• Tidak ada hasil yang ditemukan

Assosiation of Southeast Asian Nations (ASEAN) diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN (Bangkok Declaration) pada 8 Agustus 1967 di Bangkok. Kemudian Brunei bergabung pada tanggal 7 Januari 1984, Vietnam pada tanggal 28 Juni 1995, Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997 dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999. Tujuan dari kerjasama tersebut adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi, menjadikan satu entitas pasar Asia Tenggara, meningkatkan daya saing, dan mencapai kesejahteraan yang merata.

Pada tahun 1992 digagas kerjasama perdagangan bebas atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) dengan membentuk skema Common Effective Preferential Tariffs for ASEAN (CEPT-AFTA). Tahun 2010 terjadi kesepakatan untuk menghapus bea masuk impor. Kerjasama ini akan berlanjut dengan dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 untuk memperkuat perekonomian negara-negara anggota ASEAN.

Negara-negara ASEAN 5 (Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam) termasuk kedalam kelompok negara berpenghasilan menengah. Berdasarkan klasifikasi Bank Dunia tahun 2014 Thailand dan Malaysia termasuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah tinggi. Sementara Indonesia,

26

Filipina dan Vietnam termasuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah rendah (Lampiran 6).

Kawasan ASEAN merupakan wilayah dengan potensi pasar yang besar dengan total populasi sekitar 625 juta jiwa atau 8,6% penduduk dunia (UNCTAD 2014). Potensi inilah yang banyak menarik investor asing untuk mengambil bagian di kawasan tersebut. Berdasarkan ASEAN Investment Report (2014), tahun 2013 menjadi momentum pertumbuhan FDI masuk ke ASEAN. Aliran FDI masuk sebesar 122 miliar dolar AS mendorong peningkatan FDI stock mencapai 1,6 triliun dolar AS. Jika dibandingkan dengan kelompok negara-negara berkembang lainnya, ASEAN menerima 16% dari total FDI ke negara-negara berkembang.

Total FDI stock inward di ASEAN 5 sebesar 697,68 miliar dolar AS pada tahun 2014 yang tersebar di lima sektor ekonomi. Sektor jasa menjadi sektor terbesar yang menerima sebesar 48% dari total FDI. Disusul sektor manufaktur, pertambangan, konstruksi dan pertanian masing-masing sebesar 43,6%, 4,9%, 2,2% dan 1,4%.

Keragaan FDI Sektoral di Filipina

Gambar 7 menunjukkan perkembangan Foreign Direct Investment sektoral di negara Filipina. FDI sektoral Filipina dalam periode 2006 hingga 2014 mengalami fluktuasi. Fluktuasi ini menunjukkan tidak stabilnya iklim investasi di negara Filipina pada periode tersebut. Sektor manufaktur sebagai sektor terbesar dalam menyerap FDI mengalami fluktuasi. Puncak penerimaan FDI terjadi pada tahun 2012 mencapai angka 4 miliar dolar AS. Titik terendah penyerapan FDI sektor manufaktur terjadi di tahun 2008 pada kisaran 1 miliar dolar AS. Tren peningkatan FDI sektor manufaktur terjadi pada periode 2008 hingga 2012. walaupun sempat mengalami penurunan di tahun 2010-2011 pada saat diberlakukannya kerjasama AFTA.

Sumber: Philippines Statistics Authority (2015), data diolah

Gambar 7. Foreign Direct Investment di Filipina tahun 2006-2014 (dalam juta dolar AS)

Sektor jasa merupakan sektor kedua terbesar setelah manufaktur dalam hal penyerapan FDI masuk. Berbeda dengan sektor manufaktur, serapan FDI pada sektor jasa memiliki tren penurunan di tahun 2006 hingga 2010 sebelum akhirnya mengalami kenaikan pada tahun 2010 hingga 2013 dan mengalami penurunan kembali pada periode berikutnya. FDI sektor jasa sempat mengalami penurunan setelah tahun 2008 sebagai dampak dari krisis keuangan global. Titik tertinggi serapan FDI sektor jasa terjadi di tahun 2012 pada kisaran 2,5 miliar dolar AS. Tren kenaikan FDI sektor jasa terjadi setelah tahun 2010 bertepatan dengan diberlakukannya kerjasama AFTA.

