• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks gini pendidikan dihitung menggunakan rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga yang diolah berdasarkan hasil survei rumah tangga di Indonesia yang dikenal dengan Susenas. Indeks gini pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga digunakan untuk memberikan gambaran ketimpangan pendidikan yang terjadi di Provinsi Jawa Barat.

Faktor penting dalam menentukan ketimpangan pendidikan adalah latar belakang keluarga siswa. Menurut Tesfeye (2002) salah satu faktor mempengaruhi ketimpangan pendidikan yakni karakteristik keluarga yang terdiri dari pendapatan, tingkat kesejahteraan, ukuran keluarga, tingkat pendidikan orang tua. Lee dan Orfield (2005) menjelaskan bahwa terjadi korelasi antara keberhasilan akademis orang tua dengan keberhasilan akademis anak-anak mereka, dimana ketimpangan pendidikan di Amerika Serikat disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan orang tua. Siswa kulit putih cenderung memiliki orang tua yang lebih berpendidikan dan memiliki akses mudah pada pendidikan

27 daripada siswa dari keluarga minoritas. Oleh karena itu tingkat pendidikan orang tua/kepala rumah tangga menjadi dasar perhitungan ketimpangan pendidikan dalam penelitian ini.

Nilai gini pendidikan di semua kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat memiliki besaran yang kurang dari 0.35. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun indeks gini pendidikan di level provinsi berada dalam kategori ketimpangan rendah. Ketimpangan pendidikan di Provinsi Jawa Barat ditunjukkan oleh mayoritas rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat yakni 6.7 tahun seperti yang disajikan pada tabel 6 dan lampiran 3.

Tabel 6. Ketimpangan pendidikan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten/Kota Gini Pendidikan Gini Pendidikan

Tahun 2007 Tahun 2012 Kab. Bogor 0.29 0.29 Kab. Sukabumi 0.26 0.26 Kab. Cianjur 0.25 0.26 Kab. Bandung 0.27 0.26 Kab. Garut 0.26 0.26 Kab. Tasikmalaya 0.22 0.25 Kab. Ciamis 0.26 0.24 Kab. Kuningan 0.25 0.25 Kab. Cirebon 0.29 0.28 Kab. Majalengka 0.27 0.24 Kab. Sumedang 0.25 0.25 Kab. Indramayu 0.31 0.28 Kab. Subang 0.29 0.28 Kab. Purwakarta 0.30 0.28 Kab. Karawang 0.29 0.29 Kab. Bekasi 0.29 0.26

Kab. Bandung Barat 0.25 0.22

Kota Bogor 0.25 0.24 Kota Sukabumi 0.24 0.29 Kota Bandung 0.25 0.23 Kota Cirebon 0.22 0.26 Kota Bekasi 0.24 0.22 Kota Depok 0.24 0.24 Kota Cimahi 0.23 0.23 Kota Tasikmalaya 0.26 0.25 Kota Banjar 0.26 0.26 Sumber : BPS, diolah

Pada kondisi awal di tahun 2007, terdapat dua kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan pendidikan tertinggi yaitu Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Purwakarta dengan indeks gini pendidikan yaitu masing-masing sebesar 0.31 dan 0.30. Kedua kabupaten ini masuk dalam kategori ketimpangan sedang. Kota Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah yang memiliki tingkat ketimpangan pendidikan terendah yaitu 0.22.

28

Kondisi ketimpangan pendidikan tertinggi kabupaten/kota pada tahun 2012 terjadi pergeseran. Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Purwakarta berhasil mengurangi ketimpangan pendidikan di wilayahnya. Namun Kota Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya sampai tahun 2012 cenderung mengalami kenaikan ketimpangan pendidikan. Pada tahun 2012, terdapat tiga kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan pendidikan tertinggi yaitu Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi dan Kabupaten Karawang dengan indeks gini pendidikan yaitu 0.29. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan sektor industri pengolahan khususnya industri garmen di ketiga kabupaten tersebut sehingga banyak memerlukan tenaga kerja. Kota Bekasi dan Kota Bandung Barat merupakan wilayah yang memiliki tingkat ketimpangan pendidikan terendah yaitu 0.22.

