KEEFEKTIFAN BEBERAPA INSEKTISIDA TERHADAP
Nilaparvata lugens (STÅL) (HEMIPTERA: DELPHACIDAE)
DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUSUH ALAMI PADA
PERTANAMAN PADI DI KARAWANG BERDASARKAN DUA
METODE APLIKASI INSEKTISIDA
ALGHIENKA DEFAOSANDI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
ALGHIENKA DEFAOSANDI. Keefektifan Beberapa Insektisida terhadap Nilaparvata lugens (Stål) (Hemiptera: Delphacidae) dan Pengaruhnya terhadap Musuh Alami pada Pertanaman Padi di Karawang Berdasarkan Dua Metode Aplikasi Insektisida. Dibimbing oleh RULY ANWAR dan DJOKO PRIJONO.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh aplikasi insektisida terhadap wereng batang cokelat (WBC), Nilaparvata lugens dan musuh alaminya pada pertanaman padi di Karawang berdasarkan dua metode aplikasi yaitu efikasi (EF) dan ambang ekonomi (AE). Insektisida yang digunakan adalah tiametoksam, tiametoksam+klorantraniliprol, buprofezin, dan BPMC dengan dosis anjuran. Pengamatan WBC dan musuh alaminya dilakukan setiap dua minggu sekali dengan pengamatan sebelum dan setelah aplikasi. Metode aplikasi EF dilakukan berkala dengan interval 2 minggu, tanpa mempertimbangkan populasi WBC atau musuh alaminya. Metode aplikasi AE dilakukan jika ditemukan > 5 ekor WBC terkoreksi/rumpun untuk tanaman tanaman yang berumur < 40 hari setelah tanam (HST) atau > 20 ekor WBC terkoreksi/rumpun untuk tanaman yang berumur > 40 HST. Peubah yang diamati populasi WBC, Cyrtorhinus lividipennis, Lycosidae, Paederus fuscipes, Ophionea nigrofasciata, dan Coccinellidae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi WBC meningkat setelah penyemprotan insektisida. Peningkatan populasi WBC paling tinggi terdapat pada perlakuan tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol sedangkan yang paling kecil adalah perlakuan buprofezin. Hasil pengamatan musuh alami menunjukkan hasil serupa, perlakuan tiametoksam+klorantraniliprol menunjukkan populasi musuh alami paling sedikit dibandingkan dengan perlakuan lain termasuk kontrol. Metode aplikasi insektisida menurut ambang ekonomi dilakukan hanya sebanyak dua. Pengamatan gejala serangan menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda antara metode aplikasi EF dan AE baik untuk tanaman kerdil maupun hopperburn. Pengamatan vigor tanaman menunjukkan perlakuan dengan insektisida lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Uji small plot insektisida di rumah kaca dilakukan untuk membandingkan perlakuan di lapangan. Pengujian menunjukkan hasil yang sama dengan di lapangan yaitu terjadi kematian beberapa musuh alami akibat perlakuan insektisida.
Nilaparvata lugens (STÅL) (HEMIPTERA: DELPHACIDAE)
DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUSUH ALAMI PADA
PERTANAMAN PADI DI KARAWANG BERDASARKAN DUA
METODE APLIKASI INSEKTISIDA
ALGHIENKA DEFAOSANDI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Skripsi : Keefektifan Beberapa Insektisida terhadap Nilaparvata lugens (Stål) (Hemiptera: Delphacidae) dan Pengaruhnya terhadap Musuh Alami pada Pertanaman Padi di Karawang Berdasarkan Dua Metode Aplikasi Insektisida
Nama Mahasiswa : Alghienka Defaosandi
NRP : A34060296
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. Ir. Djoko Prijono, M.AgrSc._ NIP 19641224 199103 1 003 NIP 19590827 198303 1 005
Mengetahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
___Dr. Ir. Dadang, M.Sc.__ NIP 19640204 199002 1 002
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 September 1988 di Karawang, Jawa Barat, sebagai anak tunggal dari ayah bernama Engkus Kusnadi dan ibu bernama Eneng Kartini.
Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Karawang, Jawa Barat pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan pada tahun berikutnya penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selain menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan yang diadakan di IPB terutama kegiatan dalam Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) menjadi Staf Departemen Komunikasi dan Informasi Himasita periode 2008-2009. Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar Proteksi Tanaman pada tahun 2009. Kegiatan yang dilakukan penulis saat ini mengembangkan bisnis beras organik bekerja sama dengan petani di Kabupaten Karawang.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat karunia beserta ridho-Nya yang dicurahkan tiada henti. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah bagi Nabi Muhammad SAW karena jasanya membawa umat Islam mempelajari segala ilmu yang merupakan rahasia Allah. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari hingga Mei 2010.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si dan Ir. Djoko Prijono, M.AgrSc. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberikan ilmu dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian dan proses penulisan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan dan menambah wawasan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan penulis sejak awal masuk Departemen Proteksi Tanaman hingga akhir penulisan skripsi.
4. Ibu Fei Ling dan Pak Maman selaku pembimbing lapang di Kebun R&D PT. Syngenta Indonesia yang telah memberikan masukan dan perhatiannya kepada penulis selama menjalankan penelitian serta Sdr. Badrudin sebagai field assistant yang banyak membantu dalam melakukan pengamatan.
5. Kepada seluruh staf pegawai R&D PT. Syngenta Indonesia atas segala perhatian, keramahan, dan memberikan ilmunya selama penelitian, serta kepada labour Sdr. Mardi, Casan dan Ilan yang membantu selama proses penelitian.
6. Kepada seluruh sahabat seperjuangan mahasiswa Proteksi Tanaman 43 khususnya kepada Windi Dhita, Anief Nugroho, Nuri Hidayati, Fitra Murgianto, Haryanto, Vani Nur Oktaviany, Amelia Andriani, Sari Nurulita dan Lia Nazirah yang membantu memberikan dorongan semangat dan kebersamaannya.
Akhirnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibunda tercinta atas setiap tetes keringat dan air mata yang dicurahkan semata-mata untuk keberhasilan anaknya, serta kepada yang terkasih Selly Riesti, SE yang sangat membantu penulis menyelesaikan penulisan hasil penelitian. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang memerlukan.
Bogor, Desember 2010
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3Padi Varietas Pelita I-1 ... 3
Wereng Batang Cokelat ... 3
Insektisida Tiametoksam ... 4
Insektisida Buprofezin ... 5
Insektisida BPMC ... 6
Insektisida Klorantraniliprol ... 7
Bioekologi Musuh Alami ... 8
Cyrtorhinus lividipennis (Hemiptera : Miridae) ... 8
Laba-laba Lycosidae ... 8
Paederus fuscipes (Coleoptera : Staphylinidae) ... 9
Ophionea nigrofasciata (Coleoptera: Carabidae) ... 9
Kumbang Coccinellidae ... 10
BAHAN DAN METODE ... 11
Tempat dan Waktu ... 11
Penanaman Padi ... 11
Percobaan Lapangan ... 11
Metode Aplikasi Insektisida ... 12
Efikasi ... 12
Ambang Ekonomi ... 12
Pemilihan Tanaman Contoh ... 12
Pengamatan ... 13
Uji Small Plot Insektisida Rumah Kaca ... 13
Halaman
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15
Uji Aplikasi Insektisida terhadap populasi WBC dan musuh alaminya di lapangan ... 15 Nilaparvata lugens ... 15 Cyrtorhinus lividipennis ... 17 Lycosidae ... 19 Paederus fuscipes ……… 19 Ophionea nigrofasciata ………... 21 Coccinellidae ………... 21
Pengamatan Gejala Serangan ... 23
Virus Kerdil ………... 23
Hopperburn ………... 24
Vigor Tanaman ………... 24
Uji Small Plot Insektisida di Rumah Kaca ... 25
Pembahasan Umum ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis dan dosis insektisida yang digunakan pada percobaan lapangan 12 2 Populasi WBC per rumpun padi yang dipengaruhi oleh jenis
insektisida dan umur tanaman padi …... 16
3 Populasi WBC per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode
aplikasi dan umur tanaman padi ... 16
4 Populasi C. lividipennis per rumpun padi yang dipengaruhi oleh
metode aplikasi dan umur tanaman padi sebelum aplikasi ……….…. 18
5 Populasi C. lividipennis per rumpun padi yang dipengaruhi oleh jenis
insektisida dan umur tanaman padi setelah aplikasi ……… 18
6 Populasi Lycosidae per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode
aplikasi dan umur tanaman padi ………...………... 20
7 Populasi P. fuscipes per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode
aplikasi dan umur tanaman padi …….………. 20
8 Populasi O. nigrofasciata per rumpun padi yang dipengaruhi oleh
metode aplikasi dan umur tanaman padi ………... 22
9 Populasi Coccinellidae per rumpun padi yang dipengaruhi oleh
metode aplikasi dan umur tanaman padi sebelum aplikasi …... 22
10 Populasi Coccinellidae per rumpun padi pada semua petak perlakuan
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Persentase virus kerdil antar perlakuan di lapangan ………... 23 2 Persentase hopperburn antar perlakuan di lapangan …………... 24 3 Pengamatan vigor tanaman antar perlakuan di lapangan ……….…… 25 4 Populasi WBC dan musuh alami yang mendapat perlakuan empat
jenis insektisida di rumah kaca pada 1 HSA ………...……..… 26 5 Populasi WBC dan musuh alami yang mendapat perlakuan empat
jenis insektisida di rumah kaca pada 7 HSA …………..……….. 27 6 Rata-rata curah hujan dari (A), kelembapan rata-rata (B), temperatur
rata-rata dari bulan januari hingga mei 2010 (C) di Stasiun Riset dan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Sidik ragam pengaruh jenis insektisida dengan waktu dan metode
aplikasi dengan waktu terhadap populasi WBC sebelum aplikasi … 37 2 Sidik ragam pengaruh jenis insektisida dengan waktu dan ambang
kendali dengan waktu terhadap populasi WBC setelah aplikasi ... 38 3 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi C. lividipennis sebelum aplikasi ………. 39 4 Sidik ragam jenis insektisida dengan waktu terhadap populasi C.