Sementara sektor pertambangan juga mengalami fluktuasi dalam menyerap FDI dalam periode 2006 hingga 2014. Titik tertinggi serapan FDI sektor pertambangan terjadi pada tahun 2007 mencapai 2 miliar dolar AS dan titik terendah sebesar 0 dolar AS di tahun 2014. Secara keseluruhan terlihat sektor pertambangan mengalami ketidakstabilan investasi.

FDI yang masuk pada sektor konstruksi dan pertanian masih di bawah 200 juta dolar AS. Hal tersebut menunjukkan bahwa rendahnya minat investor asing terhadap dua sektor tersebut di bandingkan tiga sektor ekonomi lainnya. Selama periode 2006 hingga 2014 tidak terlihat fluktuasi serapan FDI dan cenderung stabil di bawah 200 juta dolar AS per tahun.

Keragaan FDI Sektoral di Indonesia

Gambar 8 menunjukkan perkembangan FDI di negara Indonesia. FDI sektoral di Indonesia tidak sefluktuatif Filipina. Dari sisi nominal, FDI Indonesia berada di atas Filipina. Terdapat kesamaan dengan Filipina dimana sektor manufaktur menjadi sektor terbesar dalam menyerap FDI masuk. Pada sektor manufaktur terlihat tren kenaikan FDI dari tahun 2005 hingga 2013 dan mengalami penurunan di tahun 2014. Puncak penerimaan FDI sektor manufaktur terjadi pada tahun 2013 hampir mencapai 16 miliar dolar AS. Dan tren kenaikan yang signifikan di mulai pada tahun 2010 dimana awal pemberlakuan kerjasama AFTA.

Sektor jasa merupakan sektor kedua terbesar dalam menyerap FDI masuk dan mengalami sedikit fluktuasi dalam rentang tahun 2006 hingga 2014. Puncaknya kenaikan FDI sektor jasa terjadi pada tahun 2008 mencapai hampir 10 miliar dolar AS dan mengalami tren penurunan hingga tahun 2013 dan mengalami kenaikan di tahun 2014. Tidak terlihat pengaruh kerjasama FDI tahun 2010 terhadap kenaikan aliran masuk FDI bahkan terlihat penurunan pada periode tahun 2010 hingga 2013.

Sektor pertambangan berada pada posisi ke tiga dalam penyerapan FDI mengalami tren kenaikan dari tahun 2006 hingga 2014. Puncaknya terjadi pada tahun 2013 pada kisaran 7 miliar dolar AS. Terlihat kenaikan FDI yang signifikan setelah diberlakukannya kerjasama AFTA tahun 2010 bahkan melampaui sektor jasa di tahun 2011 hingga 2013.

Sementara sektor konstruksi menjadi sektor terendah dalam penerapan FDI yang masuk ke Indonesia. Penyerapan FDI pada sektor ini hanya pada kisaran di bawah 2 miliar dolar AS per tahun. Sektor ini sempat mengalami penurunan pada tahun 2010 hingga 2012 dan kembali mengalami kenaikan pada tahun berikutnya. Kerjasama AFTA yang dimulai tahun 2010 nampak tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan FDI di sektor konstruksi.

28

Sumber : Badan Pusat Statistik (2015), diolah

Gambar 8 Foreign Direct Investement (FDI) di Indonesia tahun 2006-2014 (dalam juta dolar AS)

Keragaan FDI Sektoral di Malaysia

Malaysia sebagai salah satu negara berpendapatan menengah tinggi di kawasan ASEAN merupakan penerima FDI terbesar kedua diantara negara-negara ASEAN 5 lainnya. Dibandingkan Filipina dan Indonesia, FDI sektoral Malaysia tidak memperlihatkan fluktuasi (Gambar 9). Hal ini menunjukkan iklim investasi di Malaysia lebih stabil dibandingkan Filipina dan Indonesia.