Ketimpangan pendidikan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah. Rata- rata lama sekolah merupakan cerminan tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan dan menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk, yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jumlah tahun efektif adalah jumlah tahun standar yang harus dijalani oleh seseorang untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan, misalnya tamat SD adalah 6 tahun, tamat SMP adalah 9 tahun dan seterusnya. Indikator ini juga mencerminkan struktur dan kinerja dari sistem pendidikan dan dampaknya terhadap pembentukan akumulasi modal manusia (UNESCO, 2009). Pencapaian pendidikan terkait erat dengan keterampilan dan kompetensi penduduk suatu negara, dan bisa dilihat sebagai proxy dari aspek kuantitatif dan kualitatif dari stok modal manusia.

Ketimpangan pendidikan di Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan oleh mayoritas rata-rata lama sekolah pada Tabel 5, berada pada rata-rata 6.7 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa secara rata-rata pendidikan kepala rumah tangga di Jawa Barat baru mencapai pendidikan dasar. Granado et al. (2007) menyimpulkan adanya trade off antara bekerja dan sekolah. Hal ini disebabkan bersekolah memerlukan biaya sedangkan bekerja dapat membantu menambah pendapatan keluarganya. Menurut Todaro dan Smith (2006), orang tua di negara berkembang masih memandang anak sebagai tenaga kerja yang dapat membantu kehidupan orang tua.

Menurut Khairunnisa (2013), persentase anak usia 13-15 tahun yang bekerja di Jawa Barat pada selama tahun 2011 rata-rata sebesar 5.48%. Anak-anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk sekolah. Tingginya biaya sekolah membuat anak usia sekolah terpaksa bekerja untuk membiayai sekolahnya bahkan membantu menambah penghasilan keluarga. Pada tahun 2011, sebanyak 45.39% penduduk miskin tidak bekerja. Hal ini mendorong anak-anak meninggalkan sekolah karena tidak ada biaya untuk sekolah bahkan mereka terpaksa bekerja untuk membantu menambah penghasilan keluarga.

Ketimpangan pendidikan dapat diakibatkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Sedikitnya sekolah yang ada mengakibatkan anak sekolah harus menempuh jarak yang lebih jauh agar dapat bersekolah. Jarak tempuh yang jauh akan menambah biaya transportasi ke sekolah sehingga murid dari keluarga tidak mampu akan memilih untuk tidak bersekolah (Bappenas, 2010). Berdasarkan data PODES 2011 pada Lampiran 1, kabupaten yang lebih dari 50% desanya tidak memiliki sekolah setingkat SMP diantaranya Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten

29 Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang.

Anggaran Pendidikan

Alokasi anggaran merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Keberhasilan pembangunan dibidang pendidikan turut ditentukan juga dengan jumlah anggaran bidang pendidikan yang disediakan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara.

Rasio anggaran pendidikan terhadap total anggaran digunakan sebagai proksi pengeluaran pemerintah daerah untuk investasi publik bidang pendidikan. Angka ini dapat digunakan untuk menilai penekanan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, relatif terhadap nilai dari investasi publik lainnya. Angka ini juga mencerminkan komitmen pemerintah untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia. Semakin tinggi persentase pengeluaran pemerintah untuk pendidikan menunjukkan kebijakan prioritas pemerintah untuk pendidikan lebih tinggi relatif terhadap nilai dari investasi publik lainnya, termasuk pertahanan dan keamanan, kesehatan, jaminan sosial, dan sektor sosial atau ekonomi lainnya.

Namun demikian, mengingat pentingnya pendidikan tersebut, pemerintah tetap memprioritaskan anggaran pembangunan dibidang pendidikan. Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan ditunjukkan dalam Amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Langkah pemerintah dalam pembiayaan pendidikan diwujudkan dengan memprioritaskan anggaran pendidikan dialokasikan minimal 20.% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata nasional rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat selama periode tahun 2007-2012 sudah mencapai lebih dari 20.%. Namun jika dilihat masing-masing kabupaten/kota, masih terdapat perbedaan kemampuan daerah dalam memenuhi alokasi yang ditetapkan undang-undang. Kemampuan masing-masing daerah berkisar antara 18-45.%, dengan kecenderungan semakin meningkat seperti pada Tabel 6.