lividipennis setelah aplikasi ………...……… 40 5 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi Lycosidae sebelum aplikasi ……… 41 6 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi Lycosidae seetelah aplikasi ………. 42 7 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi P. fuscipes sebelum aplikasi ….…………..………. 43 8 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi P. fuscipes setelah aplikasi ….…………..………... 44 9 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi O. nigrofasciata sebelum aplikasi ….…………..………… 45 10 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi O. nigrofasciata setelah aplikasi ..….…………..………… 46 11 Sidik ragam pengaruh metode aplikasi dengan waktu terhadap
populasi Coccinellidae sebelum aplikasi ….…………..……… 47 12 Sidik ragam pengaruh waktu terhadap populasi Coccinellidae
setelah aplikasi ...………... 48 13 Denah petak percobaan ………..……… 49 14 Jenis insektisida dan dosis aplikasi ……… 50 15 Kebutuhan Insektisida dan tata letak petak percobaan ……...……... 51 16 Pemilihan tanaman contoh setiap petak ………. 52
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama di Indonesia. Sebanyak 95% dari total penduduk Indonesia mengonsumsi beras (Deptan 2008). Upaya peningkatan produksi padi dihadapkan pada kendala abiotik seperti kekeringan, banjir, dan dampak perubahan iklim serta kendala biotik terutama gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Kerugian yang diakibatkan OPT dapat terjadi di lapangan maupun di tempat penyimpanan.
Untuk menghindari kerugian karena serangan OPT, tanaman padi perlu dilindungi dengan menerapkan pengendalian yang tepat. Pada pertanaman padi, wereng batang cokelat (WBC), Nilaparvata lugens (Stål) (Hemiptera: Delphacidae), merupakan salah satu hama penting yang mampu menurunkan produksi secara nyata. Peningkatan populasi dan serangan WBC terjadi karena penanaman yang kurang serempak, penggunaan varietas unggul yang terus menerus dengan jumlah rumpun yang sangat padat, dan peningkatan dosis penggunaan pupuk N dalam jumlah besar (Pathak 1972). Wereng ini menjadi hama utama sejak tahun 1968 dan mengalami ledakan populasi yang sangat tinggi hingga menyerang areal pertanaman padi lebih dari 200.000 ha. Pada tahun 2010, populasi hama WBC kembali meningkat di sentra produksi padi dengan luas serangan mencapai 30.000 ha pada periode Januari-April 2010 (Gaib 2010).
Penggunaan varietas tahan dan musuh alami telah dilakukan untuk mengendalikan WBC. Namun demikian, hingga saat ini cara pengendalian WBC yang masih umum dilakukan petani adalah pengendalian dengan menggunakan insektisida kimia. Beberapa insektisida yang umum beredar di petani untuk mengendalikan WBC antara lain yang berbahan aktif tiametoksam, tiametoksam+ klorantraniliprol, buprofezin, dan BPMC (PPI 2008).
Frekuensi penggunaan insekstisida yang tinggi dan cara aplikasi yang tidak bijaksana akan memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan, pengguna, dan konsumen. Oleh karena itu, penggunaan metode ambang ekonomi dalam pengendalian hama WBC merupakan salah satu cara untuk meminimumkan dampak yang merugikan tersebut. Metode tersebut didasarkan pada keberadaan
populasi hama dan musuh alami di pertanaman padi. Musuh alami yang menjadi variabel ambang ekonomi ialah kepik Cyrtorhinus lividipennis (Hemiptera: Miridae), laba-laba (Araenae: Lycosidae), Paederus fuscipes (Coleoptera: Staphylinidae), Ophionea nigrofasciata (Coleoptera: Carabidae) dan kumbang predator (Coleoptera: Coccinellidae) (Baehaki et al. 2001).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh aplikasi insektisida terhadap WBC dan musuh alami pada pertanaman padi di Karawang berdasarkan dua metode aplikasi, yaitu dengan dan tanpa mempertimbangkan keberadaan WBC dan musuh alaminya di lapangan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi yang terkait dengan teknik pengendalian kimiawi secara bijaksana terhadap WBC dan pengaruh terhadap musuh alami pada pertanaman padi di Karawang.
TINJAUAN PUSTAKA
Padi Varietas Pelita I-1
Padi inbrida varietas Pelita I-1 merupakan varietas yang dilepas pada tahun 1971 oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP). Varietas ini merupakan hasil persilangan antara PB-5 dengan Shinta. Pelita I-1 memiliki daya hasil yang tinggi dengan rasa nasi yang lebih enak dari tetuanya. Potensi hasil gabah kering giling (GKG) Pelita I-1 hingga 8 ton/ha (Deptan 2007). Hal tersebut menyebabkan varietas ini sangat disukai oleh petani Indonesia dan mendominasi pertanaman padi di beberapa sentra produksi padi. Disamping produktivitasnya yang tinggi, varietas Pelita I-1 memiliki kelemahan yaitu rentan terhadap serangan WBC. Sebelum varietas ini dilepas, WBC termasuk hama sekunder di pertanaman padi dan varietas padi yang dirakit belum dirancang agar tahan hama ini (Baehaki 2007).
Wereng Batang Cokelat
Wereng batang cokelat (WBC), Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman padi karena mampu menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan secara langsung terjadi karena hama ini mempunyai kemampuan mengisap cairan tanaman yang menyebabkan daun menguning, kering dan akhirnya mati yang dikenal dengan gejala hopperburn. Kerusakan secara tidak langsung terjadi karena serangga ini merupakan vektor penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa (Kalshoven 1981).
Telur WBC berwarna putih dan diletakkan secara berkelompok di dalam batang padi atau pelepah daun. Stadia telur berkisar 7-10 hari (Mochida & Okada 1979; Direktorat Perlindungan Tanaman dan JICA 1984). Setiap imago WBC betina mampu bertelur 100-500 butir, bergantung pada tingkat pertumbuhan tanaman padi (Kalshoven 1981). Nimfa WBC melewati lima instar yang dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bentuk sayap. Lama perkembangan nimfa berkisar 12-15 hari (Direktorat Perlindungan Tanaman dan JICA 1984). Imago
dan nimfa sering dijumpai pada bagian batang bawah pada tanaman padi (Mochida & Okada 1979).
Berdasarkan ukuran sayap, WBC dewasa terdiri atas dua bentuk, yaitu bersayap pendek (brakiptera) dan bersayap panjang (makroptera). Dimorfisme sayap ini berhubungan dengan kepadatan populasi yang terkait persediaan makanan, sehingga serangga tersebut akan menghasilkan keturunan yang bersayap panjang pada generasi berikutnya. Tubuh WBC berwarna cokelat kekuningan sampai cokelat tua dan pada pertemuan antara sayap depan terdapat bintik cokelat gelap. Panjang tubuh serangga jantan 2-3 mm dan betina 3-4 mm (Direktorat Perlindungan Tanaman dan JICA 1984).
