• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen KEEFEKTIFAN BEBERAPA INSEKTISIDA TERHADAP (Halaman 26-43)

Uji Aplikasi Insektisida terhadap Populasi WBC dan Musuh Alaminya di Lapangan

Nilaparvata lugens

Populasi wereng batang cokelat (WBC) selama penelitian dipengaruhi oleh interaksi antara jenis insektisida dan umur tanaman padi (F = 1,86, db = 24, p = 0,0166 untuk sebelum aplikasi dan F = 3,03, db = 24, p <0,0001 untuk setelah aplikasi) (Tabel 2) serta interaksi antara metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 6,36, db = 6, p <0,0001 untuk sebelum aplikasi dan F = 2,47, db = 6, p <0,0278 untuk setelah aplikasi) (Tabel 3).

Populasi WBC selama musim tanam berfluktuasi. Pada pengamatan sebelum aplikasi, populasi WBC pada awal pengamatan berkisar 27-32 ekor per rumpun dan secara nyata meningkat pada 5 MST. Populasi WBC sempat menurun pada 7 MST, karena malam sebelum pengamatan hujan turun cukup deras sehingga menyebabkan WBC hanyut terbawa air hujan, tetapi meningkat lagi pada 9 minggu setelah tanam (MST). Hasil yang sama terjadi pada pengamatan setelah aplikasi. Populasi WBC yang menurun pada 7 MST mengalami peningkatan pada 9 MST dan berfluktuasi selama umur tanaman padi (Tabel 2).

Populasi WBC pada kelima petak perlakuan tidak berbeda nyata pada tanaman berumur 3, 5, 7, 9, dan 11 MST (sebelum aplikasi). Namun pada 13 dan 15 MST, populasi WBC tertinggi terjadi pada petak perlakuan tiametoksam+ klorantraniliprol yang secara nyata berbeda dengan perlakuan tiametoksam, buprofezin, dan kontrol. Sedangkan yang masih cukup baik mengendalikan WBC pada adalah perlakuan buprofezin, tetapi menurut Wang et al. (2010), efektivitas buprofezin dalam mengendalikan WBC saat ini semakin menurun karena penggunaannya yang terus menerus tanpa merotasi dengan insektisida lain. Pada pengamatan 11 MST (setelah aplikasi), populasi WBC secara nyata berbeda dengan pengamatan sebelumnya karena pada waktu pengamatan, WBC yang teramati merupakan instar 1 dan 2. Populasi pada pengamatan 15 MST mengalami penurunan yang tajam karena tanaman padi sudah menjelang panen.

Tabel 2 Populasi WBC per rumpun padi yang dipengaruhi oleh jenis insektisida dan umur tanaman padi

a Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC.

bAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Tabel 3 Populasi WBC per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Perlakuana

Jumlah WBC per rumpun padi pada n MSTb

Sebelum aplikasi Setelah aplikasi

3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15

Tmx 27,5fghi 47,2ab 4,8m 34,4bcdefg 20,0ghijkl 17,9hijklm 11,7jklm 31,2de 31,4de 6,7g 57,2a 5,9g 27,8ef 0,3g Tmx+Ctpr 28,8efghi 58,2a 4,4m 30,4defgh 24,1fghij 38,5bcdef 22,5ghij 31,9de 44,2abcd 5,5g 43,5abcd 8,5g 48,6abc 0,5g Bpz 31,5cdefgh 45,6abc 3,4m 35,1bcdefg 17,7hijklm 14,8ijklm 6,7lm 33,7cde 11,2g 5,4g 53,8a 4,6g 14,8fg 0,6g BPMC 27,5fghi 44,6abcd 5,8lm 42,5bcde 26,7fghi 29,8efghi 11,9jklm 30,4de 27,7ef 7,3g 45,2abcd 7,9g 37,8bcde 0,8g Kontrol 27,3fghi 46,8ab 3,3m 34,7bcdefg 23,2ghij 21,4ghijk 7,8klm 30,1de 11,1g 5,8g 50,7ab 5,9g 25,7ef 0,4g