Menurut World bank (2007), peningkatan anggaran pendidikan menjadi tidak konsisten dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena 70% dari anggaran pendidikan tersebut dialokasikan untuk gaji, insentif guru dan tenaga kependidikan sementara pemerintah daerah masih kekurangan anggaran untuk peningkatan kualitas pengajaran dan rehabilitasi sekolah, pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 102.7 trilyun akan dialokasikan untuk gaji dan insentif guru yang telah memperoleh sertifikasi (130% dari anggaran pendidikan dalam APBN 2005). Hal ini yang mengakibatkan banyaknya infrastruktur sekolah yang rusak dan tidak layak untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga kegiatan operasional sekolah masih dibebankan kepada siswa.

30

Tabel 7. Anggaran pendidikan, proporsi anggaran pendidikan dan rata-rata lama sekolah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/Kota 2007 2012 Anggaran Pendidikan RLS Kepala Rumah Tangga Anggaran Pendidikan RLS Kepala Rumah Tangga (Milyar Rupiah) % terhadap PDRB (Milyar Rupiah) % terhadap PDRB Kab. Bogor 521 31 5.49 1,133 34 6.11 Kab. Sukabumi 445 42 5.44 898 48 6.16 Kab. Cianjur 471 45 5.14 796 47 5.83 Kab. Bandung 804 41 6.16 1,314 50 6.93 Kab. Garut 475 40 4.93 1,222 53 5.70 Kab. Tasikmalaya 209 41 5.31 756 53 5.93 Kab. Ciamis 462 38 5.66 845 58 6.56 Kab. Kuningan 285 39 5.28 687 54 6.44 Kab. Cirebon 346 34 5.25 886 44 5.87 Kab. Majalengka 310 39 5.57 810 53 5.54 Kab. Sumedang 299 39 6.35 680 48 6.88 Kab. Indramayu 325 31 4.30 877 51 5.03 Kab. Subang 330 35 5.42 586 41 6.30 Kab. Purwakarta 194 33 4.94 426 39 6.07 Kab. Karawang 306 29 5.35 915 39 5.84 Kab. Bekasi 300 23 5.91 806 33 6.69

Kab. Bandung Barat 533 33 6.16 604 40 6.49

Kota Bogor 177 28 6.98 432 34 8.32 Kota Sukabumi 127 28 8.02 216 32 7.19 Kota Bandung 533 33 8.10 1,254 34 8.47 Kota Cirebon 167 32 7.02 312 36 7.67 Kota Bekasi 353 32 8.54 738 31 8.45 Kota Depok 195 23 8.79 404 26 8.48 Kota Cimahi 209 26 7.78 338 37 8.09 Kota Tasikmalaya 209 41 6.40 328 39 6.95 Kota Banjar 66 18 5.25 128 30 6.27 Sumber : BPS, diolah

PDRB Provinsi Jawa Barat

Gambaran perekonomian suatu daerah secara umum dapat dilihat dari perkembangan PDRBnya. Peningkatan nilai PDRB suatu daerah dapat diinterpretasikan sebagai peningkatan perekonomian daerah tersebut. Demikian pula yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, perkembangan nilai PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan adanya peningkatan yang dapat diinterpretasikan bahwa terjadi perkembangan pembangunan di bidang ekonominya.

31 Sumbangan sektor industri pengolahan terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat cenderung meningkat setiap tahunnya seperti pada Tabel 8. Perkembangan sektor industri di Provinsi Jawa Barat tersebar di beberapa daerah kabupaten dan kota.

Tabel 8. PDRB atas dasar harga konstan 2000 per sektor ekonomi Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2012 (Milyar Rupiah)

Sektoral 2007 2008 2009 2010 2011* 2012** Pertanian 35,687 36,505 41,723 42,137 42,101 41,802 Pertambangan dan Galian 6,677 6,842 74,245 7,465 7,085 6,576 Industri Pengolahan 122,703 133,757 131,433 135,595 144,010 149,677 Listrik Gas dan Air Bersih 5,751 6,028 6,839 7,316 7,426 8,009 Bangunan 8,928 9,731 10,299 11,810 13,483 15,318 Perdagangan Hotel dan Restoran 54,790 56,938 62,702 70,083 75,770 84,524 Pengangkutan dan Komunikasi 12,271 12,234 13,209 15,353 17,645 19,763 Keuangan, persewaan dan Jasa Perusahaan 8,646 9,076 9,619 10,565 11,985 13,209 Jasa-Jasa 18,728 19,064 20,158 21,899 23,606 25,527 Total PDRB dengan MIGAS 274,181 290,175 370,227 322,223 343,111 364,405

