• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Vegetas

Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller-Dombois& Ellenberg 1974). Komposisi vegetasi dalam suatu ekosistem akan menjadi satu fungsi dari beberapa faktor, seperti habitat, waktu dan tumbuhan setempat. Perbedaan komposisi vegetasi berdasarkatan tipe habitat dapat dilihat pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan di tiga tipe hutan kerangas (Gambar 3). Hasil rekapitulasi spesies dari ketiga tipe hutan kerangas tersebut diperoleh sebanyak 224 spesies dan 72 famili tumbuhan dari berbagai habitus dan tingkat pertumbuhan pohon (semai, pancang dan pohon).

Gambar 3 Jumlah spesies di tiga lokasi hutan kerangas.

Famili tumbuhan yang anggotanya banyak ditemukan yaitu Myrtaceae (27 spesies), Clusiaceae (15 spesies), Rubiaceae (13 spesies), Euphorbiaceae (14 spesies) dan Fabaceae (8 spesies). Spesies-spesies dari Myrtaceae cenderung teradaptasi dengan baik di lahan yang kritis seperti di hutan kerangas sehingga mendominasi komunitas (MacKinnon et al. 1996). Beberapa spesies dari Myrtaceae juga sebagai tumbuhan pionir, misalnya keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), jemang (Rhodamnia cinerea) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium). Selain kelima famili di atas, juga ditemukan Annonaceae,

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 J um la h spes ies Lokasi Rimba Bebak padang 157 31 135

21

Nepenthaceae, Droseraceae, Sapotaceae dan famili lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Perbedaan tipe ekosistem memengaruhi jumlah spesies dan individu yang ditemukan. Rimba merupakan ekosistem alami yang tumbuh di atas tana darat, yaitu lahan dengan jenis tanah podsol (tana teraja) dan letaknya relatif lebih tinggi atau di lingkungan lembab/basah (tana amau) (Fakhrurrazi 2001). Lokasi Rimba terletak pada 02046.833’ LS dan 108007.761’ BT. Spesies tumbuhan di Rimba didominasi oleh spesies klimaks dan nomaden. Sedikitnya spesies pionir disebabkan oleh tingginya mortalitas pionir-pionir akhir dan berangsur digantikan oleh spesies-spesies yang tahan naungan yang dapat tumbuh di bawah tajuk pionir akhir (Irwanto 2006). Beberapa spesies pionir yang diperoleh di Rimba yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sengkelut (Lycopodium cernuum).

Spesies tumbuhan yang ditemukan di Bebak didominasi oleh spesies nomaden, yaitu spesies yang dapat tumbuh pada ekosistem yang baru terbuka dan subklimaks seperti singkang (Syzygium lineatum) dan kabal (Lithocarpus blumeanus). Posisi Bebak terletak tidak berjauhan dengan Rimba yaitu pada 02050.274’ LS dan 108009.450’ BT. Bebak merupakan hutan suksesi yang tumbuh di atas lahan milik masyarakat, bekas perladangan sahang (Piper nigrum). Jumlah spesies penyusun Bebak lebih sedikit daripada Rimba karena faktor umur ekosistem yang lebih muda daripada Rimba. Menurut Odum (1993) semakin tua umur sebuah ekosistem, maka keanekaragaman spesiesnya semakin tinggi dan lebih stabil.

Komposisi vegetasi penyusun Padang paling sedikit diantara Rimba dna Bebak. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik Padang yang ekstrim dan sangat terbuka, sehingga hanya spesies yang toleran terhadap sinar matahari dan mampu beradaptasi pada kondisi miskin unsur hara yang dapat hidup disana. Spesies- spesies pionir banyak dijumpai di Padang, seperti kucai padang (Fimbrystilis sp.), kerupit padang (Panicum sp.) dan sengkelut (Lycopodium cernuum). Namun, juga ditemukan satu spesies klimaks yaitu belangeran (Shorea belangeran) pada tingkat semai. Hal ini disebabkan karena ekosistem Padang berbatasan langsung dengan Rimba dengan posisi 02050.282’ LS dan 108009.208’ BT, sehingga

22

dimungkinkan adanya penyebaran biji oleh angin. Menurut Whitten et al. (1984), di ekosistem padang Bangka dan Belitung didominasi oleh pohon kecil seperti Baeckia frutescens dan Malaleuca cajuputi. Pada lokasi penelitian, sapu padang (Baeckia frutescens) tidak mendominasi. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kepadatan rumput di Padang, sehingga persaingan unsur hara cukup tinggi baik intraspecies maupun interspecies.

