• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 9 Lokasi wilayah penelitian

Wilayah studi dari penelitian ini mencakup daerah Kabupaten Bogor dan sekitarnya, dengan spesifikasi wilayah berada pada rentang 6°23’42”–6°44’20.4” LS dan 106°26’34.8”–107°12’54” BT. Kabupaten Bogor adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia, dengan Cibinong sebagai pusat

16

pemerintahan. Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di utara, Kabupaten Karawang di timur, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan, serta Kabupaten Lebak di barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor sebesar 2.071,21 km2. Luas wilayah tersebut terbagi menjadi 40 kecamatan dengan total populasi pada tahun 2007 sebesar 4.316.236 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 2.083,92 jiwa/km2. (BPS, 2008). Kota Bogor merupakan salah satu kota di provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah sebesar 11.850 Ha dan secara geografis berada di sekitar 106°48’ BT dan 6°26’ LS. Kota Bogor terdiri dari 6 kecamatan dan secara administratif dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec. Sukaraja Kabupaten Bogor.

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor.

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor.

Penelitian ini berada pada bagian/wilayah troposfer, khususnya wilayah Planetary Boundary Layer (PBL). Planetary Boundary Layer (PBL) atau biasa disebut pula Atmospheric Boundary layer (ABL) merupakan bagian terendah dari atmosfer dan karakteristikya secara langsung dipengaruhi oleh kontak dengan permukaan bumi. Sehingga tingkat kekasaran dan aktivitas yang berlangsung di permukaan bumi sangat mempengaruhi tinggi PBL. Ketinggian yang rendah terjadi saat pagi dan malam hari sedangkan menjelang siang ketinggian PBL mengalami kenaikan. Ketinggian PBL yang rendah saat pagi dan malam hari dikarena tingkat turbulensi yang terjadi dan berpengaruh terhadap ketinggian PBL sangat rendah jika dibanding dengan turbulensi yang terjadi saat siang hari, kondisi siang hari dengan tingkat penyinaran yang kuat. Perubahan yang terjadi pada lapisan ini terjadi dalam rentang waktu kurang dari satu jam. Menurut Susilo (1996), PBL atau biasa juga disebut lapisan batas atmosfer berada di bawah ketinggian 1.5 km dari permukaan laut. Semakin ke bawah, semakin besar permukaan bumi. Gaya dominan yang bekerja dalam lapisan terakhir ini adalah gaya geser yang berasal dari kekasaran permukaan, pertukaran energi dan pertukaran massa, misalnya uap air, terutama yang berlangsung dengan cara konduksi. Di atas PBL adalah atmosfer bebas dengan kondisi angin merupakan angin geostropik (angin yang sejajar dengan isobars) sementara dalam PBL angin yang terjadi dipengaruhi kekasaran permukaan dan melintasi isobars. Lapisan atmosfer bebas ini biasanya bebas turbulensi dan hanya terjadi golakan yang bersifat insidental.

Gambar 10 Wilayah Planetary Boundary Layer

Pada daerah penelitian yang mencakup wilayah Kabupaten dan Kota Bogor dapat dilihat beberapa titik/tempat yang berpotensi menjadi sumber pencemaran SO2. Pada daerah Kabupaten Bogor terdapat 2 kawasan industri yang cukup besar, yaitu wilayah kawasan industri Sentul dan kawasan industri Cibinong, selain itu dari segi transportasi terdapat jalan yang dapat dikategorikan sebagai jalan provinsi yaitu diantaranya jalan tol Jagorawi. Pada wilayah penelitian juga terdapat banyak kawasan industri menengah maupun kecil yang tersebar di berbagai daerah, antar lain daerah Citeureup, Jasinga, Ciampea, Cisarua, Ciawi, dan berbagai daerah lain. Dari sektor transportasi, potensi sumber pencemar terdapat pada banyaknya kendaraan umum sejenis angkot yang ada di daerah penelitian khususnya daerah Kota Bogor.