Metode aplikasi

Jumlah WBC per rumpun padi pada n MSTa

Sebelum aplikasi Setelah aplikasi

3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15

Efikasi 27,3b 49,1a 4,3d 42,6a 28,9b 32,8a 14,8c 33,4cd 27,8de 6,6f 55,6a 8,7f 39,4bc 0,6f Ambang

Populasi WBC pada petak efikasi (EF) mencapai hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan populasi pada petak ambang ekonomi (AE) (Tabel 3). Hal ini terjadi karena WBC pada petak AE mampu dikendalikan oleh musuh alami. Faktor alelokimia yang dikeluarkan oleh tanaman padi dapat mempengaruhi proses pembentukan sayap WBC. Menurut Baehaki et al. (2001), tanaman padi muda mempunyai jaringan sel yang kaya bahan kimia yang mampu mempengaruhi hormon juvenil WBC. Sebaliknya, tanaman padi yang mengalami penuaan kandungan bahan kimia yang mempengaruhi hormon juvenil WBC berkurang. Oleh karena itu, pada tanaman padi menjelang panen banyak muncul WBC makroptera.

Populasi WBC pada kedua tipe metode aplikasi untuk tiga pengamatan pertama (sebelum aplikasi) tidak berbeda nyata. Namun pada tanaman berumur lebih dari 9 MST populasi WBC pada petak AE secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi WBC pada petak EF. Hasil yang sama juga terjadi pada pengamatan setelah aplikasi, kecuali pada tanaman berumur 11 MST yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara populasi WBC pada petak AE dan EF. Hal tersebut dimungkinkan karena pada pengamatan 11 MST setelah aplikasi, WBC yang terdapat pada pertanaman padi merupakan instar 1 dan 2 sehingga musuh alami dan perlakuan insektisida masih cukup efektif untuk mengendalikan WBC.

Cyrtorhinus lividipennis

Populasi C. lividipennis selama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (sebelum aplikasi) (F = 14,84 db = 6, p <0,0001) (Tabel 4) serta interaksi jenis insektisida dan umur tanaman padi (F = 20,04, db = 24, p <0,0001) (Tabel 5).

Pada pengamatan sebelum aplikasi (Tabel 4), populasi C. lividipennis pada awal pengamatan berkisar 1-5 ekor per rumpun dan secara nyata mengalami kenaikan pada 5 MST. Populasi C. lividipennis pada dua pengamatan awal lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada tanaman padi yang lebih tua. Populasi pada petak AE lebih tinggi dibandingkan dengan populasi EF pada 3 dan 5 MST. Populasi C. lividipennis tidak nyata di antara dua macam metode aplikasi pada

Tabel 4 Populasi C. lividipennis per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi sebelum aplikasi

aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Tabel 5 Populasi C. lividipennis per rumpun padi yang dipengaruhi oleh jenis insektisida dan umur tanaman padi setelah aplikasi

a Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC.

b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Metode aplikasi Jumlah C. lividipennis per rumpun padi pada n MST a

3 5 7 9 11 13 15

Efikasi 1.5c 5.4b 0.5d 0.1d 0.0d 0.0d 0.0d

Ambang ekonomi 5.3b 7.6a 0.6d 0.2d 0.0d 0.0d 0.0d

Perlakuana Jumlah C. lividipennis per rumpun padi pada n MST b

3 5 7 9 11 13 15

Tmx 2,0ef 6,6d 0,7ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f

Tmx+Ctpr 1,9ef 0,9ef 0,5ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f

Bpz 2,3e 17,5b 0,6ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f

BPMC 2,0ef 9,6c 0,9ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f

tanaman berumur lebih dari 7 MST. Hal tersebut terjadi karena pada tanaman yang sudah mulai tinggi dan rindang predator lain mulai bermunculan yang juga dapat menjadi predator bagi C. lividipennis. Predatornya ialah Lycosidae dan P. fuscipes, predator-predator tersebut memangsa nimfa maupun imago C. Lividipennis pada pertanaman padi.

Pada pengamatan setelah aplikasi, populasi C. lividipennis pada kelima petak perlakuan berbeda nyata pada tanaman berumur 5 MST. Perlakuan tiametoksam+klorantraniliprol menghasilkan populasi yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol. Populasi C. lividipennis pada perlakuan buprofezin lebih tinggi dibandingkan dengan pada perlakuan lainnya.