5.1.1 Komposisi semai, semak/perdu, herba , liana, rotan dan pandan

Hasil analisis vegetasi semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan yang dilakukan pada 100 plot pengamatan di Rimba, diperoleh 119 spesies tumbuhan yang terdiri dari 72 spesies semai, 6 spesies semak/perdu, 12 spesies herba, 27 spesies liana dan 2 spesies rotan. Spesies tumbuhan yang paling dominan di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan INP 20,20% dan kerapatan 13.475 ind/ha (Tabel 5).

Tabel 5 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 20,20

2. Betor Padi Calophyllum depressinervosum Clusiaceae 16,23

3. Singkang Syzygium lineatum Myrtaceae 11,24

4. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,20

5. Sisilan Syzygium rostratum Myrtaceae 7,95

Dominasi spesies dari famili Myrtaceae terlihat pada tabel di atas. Hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi beberapa anggota famili Myrtaceae pada lahan hutan kerangas yang miskin hara. Dalam penelitian Brunig (1974) yang meneliti hutan kerangas di Sarawak, juga diperoleh anggota famili Myrtaceae yang relatif banyak. Kelima spesies diatas merupakan spesies dari tingkat semai. Keberadaan semak/perdu, herba sebagai spesies pionir tidak mendominasi, karena kondisi ekosistem di Rimba relatif sudah mencapai klimaks.

Spesies tumbuhan dengan INP terendah terdiri dari beberapa spesies diantaranya girak (Symplocos adenophylla), menterasan (Memecylon olygoneurum) dan libut (Edospermum diadenum) yaitu 0,14%. Rentang nilai INP tertinggi dan terendah cukup besar, dan hal ini menunjukkan penguasaan spesies dengan INP teringgi di Rimba relatif tinggi dari 119 spesies yang ada disana.

23

Tingginya heterogenitas spesies di Rimba ditunjukkan dengan ditemukannya 23 spesies dalam satu plot berukuran 2 x 2 m2 (Gambar 4). Data seluruh nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 3

Gambar 4 Plot ditemukannya jumlah spesies tumbuhan terbanyak.

Hasil analisis vegetasi di Bebak diperoleh 110 spesies tumbuhan yang terdiri dari 61 spesies semai, 9 spesies semak/perdu, 16 spesies herba, 22 spesies liana, 1 spesies rotan dan 1 spesies pandan. Nilai penting tertinggi yaitu pulas (Guioa pleuropteris) sebesar 12,57% dengan kerapatan 3.600 ind/ha dan kelebantuian (Syzygium euneura) sebesar 12,09% dengan kerapatan 3.025 ind/ha (Tabel 6). Salah satu spesies dengan nilai penting terkecil yaitu pansi (Elaeocarpus palembanicus) 0,15% dan kerapatan 25 ind/ha. Beberapa liana yang ditemukan yaitu akar ibu (Lygodium microphyllum), akar kuaya (Dalbergia rostrata) dan akar geruntang tangga (Salacia oblongifolia). Data seluruh nilai penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 6 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pulas Guioa pleuropteris Sapindaceae 12,57

2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 12,09

3. Tenam Psychotria viridiflora Rubiaceae 11,21

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,28

5. Seru Schima wallichii Theaceae 9,42

Hasil analisis vegetasi di Padang diperoleh 31 spesies tumbuhan yang terdiri dari 8 spesies semai, 3 spesies semak/perdu, 16 spesies herba dan 2 spesies

24

liana. Nilai penting tertinggi sebesar 51,14% yaitu kucai padang (Fimbristylis sp.) dengan kerapatan 85.250 ind/ha (Tabel 7) dan seluruh data nilai penting semai, semak/ perdu, herba dan liana, rotan dan pandan di Padang dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 7 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kucai Padang Fimbristylis sp. Cyperaceae 51,14