Pencemaran SO2 di Kabupaten Bogor dan Sekitarnya

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang berupa besarnya tingkatan kolom pencemaran SO2 di daerah lapisan traposfer, tepatnya pada daerah Planetary Boundary Layer (PBL), yang ada di atas wilayah penelitian serta visualisasinya. Besaran tingkat pencemaran disajikan dalam satuan Dobson Unit (DU). Dobson Unit (DU) adalah skala pengukuran kerapatan ozon pada suatu kolom udara di atmosfer. Satu Dobson setara dengan 2.69 × 1020 ozon molekul per meter persegi atau 0.442 milimol ozon per meter persegi. Dobson unit juga bisa diartikan sebagai kerapatan suatu molekul pada suatu kolom udara yang dimampatkan menjadi sebuah lempengan dengan tebal tertentu, satu Dobson memiliki tebal lempengan 0.01 mm yang berisi 0.0285 gram molekul per meter persegi pada temperatur dan tekanan standar (273 °Kelvin dan 1 atm). (http://ozonewatch.gsfc. nasa.gov/facts/dobson.html)

Hasil visualisasi dapat dilihat dalam bentuk peta yang memperlihatkan sebaran tingkat pencemaran SO2 di atmosfer dalam rentang daerah penelitian. Pengambilan data penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu 5 tahun (2006– 2010) dan didapatkan bahwa tingkat kandungan SO2 di PBL troposfer Kota dan Kabupaten Bogor paling tinggi terjadi pada tanggal 11 November 2010 sebesar

18

14.82 DU, sedangkan paling rendah terjadi pada tanggal 30 Maret 2007 sebesar -5.63 DU. Hal itu dapat dilihat dari grafik pada Gambar 11 dan 12.

Data DU yang bernilai negatif sebenarnya tidak berlaku. Nilai negatif yang terdapat pada hasil penelitian ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya kesalahan pada pola algoritma pengolahan data OMI, nilai negatif ini umumnya terjadi pada daerah yang lebih berawan sehingga dapat terjadi efek koreksi “Ring” yang tidak sempurna atau pergeseran panjang gelombang pada cahaya yang terukur pada daerah yang lebih berawan tersebut. Tekanan medan yang tidak tepat ataupun nilai radiasi tekanan awan yang tidak tepat juga dapat menghasilkan nilai data input yang salah. (http://so2.gsfc.nasa.gov/Documentation/OMSO2Release-Details_v111_ 0303.htm)

Gambar 11 Grafik besaran pencemar SO2 pada tahun 2010

Pola Distribusi Total Kolom SO2 di Bogor

Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan dari 7 stasiun curah hujan, yaitu stasiun curah hujan Cibinong, Cianten, Dramaga, Gunung Mas, Jasinga, Jonggol dan Katulampa yang dapat dilihat pada Gambar 13 serta menurut Tjasyono (2004), pembagian musim berdasarkan perubahan musim di Indonesia terdiri dari musim hujan terjadi pada bulan-bulan DJF (Desember-Januari-Februari), kemarau pada bulan-bulan JJA (Juni-Juli-Agustus) dan dua musim peralihan yaitu bulan-bulan MAM (Maret-April-Mei) dan SON (September-Oktober-November).

Gambar 13 Grafik curah hujan rata-rata di Kabupaten Bogor pada tahun 2006– 2010 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov

Cu rah H u jan ( m m ) Bulan

20

Gambar 14 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim DJF (atas) dan MAM (bawah) tahun 2006

Pada tahun 2006, sebaran total kolom SO2 di wilayah Kabupaten Bogor dan sekitarnya saat bulan DJF ,yang merupakan musim hujan, terlihat sangat merata. Seluruh wilayahnya mempunyai nilai 0 DU, kecuali di sebagian wilayah kecamatan Gunung Putri dan Cileungsi yang mempunyai nilai mencapai 0.15 DU. Hal ini disebabkan oleh adanya kawasan industri yang cukup besar di wilayah tersebut. Pada bulan MAM, yang merupakan musim peralihan dari musim hujan ke kemarau, nilai sebaran total kolom SO2 sangat merata di seluruh wilayah Kabupaten Bogor dan sekitarnya, dengan nilai 0 DU.