Sumber : BPS 2013

Sektor lainnya yang membentuk PDRB Provinsi Jawa Barat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dari sektor tersebut, yang memberikan kontribusi besar dalam pembentukkan PDRB sektoralnya adalah perdagangan. Hal ini tentu saja masih terkait dengan perdagangan hasil-hasil industri yang berkembang di Provinsi Jawa Barat. Berbagai hasil industri merupakan komoditas bagi perdagangan internasional (ekspor). Volume perdagangan ekspor dari hasil- hasil industri yang cukup besar dengan nilai yang besar pula, menyebabkan sektor perdagangan menjadi sektor ekonomi yang mampu membentuk PDRB Provinsi Jawa Barat cukup besar.

Sektor berikutnya yang memberikan kontribusi pembentukkan PDRB Provinsi Jawa Barat yang juga besar adalah sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang penting bagi Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa secara geografis Provinsi Jawa Barat terdiri atas potensi sektor pertanian yang besar. Sektor pertanian yang memiliki karakteristik sebagai sektor ekonomi yang dapat terus bekembang meskipun sedikitnya perhatian dari pemerintah dalam hal penyediaan berbagai sarana dan fasilitas kegiatan produksinya. Sektor pertanian lebih mengutamakan pada ketersediaan sumberdaya alam yang ada di suatu daerah. Di mana terdapat sumberdaya alam tersebut, maka di situ pulalah akan berkembang kegiatan pertanian (meliputi kegiatan seluruh subsektor dalam sektor pertanian.

Peningkatan PDRB sektor industri pengolahan Provinsi Jawa Barat mengakibatkan terjadinya peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian sehingga jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan. BPS (2014) mencatat penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat tahun 2013 tercatat 3,642 juta orang, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012 sebesar 3,626 juta orang. Penurunan tenaga kerja di sektor pertanian

32

tak lepas dari masalah konversi lahan pertanian di daerah produktif. Selain itu perbedaan besaran upah yang lebih menarik dari sektor lain seperti industri pengolahan berdampak pada penurunan ini.

Sektor pertanian merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Provinsi Bawa Barat hanya sebesar 13 %. Dengan tidak seimbangnya kontribusi PDRB dan jumlah tenaga kerja yang diserap, maka tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang terendah. Bandingkan dengan sektor industri yang menyumbang 20.58 % terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat, namun hanya menyerap tenaga kerja sebesar 12.1 persen. Sebagai akibatnya, kesejahteraan rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian akan lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industry pengolahan.

Ketimpangan Pendapatan

Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketimpangan pendapatan senantiasa menyertai pertumbuhan ekonomi. Perubahan ketimpangan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka indeks gini. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan angka indeks gini yaitu:

1. Ketimpangan rendah apabila angka indeks gini lebih kecil dari 0.3. 2. Ketimpangan sedang apabila angka indeks gini terletak antara 0.3 – 0.4. 3. Ketimpangan tinggi apabila angka indeks gini lebih besar dari 0.4.

Menurut Estudillo (1997), perbedaan distribusi pendapatan dalam skala rumah tangga dapat disebabkan oleh :

1. Populasi/jumlah rumah tangga. Peningkatan populasi/jumlah rumah tangga di perkotaan akan meningkatkan ketimpangan pendapatan, hal ini diakibatkan karena terjadinya perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian menjadi sektor industri dan jasa sehingga ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan didaerah pedesaan.

2. Distribusi usia anggota rumah tangga. Peningkatan jumlah anggota rumah tangga yang berusia tua dapat menyebabkan peningkatan jumlah rumah tangga dengan pendapatan yang rendah.

3. Jumlah anggota rumah tangga yang terdidik. Peningkatan jumlah anggota rumah tangga yang berpendidikan tinggi akan mengakibatkan rendahnya ketimpangan pendapatan.

4. Perbedaan gaji/upah. Sumber pendapatan terbesar dalam rumah tangga berasal dari gaji/upah bekerja yang berkontribusi terhadap perbedaan distribusi pendapatan rumah tangga.