Berbeda dengan Filipina dan Indonesia, pada Gambar 9 terlihat bahwa sektor jasa menjadi sektor terbesar dan menjadi unggulan dalam menyerap FDI yang masuk ke Malaysia dari tahun 2006 hingga 2014. Tren FDI yang mengalami kenaikan tiap tahunnya tanpa mengalami penurunan dalam periode tersebut. Puncaknya serapan FDI sektor jasa terlihat di tahun 2014 hampir mencapai 140 miliar dolar AS. Terlihat juga kenaikan FDI yang cukup pesat di sektor jasa setelah diberlakukannya kerjasama AFTA pada tahun 2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerjasama AFTA memiliki pengaruh terhadap kenaikan FDI sektoral di negara Malaysia.

Sektor manufaktur menjadi sektor terbesar kedua setelah sektor jasa dalam menyerap FDI. Berbeda dengan sektor jasa, tren kenaikan FDI sektor manufaktur mengalami perlambatan di tahun 2008-2009 dan sempat mengalami penurunan di tahun 2014. Penyerapan FDI mencapai puncaknya pada tahun 2013 hampir mencapai 65 miliar dolar AS. Sektor manufaktur mengalami kenaikan FDI yang signifikan setelah diberlakukannya kerjasama AFTA tahun 2010.

Sektor pertambangan merupakan sektor terbesar ketiga dalam menyerap FDI di Malaysia. Walaupun pangsa FDI sektor pertambangan terlihat kecil dibandingkan sektor jasa dan manufaktur, namun dari besaran nominal FDI sektor pertambangan di Malaysia lebih besar dibandingkan Indonesia dan Filipina. Bahkan di tahun 2013 dan 2014 besaran FDI sektor ini melampaui angka 10 milar dolar AS. Tren perkembangan FDI sektor pertambangan di Malaysia meningkat perlahan. Sektor ini juga mendapatkan pengaruh positif dengan diberlakukannya

AFTA tahun 2010. Hal ini terlihat pada gambar 9 yang menunjukkan adanya peningkatan FDI yang signifikan setelah tahun 2010.

Sementara sektor pertanian di Malaysia berada di peringkat empat dalam menyerap FDI. Sektor ini juga mengalami tren kenaikan tiap tahunnya. Sedangkan sektor konstruksi menjadi sektor paling kecil dalam menyerap FDI di Malaysia. Sektor pertanian dan konstruksi juga mengalami peningkatan FDI signifikan setelah diberlakukannya kerjasama AFTA tahun 2010.

Sumber: Malaysia Informative Data Centre (2015), data diolah

Gambar 9 Foreign Direct Investment di Malaysia tahun 2006-2014 (dalam juta dolar AS)

Keragaan FDI Sektoral di Thailand

Thailand merupakan penerima FDI terbesar ketiga diantara negara-negara ASEAN 5. Sama seperti Malaysia dimana FDI sektoral Thailand tidak mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa iklim investasi di Thailand lebih stabil dibandingkan Indonesia dan Filipina.

Gambar 10 menunjukkan bahwa sektor jasa menjadi sektor terbesar dalam menyerap FDI. Walaupun terlihat FDI di tahun 2007-2008 mengalami sedikit penurunan, pada tahun-tahun berikutnya mengalami tren kenaikan hingga mencapai puncaknya di tahun 2014 dengan besaran sekitar 111 miliar dolar AS. Sektor jasa mulai melampaui sektor manufaktur dalam menyerap FDI setelah tahun 2010. Tahun tersebut merupakan awal diberlakukannya kerjasama AFTA sehingga pada gambar terlihat kenaikan FDI yang signifikan setelah kerjasama tersebut berlangsung.