Perkembangan WBC di lapangan dapat dipengaruhi oleh faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor abiotik meliputi iklim, faktor pemupukan, dan pH tanah. Sedangkan faktor biotik yaitu tanaman inang dan musuh alami (Dyck & Thomas 1979). Penggunaan insektisida di lapangan umum dilakukan oleh para petani karena kemampuannya mengendalikan hama secara cepat dan mudah diaplikasikan. Menurut Baehaki et al. (2001), ambang ekonomi WBC yaitu lebih dari 5 ekor WBC terkoreksi/rumpun untuk tanaman yang berumur kurang dari 40 hari setelah tanam (HST) dan lebih dari 20 ekor WBC terkoreksi/rumpun untuk tanaman yang berumur lebih dari 40 HST. WBC terkoreksi/rumpun adalah jumlah WBC dikurangi jumlah predator.
Insektisida Tiametoksam
Tiametoksam salah satu jenis insektisida dari golongan neonikotinoid. Tiametoksam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (BCPC 2004):
Nama kimia : 3-(2-kloro-tiazol-5-ilmetil)-5-[1,3,5]-oksadiazinan-4-
Ilidan-N-nitroamin
Rumus bangun :
Golongan : neonikotinoid Rumus molekul : C8H10CIN5O3S
Bentuk fisik : tepung kristal Berat molekul : 291,72
Insektisida tiametoksam mudah terlarut dalam larutan sehingga mudah terhidrolisis oleh media alkalin, mudah larut pada air pada suhu 25 °C dan pelarut organik.
Tiametoksam merupakan insektisida pada generasi kedua dari golongan tianikotinoid dari subkelas tianikotinil. Bahan aktif tiametoksam merupakan insektisida yang dapat terserap ke dalam jaringan tanaman yang bekerja secara sistemik, racun kontak dan lambung serta menghambat kerja reseptor asetilkolin nikotinik (nAChR) (Senn et al. 1997).
Tiametoksam telah diuji coba terhadap hama di Jepang dan Taiwan pada tahun 1996 dengan aplikasi yang berbeda, yaitu dengan penyemprotan, pengujian benih, dan aplikasi ke dalam air. Insektisida tiametoksam dengan 10-50 g bahan aktif sangat efektif mengendalikan Aphis gossypii, Myzus persicae, Macrosiphum euphorbiae, wereng, dan laba-laba (Senn et al. 1997). Insektisida tersebut mampu mengendalikan hama-hama yang mempunyai alat mulut menusuk-mengisap, mempunyai kemampuan yang sangat cepat dalam memenetrasi permukaan tanaman setelah aplikasi.
Insektisida Buprofezin
Buprofezin termasuk salah satu jenis insektisida dari golongan tiadiazin. Buprofezin mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (BCPC 2004):
Nama kimia : 2-tert-butiliamino-3-isopropul-fenil-1,3,5-tiadiazinon-4-
on
Rumus bangun :
Golongan : tiadiazin Rumus molekul : C6H23N3OS Bentuk fisik : tepung kristal Berat molekul : 305,5
Insektisida buprofezin termasuk senyawa stabil pada media alkalin dan asam. Buprofezin tidak menunjukkan kematian yang cepat, membutuhkan waktu sekitar 3-7 hari untuk menekan jumlah populasi nimfa walaupun insektisida ini termasuk racun kontak dan racun lambung. Larva dan nimfa dapat terbunuh selama fase pergantian kulit serta mampu menyebabkan telur tidak menetas (Anonim 1991). Cara kerja dari buprofezin merupakan insektisida yang selektif dan efektif terhadap beberapa spesies ordo Hemiptera yang mempunyai alat mlut menusuk menghisap tetapi tidak toksik terhadap musuh alami (Shibuya 1984).
Insektisida buprofezin sudah sangat banyak digunakan untuk mengendalikan WBC karena kinerjanya yang mampu menghambat proses pergantian kulit (Shibuya 1984).
Insektisida BPMC
BPMC termasuk salah satu jenis insektisida dari golongan karbamat. BPMC mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (BCPC 2004):
Nama kimia : 2-sec-butilfenil metil karbamat
Rumus bangun :
Golongan : karbamat Rumus molekul : C12H17NO2 Berat molekul : 207,3
BPMC tidak stabil pada kondisi asam dan basa. BPMC merupakan insektisida racun kontak yang menghambat kerja enzim asetilkolinesterase (BCPC 2004).
Uji efikasi yang dilakukan oleh Litsinger dan Heinrichs (1980) menggunakan BPMC 50% WP dan 50% EC pada dosis 0,75 kg ba/ha menunjukkan hasil yang cukup baik terhadap WBC. Hal yang sama juga dilaporkan pula oleh Macatula et al. (1988) dan Valencia et al. (1988) terhadap populasi imago dan nimfa WBC.
CHEMeEt MeNHCOO
Persentase kematian WBC pada dosis 0,5 1,0 dan 2,0 kg ba/ha adalah 75-100%. Populasi WBC menunjukkan peningkatan sesuai dengan menurunnya takaran yang digunakan dan dampaknya terhadap populasi WBC generasi berikutnya adalah merangsang reproduksi yang lebih tinggi (Laba 1993). Menurut Vorley (1985), BPMC tidak meracuni terhadap laba-laba dan musuh alami lainnya.
BPMC dapat digunakan untuk mengendalikan wereng hijau Nephotetix virescens, wereng cokelat Nilaparvata lugens, wereng pinggung putih Sogatella furcifera (Hemiptera: Delphacidae), walang sangit Leptocorisa oratorius (Hemiptera: Alydidae) dan trips (PPI 2008).
Insektisida Klorantraniliprol
Klorantraniliprol termasuk salah satu jenis insektisida dari golongan diamides. Klorantraniliprol mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (IRAC 2010): Nama kimia : 3 bromo-4 kloro-1-(3-kloro-2-piridil)-2-metil-6
(metilkarbamoil) pirazol- 5 karboksanilida
Rumus bangun :
Golongan : diamida
Rumus molekul : C18H14BrCl2N5O2
Klorantraniliprol adalah insektisida dari golongan diamida antranilat, mampu mengendalikan serangga hama khususnya dari ordo Lepidoptera, serta beberapa spesies ordo Coleoptera, Diptera dan Hemiptera. Dalam banyak penelitian senyawa klorantraniliprol cukup baik untuk mengendalikan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae), Spodoptera exigua (Hubner)
N N C CH3 N H O Cl Cl Br N O C N H3C H
(Lepidoptera: Noctuidae), dan Helicoverpa zea (Boddie) (Lepidoptera: Noctuidae) (Hannig et al. 2009).
Bioekologi Musuh Alami Cyrtorhinus lividipennis (Hemiptera: Miridae)
Cyrtorhinus lividipennis merupakan salah satu kepik predator telur wereng coklat dan wereng hijau di areal pada pertanaman padi daerah tropis (Song & Heong 1997; Laba 2001). Selain di pertanaman padi, kepik tersebut dapat ditemukan pada padi liar Oryza punctata dan O. officinalis serta pada gulma Cyperus rotundus dan Digitaria sanguinalis (CAB Internasional 2005). Menurut Kalshoven (1981), C. lividipennis ditemukan pada tanaman kacang-kacangan di sekitar pertanaman padi. Tanaman kacang-kacangan merupakan inang alternatif bagi mangsa berupa wereng jenis lain dan dapat digunakan untuk mempertahankan keberlanjutan hidup kepik.
Menurut Kartohardjono dan Soejitno (1987), seekor betina mampu meletakkan telur 146 butir, dan lama hidupnya rata-rata 18 hari. Sepasang kepik dapat menghasilkan imago baru rata-rata sebanyak 27 ekor. Dari 20 butir telur WBC yang diberikan, seekor predator C. lividipennis mampu memangsa 9 butir per hari. Tingkat predatisme cenderung naik dengan bertambahnya populasi WBC pada tanaman.
Laba-laba Lycosidae
Laba-laba Lycosidae merupakan salah satu predator WBC yang terdiri dari berbagai spesies. Laba-laba yang sering dijumpai yaitu Lycosa sp. (Araenae: Lycosidae), Tetragnatha sp. (Araenae: Tetragnathidae), Oxyopes sp. (Araenae: Oxyopidae), dan Callitrichia sp. (Araenae: Linyphiidae) (Kartohardjono & Soejitno 1987).
