebut relatif konstan. Tabel 7 menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut memiliki

(46)

Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh deposisi otot dan lemak yang berbeda di

antara kondisi tubuh yang berbeda (Preston dan Willis, 1974).

Kemampuan ternak dalam mendeposisikan otot bisa dikarenakan perbedaan

bangsa, umur, manajemen pemeliharaan, keadaan sistem pencernaan dan kesehatan

sapi (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang memiliki kondisi tubuh yang baik

menunjukkan jumlah perlemakan dan perototan yang lebih besar karena merupakan

refleksi dari pakan yang baik (Neumann dan Lusby, 1986). Blakely dan bade (1991) menambahkan bahwa sapi kurus pakannya lebih dimanfaatkan terlebih dahulu untuk

perawatan tubuh kemudian sisa nutrien pakannya untuk memenuhi fungsi-fungsi

tubuh.

Tebal Lemak Pangkal Ekor

Tebal lemak pangkal ekor di antara kondisi tubuh menunjukkan hasil yang

berbeda (Tabel 7). Tebal lemak pangkal ekor sapi kondisi gemuk (1,58 cm) tidak

berbeda nyata dengan kondisi sedang (1,09 cm), tetapi berbeda nyata dengan sapi

kondisi kurus (0,36 cm). Selama fase penggemukan lemak merupakan jaringan

dengan jumlah dan penyebaran yang berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi

proporsi jaringan otot dan nilai karkas (Field dan Taylor, 2002). Gambar 2

memperlihatkan adanya perbedaan nilai tebal lemak pangkal ekor pada kondisi tubuh

yang berbeda.

Gambar 2. Tebal Lemak Pangkal Ekor pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan : TLPE (Tebal Lemak Pangkal Ekor)

(47)

Nilai ketebalan lemak pangkal ekor pada Gambar 2 cenderung meningkat

akan tetapi untuk kondisi sedang dan gemuk tidak berbeda nyata sedangkan sapi

kurus memiliki tebal lemak pangkat ekor yang sangat berbeda nyata dengan kategori

kondisi tubuh yang lain. Encinias dan Lardy (2000) menjelaskan bahwa salah satu

kriteria penilaian kondisi ternak adalah dengan menentukan nilai perlemakan dan

perdagingannya. Sapi kurus dengan sedang berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa

meskipun memiliki bobot potong yang tidak berbeda nyata tetapi tebal lemak

pangkal ekornya menunjukkan perbedaan. Nilai tebal lemak pangkal ekor yang

berbeda tersebut yang menyebabkan perbedaan penentuan kriteria kondisi ternak

(Phillips, 2001).

Perbedaan ketebalan lemak tersebut mengindikasikan bahwa kondisi ternak

mampu menunjukkan nilai perlemakan secara visual pada sapi dan dapat digunakan untuk mengestimasi nilai perlemakan karkas (Encinias dan Lardy, 2000).

Penyimpanan lemak tertinggi terjadi pada daerah paha, dada, tulang punggung dan

rusuk sampai pangkal ekor. Perbedaan jumlah lemak yang terdeposisikan bisa

dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan (Field dan Taylor, 2002). Tebal lemak

pangkal ekor merupakan posisi perlemakan yang paling mudah dilihat pada sapi.

Hafid (2004) menjelaskan bahwa tebal lemak pangkal ekor dan nilai butt shape sapi

dapat memprediksikan komposisi karkas sapi. Pratiwi (1997) menambahkan tebal

lemak pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak juga dapat menduga besarnya

komposisi karkas.

Sifat-sifat Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda

Tujuan utama dari usaha penggemukan sapi potong adalah menghasilkan

karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga potongan daging yang bisa

dikonsumsi menjadi tinggi serta sesuai dengan selera konsumen. Natasasmita dan

Mudikdjo (1979) menambahkan bahwa karkas sapi Bos taurus terdiri atas daging (53,4%), lemak (28,2%) dan tulang (14,8%) sedangkan sapi Bos indicus terdiri atas

daging (68,5%), lemak (8,1%) dan tulang (20,7%).