Lycosidae

Populasi laba-laba selama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 19,56, db = 6, p <0,0001 untuk sebelum aplikasi dan F = 12,73, db = 6, p <0,0001 untuk setelah aplikasi) (Tabel 6).

Pada pengamatan sebelum aplikasi, populasi Lycosidae setiap pengamatan secara umum tidak berbeda nyata kecuali pada 3 dan 13 MST (Tabel 6). Populasi laba-laba tidak terlalu berfluktuasi antar pengamatan dan paling stabil diban-dingkan dengan musuh alami lainnya. Menurut Kuusk-Ekbom (2010) laba-laba mampu memangsa tidak hanya yang berada pada pertanaman seperti kutu, tetapi juga mampu mencari mangsa di permukaan tanah seperti Collembola sp.. Secara umum, populasi laba-laba pada petak AE lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada petak EF. Hasil yang sama diperoleh pada pengamatan setelah aplikasi, kecuali pada umur 3 MST populasi pada petak EF lebih tinggi daripada populasi pada petak AE.

Paederus fuscipes

Populasi P. fuscipesselama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 2,31, db = 6, p <0,0387 untuk sebelum aplikasi dan F = 4,47, db = 6, p <0,0004 untuk setelah aplikasi) (Tabel 7).

Tabel 6 Populasi Lycosidae per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi

aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Tabel 7 Populasi P. fuscipes per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi

aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Metode aplikasi

Jumlah Lycosidae per rumpun padi pada n MSTa

Sebelum aplikasi Setelah aplikasi

3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15

Efikasi 1,3h 1,7g 2,6bc 1,7g 2,2def 2,4cd 1,6g 1,4f 1,6ef 2,0bcd 1,9cde 2,3ab 1,8cde 1,9cde Ambang

ekonomi 3,2a 1,9efg 2,9ab 1,8fg 2,3de 2,9ab 1,9efg 0,4g 1,7de 2,1bcd 2,0bcd 2,5a 2,2cb 2,0bcd

Metode aplikasi

Jumlah P. fuscipes per rumpun padi pada n MSTa

Sebelum aplikasi Setelah aplikasi

3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15

Efikasi 0,0d 0,0d 0,0d 0,9a 0,4c 0,9a 0,6b 0,0f 0,0f 0,4e 0,4e 0,5de 0,6cde 0,4e Ambang

Populasi P. fuscipes tidak ditemukan pada tanaman padi berumur 3, 5, dan 7 MST pada pengamatan sebelum aplikasi, baik pada petak EF maupun petak AE. Pada tanaman berumur mulai 9 MST kumbang P. fuscipes mulai terlihat secara nyata di pertanaman. Pada tanaman berumur 11 dan 15 MST, populasi P. fuscipes petak perlakuan EF lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE. Hasil yang sama terjadi pada pengamatan setelah aplikasi. Pada tanaman berumur 3, 5, 7, dan 9 MST, populasi pada petak EF dan AE tidak berbeda nyata. Populasi pada petak EF pada tanaman padi umur 9, 11, 13, dan 15 MST secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE.

Ophionia nigrofasciata

Populasi O. nigrofasciata selama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 2,50, db = 6, p <0,0265 untuk sebelum aplikasi dan F = 6,52, db = 6, p <0,0001 untuk setelah aplikasi) (Tabel 8).

Populasi O. nigrofasciata tidak ditemukan pada tanaman padi berumur 3, 5, dan 7 MST (sebelum aplikasi) dan tidak berbeda nyata antara petak AE dan EF. Namun pada tanaman padi berumur 9, 11, 13, 15 MST, populasi kumbang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya. Hanya pada tanaman berumur 11 MST, populasi pada petak EF secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE.

Hal yang tidak jauh berbeda terjadi juga pada pengamatan setelah aplikasi. Pada pengamatan 3 dan 5 MST, tidak ditemukan kumbang di pertanaman padi. Kumbang mulai muncul secara nyata pada tanaman berumur 7 MST. Hanya pada tanaman berumur 11 MST populasi kumbang pada petak EF secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE.