Kemampuan Lycosa sp. memangsa WBC bergantung pada fase perkembangan dan kepadatan populasi wereng. Laba-laba Lycosa sp. dapat memangsa WBC nimfa instar 1 dan 2 sebesar 41-60 % pada kepadatan 5 ekor, dan 22-51% pada kepadatan 100 ekor nimfa sedangkan pada kepadatan 10 ekor
WBC dewasa, seekor Lycosa sp. dapat memangsa 20-40% (Kartohardjono & Soejitno 1987).
Laba-laba Lycosa sp. banyak ditemukan di antara anakan rumpun padi dan melompat ke permukaan air jika merasa tergganggu. Laba-laba tersebut tidak membuat jaring untuk menjebak mangsanya, tetapi menyerang langsung (Shepard et al. 2000).
Paederus fuscipes (Coleoptera : Staphylinidae)
Kumbang P. fuscipes berukuran panjang 7 mm. Ciri famili ini adalah mempunyai elitra yang pendek yang hanya menutupi bagian tengah tubuhnya dan berwarna hijau metalik. Tubuhnya berwarna cokelat-oranye pada bagian pertengahan abdomen sedangkan kepala berwarna hitam. Kumbang ini banyak ditemukan pada tanaman padi, imagonya menjadi predator bagi imago dan telur penggerek batang padi serta WBC (Kalshoven 1981).
Pada malam hari kumbang ini aktif mencari mangsa pada bagian atas dan bawah daun padi. Mangsa P. fuscipes adalah WBC dan wereng hijau, tetapi serangga ini juga dapat pula mengonsumsi telur dan ngengat kecil. Predator ini memangsa WBC fase nimfa dan dewasa. Seekor P. fuscipes dewasa dengan kepadatan mangsa 5 WBC dewasa dapat memangsa 1,4 WBC. Daya mangsa P. fuscipes ini akan meningkat dengan meningkatnya populasi WBC (Kartohardjono & Soejitno 1987).
Ophionea nigrofasciata (Coleoptera: Carabidae)
Tubuh imago umumnya memiliki warna metalik. Serangga dewasa dan larva memiliki alat mulut menggigit-mengunyah. Spesies ini mulai bermigrasi ke tanaman pada awal pertumbuhan tanaman. Kebanyakan famili Carabidae adalah bersifat nokturnal tetapi O. nigrofasciata bersifat diurnal.
Menurut Kartohardjono dan Soejitno (1987), seekor O. nigrofasciata dewasa disatukan dengan 5 ekor WBC dewasa dalam sehari dapat memangsa 2,8 ekor, tetapi jika seekor O. nigrofasciata disatukan dengan 15 ekor WBC dewasa dalam sehari dapat memangsa 9 ekor. Hal tersebut menunjukkan semakin
meningkatnya kepadatan WBC, kemampuan memangsa O. nigrofasciata akan semakin meningkat pula.
Kumbang O. nigrofasciata dapat ditemukan dalam lipatan daun yang dibuat oleh larva hama putih palsu (Shepard et al. 2000)
Kumbang Coccinellidae
Ada beberapa spesies Coccinellidae yang merupakan predator WBC, yaitu Harmonia octomaculata. Micraspis discolor, M. inops, dan Lemnia biplagiata. Kumbang Coccinella sp. yang bersifat sebagai predator adalah stadia larva maupun imagonya (Kartohardjono & Soejitno 1987).
Kumbang yang dikenal juga sebagai ladybug ini, sangat mudah dikenali dari bentuk tubuhnya yang bundar memanjang dan biasanya berwarna kecokelatan serta terdapat titik-titik hitam pada tubuhnya. Kumbang H. octomaculata berukuran 6-7 mm dan berwarna oranye dengan titik-titik yang simetris, larva dan pupa diletakkan di daun, siklus hidup sekitar 1 bulan. Kumbang ini dapat meletakkan telur sebanyak 100 butir/betina. M. inops berukuran 4,5-5 mm, berwarna cokelat kekuningan dengan dua garis hitam pada elitranya.
Kemampuan imago Coccinellidae memangsa WBC dewasa dan nimfa rata-rata 11 dan 10 ekor selama 24 jam. Larva Coccinella sp. mampu memangsa nimfa WBC sejumlah 7 ekor selama 1 hari (Kartohardjono & Soejitno 1987).
Imago Coccinellidae dengan segera akan menjatuhkan diri atau terbang ketika dirinya merasa terancam. Larva kumbang ini lebih rakus dibandingkan dengan imagonya, larva Coccinellidae dapat memangsa 5-10 ekor nimfa dari WBC (Shepard et al. 2000).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di Stasiun Riset dan Pengembangan PT. Syngenta Indonesia, Cikampek Karawang, Jawa Barat, mulai Januari sampai Mei 2010.
Penanaman Padi
Benih padi yang digunakan adalah varietas ’Pelita I-1’ yang merupakan varietas rentan terhadap WBC. Benih direndam dalam air selama 24 jam kemudian diperam hingga berkecambah. Benih yang telah berkecambah disemai pada lahan persemaian selama 21 hari, kemudian dipindahtanamkan ke lahan yang berukuran 4 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm pada kedalaman 2-3 cm. Pada setiap lubang tanam ditanam dua bibit padi. Populasi tanaman padi per petak sekitar 320 rumpun. Jumlah seluruh petak sebanyak 30 petak dengan jarak antar- petak 1 m dan setiap petak mempunyai drainase masing-masing.
Pemupukan dilakukan pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (HST) dengan dosis urea 300 kg/ha, SP-36 80 kg/ha, dan KCl 50 kg/ha. Pupuk urea diberikan sebanyak tiga kali, yaitu pada 7, 28, dan 47 HST. Pemupukan dilakukan secara tebar langsung. Penyiangan gulma dilakukan pada 21 dan 35 HST.
Percobaan Lapangan
Jenis insektisida yang digunakan ialah formulasi yang mengandung bahan aktif tiametoksam, tiametoksam+klorantraniliprol, buprofezin, dan BPMC (Tabel 1).
Ai – 5Bi - 2Ci 20 Di =
Tabel 1 Jenis dan dosis insektisida yang digunakan pada percobaan lapangan No Jenis insektisida Merk dagang Formulasi Dosis formulasi aplikasi
1. Tiametoksam Actara 25 WG 12,5 g/ha
2. Tiametoksam+
klorantraniliprol Virtako 300 SC 150 ml/ha
3. Buprofezin Applaud 100 EC 1000 ml/ha
4. BPMC Baycarb 500 EC 500 ml/ha
5. Kontrol - - -
Metode Aplikasi Insektisida
Efikasi (EF). Metode ini biasa digunakan oleh petani, yaitu penyemprotan berkala dengan interval penyemprotan 2 minggu. Aplikasi ini tidak mempertimbangkan populasi WBC atau musuh alaminya. Total aplikasi dilakukan selama tujuh kali dengan awal aplikasi dilakukan pada minggu ketiga setelah pindah tanam.
Ambang Ekonomi (AE). Aplikasi insektisida dilakukan menurut ambang ekonomi didasarkan pada populasi WBC dan musuh alami (Baehaki et al. 2001) menggunakan rumus:
Di = ambang ekonomi terkoreksi
Ai = jumlah WBC minggu ke-i per 20 rumpun
Bi = jumlah laba-laba predator + O. nigrofasciata +P.fuscipes + Coccinellidae minggu ke-i per 20 rumpun
Ci = jumlah C. lividipennis minggu ke-i per 20 rumpun
Jika nilai Di > 5 ekor WBC/rumpun untuk tanaman yang berumur < 40 hari setelah tanam dan nilai Di > 20 ekor WBC/rumpun untuk tanaman yang berumur > 40 HST, perlu dilakukan aplikasi insektisida.
Pemilihan Tanaman Contoh
Pemilihan tanaman contoh dilakukan dengan metode huruf “X”. Tanaman contoh per petak diamati sebanyak 20 rumpun dan masing-masing rumpun diamati per anakan.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dimulai sejak 3 minggu setelah tanam (MST) sampai menjelang panen. Setiap satu kali aplikasi dilakukan dua kali pengamatan, yaitu pada 0 hari sebelum dan 3 hari setelah aplikasi insektisida. Peubah yang diamati meliputi populasi WBC, populasi musuh alami, dan gejala kerusakan tanaman.
Jumlah WBC per rumpun dihitung tanpa mencabut tanaman contoh, yaitu dengan cara menyibak setiap anakan. Pengamatan WBC dilakukan tanpa membedakan fase imago dan nimfa. Musuh alami yang diamati di antaranya adalah C. lividipennis, laba-laba Lycosidae, P. fuscipes, O. nigrofasciata, dan kumbang predator Coccinellidae. Musuh alami diamati pada daun dan batang tanaman contoh.