Sektor manufaktur berada pada posisi kedua dalam menyerap FDI. Dalam periode 2006 hingga 2014 FDI sektor manufaktur mengalami tren kenaikan tiap tahunnya walaupun tahun 2012-2013 sempat mengalami sedikit penurunan. Sektor ini juga mendapatkan dampak positif dari pemberlakuan kerjasama AFTA tahun 2010. Hal tersebut terlihat pada gambar dimana terjadi kenaikan signifikan setelah tahun 2010.

30

Sektor pertambangan, konstruksi dan pertanian di Thailand terlihat memiliki pangsa serapan FDI yang tergolong kecil dibandingkan sektor jasa dan manufaktur. Dalam periode 2006 hingga 2015, sektor pertambangan di Thailand tidak menunjukkan tren peningkatan tiap tahunnya, dan cenderung terlihat sedikit berfluktuatif. Begitu pula yang terjadi pada sektor konstruksi yang tidak menunjukkan tren peningkatan tiap tahunnya. Kedua sektor ini memiliki besaran FDI diata 1 miliar dolar AS. Sedangkan sektor pertanian dengan nominal FDI berada dibawah 150 juta dolar AS, namun tiap tahunnya mengalami tren peningkatan. Sektor pertanian juga mendapatkan dampak positif dari diberlakukannya kerjasama AFTA pada tahun 2010 dengan peningkatan FDI yang signifikan setelah kerjasama tersebut berlangsung.

Sumber: Bank of Thailand (2015), data diolah

Gambar 10 Foreign Direct Investment di Thailand tahun 2006-2014 (dalam juta dolar AS)

Keragaan FDI Sektoral di Vietnam

Pada Gambar 11 menggambarkan sebaran FDI sektoral di Vietnam pada periode 2006 hingga 2014. Vietnam mendapatkan limpahan FDI yang signifikan setelah tahun 2011 sehingga menempatkan negara tersebut sebagai penerima FDI terbesar di antara negara ASEAN 5 lainnya. FDI sektoral di Vietnam mengalami tren peningkatan terutama setelah tahun 2011.

Sektor manufaktur menjadi sektor terbesar dalam menyerap FDI yang masuk ke Vietnam. Sektor manufaktur mengalami peningkatan FDI yang signifikan setelah tahun 2011. Berdasarkan ASEAN Investment Report 2014 tercatat terjadi limpahan arus investasi masuk ke negara-negara CLMV (Cambodia, Lao Rep, Myanmar dan Vietnam) dikarenakan keuntungan biaya tenaga kerja yang murah dan iklim investasi yang membaik di negara tersebut. Keterbukaan ekonomi yang diberlakukan di tahun 1990-an berdampak pada meningkatnya tingkat kepercayaan investor asing atas iklim investasi di Vietnam. Selain itu kerjasama AFTA yang disepakati oleh enam negara (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) berdampak pada aliran masuk FDI untuk menjadikan Vietnam menjadi basis produksi sektor manufaktur. Puncaknya

sektor manufaktur menyerap FDI hampir mencapai 150 miliar dolar AS di tahun 2014.

Sektor jasa berada pada posisi dua dalam menyerap FDI. Sama seperti sektor manufaktur, sektor jasa juga mengalami peningkatan signifikan setelah tahun 2011. Peningkatan FDI sektor jasa tidak terlepas dari berkembangnya sektor manufaktur di Vietnam. Secara keseluruhan dalam periode 2006 hingga 2014 sektor jasa mengalami tren kenaikan tiap tahunnya.

Sektor pertambangan, konstruksi dan pertanian di Vietnam juga mengalami peningkatan signifikan pada periode 2011 hingga 2014. Pangsa ketiga sektor ini tergolong sangat kecil dibandingkan sektor manufaktur dan jasa. Namun dari sisi nominal, FDI sektor pertambangan, konstruksi dan pertanian di Vietnam melampaui negara-negara ASEAN 5 lainnya terutama Malaysia.