Coccinellidae

Populasi Coccinellidae sebelum aplikasi dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 12,09 db = 6, p <0,0001) (Tabel 9). Setelah aplikasi, populasi Coccinellidae tidak dipengaruhi oleh jenis insektisida dan metode aplikasi. Namun demikian, populasi Coccinellidae setelah aplikasi hanya berfluktuasi sesuai umur tanaman padi (F = 6,61 db = 12, p <0,0001) (Tabel 10).

Tabel 8 Populasi O. nigrofasciata per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi

aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Tabel 9 Populasi Coccinellidae per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi sebelum aplikasi

aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Metode aplikasi

Jumlah O. nigrofasciata per rumpun padi pada n MSTa

Sebelum aplikasi Setelah aplikasi

3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15

Efikasi 0,0e 0,0e 0,0e 0,9c 1,1b 0,8cb 0,1de 0,0d 0,0d 0,6c 0,9b 0,7c 0,6c 0,1d Ambang

ekonomi 0,0e 0,0e 0,0e 0,7c 1,4a 0,7c 0,3d 0,0d 0,0d 0,6c 0,8cb 1,3a 0,7c 0,1d

Metode aplikasi Jumlah Coccinellidae per rumpun padi pada n MSTa

3 5 7 9 11 13 15

Efikasi 0,0e 0,0e 0,0e 0,1de 0,5bc 1,3a 0,2de

Populasi Coccinellidae pada pengamatan pada 3, 5, 7, dan 9, 11, dan 15 MST (sebelum aplikasi ) tidak berbeda nyata pada kedua petak AE dan EF (Tabel 9). Hanya pada 13 MST, populasi pada petak EF secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada petak AE.

Pada pengamatan setelah aplikasi, populasi Coccinellidae berfluktuasi. Selama satu musim tanam, populasi pada awal musim rendah kemudian meningkat dan mencapai populasi tertinggi pada 11 dan 13 MST (Tabel 10).

Tabel 10 Populasi Coccinellidae per rumpun padi pada semua petak perlakuan selama musim tanam setelah aplikasi

aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Pengamatan Gejala Serangan Virus Kerdil

Persentase tanaman yang terserang virus kerdil pada kedua metode aplikasi relatif tinggi berkisar 40-60 %, namun secara umum merata tingginya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan insektisida kurang efektif dalam mengendalikan WBC sehingga gejala serangan virus kerdil cukup tinggi (Gambar 1).

Gambar 1 Persentase virus kerdil antar perlakuan di lapangan. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC 0 10 20 30 40 50 60 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol Per sen tase tan am an k er d il Perlakuan EF AE

Jumlah Coccinellidae per rumpun padi pada n MSTa

3 5 7 9 11 13 15

Hopperburn

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah tanaman yang mengalami hopperburn terlihat lebih tinggi pada petak EF dibandingkan dengan pada petak AE, kecuali pada perlakuan tiametoksam (Gambar 2).

Gejala hopperburn merupakan gejala seperti terbakar akibat jumlah WBC yang sangat banyak dan dapat terjadi ketika populasi WBC sudah mencapai kanopi. Gejala hopperburn dapat terjadi sejak fase vegetatif hingga menjelang panen. Gejala awal hopperburn dapat diketahui ketika terlihat beberapa daun bagian bawah yang sudah menguning. Gejala tersebut dapat meluas dalam satu rumpun hanya dalam beberapa jam dan meluas ke areal lain tidak lebih dari 3 hari.

Gambar 2 Persentase hopperburn antar perlakuan di lapangan. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC

Vigor tanaman

Pengaruh beberapa insektisida terhadap vigor tanaman terlihat untuk tanaman yang mendapat perlakuan insektisida. Tanaman padi yang mendapat perlakuan insektisida memiliki vigor yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan hanya dua perlakuan insektisida, yaitu tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol memberikan vigor yang lebih baik. Pada kedua insektisida tersebut ditambahkan adjuvant yang mampu memberikan pengaruh terhadap zat hijau daun sehingga memungkinkan tanaman akan tumbuh lebih hijau dan sehat (Tricahyono et al. 2009).