Gambar 15 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim JJA (atas) dan SON (bawah) tahun 2006

Pada musim kemarau yang terjadi di bulan JJA, nilai total kolom SO2 di beberapa wilayah Kabupaten Bogor cukup tinggi. Di wilayah Kecamatan Jasinga dan Sukajaya nilai total kolom SO2 berada di kisaran nilai 0.15–0.45 DU, pada wilayah Kota Bogor, sebagian wilayah Bojong Gede, Tanjung Sari, Babakan Madang, Citeureup dan Cijeruk memiliki nilai 0.15 DU, di sebagian wilayah Dramaga, Cibinong, Sukaraja, Cijeruk dan Caringin memiliki nilai 0.3 DU. Wilayah Taman Sari dan Pamijahan memiliki nilai tinggi sekitar 0.15–0.6 DU, pada wilayah Ciawi, Megamendung dan Cisarua memiliki nilai 0.15–0.75 DU serta pada sebagian wilayah Cisarua nilainya merupakan nilai tertinggi yaitu sebesar 0.8 DU. Hal ini dapat dikarenakan wilayah tersebut merupakan jalur utama transportasi menuju kawasan wisata Puncak, sehingga memiliki kepadatan volume kendaraan yang sangat berdampak pada besaran nilai pencemar SO2 di wilayah tersebut. Pada bulan SON, nilai sebaran total kolom SO2 cukup tinggi yaitu berkisar antara 0.3 sampai 1.2 DU di sebagian wilayah Kabupaten Bogor seperti Kecamatan Sukajaya, Nanggung, Jasinga, Pamijahan dan Cileungsi.

22

Gambar 16 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim DJF (atas) dan MAM (bawah) tahun 2007

Pada musim hujan yang terjadi di bulan DJF, nilai total kolom SO2 terbilang cukup merata di wilayah Bogor, namun pada wilayah Parung dan Gunung Sindur nilainya cukup tinggi, yaitu sekitar 0.15–0.75 DU. Hal ini dapat disebabkan karena wilayah tersebut merupakan wilayah perbatasan dengan Kabupaten Depok yang memiliki jalur transportasi cukup besar sehingga membuat volume kendaraan bermotor di wilayah tersebut cukup tinggi. Pada bulan MAM, sebagian wilayah Kota Bogor memiliki nilai total kolom SO2 mencapai 0.15–0.3 DU. Di wilayah Tenjo, yang merupakan wilayah perbatasan dengan Provinsi Banten, memiliki nilai tinggi yaitu sekitar 0.15–0.8 DU. Pada wilayah Jonggol, Sukamakmur, Cariu dan Tanjung Sari nilai total kolom SO2 mencapai nilai tertinggi di bulan MAM, yaitu sekitar 0.15–1.2 DU.

Gambar 17 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim JJA (atas) dan SON (bawah) tahun 2007

Pada bulan JJA dan SON nilai total kolom SO2 di wilayah Bogor memiliki nilai 0 DU di sebagian besar wilayahnya, namun ada beberapa daerah pula yang memiliki nilai yang tinggi. Di bulan JJA, wilayah Cigudeg, Leuwisadeng, Nanggung, Babakan Madang, Sukamakmur dan Ciawi memiliki nilai 0.15 DU. Di wilayah Jasinga dan Sukajaya memiliki nilai 0.3 DU, bahkan di sebagian wilayah Sukajaya nilai total kolom SO2 mencapai 0.45 DU. Di kawasan wisata Puncak yang meliputi wilayah Megamendung dan Cisarua serta sebagian wilayah Sukamakmur memiliki nilai total kolom SO2 yang cukup tinggi yaitu sekitar 0.3–0.8 DU. Nilai tertinggi sebesar 0.8 DU terjadi di wilayah Cisarua yang merupakan daerah wisata padat kendaraan. Di bulan SON, sebagian wilayah Bogor memiliki nilai total kolom SO2 yang rendah, namun di beberapa wilayah seperti Cigudeg, Jasinga, Tanjung Sari, dan Sukajaya memiliki nilai 0.15 DU, bahkan di sebagian wilayah Sukajaya memiliki nilai total kolom SO2 yang cukup tinggi sekitar 0.3 DU.