Sumber: General Statistics Office of Vietnam (2015), data diolah

Gambar 11 Foreign Direct Investment di Vietnam tahun 2006-2014 (dalam juta dolar AS)

Keragaan Kesempatan Kerja, PDB dan Upah Sektoral di ASEAN 5 Keragaan Kesempatan kerja, PDB dan Upah Sektoral di Filipina

Gambar 12 menunjukkan perkembangan kesempatan kerja dan PDB negara Filipina di lima sektor ekonomi periode 2006-2014. Perkembangan kesempatan sektor pertanian pada tahun 2006 hingga 2009 mengalami peningkatan bersamaan dengan kenaikan PDB sektor pertanian. Namun, tahun 2010 hingga 2014 kesempatan kerja sektor tersebut mengalami tren penurunan disaat PDB sektor pertanian mengalami kenaikan tiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan PDB sektor pertanian tidak mendorong peningkatan kesempatan kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak tahun 2010 pertumbuhan sektor pertanian di Filipina bersifat padat modal.

Kesempatan kerja sektor pertambangan tren kenaikan dari tahun 2006 hingga 2013 bersamaan dengan kenaikan PDB sektor tersebut. Sebaliknya pada tahun 2014 dimana kenaikan PDB sektor pertambangan tidak diikuti dengan

32

kenaikan kesempatan kerja sektor tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi efisiensi tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas di sektor pertambangan pada tahun 2014.

Sektor manufaktur memiliki kontribusi PDB terbesar kedua setelah jasa. Namun serapan tenaga kerja sektor tersebut berada di posisi tiga setelah sektor pertanian. Perkembangan kesempatan kerja sektor manufaktur mengalami tren positif pada tahun 2009 hingga puncaknya di tahun 2014. Tren tersebut terjadi bersamaan dengan terjadinya kenaikan PDB. Pada tahun sebelumnya 2008 hingga 2009 mengalami penurunan PDB, begitu pula dengan kesempatan kerjanya. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan PDB dan kesempatan kerja yang cukup signifikan dimana pada tahun tersebut mulai diberlakukannya AFTA. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh kerjasama tersebut terhadap perekonomian dan kesempatan kerja di sektor manufaktur.

Kesempatan kerja di sektor konstruksi mengalami tren peningkatan pada tahun 2006 hingga 2014. Begitu pula dengan PDB sektor tersebut yang mengalami tren positif walaupun tahun 2011 sempat mengalami penurunan. Penurunan tersebut tidak diikuti oleh penurunan kesempatan kerja sektor konstruksi. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa adanya indikasi pengaruh antar dua variabel tersebut.

Sumber: Philippines Statistics Authority (2015), data diolah Gambar 12 Kesempatan kerja (juta), PDB (persen) negara Filipina

Sektor jasa memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB secara nasional. Dari sisi serapan tenaga kerjanya, sektor tersebut juga memiliki kontribusi terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Dalam periode tahun 2006 hingga 2014 PDB sektor jasa mengalami tren positif diikuti oleh kesempatan kerja yang mengalami kenaikan pada periode yang sama. Setelah tahun 2010 terlihat terjadi peningkatan produktivitas produksi di sektor jasa dan mengindikasikan bahwa sektor jasa mengalami peningkatan produktivitas.

Perkembangan tingkat upah riil sektoral dan upah minimum di negara Filipina tahun 2011 hingga 2014 dapat dilihat pada Gambar 13. Sektor pertambangan merupakan sektor tertinggi dalam menetapkan tingkat upah di Filipina. Tingginya tingkat upah menyebabkan banyaknya minat tenaga kerja di sektor tersebut. Sektor pertambangan merupakan sektor padat modal dan menerapkan teknologi yang lebih maju dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sehingga dibutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi. Kenaikan tingkat upah riil terjadi dari tahun 2011 hingga 2012 dan kemudian mengalami penurunan hingga tahun 2014.