0 5 10 15 20 25 30 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol P erse n tas e tan am an h o p p erb u rn Perlakuan EF AE

Gambar 3 Pengamatan vigor tanaman antar perlakuan di lapangan. Tmx: tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol,

bpz:buprofezin, BPMC

Uji Small Plot Insektisida di Rumah Kaca

Hasil small plot untuk pengamatan 1 hari setelah aplikasi (HSA) menunjukkan bahwa penyemprotan beberapa insektisida mempunyai pengaruh terhadap musuh alami (Gambar 4). Mortalitas WBC paling tinggi terjadi pada populasi yang mendapat perlakuan BPMC. Namun demikian, BPMC juga menyebabkan mortalitas pada hampir seluruh musuh alami yang diuji. Perlakuan tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol cenderung tidak menunjukkan efek yang berbeda antara keduanya. Populasi WBC masih cukup tinggi pada perlakuan buprofezin, dan hampir seluruh musuh alaminya relatif banyak yang hidup. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan buprofezin tidak banyak mempengaruhi populasi musuh alami pada 1 HSA.

Populasi WBC secara drastis sudah menurun dibandingkan dengan musuh alami pada pengamatan 7 HSA (Gambar 5). Populasi musuh alami pada perlakuan buprofezin masih relatif tinggi. Kematian musuh alami terjadi tidak hanya akibat penyemprotan insektisida, tetapi juga terjadi karena adanya pemangsaan di antara musuh alami seperti pada P. fuscipes dan Lycosidae yang memangsa predator lain yaitu C. lividipennis. Menurut Persons-Uetz (2005), Lycosidae betina bila mene-mukan jantan yang lebih kecil ukurannya atau tidak cocok ketika hendak kawin akan memakan yang jantan. Selain itu, faktor lingkungan seperti cekaman panas karena diletakkan di rumah kaca dan keterbatasan makanan juga diduga menyebabkan penurunan populasi musuh alami tersebut.

0 20 40 60 80 100 120 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol Sk o rin g v ig o r tan am an Perlakuan EF AE

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol P o p u la si p er r u m p u n Perlakuan N. lugens C. lividipennis Lycosidae P. fuscipes O. nigrofasciata Coccinellidae

Gambar 4 Populasi WBC dan musuh alami yang mendapat perlakuan empat jenis insektisida di rumah kaca pada 1 HSA. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol P opu la si per r um pun Perlakuan N. lugens C. lividipennis Lycosidae P. fuscipes O. nigrofasciata Coccinellidae

Gambar 5 Populasi WBC dan musuh alami yang mendapat perlakuan empat jenis insektisida di rumah kaca pada 7 HSA. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC

Pembahasan Umum

Pada awal musim tanam, populasi WBC di lapangan cukup rendah, sehingga dilakukan introduksi WBC secara merata di semua petak. Pengamatan WBC dan musuh alami dilakukan mulai 3 MST hingga 15 MST. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah WBC berfluktuasi selama umur tanaman padi. Pada bulan Januari hingga Mei 2010, curah hujan sangat rendah sehingga WBC menyukai kondisi tersebut. Curah hujan yang rendah dan musim kemarau yang basah menjadi salah satu faktor WBC mudah berkembang secara optimal. Selain itu, kelembapan yang tinggi juga diduga mempengaruhi terjadinya peledakan WBC.

Hasil pengujian yang dilakukan terhadap 4 jenis insektisida menunjukkan pengaruh yang berbeda dengan kontrol. Perlakuan insektisida tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol selama pengamatan menunjukkan kenaikan jumlah WBC tertinggi setelah dilakukan aplikasi insektisida. Sedangkan perlakuan buprofezin, selama penelitian menunjukkan kenaikan jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan perlakuan insektisida lainnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pengamatan musuh alami, beberapa pengamatan menunjukkan penurunan jumlah musuh alami setelah aplikasi insektisida.