Pengamatan gejala kerusakan tanaman dilakukan hanya satu kali menjelang panen karena hasil panen tidak diamati. Gejala yang diamati yaitu penyakit kerdil, tidak membedakan antara kerdil rumput dan kerdil hampa, persentase hopperburn, dan vigor tanaman padi. Pengamatan dilakukan secara visual yang diamati oleh ahli pengamat visual dari Kebun Riset dan Pengembangan PT. Syngenta Indonesia. Pengukuran skoring pada pengamatan vigor mengacu pada kebiasaan umum yang dilakukan, yaitu petak kontrol sebagai acuan. Petak kontrol dinilai 100; jika pada perlakuan terlihat vigor tanaman yang lebih baik daripada kontrol maka nilainya akan melebihi 100 dan sebaliknya jika pada perlakuan terlihat vigor tanamannya kurang dari kontrol maka nilainya kurang dari 100.
Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan pada tanaman padi, dilakukan dengan penggunaan fungisida berbahan aktif difenokonazol+ azoksistrobin.
Uji Small Plot Insektisida di Rumah Kaca
Pengujian small plot adalah pengujian insektisida terhadap WBC beserta musuh alaminya dengan perlakuan yang sama di lapangan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh insektisida uji terhadap mortalitas WBC dan mengetahui pengaruhnya terhadap musuh alami. Tanaman yang digunakan hanya satu rumpun dengan setiap perlakuan jumlah WBC yang diintroduksi
sebanyak 25 ekor, C. lividipennis 15 ekor, laba-laba Lycosidae 5 ekor, P. fuscipes 5 ekor, O. nigrofasciata 5 ekor dan kumbang predator coccinellidae 5 ekor yang dikurung dalam sungkup. Penyemprotan insektisida dilakukan pada rumpun tanaman padi di dalam sungkup yang berukuran tinggi 50 cm dan diameternya 15 cm. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Pengamatan mortalitas WBC dan musuh alami dilakukan pada 1 dan 7 hari setelah aplikasi (HSA)
Analisis Data
Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan split-blok in time yang terdiri atas dua blok yang merupakan petak utama yaitu: ambang kendali (efikasi dan ambang ekonomi), dan perlakuan insektisida (tiametoksam, tiametoksam+ klorantraniliprol, buprofezin, BPMC dan kontrol). Data hasil penelitian yang diperoleh diolah dengan sidik ragam split-blok menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) versi 9.1 (SAS Institute 2003). Nilai tengah antar- perlakuan diuji dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Aplikasi Insektisida terhadap Populasi WBC dan Musuh Alaminya di Lapangan
Nilaparvata lugens
Populasi wereng batang cokelat (WBC) selama penelitian dipengaruhi oleh interaksi antara jenis insektisida dan umur tanaman padi (F = 1,86, db = 24, p = 0,0166 untuk sebelum aplikasi dan F = 3,03, db = 24, p <0,0001 untuk setelah aplikasi) (Tabel 2) serta interaksi antara metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 6,36, db = 6, p <0,0001 untuk sebelum aplikasi dan F = 2,47, db = 6, p <0,0278 untuk setelah aplikasi) (Tabel 3).
Populasi WBC selama musim tanam berfluktuasi. Pada pengamatan sebelum aplikasi, populasi WBC pada awal pengamatan berkisar 27-32 ekor per rumpun dan secara nyata meningkat pada 5 MST. Populasi WBC sempat menurun pada 7 MST, karena malam sebelum pengamatan hujan turun cukup deras sehingga menyebabkan WBC hanyut terbawa air hujan, tetapi meningkat lagi pada 9 minggu setelah tanam (MST). Hasil yang sama terjadi pada pengamatan setelah aplikasi. Populasi WBC yang menurun pada 7 MST mengalami peningkatan pada 9 MST dan berfluktuasi selama umur tanaman padi (Tabel 2).
Populasi WBC pada kelima petak perlakuan tidak berbeda nyata pada tanaman berumur 3, 5, 7, 9, dan 11 MST (sebelum aplikasi). Namun pada 13 dan 15 MST, populasi WBC tertinggi terjadi pada petak perlakuan tiametoksam+ klorantraniliprol yang secara nyata berbeda dengan perlakuan tiametoksam, buprofezin, dan kontrol. Sedangkan yang masih cukup baik mengendalikan WBC pada adalah perlakuan buprofezin, tetapi menurut Wang et al. (2010), efektivitas buprofezin dalam mengendalikan WBC saat ini semakin menurun karena penggunaannya yang terus menerus tanpa merotasi dengan insektisida lain. Pada pengamatan 11 MST (setelah aplikasi), populasi WBC secara nyata berbeda dengan pengamatan sebelumnya karena pada waktu pengamatan, WBC yang teramati merupakan instar 1 dan 2. Populasi pada pengamatan 15 MST mengalami penurunan yang tajam karena tanaman padi sudah menjelang panen.
Tabel 2 Populasi WBC per rumpun padi yang dipengaruhi oleh jenis insektisida dan umur tanaman padi
a Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC.
bAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Tabel 3 Populasi WBC per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Perlakuana
Jumlah WBC per rumpun padi pada n MSTb
Sebelum aplikasi Setelah aplikasi
3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15
Tmx 27,5fghi 47,2ab 4,8m 34,4bcdefg 20,0ghijkl 17,9hijklm 11,7jklm 31,2de 31,4de 6,7g 57,2a 5,9g 27,8ef 0,3g Tmx+Ctpr 28,8efghi 58,2a 4,4m 30,4defgh 24,1fghij 38,5bcdef 22,5ghij 31,9de 44,2abcd 5,5g 43,5abcd 8,5g 48,6abc 0,5g Bpz 31,5cdefgh 45,6abc 3,4m 35,1bcdefg 17,7hijklm 14,8ijklm 6,7lm 33,7cde 11,2g 5,4g 53,8a 4,6g 14,8fg 0,6g BPMC 27,5fghi 44,6abcd 5,8lm 42,5bcde 26,7fghi 29,8efghi 11,9jklm 30,4de 27,7ef 7,3g 45,2abcd 7,9g 37,8bcde 0,8g Kontrol 27,3fghi 46,8ab 3,3m 34,7bcdefg 23,2ghij 21,4ghijk 7,8klm 30,1de 11,1g 5,8g 50,7ab 5,9g 25,7ef 0,4g
Metode aplikasi
Jumlah WBC per rumpun padi pada n MSTa
Sebelum aplikasi Setelah aplikasi
3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15
Efikasi 27,3b 49,1a 4,3d 42,6a 28,9b 32,8a 14,8c 33,4cd 27,8de 6,6f 55,6a 8,7f 39,4bc 0,6f Ambang
Populasi WBC pada petak efikasi (EF) mencapai hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan populasi pada petak ambang ekonomi (AE) (Tabel 3). Hal ini terjadi karena WBC pada petak AE mampu dikendalikan oleh musuh alami. Faktor alelokimia yang dikeluarkan oleh tanaman padi dapat mempengaruhi proses pembentukan sayap WBC. Menurut Baehaki et al. (2001), tanaman padi muda mempunyai jaringan sel yang kaya bahan kimia yang mampu mempengaruhi hormon juvenil WBC. Sebaliknya, tanaman padi yang mengalami penuaan kandungan bahan kimia yang mempengaruhi hormon juvenil WBC berkurang. Oleh karena itu, pada tanaman padi menjelang panen banyak muncul WBC makroptera.
Populasi WBC pada kedua tipe metode aplikasi untuk tiga pengamatan pertama (sebelum aplikasi) tidak berbeda nyata. Namun pada tanaman berumur lebih dari 9 MST populasi WBC pada petak AE secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi WBC pada petak EF. Hasil yang sama juga terjadi pada pengamatan setelah aplikasi, kecuali pada tanaman berumur 11 MST yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara populasi WBC pada petak AE dan EF. Hal tersebut dimungkinkan karena pada pengamatan 11 MST setelah aplikasi, WBC yang terdapat pada pertanaman padi merupakan instar 1 dan 2 sehingga musuh alami dan perlakuan insektisida masih cukup efektif untuk mengendalikan WBC.
Cyrtorhinus lividipennis
Populasi C. lividipennis selama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (sebelum aplikasi) (F = 14,84 db = 6, p <0,0001) (Tabel 4) serta interaksi jenis insektisida dan umur tanaman padi (F = 20,04, db = 24, p <0,0001) (Tabel 5).