Tingkat upah riil sektor jasa berada pada posisi kedua di bawah sektor pertambangan dan berada di atas tingkat upah minimum negara Filipina. Tingkat upah riil sektor jasa sedikit mengalami kenaikan tiap tahunnya sebelum mengalami penurunan di tahun 2014. Sementara upah riil tiga sektor lainnya seperti konstruksi, manufaktur dan pertanian berada di bawah tingkat upah minimum negara Filipina. Ketiga sektor tersebut mengalami sedikit penurunan tiap tahunnya. Sektor pertanian menjadi sektor dengan tingkat upah riil paling rendah. Hal ini menjadi salah satu penyebab sektor rendahnya minat tenaga kerja pada sektor tersebut.

Sumber: ILO Stat dan Philippines Statistics Authority (2015), data diolah Gambar 13 Tingkat upah riil sektoral dan upah riil minimum di Filipina Keragaan Kesempatan Kerja, PDB dan Upah Sektoral di Indonesia

Kesempatan kerja dan PDB sektoral di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Sektor pertanian di Indonesia berada pada posisi tiga dalam kontribusinya terhadap PDB nasional. Namun merupakan sektor paling tinggi dalam hal

34

penyerapan tenaga kerja secara nasional. Perkembangan kesempatan kerja sektor pertanian mengalami tren positif dari tahun 2006 hingga 2009. Kemudian pada tahun berikutnya mengalami penurunan yang drastis di tahun 2010-2011 dan terus mengalami tren penurunan hingga tahun 2014. Namun dari perkembangan PDB sektor pertanian mengalami tren kenaikan dari tahun 2006 hingga 2014. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas produksi sektor pertanian yang mengindikasikan sektor tersebut mengalami efisiensi tenaga kerja.

Sektor pertambangan merupakan sektor dengan produktivitas tertinggi diantara empat sektor lainnya. Serapan tenaga kerja sektor pertambangan sangat rendah namun memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDB nasional. Kesempatan kerja di sektor pertambangan mengalami tren positif dari tahun 2006 hingga puncaknya di tahun 2012 dan mengalami penurunan tahun 2013 sebelum mengalami kenaikan kembali di tahun 2014. Begitupula dengan PDB-nya yang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Namun terlihat bahwa peningkatan PDB tahun 2006 hingga 2012 lebih kecil dibandingkan peningkatan kesempatan kerjanya. Hal tersebut menggambarkan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertambangan pada rentang tahun tersebut.

Sektor manufaktur di Indonesia memiliki kontribusi PDB terbesar kedua terhadap PDB nasional. Namun serapan tenaga kerja sektor tersebut berada pada

Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), data diolah

Gambar 14 Kesempatan kerja (juta), pertumbuhan kesempatan kerja (persen), dan pertumbuhan PDB (persen) negara Indonesia

posisi ketiga di bawah sektor jasa dan pertanian. Kenaikan PDB sektor manufaktur dari tahun 2006 hingga 2012 diikuti oleh peningkatan kesempatan kerja di sektor tersebut. Sebaliknya setelah tahun 2012 terjadi peningkatan PDB di sektor manufaktur, namun tidak diikuti oleh peningkatan kesempatan kerja sektor tersebut. Hal tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan produktivitas dan efisiensi pada sektor manufaktur.

Sektor konstruksi di Indonesia mengalami peningkatan PDB tiap tahunnya pada tahun 2006 hingga 2014. Sementara kesempatan kerja juga mengalami tren peningkatan walaupun sempat mengalami penurunan di tahun 2013. Paradoks pertumbuhan dua variabel tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan produktivitas di sektor konstruksi.

Sektor jasa merupakan sektor terbesar dilihat dari kontribusinya terhadap PDB nasional. Begitu pula pada jumlah kesempatan kerja sektor jasa. PDB sektor jasa mengalami tren peningkatan dari tahun 2006 hingga 2014. Hal yang sama juga terjadi pada meningkatnya jumlah kesempatan kerja di sektor tersebut. Produktivitas tenaga kerja sektor jasa mengalami peningkatan jika dilihat dari terlihat semakin mendekatnya garis perkembangan kesempatan kerja dengan diagram batang PDB.