Perlakuan masing-masing insektisida terhadap WBC selama penelitian umumnya tidak berbeda nyata, hal tersebut dimungkinkan karena populasi WBC selama penelitian cukup tinggi sehingga insektisida tidak mampu mengendalikan secara maksimal. Setiap pengamatan diketahui bahwa populasi WBC pada setiap perlakuan insektisida, jumlahnya tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Tetapi pada beberapa pengamatan, petak kontrol menunjukkan populasi WBC lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan insektisida. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa musuh alami terbunuh setelah dilakukan insektisida, sedangkan pada petak kontrol tidak dilakukan penyemprotan sehingga musuh alami mampu mengendalikan populasi WBC di lapangan.

Prinsip dasar budidaya padi dengan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), yaitu penggunaan tanaman sehat, penggunaan musuh alami, dan pemantauan secara rutin untuk menentukan perlu-tidaknya dilakukan intervensi seperti penyemprotan pestisida secara bijaksana. Menurut Mariyono (2008),

penerapan teknologi pengendalian hama terpadu dalam budidaya tanaman padi akan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pestisida, dalam hal ini meningkatkan pendapatan produksi padi.

Berdasarkan hasil pengujian dalam satu kali musim tanam, diketahui bahwa insektisida buprofezin mampu mengendalikan WBC paling baik diantara insektisida lain. Walaupun bila dibandingkan dengan petak kontrol, ada beberapa pengamatan yang menunjukkan kontrol lebih baik mengendalikan WBC.

Faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya populasi WBC adalah ketahanan varietas tanaman. Petani umumnya terus-menerus menggunakan satu varietas tertentu, terutama varietas Ciherang dan Cilamaya Muncul serta enggan untuk mengganti dengan varietas lain. Pola tanam yang umum dilakukan petani, yaitu pola tanam rapat dianggap akan menghasilkan lebih banyak hasil panen. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang menguntungkan untuk WBC berkembang. Selain itu, penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan juga mempengaruhi perkembangan WBC. Tanaman yang diberi pupuk nitrogen berlebih, akan membuat tanaman padi menjadi sukulen sehingga WBC juga menyukai kondisi tersebut. Jumlah volume semprot yang dianjurkan oleh perusahaan insektisida umumnya tidak dilakukan oleh petani, misalnya volume semprot anjuran produsen pestisida 500 l/ha, tetapi petani umumnya hanya melakukan penyemprotan sebanyak 200 l/ha. Hal tersebut terjadi karena alasan efisiensi biaya produksi.

Rata-rata iklim selama umur tanaman padi pada bulan Januari hingga Mei 2010 (Gambar 6), menunjukkan keadaan yang cukup mendukung perkembangan populasi WBC dengan cepat. Curah hujan yang rendah ditambah dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, merupakan salah satu faktor pendukung yang dominan bagi perkembangan WBC di pertanaman padi.

Populasi WBC pada bulan Januari hingga Mei 2010 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Ledakan WBC terjadi di beberapa sentra produksi beras di Indonesia. Wilayah endemis terhadap serangan wereng ada di Jawa Tengah sebanyak 10 kabupaten, Jawa Barat 5 kabupaten, Banten 4 kabupaten, dan Aceh 3 kabupaten (Anonim 2010). Dilaporkan bahwa banyak petani yang mengalami gagal panen karena padi yang diserang WBC menjadi hopperburn.

Selama musim tanam, ada beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT) lain yang ditemukan di lapangan, seperti lalat bibit Hydrellia sp., keong Pomacea

canaliculata (Lamarck), hama putih palsu Cnaphalochrosis medinalis, pelipat

daun Pelopidas mathias, ganjur Orseolia oryzae, Rattus argentiventer dan burung pemakan bulir padi.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

Januari Februari Maret April Mei

C u rah h u jan [ m m ] 65.0 70.0 75.0 80.0 85.0 90.0 95.0

Januari Februari Maret April Mei

R H (%) 24.5 25 25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5

Januari Februari Maret April Mei

S

uhu

C]

Gambar 6 Rata-rata curah hujan (A), kelembapan rata-rata (B), dan temperatur rata-rata dari bulan Januari hingga Mei 2010 (C) di Stasiun Riset dan Pengembangan PT. Syngenta Indonesia - Cikampek

Dalam dokumen KEEFEKTIFAN BEBERAPA INSEKTISIDA TERHADAP (Halaman 26-43)

Dokumen terkait