Pada pengamatan sebelum aplikasi (Tabel 4), populasi C. lividipennis pada awal pengamatan berkisar 1-5 ekor per rumpun dan secara nyata mengalami kenaikan pada 5 MST. Populasi C. lividipennis pada dua pengamatan awal lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada tanaman padi yang lebih tua. Populasi pada petak AE lebih tinggi dibandingkan dengan populasi EF pada 3 dan 5 MST. Populasi C. lividipennis tidak nyata di antara dua macam metode aplikasi pada
Tabel 4 Populasi C. lividipennis per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi sebelum aplikasi
aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Tabel 5 Populasi C. lividipennis per rumpun padi yang dipengaruhi oleh jenis insektisida dan umur tanaman padi setelah aplikasi
a Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC.
b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Metode aplikasi Jumlah C. lividipennis per rumpun padi pada n MST a
3 5 7 9 11 13 15
Efikasi 1.5c 5.4b 0.5d 0.1d 0.0d 0.0d 0.0d
Ambang ekonomi 5.3b 7.6a 0.6d 0.2d 0.0d 0.0d 0.0d
Perlakuana Jumlah C. lividipennis per rumpun padi pada n MST b
3 5 7 9 11 13 15
Tmx 2,0ef 6,6d 0,7ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f
Tmx+Ctpr 1,9ef 0,9ef 0,5ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f
Bpz 2,3e 17,5b 0,6ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f
BPMC 2,0ef 9,6c 0,9ef 0,0f 0,0f 0,0f 0,0f
tanaman berumur lebih dari 7 MST. Hal tersebut terjadi karena pada tanaman yang sudah mulai tinggi dan rindang predator lain mulai bermunculan yang juga dapat menjadi predator bagi C. lividipennis. Predatornya ialah Lycosidae dan P. fuscipes, predator-predator tersebut memangsa nimfa maupun imago C. Lividipennis pada pertanaman padi.
Pada pengamatan setelah aplikasi, populasi C. lividipennis pada kelima petak perlakuan berbeda nyata pada tanaman berumur 5 MST. Perlakuan tiametoksam+klorantraniliprol menghasilkan populasi yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol. Populasi C. lividipennis pada perlakuan buprofezin lebih tinggi dibandingkan dengan pada perlakuan lainnya.
Lycosidae
Populasi laba-laba selama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 19,56, db = 6, p <0,0001 untuk sebelum aplikasi dan F = 12,73, db = 6, p <0,0001 untuk setelah aplikasi) (Tabel 6).
Pada pengamatan sebelum aplikasi, populasi Lycosidae setiap pengamatan secara umum tidak berbeda nyata kecuali pada 3 dan 13 MST (Tabel 6). Populasi laba-laba tidak terlalu berfluktuasi antar pengamatan dan paling stabil diban-dingkan dengan musuh alami lainnya. Menurut Kuusk-Ekbom (2010) laba-laba mampu memangsa tidak hanya yang berada pada pertanaman seperti kutu, tetapi juga mampu mencari mangsa di permukaan tanah seperti Collembola sp.. Secara umum, populasi laba-laba pada petak AE lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada petak EF. Hasil yang sama diperoleh pada pengamatan setelah aplikasi, kecuali pada umur 3 MST populasi pada petak EF lebih tinggi daripada populasi pada petak AE.
Paederus fuscipes
Populasi P. fuscipesselama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 2,31, db = 6, p <0,0387 untuk sebelum aplikasi dan F = 4,47, db = 6, p <0,0004 untuk setelah aplikasi) (Tabel 7).
Tabel 6 Populasi Lycosidae per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi
aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Tabel 7 Populasi P. fuscipes per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi
aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Metode aplikasi
Jumlah Lycosidae per rumpun padi pada n MSTa
Sebelum aplikasi Setelah aplikasi
3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15
Efikasi 1,3h 1,7g 2,6bc 1,7g 2,2def 2,4cd 1,6g 1,4f 1,6ef 2,0bcd 1,9cde 2,3ab 1,8cde 1,9cde Ambang
ekonomi 3,2a 1,9efg 2,9ab 1,8fg 2,3de 2,9ab 1,9efg 0,4g 1,7de 2,1bcd 2,0bcd 2,5a 2,2cb 2,0bcd
Metode aplikasi
Jumlah P. fuscipes per rumpun padi pada n MSTa
Sebelum aplikasi Setelah aplikasi
3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15
Efikasi 0,0d 0,0d 0,0d 0,9a 0,4c 0,9a 0,6b 0,0f 0,0f 0,4e 0,4e 0,5de 0,6cde 0,4e Ambang
Populasi P. fuscipes tidak ditemukan pada tanaman padi berumur 3, 5, dan 7 MST pada pengamatan sebelum aplikasi, baik pada petak EF maupun petak AE. Pada tanaman berumur mulai 9 MST kumbang P. fuscipes mulai terlihat secara nyata di pertanaman. Pada tanaman berumur 11 dan 15 MST, populasi P. fuscipes petak perlakuan EF lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE. Hasil yang sama terjadi pada pengamatan setelah aplikasi. Pada tanaman berumur 3, 5, 7, dan 9 MST, populasi pada petak EF dan AE tidak berbeda nyata. Populasi pada petak EF pada tanaman padi umur 9, 11, 13, dan 15 MST secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE.
Ophionia nigrofasciata
Populasi O. nigrofasciata selama penelitian dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 2,50, db = 6, p <0,0265 untuk sebelum aplikasi dan F = 6,52, db = 6, p <0,0001 untuk setelah aplikasi) (Tabel 8).
Populasi O. nigrofasciata tidak ditemukan pada tanaman padi berumur 3, 5, dan 7 MST (sebelum aplikasi) dan tidak berbeda nyata antara petak AE dan EF. Namun pada tanaman padi berumur 9, 11, 13, 15 MST, populasi kumbang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya. Hanya pada tanaman berumur 11 MST, populasi pada petak EF secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE.
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi juga pada pengamatan setelah aplikasi. Pada pengamatan 3 dan 5 MST, tidak ditemukan kumbang di pertanaman padi. Kumbang mulai muncul secara nyata pada tanaman berumur 7 MST. Hanya pada tanaman berumur 11 MST populasi kumbang pada petak EF secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada petak AE.
Coccinellidae
Populasi Coccinellidae sebelum aplikasi dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi (F = 12,09 db = 6, p <0,0001) (Tabel 9). Setelah aplikasi, populasi Coccinellidae tidak dipengaruhi oleh jenis insektisida dan metode aplikasi. Namun demikian, populasi Coccinellidae setelah aplikasi hanya berfluktuasi sesuai umur tanaman padi (F = 6,61 db = 12, p <0,0001) (Tabel 10).
Tabel 8 Populasi O. nigrofasciata per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi
aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Tabel 9 Populasi Coccinellidae per rumpun padi yang dipengaruhi oleh metode aplikasi dan umur tanaman padi sebelum aplikasi
aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Metode aplikasi
Jumlah O. nigrofasciata per rumpun padi pada n MSTa
Sebelum aplikasi Setelah aplikasi
3 5 7 9 11 13 15 3 5 7 9 11 13 15
Efikasi 0,0e 0,0e 0,0e 0,9c 1,1b 0,8cb 0,1de 0,0d 0,0d 0,6c 0,9b 0,7c 0,6c 0,1d Ambang
ekonomi 0,0e 0,0e 0,0e 0,7c 1,4a 0,7c 0,3d 0,0d 0,0d 0,6c 0,8cb 1,3a 0,7c 0,1d
Metode aplikasi Jumlah Coccinellidae per rumpun padi pada n MSTa
3 5 7 9 11 13 15
Efikasi 0,0e 0,0e 0,0e 0,1de 0,5bc 1,3a 0,2de
Populasi Coccinellidae pada pengamatan pada 3, 5, 7, dan 9, 11, dan 15 MST (sebelum aplikasi ) tidak berbeda nyata pada kedua petak AE dan EF (Tabel 9). Hanya pada 13 MST, populasi pada petak EF secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada petak AE.
Pada pengamatan setelah aplikasi, populasi Coccinellidae berfluktuasi. Selama satu musim tanam, populasi pada awal musim rendah kemudian meningkat dan mencapai populasi tertinggi pada 11 dan 13 MST (Tabel 10).
Tabel 10 Populasi Coccinellidae per rumpun padi pada semua petak perlakuan selama musim tanam setelah aplikasi
aAngka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.