24

Gambar 18 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim DJF (atas) dan MAM (bawah) tahun 2008

Pada bulan DJF tahun 2008 nilai total kolom SO2 di sebagian besar wilayah Bogor relatif sama bernilai 0 DU, hanya ada beberapa daerah yang nilainya agak berbeda. Pada sebagian wilayah Jasinga, Sukajaya, Caringin, Megamendung dan Cisarua memiliki nilai 0.15 sampai dengan 0.3 DU. Di bulan MAM, nilainya relatif sama di sebagian besar wilayah Bogor, namun pada sebagian wilayah Kota Bogor dan Cibinong memiliki nilai 0.15–0.3 DU. Sedangkan di daerah Cigudeg, Rumpin, Leuwisadeng, Leuwiliang, Nanggung dan Sukajaya memiliki nilai yang tinggi, yaitu mulai 0.15–0.6 DU. Hal ini dapat terjadi dikarenakan cukup banyaknya industri pengolahan dan pertambangan di daerah Cigudeg, Leuwisadeng dan Rumpin yang cukup berkonstribusi dalam pencemaran polutan SO2 di wilayah tersebut.

Gambar 19 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim JJA (atas) dan SON (bawah) tahun 2008

Pada bulan JJA dan SON yang memiliki curah hujan yang lebih kecil dibandingkan bulan DJF dan MAM, nilai total kolom SO2 di periode ini bernilai cukup tinggi. Pada bulan JJA yang merupakan musim kemarau, banyak wilayah yang memiliki nilai sebesar 0.15–0.3 DU seperti daerah Cileungsi, Sukaraja, Cisarua, Ciawi, Sukamakmur, Ciseeng, Tajurhalang, Rumpin, Cigudeg, Sukaraja, Rancabungur, Leuwiliang dan Leuwisadeng. Sedangkan di wilayah Citeureup, Jonggol, Sukamakmur, Klapanunggal dan Babakan Madang memiliki nilai yang tinggi sekitar 0.3 sampai dengan 1 DU. Di bulan SON, sebagian wilayah Bogor juga memiliki nilai yang tinggi. Daerah Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Pamijahan, Dramaga, Tamansari, Cibinong, Citeureup, Bojonggede dan sebagian wilayah Kota Bogor memiliki nilai 0.15–0.3 DU, sedangkan wilayah Sukaraja, Ciawi, Cijeruk, Caringin, Megamendung, Babakan Madang dan sebagian Kota Bogor mempunyai nilai 0.3–0.7 DU.

26

Gambar 20 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim DJF (atas) dan MAM (bawah) tahun 2009

Pada bulan DJF dan MAM di tahun 2009, pola yang dimiliki hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Di bulan DJF yang merupakan musim hujan, hampir seluruh daerah memiliki nilai 0 DU, hanya di daerah sebagian Kecamatan Nanggung yang memiliki nilai total kolom SO2 sebesar 0.15 DU. Sedangkan pada bulan MAM, terdapat daerah yang memiliki nilai total kolom SO2 yang tinggi, antara lain daerah Rancabungur, Kemang, Ciampea, Caringin, Klapanunggal, Kota Bogor, dan Cisarua memiliki nilai 0.15 DU, daerah Ciawi, Citeureup, Sukaraja dan Babakan Madang memiliki nilai 0.3–0.6 DU, sedangkan daerah Sukajaya, Jasinga dan Tenjo memiliki nilai 0.15–0.8 DU.

Gambar 21 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim JJA (atas) dan SON (bawah) tahun 2009

Di bulan JJA dan SON tahun 2009 yang merupakan musim kemarau juga memiliki pola distribusi yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Di bulan JJA, nilai yang tinggi terdapat di wilayah Cileungsi, Jonggol, Cariu, Tanjung Sari dan Sukamakmur memiliki nilai 0.15–0.7 DU. Daerah Kota Bogor, Dramaga, Sukaraja, Cijeruk dan Ciawi memiliki nilai 0.15–0.4 DU. Di wilayah timur yaitu sekitar wilayah Jasinga, Sukajaya dan Nanggung memiliki nilai 0.15–0.4 DU. Pada bulan SON banyak wilayah juga yang memiliki nilai DU tinggi, antara lain Jasinga, Sukajaya dan Pamijahan yang memiliki nilai 0.3–0.7 DU. Daerah Ciawi, Caringin, Megamendung, Babakan Madang, sebagian wilayah Sukaraja dan Sukamakmur memiliki nilai 0.15–1.2 DU, dan di daerah Cisarua memiliki nilai DU yang paling tinggi selama tahun 2009 yaitu sebesar 1.35 DU. Hal ini disebabkan oleh karena wilayah tersebut berada di kawasan wisata Puncak yang padat pengunjung sehingga mengakibatkan adanya polutan SO2 dari transportasi yang padat di daerah tersebut.