Perkembangan tingkat upah riil sektoral dan upah minimum di Indonesia tahun 2011 hingga 2014 dapat dilihat pada Gambar 15. Tingkat upah riil minimum yang ditetapkan pemerintah berada di bawah sektor pertambangan. Sementara tingkat upah riil sektor manufaktur, konstruksi, jasa dan pertanian masih di bawah tingkat upah riil minimum pemerintah. Tingkat upah riil kelima sektor tersebut di Filipina mengalami penurunan pada tahun 2012 hingga 2014.

Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat upah riil terendah. Rendahnya tingkat upah riil sektor pertanian mengakibatkan sektor ini tidak terlalu diminati oleh tenaga kerja domestik. Sedangkan sektor pertambangan dengan tingkat upah riil tertinggi merupakan sektor yang banyak diminati tenaga kerja domestik.

Sumber: ILO Stat dan Badan Pusat Statistik Indonesia (2015), data diolah Gambar 15 Tingkat upah riil sektoral dan upah riil minimum di Indonesia

36

Keragaan Kesempatan Kerja, PDB dan Upah Sektoral di Malaysia

Pada Gambar 16 terlihat gambaran perkembangan kesempatan kerja dan PDB sektoral di Malaysia. Sektor pertanian di Malaysia memiliki kontribusi relatif rendah terhadap PDB nasional negara tersebut. Namun dalam hal serapan tenaga kerja termasuk peringkat dua terbesar setelah sektor jasa. Perkembangan kesempatan kerja sektor pertanian negara Malaysia mengalami fluktuasi pada tahun 2006 hingga 2014. Sementara perkembangan PDB sektor tersebut pada periode yang sama mengalami tren peningkatan. Di tahun 2010 terlihat peningkatan PDB yang signifikan diikuti oleh penurunan drastis kesempatan kerja sektor pertanian. Sementara pada tahun 2011 hingga 2013, terjadi peningkatan kesempatan kerja yang signifikan disaat melambatnya pertumbuhan PDB sektor pertanian. Namun secara keseluruhan pada periode 2006 hingga 2014 antara PDB dan kesempatan kerja mengalami tren peningkatan.

Pada sektor pertambangan terjadi tren peningkatan kesempatan kerja disaat yang bersamaan perkembangan PDB sektor tersebut mengalami fluktuasi. Tahun 2006 hingga 2010 terjadi penurunan produktivitas sektor pertambangan sebaliknya tahun 2011 hingga 2014 mengalami peningkatan produktivitas. Jika

Sumber: Malaysia Informative Data Centre (2015), data diolah

Gambar 16 Kesempatan kerja (juta), pertumbuhan kesempatan kerja (persen), dan pertumbuhan PDB (persen) negara Malaysia

dilihat dari dua titik pengamatan di tahun 2006 dan 2014 terjadi paradoks antara perkembangan kesempatan kerja dan PDB di sektor pertambangan.‎

Sektor manufaktur di Malaysia memberikan kontribusi PDB terbesar kedua setelah sektor jasa terhadap PDB nasional. Begitupula dengan kontribusi sektor tersebut terhadap serapan tenaga kerja nasional. Perkembangan kesempatan kerja di sektor manufaktur mengalami penurunan dari tahun 2006 hingga 2009 dan mengalami peningkatan di tahun 2010 hingga 2014. Sementara perkembangan PDB di sektor manufaktur memiliki pola perkembangan yang sama dengan perkembangan kesempatan kerja. Hal ini mengindikasikan adanya korelasi antara kesempatan kerja dan PDB sektor manufaktur di Malaysia.

Pada sektor konstruksi terlihat perkembangan kesempatan kerja mengalami tren positif dari tahun 2006 hingga puncaknya di tahun 2013 dan mengalami penurunan di tahun 2014. Sementara pada periode yang sama PDB sektor tersebut

Dokumen terkait