Ketimpangan pendapatan terjadi di sebagian besar kabupaten yang memiliki sumber penghasilan daerah yang berasal dari industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya jumlah tenaga kerja di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di kabupaten/kota tersebut akan mendorong kenaikan ketimpangan pendapatan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo (2013) menyatakan bahwa variabel persentase pekerja di sektor industri akan berpengaruh terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan. Perbedaan pendapatan pekerja antara

33 sektor industri dan sektor pertanian akan menimbulkan terjadinya ketimpangan pendapatan di masyarakat.

Ketimpangan pendapatan di tingkat kabupaten/kota cenderung meningkat secara umum di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Pada Tahun 2012, seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat termasuk kategori ketimpangan pendapatan tinggi dan ketimpangan pendapatan sedang. Ketimpangan pendapatan tinggi terjadi di Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kota Bogor dan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Sumedang yakni masing-masing 0.47, 0.46, 0.44, 0.42, 0.41 (Tabel 9).

Tabel 9. Ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten/Kota Gini Pendapatan

2007 Gini Pendapatan 2012 Kab. Bogor 0.33 0.47 Kab. Sukabumi 0.22 0.33 Kab. Cianjur 0.25 0.35 Kab. Bandung 0.29 0.39 Kab. Garut 0.29 0.35 Kab. Tasikmalaya 0.27 0.35 Kab. Ciamis 0.26 0.31 Kab. Kuningan 0.24 0.38 Kab. Cirebon 0.27 0.32 Kab. Majalengka 0.24 0.36 Kab. Sumedang 0.28 0.41 Kab. Indramayu 0.24 0.25 Kab. Subang 0.21 0.33 Kab. Purwakarta 0.31 0.38 Kab. Karawang 0.26 0.33 Kab. Bekasi 0.30 0.35

Kab. Bandung Barat 0.28 0.37

Kota Bogor 0.30 0.44 Kota Sukabumi 0.28 0.39 Kota Bandung 0.31 0.46 Kota Cirebon 0.34 0.39 Kota Bekasi 0.30 0.37 Kota Depok 0.29 0.39 Kota Cimahi 0.33 0.34 Kota Tasikmalaya 0.25 0.42 Kota Banjar 0.27 0.38 Sumber : BPS, diolah

Selain itu ketimpangan pendapatan yang tinggi yang terjadi di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kota Tasikmalaya disebabkan oleh terjadinya migrasi/perpindahan tenaga kerja dari kabupaten yang berada di sekitar daerah tersebut ke Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kota Tasikmalaya untuk mencari peluang kerja. Migrasi tersebut karena perbedaan upah/gaji dari daerah asalnya, misalnya tenaga

34

kerja di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor banyak yang berasal dari Kabupaten Sukabumi dan daerah Provinsi Banten.

Menurut Kuznets (1955), evolusi distribusi pendapatan terjadi dari ekonomi perdesaan (pertanian) ke ekonomi perkotaan (industri) sehingga ketimpangan pendapatan akan bertambah besar akibat urbanisasi dan industrialisasi. Suatu daerah dengan tingkat upah yang lebih tinggi akan menjadi dorongan bagi terjadinya migrasi/perpindahan tenaga kerja masuk ke wilayah tersebut, sebaliknya daerah dengan tingkat upah yang relatif rendah akan menjadi dorongan bagi tenaga kerja di wilayah tersebut untuk melakukan migrasi/perpindahan keluar dari wilayah tersebut (McCann, 2001). Menurut Williamson salah satu sebab terjadinya ketimpangan pendapatan karena adanya perpindahan tenaga kerja (labor migration). Perpindahan tenaga kerja yang seperti ini akan menguntungkan daerah yang kaya dan cenderung merugikan daerah yang miskin. Lebih dari itu, human capital yang berharga cenderung mengalir keluar dari daerah miskin ke daerah kaya.

Menurut Hariyanto (2010), variabel upah minimum regional (UMR) signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan dengan koefisien bertanda positif yang berarti bahwa peningkatan upah minimum regional akan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Peningkatan upah minimum regional sebesar Rp 1 juta akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.159.

Distribusi Ketimpangan Pendidikan dan Ketimpangan Pendapatan Dengan menggunakan rata-rata ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pandapatan tahun 2007 dan tahun 2012 sebagai tolok ukur, kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tersebar ke dalam empat kelompok atau kuadran. Analisis kuadran menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan distribusi ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pendapatan seperti pada Gambar 5.

Kuadran I: Ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pendapatan diatas

Dokumen terkait