Komposisi karkas dan kualitasnya menurut Hafid (2004) dapat dilihat

berdasarkan nilai sifat-sifat karkas yang dihasilkan. Hasil pengukuran sifat-sifat

karkas antara lain bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung dan luas

(48)

Tabel 8. Rataan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Skor Kondisi Tubuh

Keterangan: TLP : Tebal Lemak Punggung; UDMR: Urat Daging Mata Rusuk

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Bobot Karkas

Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas dan dapat

digunakan sebagai ukuran produktivitas karkas yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 8

semakin bagus kondisi tubuh, bobot karkas cenderung meningkat untuk kondisi

kurus (330,1 kg) tidak berbeda nyata dengan kondisi sedang (362,44 kg) dan kondisi

sedang tidak berbeda nyata dengan gemuk (377,28 kg), tetapi kondisi kurus memiliki

bobot karkas yang berbeda nyata dengan kondisi gemuk.

Kurniawan (2005) melaporkan bahwa sapi Brahman Cross dengan bobot

potong 500 kg memiliki bobot karkas sebesar 224 kg. Hasil penelitian Kurniawan

menunjukkan nilai bobot karkas yang lebih berat dari nilai bobot karkas pada

penelitian ini karena memiliki bobot potong yang lebih berat pula. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Herman et al. (1983) semakin berat bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi yang mempunyai kondisi kurus

dan sedang memiliki bobot karkas dan bobot potong yang tidak berbeda. Sapi yang

mempunyai kondisi kurus dan gemuk memiliki bobot potong dan bobot karkas yang

berbeda. Hal tersebut menjelaskan bahwa peningkatan bobot karkas seiring dengan

peningkatan bobot potong. Herman et al. (1983) menyatakan bahwa bobot karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potong. Hasil bobot karkas pada kondisi tubuh

(49)

Gambar 3. Bobot Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda

Keterangan: BK: Bobot Karkas

Bobot karkas sapi kondisi sedang dan gemuk tidak berbeda, akan tetapi

mempunyai perbedaan pada bobot potong. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi

oleh nilai bobot non karkas yang berbeda dan mengindikasikan bahwa bobot non

karkas sapi gemuk lebih tinggi dari sapi sedang. Pengaruh bobot non karkas terhadap

bobot karkas sesuai dengan penjelasan Brahmantiyo (1996) bahwa sapi dengan bobot

potong yang berbeda maka nilai bobot karkas yang sama dipengaruhi oleh nilai

bobot non karkas. Perbedaan bobot karkas bisa disebabkan adanya variasi tipe,

bangsa, nutrisi dan jenis pertumbuhan jaringan serta perbedaan bobot non karkas

yang dihasilkan (Blakely dan Bade, 1991).

Persentase Karkas

Persentase karkas didapatkan dari hasil rasio antara bobot karkas dengan

bobot potong kali seratus persen. Persentase karkas yang dihasilkan untuk sapi

dengan kategori kondisi tubuh kurus sebesar 52,58 %, sedang (56,18 %) dan gemuk

(53,74 %). Hasil tersebut lebih besar dari laporan Kurniawan (2005) bahwa sapi

Brahman Cross dengan bobot badan 500 kg menghasilkan persentase karkas sebesar

48,62 %.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa persentase karkas sama pada kondisi yang

Gambar

Tabel 1.  Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong. Bangsa Bobot Badan (kg)
Tabel 2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong.
Tabel 3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi
Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian pada kelas kontrol kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Talamau Kabupaten Pasaman Barat tanpa menggunakan strategi POINT, berdasarkan

Dengan demikian dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dan iklim kerja sekolah terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan

• Terima kasih pula kepada orang-orang yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu disini yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis

Persentase tren dalam analisis ini menunjukkan perubahan data keuangan perusahaan dalam persen (%) untuk beberapa tahun berdasarkan suatu tahun dasar tertentu, dan

Implementasi LKM Posdaya Kenanga dikatakan baik karena dari hasil tabel frekuensi menunjukkan tingkat ketepatan sasaran, tingkat pemberian sumber daya, dan tingkat

Analisis pengaruh pre-conditioning , tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap derajat

Tidak jauh berbeda dengan peneitian terdahulu, respon strategis untuk membantu membuka lebar akses masyarakat miskin ke pengadilan adalah dengan semakin

3) Daftar Nilai Hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandart Nasional yang selanjutnya disebut dengan DNHUASBN, adalah daftar nilai mata pelajaran yang didapat dari hasil Ujian Akhir