28

Gambar 22 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim DJF (atas) dan MAM (bawah) tahun 2010

Di bulan DJF nilai DU di wilayah Bogor relatif kecil, hanya pada wilayah Citeureup, Klapanunggal, Sukamakmur, Sukaraja, Ciawi, Megamendung dan Cisarua memiliki nilai yang tinggi yaitu sekitar 0.15–1.35 DU dan di sebagian wilayah Babakan Madang nilainya melebihi 1.5 DU. Hal agak berlainan terjadi pada bulan MAM dimana banyak wilayah yang memiliki nilai DU yang tinggi. Di wilayah Kota Bogor dan sekitarnya nilainya berkisar antara 0.3–1.35 DU. Di wilayah barat seperti daerah Leuwisadeng, Leuwiliang, Pamijahan, Cigudeg, Jasinga, Nanggung dan Sukajaya memiliki nilai 0.15–0.8 DU. Besarnya nilai di musim hujan ini memang berbeda dengan pola di tahun-tahun sebelumnya.

Gambar 23 Visualisasi sebaran kolom SO2 pada musim JJA (atas) dan SON (bawah) tahun 2010

Pada tahun 2010, di musim kemarau (bulan JJA) sebagian besar wilayah memiliki nilai DU SO2 yang kecil. Pada wilayah Jasinga, Sukajaya, Ciampea dan Rancabungur nilai total kolom berkisar antara 0.15–0.3 DU, sedangkan pada wilayah Cileungsi, Klapanuggal, Citeureup, Jonggol, Tanjung Sari, Babakan Madang, Sukamakmur, Ciawi dan Megamendung nilainya berkisar pada 0.3–1.2 DU, hanya pada wilayah Cisarua nilai DU SO2 bisa mencapai 1.35 DU. Di bulan SON hampir seluruh wilayah Kabupaten Bogor memiliki nilai DU yang sangat tinggi, terlihat banyak daerah yang memiliki nilai DU mencapai nilai diatas 1.5 DU, seperti Cisarua, Ciawi, Megamendung, Sukamakmur, sebagian Kota Bogor, Leuwiliang, Nanggung, serta sebagian wilayah Pamijahan dan Leuwisadeng. Hal ini disebabkan oleh peristiwa erupsi Gunung Merapi yang mengakibatkan sebaran polutan SO2 hasil erupsi yang tinggi terjadi hampir diseluruh wilayah Pulau Jawa.

30

Berdasarkan hasil visualisasi selama kurun waktu 5 tahun, terlihat adanya pola sebaran polutan SO2, pada bulan DJF dan MAM dengan nilai curah hujan tinggi memiliki nilai total kolom SO2 yang rendah. Hal yang sebaliknya terjadi bila dibandingkan dengan yang terjadi pada bulan JJA dan SON yang memiliki curah hujan rendah, nilai total kolom SO2 di periode itu tinggi. Hasil proyeksi Wiwiek Setyawati dan Tuti Budiawati (2011) dengan software SCIAMACHY pada kurun waktu 2004–2008 menunjukkan hal yang sedikit berbeda, yaitu nilai rata-rata total kolom SO2 di musim JJA lebih rendah dari musim DJF. Namun, nilai tertinggi terjadi pada musim SON (peralihan kemarau ke hujan). Hal ini sesuai dengan pola yang didapatkan pada penelitian ini bahwa pada musim SON nilai total kolom SO2 memang cukup tinggi.