Pengamatan Gejala Serangan Virus Kerdil
Persentase tanaman yang terserang virus kerdil pada kedua metode aplikasi relatif tinggi berkisar 40-60 %, namun secara umum merata tingginya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan insektisida kurang efektif dalam mengendalikan WBC sehingga gejala serangan virus kerdil cukup tinggi (Gambar 1).
Gambar 1 Persentase virus kerdil antar perlakuan di lapangan. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC 0 10 20 30 40 50 60 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol Per sen tase tan am an k er d il Perlakuan EF AE
Jumlah Coccinellidae per rumpun padi pada n MSTa
3 5 7 9 11 13 15
Hopperburn
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah tanaman yang mengalami hopperburn terlihat lebih tinggi pada petak EF dibandingkan dengan pada petak AE, kecuali pada perlakuan tiametoksam (Gambar 2).
Gejala hopperburn merupakan gejala seperti terbakar akibat jumlah WBC yang sangat banyak dan dapat terjadi ketika populasi WBC sudah mencapai kanopi. Gejala hopperburn dapat terjadi sejak fase vegetatif hingga menjelang panen. Gejala awal hopperburn dapat diketahui ketika terlihat beberapa daun bagian bawah yang sudah menguning. Gejala tersebut dapat meluas dalam satu rumpun hanya dalam beberapa jam dan meluas ke areal lain tidak lebih dari 3 hari.
Gambar 2 Persentase hopperburn antar perlakuan di lapangan. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC
Vigor tanaman
Pengaruh beberapa insektisida terhadap vigor tanaman terlihat untuk tanaman yang mendapat perlakuan insektisida. Tanaman padi yang mendapat perlakuan insektisida memiliki vigor yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan hanya dua perlakuan insektisida, yaitu tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol memberikan vigor yang lebih baik. Pada kedua insektisida tersebut ditambahkan adjuvant yang mampu memberikan pengaruh terhadap zat hijau daun sehingga memungkinkan tanaman akan tumbuh lebih hijau dan sehat (Tricahyono et al. 2009).
0 5 10 15 20 25 30 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol P erse n tas e tan am an h o p p erb u rn Perlakuan EF AE
Gambar 3 Pengamatan vigor tanaman antar perlakuan di lapangan. Tmx: tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol,
bpz:buprofezin, BPMC
Uji Small Plot Insektisida di Rumah Kaca
Hasil small plot untuk pengamatan 1 hari setelah aplikasi (HSA) menunjukkan bahwa penyemprotan beberapa insektisida mempunyai pengaruh terhadap musuh alami (Gambar 4). Mortalitas WBC paling tinggi terjadi pada populasi yang mendapat perlakuan BPMC. Namun demikian, BPMC juga menyebabkan mortalitas pada hampir seluruh musuh alami yang diuji. Perlakuan tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol cenderung tidak menunjukkan efek yang berbeda antara keduanya. Populasi WBC masih cukup tinggi pada perlakuan buprofezin, dan hampir seluruh musuh alaminya relatif banyak yang hidup. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan buprofezin tidak banyak mempengaruhi populasi musuh alami pada 1 HSA.
Populasi WBC secara drastis sudah menurun dibandingkan dengan musuh alami pada pengamatan 7 HSA (Gambar 5). Populasi musuh alami pada perlakuan buprofezin masih relatif tinggi. Kematian musuh alami terjadi tidak hanya akibat penyemprotan insektisida, tetapi juga terjadi karena adanya pemangsaan di antara musuh alami seperti pada P. fuscipes dan Lycosidae yang memangsa predator lain yaitu C. lividipennis. Menurut Persons-Uetz (2005), Lycosidae betina bila mene-mukan jantan yang lebih kecil ukurannya atau tidak cocok ketika hendak kawin akan memakan yang jantan. Selain itu, faktor lingkungan seperti cekaman panas karena diletakkan di rumah kaca dan keterbatasan makanan juga diduga menyebabkan penurunan populasi musuh alami tersebut.
0 20 40 60 80 100 120 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol Sk o rin g v ig o r tan am an Perlakuan EF AE
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol P o p u la si p er r u m p u n Perlakuan N. lugens C. lividipennis Lycosidae P. fuscipes O. nigrofasciata Coccinellidae
Gambar 4 Populasi WBC dan musuh alami yang mendapat perlakuan empat jenis insektisida di rumah kaca pada 1 HSA. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 TMX TMX+CTPR BPZ BPMC Kontrol P opu la si per r um pun Perlakuan N. lugens C. lividipennis Lycosidae P. fuscipes O. nigrofasciata Coccinellidae
Gambar 5 Populasi WBC dan musuh alami yang mendapat perlakuan empat jenis insektisida di rumah kaca pada 7 HSA. Tmx:tiametoksam, tmx+ctpr:tiametoksam+klorantraniliprol, bpz:buprofezin, BPMC
Pembahasan Umum
Pada awal musim tanam, populasi WBC di lapangan cukup rendah, sehingga dilakukan introduksi WBC secara merata di semua petak. Pengamatan WBC dan musuh alami dilakukan mulai 3 MST hingga 15 MST. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah WBC berfluktuasi selama umur tanaman padi. Pada bulan Januari hingga Mei 2010, curah hujan sangat rendah sehingga WBC menyukai kondisi tersebut. Curah hujan yang rendah dan musim kemarau yang basah menjadi salah satu faktor WBC mudah berkembang secara optimal. Selain itu, kelembapan yang tinggi juga diduga mempengaruhi terjadinya peledakan WBC.
Hasil pengujian yang dilakukan terhadap 4 jenis insektisida menunjukkan pengaruh yang berbeda dengan kontrol. Perlakuan insektisida tiametoksam dan tiametoksam+klorantraniliprol selama pengamatan menunjukkan kenaikan jumlah WBC tertinggi setelah dilakukan aplikasi insektisida. Sedangkan perlakuan buprofezin, selama penelitian menunjukkan kenaikan jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan perlakuan insektisida lainnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pengamatan musuh alami, beberapa pengamatan menunjukkan penurunan jumlah musuh alami setelah aplikasi insektisida.
Perlakuan masing-masing insektisida terhadap WBC selama penelitian umumnya tidak berbeda nyata, hal tersebut dimungkinkan karena populasi WBC selama penelitian cukup tinggi sehingga insektisida tidak mampu mengendalikan secara maksimal. Setiap pengamatan diketahui bahwa populasi WBC pada setiap perlakuan insektisida, jumlahnya tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Tetapi pada beberapa pengamatan, petak kontrol menunjukkan populasi WBC lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan insektisida. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa musuh alami terbunuh setelah dilakukan insektisida, sedangkan pada petak kontrol tidak dilakukan penyemprotan sehingga musuh alami mampu mengendalikan populasi WBC di lapangan.
Prinsip dasar budidaya padi dengan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), yaitu penggunaan tanaman sehat, penggunaan musuh alami, dan pemantauan secara rutin untuk menentukan perlu-tidaknya dilakukan intervensi seperti penyemprotan pestisida secara bijaksana. Menurut Mariyono (2008),
penerapan teknologi pengendalian hama terpadu dalam budidaya tanaman padi akan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pestisida, dalam hal ini meningkatkan pendapatan produksi padi.
Berdasarkan hasil pengujian dalam satu kali musim tanam, diketahui bahwa insektisida buprofezin mampu mengendalikan WBC paling baik diantara insektisida lain. Walaupun bila dibandingkan dengan petak kontrol, ada beberapa pengamatan yang menunjukkan kontrol lebih baik mengendalikan WBC.
Faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya populasi WBC adalah ketahanan varietas tanaman. Petani umumnya terus-menerus menggunakan satu varietas tertentu, terutama varietas Ciherang dan Cilamaya Muncul serta enggan untuk mengganti dengan varietas lain. Pola tanam yang umum dilakukan petani, yaitu pola tanam rapat dianggap akan menghasilkan lebih banyak hasil panen. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang menguntungkan untuk WBC berkembang. Selain itu, penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan juga mempengaruhi perkembangan WBC. Tanaman yang diberi pupuk nitrogen berlebih, akan membuat tanaman padi menjadi sukulen sehingga WBC juga menyukai kondisi tersebut. Jumlah volume semprot yang dianjurkan oleh perusahaan insektisida umumnya tidak dilakukan oleh petani, misalnya volume semprot anjuran produsen pestisida 500 l/ha, tetapi petani umumnya hanya melakukan penyemprotan sebanyak 200 l/ha. Hal tersebut terjadi karena alasan efisiensi biaya produksi.
Rata-rata iklim selama umur tanaman padi pada bulan Januari hingga Mei 2010 (Gambar 6), menunjukkan keadaan yang cukup mendukung perkembangan populasi WBC dengan cepat. Curah hujan yang rendah ditambah dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, merupakan salah satu faktor pendukung yang dominan bagi perkembangan WBC di pertanaman padi.
Populasi WBC pada bulan Januari hingga Mei 2010 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Ledakan WBC terjadi di beberapa sentra produksi beras di Indonesia. Wilayah endemis terhadap serangan wereng ada di Jawa Tengah sebanyak 10 kabupaten, Jawa Barat 5 kabupaten, Banten 4 kabupaten, dan Aceh 3 kabupaten (Anonim 2010). Dilaporkan bahwa banyak petani yang mengalami gagal panen karena padi yang diserang WBC menjadi hopperburn.
Selama musim tanam, ada beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT) lain yang ditemukan di lapangan, seperti lalat bibit Hydrellia sp., keong Pomacea
canaliculata (Lamarck), hama putih palsu Cnaphalochrosis medinalis, pelipat
daun Pelopidas mathias, ganjur Orseolia oryzae, Rattus argentiventer dan burung pemakan bulir padi.
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Januari Februari Maret April Mei
C u rah h u jan [ m m ] 65.0 70.0 75.0 80.0 85.0 90.0 95.0
Januari Februari Maret April Mei
R H (%) 24.5 25 25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5
Januari Februari Maret April Mei
S
uhu
[°
C]
Gambar 6 Rata-rata curah hujan (A), kelembapan rata-rata (B), dan temperatur rata-rata dari bulan Januari hingga Mei 2010 (C) di Stasiun Riset dan Pengembangan PT. Syngenta Indonesia - Cikampek
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengendalian dengan menggunakan insektisida tanpa memperhatikan musuh alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama WBC setelah dilakukan penyemprotan karena terbunuhnya musuh alami. Penentuan ambang ekonomi dalam proses pengendalian sangat membantu petani. Insektisida buprofezin cukup efektif untuk mengendalikan WBC. Pengujian insektisida perlu dilakukan dalam beberapa musim tanam yang berbeda agar diketahui efektivitasnya dalam mengendalikan WBC serta pengaruhnya terhadap musuh alami.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 1991. The Agrochemical Handbook. 3rd edition. Cambridge: The Royal Society Chemistry Thomas Graham House.
[Anonim]. 2010. Anomali iklim ancaman wereng meningkat. Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2010/06/22/04485756/Anomali...Iklim Ancaman.Wereng.Meningkat [24 Agustus 2010]
Baehaki SE, Baskoro SW, Ahmad R. 2001. Penetapan Ambang Ekonomi Ganda Hama dan Penyakit pada Varietas Padi Berbeda Umur. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi.
Baehaki. 2007. Perkembangan wereng cokelat biotipe 4. Sinar Tani 1 Agustus 2007.
[BCPC] British Crop Protection Council. 2004. The e-Pesticide Manual, Version 3.1, 13th edition. Hampshire: BCPC.
[CAB International] Central for Agricultural and Bioscience International. 2005. Crop Protection Compendium. Wallingford: CAB International
[Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Varietas unggul padi sawah. http://www.deptan.go.id/. [8 April 2010].
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Karakteristik Masyarakat terhadap Konsumsi Beras. Jakarta: Deptan.
Direktorat Perlindungan Tanaman dan JICA. 1984. Wereng Cokelat dan Pengendaliannya. Jakarta: Balai Perlindungan Tanaman Pangan.
Dyck VA, Thomas B. 1979. The planthopper. Di dalam: Brown Planthopper: Threat to Rice Production in Asia. Los Banos: IRRI.
Gaib A. 2010. Status serangan wereng batang cokelat di Indonesia dan upaya pengendaliannya. Di dalam: Lokakarya Pengelolaan Wereng Cokelat: Kemitraan Petani, Pemda, Kementan, dan IPB. Bogor, 15 Juni 2010. Bogor: IPB.
Hannig GT, Ziegler M, Marcon PG. 2009. Feeding essation effects of chlorantraniliprole, a new anthranilic diamide insecticide, in comparison with several insecticides in distinct chemical classes and mode-of-action groups. Pest Management Science 65: 969-974.
[IRAC] International Resistance Action Committee. 2009. Focus on Stewardship of the Novel Mode of Action Insecticides, the Ryanodine Receptor Modulators. Hampshire: IRAC.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru - van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Kartohardjono A, Soejitno J. 1987. Musuh alami wereng cokelat Nilaparvata lugens Stal. pada tanaman padi. Di dalam: wereng cokelat edisi khusus no. 1. Bogor: BPTP hlm 43-54.
Kuusk AK, Ekbom B. 2010. Lycosid spiders and alternative food: feeding behavior and implications for biological control. Biological Control 55 (1): 20-26.
Laba IW. 1993. Keefektifan dan dampak beberapa insektisida terhadap populasi wereng batang cokelat Nilaparvata lugens Stal. pada tanaman padi. Buletin Balittan (8): 47-51.
Laba IW. 2001. Keanekaragaman hayati artropoda dan peranan musuh alami hama utama padi pada ekosistem sawah. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Litsinger JA, Henrichs EA. 1980. Biological efficacy, cost and mammalian toxicity of insecticides recommended for rice in the Philippines. International Rice Research Newsletter 5(3):16.
Macaluta RF, Mochida O, Litsinger JA. 1988. Minimal dosages of buprofezin to control green leafhopper and brown planthopper. International Rice Research Newsletter 13(4): 40.
Mariyono J. 2008. Direct and indirect impacts of integrated pest management on pesticide use: a case of agriculture in Java, Indonesia. Pest Management Science 64: 1069-1073.
Mochida O, Okada T. 1979. Taxonomy and biology of Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae). Di dalam: Brown planthopper: Threat to Rice Production in Asia. Los Banos: IRRI.
Moser SE, Obrycki JJ. 2009. Non-target effect of neonicotinoid seed treatments; mortality of coccinellid larvae related too zoophytophagy. Biological Control 51: 487-492.
Pathak MD. 1972. Resistance to leafhopper and planthopper in rice varieties. Japan Pesticide Information 10: 113-114.
Persons MH, Uetz GW. 2005. Sexual cannibalism and mate choice decisions in wolf spiders: influence of male size and secondary sexual characters. Animal Behaviour 69: 83-94.
[PPI] Pusat Perizinan dan Investasi. 2008. Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Jakarta: PPI, Departemen Pertanian.
SAS Institute. 2003. SAS/STAT User’s Guide, Version 9, 1st edition. Cary (North Carolina): SAS Institute.
Senn R, Tally A, Fluckiger C, Hashino Y. 1997. A novel broad spectrum insecticide: Global field performance. Di dalam: A Novel Insect Control Compound. Bassel: Novartis Crop Protection hlm :13-18.
Shepard BM, Barrion BA, Litsinger JA. 2000. Friends of The Rice Farmer: Helpful Insect, Spiders, and Pathogens. Los Banos: IRRI.
Shibuya M. 1984. Applaud, a new selective insecticide. Japan Pesticide Information 44:17-21.
Song YH, Heong KL. 1997. Changes in searching responses with temperature of Cyrtorhinus lividipennis Reuter (Hemiptera: Miridae) on the eggs of the
brown planthopper, Nilapavarta lugens (Stål) (Homoptera: Delphacidae). Recearch on Population Ecology 39(2):201-206.
Tricahyono D, Midzone JL, Yudas A, Marsudi. 2009. Mengenal dan Mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman Padi. Jakarta: PT Syngenta Indonesia.
Valencia SL, Mochida O, Basilio RP. 1988. Efficacy of buprofezine (NNI-750) for brown planthopper (Nilaparvata lugens), green leafhopper (Nephottetix sp.) and white backed planthopper (Sogatella fuscifera) control. International Rice Research Newsletter 8(4): 18-19.
Vorley WT. 1985. Spider mortality implicated in insecticide-induce resurgence of whitebacked planthopper (WBPH) and brown planthopper (BPH) in Kedah Malaysia. International Rice Research Newsletter 5:19-20.
Wang Y, Gao F, Xu Z, Zhu YC, Zhang J et al. 2008. Buprofezin susceptibility survey, resistance selection and preliminary determination of the resistance mechanism in Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae). Pest Management Science 64: 1050-1056.