Adanya pola sebaran lain, yaitu wilayah-wilayah yang biasanya memiliki nilai total kolom yang tinggi adalah wilayah yang memiliki tempat dan kawasan industri. Menurut data BPS Bogor (2006–2010) daerah seperti Kecamatan Nanggung, Jasinga, Rumpin, Cigudeg, Cisarua, Megamendung dan Leuwiliang memiliki jumlah tempat industri, baik usaha kecil maupun menengah, yang cukup tinggi dan umumnya merupakan industri pengolahan barang yang biasanya banyak menggunakan proses pembakaran bahan bakar minyak mentah yang dapat menghasilkan SO2. Kawasan industri dengan skala lebih besar seperti yang berada di wilayah Kecamatan Cileungsi, Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, dan Parung memiliki dampak yang cukup besar terhadap proses pencemaran SO2 ini. Adanya faktor angin yang cukup memberikan dampak terhadap pergeseran polutan SO2 ini, juga mempengaruhi hasil visualisasi. Hasil besar yang terdapat pada di daerah selatan Bogor dapat dikarenakan pula oleh adanya sebaran dari sumber/tempat lain yang diakibatkan oleh pergerakan angin. Menurut Susilo (1996), pada bulan DJF merupakan musim monsoon barat. Angin pada bulan DJF bergerak dari arah barat dan utara Bogor ke arah timur dan selatan Bogor, sedangkan pada bulan JJA terjadi angin moonson timur yang mengakibatkan arah angin dari bagian selatan dan timur Bogor ke arah utara dan barat Bogor. Pada bulan peralihan musim (MAM dan SON) terjadi perbalikan arah angin moonson. Dengan adanya pengaruh pergerakan angin ini, maka hasil visualisasi sebaran polutan SO2 yang menunjukkan adanya nilai polutan besar di daerah selatan Bogor dapat dipengaruhi oleh sebaran dari sumber pencemar di daerah lain, seperti daerah industri besar di wilayah utara Bogor, padatnya kendaraan di Kota Bogor dan mungkin juga pengaruh dari kegiatan industri wilayah lain di luar Kabupaten Bogor, seperti wilayah Kabupaten Cianjur, Sukabumi, dan Bandung di bagian Selatan dan Timur, serta Kabupaten Bekasi, Depok, Tangerang di bagian Utara dan Kabupaten Lebak di bagian Barat.

Kegiatan industri memang berperan penting dalam proses pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat, namun pembangunannnya diharapkan tak memberi dampak negatif yang besar terhadap lingkungannya. Dengan adanya pola sebaran pencemar SO2 ini, diharapkan dapat membantu pemerintah setempat dalam proses pembangunan wilayah tersebut khususnya di bidang industri. Dengan pola ini, pemerintah dapat membangun industri-industri baru yang jika diperlukan di daerah-daerah yang tidak padat industri. Hal ini dilakukan agar tingkat pencemaran di daerah yang sudah padat industri tidak semakin membesar.

Faktor lain yang juga mempengaruhi pola sebaran SO2 adalah sektor transportasi. Dalam hasil visualisasi terlihat bahwa daerah yang memiliki sarana

jalan setingkat jalan lintas provinsi dan memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi, memiliki nilai total kolom SO2 yang tinggi. Hal ini terlihat di berbagai wilayah, misalnya pada jalan tol Jagorawi dan jalan raya Bogor yang melintas di daerah Cileungsi, Gunung Putri, Cibinong, Citeureup hingga Kota Bogor. Jalan besar lain seperti jalur wisata Puncak yang berada di wilayah Cisarua, Megamendung, Sukaraja, dan Ciawi, serta jalan-jalan di perbatasan wilayah Kabupaten Bogor dan wilayah sekitarnya, seperti jalan di daerah Jasinga, Sukajaya, Gunung Sindur, Parung, Cileungsi, Cariu, dan Tanjungsari.

Dengan adanya pola penyebaran SO2 ini, dapat terlihat daerah yang memiliki tingkat polusi tinggi maupun rendah sehingga langkah-langkah pencegahan dan pengendalian pencemaran dapat berjalan dengan efektif. Selain upaya dari pemerintah, diperlukan pula kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran ini karena salah satu faktor penyebab pencemaran ini adalah kegiatan manusia (antropogenik).

32

Dokumen terkait