2. Jenis C Eriocaulon sp. Eriocaulaceae 32,67

3. Kerupit Padang Panicum sp. Poaceae 27,53

4. Drosera Drocera burmanii Droceraceae 19,71

5. Rumput Padang bola Rhynchospora aurea Cyperaceae 15,23

Pada plot pengamatan ditemukan salah satu insentivora unik yaitu drosera dengan INP 19,71%. Spesies ini seringkali terabaikan dan sangat jarang ditemukan di tempat lain, berwarna merah menyala di lantai Padang (Gambar 5a). Selain drosera juga ditemukan salah satu spesies Nepenthes yaitu Nepenthes gracilis yang tumbuh di lantai Padang maupun merambat di semak (Gambar 5b). Spesies ini seringkali ditemukan di lahan-lahan teraja seperti di Padang. Ekosistem Padang memang merupakan habitat dari Nepenthes sp. dan Drosera sp. (Whitmore 1984). Mansur (2007) menyebutkan bahwa spesies ini memiliki toleransi tinggi terhadap intensitas cahaya tinggi dan dapat juga tumbuh pada tempat-tempat yang terlindungi.

Gambar 5 Drosera burmanii yang sudah berbunga (a), Nepenthes gracilis yang tumbuh berkelompok di lantai Padang (b).

Pada saat pengamatan, kondisi tanah yang kering tidak membatasi kehidupan Drosera burmanii. Drosera burmanii tumbuh secara berkelompok di Padang (Gambar 6). Pada kondisi tanah yang lembab dan berair pun, drosera

25

dapat hidup dengan baik (LIPI 2002). Sesuai dengan asas minimun Liebig yang dinyatakan tahun 1840 (Odum 1993) dijelaskan bahwa kemampuan hidup suatu spesies pada satu keadaan ekosistem tertentu dipengaruhi oleh kecukupan minimum bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan.

Gambar 6 Drosera burmanii yang tumbuh berkelompok.

Jumlah spesies dan individu semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di tiga tipe hutan kerangas relatif bervariasi. Khusus di Rimba dan Bebak, jumlah spesies yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh letak Rimba yang berbatasan langsung dengan Bebak, sehingga penyebaran biji-biji beberapa spesies tumbuhan di Bebak dapat tumbuh di Rimba dan sebaliknya untuk spesies yang bersifat nomaden. Sedangkan di Padang, jumlah spesies relatif sedikit, namun nilai INP dari 31 speises yang diperoleh sangat tinggi dibandingkan Rimba dan Bebak.

Pertumbuhan kucai padang (Fimbristylis sp.) hampir menutupi seluruh lantai Padang. Spesies ini merupakan pionir yang sudah sangat lama hidup di Padang. Menurut masyarakat sekitar, asal terbentuknya Padang yaitu akibat proses kebakaran hebat yang terjadi pada zaman dahulu (ratusan tahun yang lalu). Kebakaran tersebut disebabkan oleh api yang dihasilkan akibat gesekan pohon- pohon di hutan kerangas yang sangat rapat akibat hembusan angin musim kemarau panjang. Sisa kebakaran hutan yaitu berupa hamparan padang rumput yang tidak dapat dikembalikan menjadi hutan lagi (Gambar 7).

26

Gambar 7 Ekosistem padang.

Padang sebagai satu kesatuan ekosistem juga dijadikan lokasi bagi pelanduk untuk mencari makan, saat tumbuhan hutan berbuah (musim bua utan). Salah satu buah yang digemari pelanduk yaitu sekudong pelandok (Syzygium buxifolium) (Gambar 8a). Rasa buahnya seperti rasa jambu air, namun agak sepat dan kering. Selain sekudong pelandok, Gambar 8b juga merupakan spesies tumbuhan yang buahnya enak dimakan yaitu kedindiman (Syzygium incarnatum).

Gambar 8 Buah sekudong pelandok (a), buah kedindiman (b).

5.1.2 Komposisi pancang

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada 100 plot di Rimba diperoleh 93 spesies tumbuhan. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Rimba. Berkurangnya spesies pada tingkat pancang dapat disebabkan oleh tergantinya spesies-spesies pionir yang sudah tidak tahan naungan, sehingga tidak mampu tumbuh hingga tingkat pancang.

27

Spesies tingkat pancang di Rimba yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% dengan kerapatan 900 ind/ha. Spesies tingkat pancang dengan INP terkecil yaitu mendaran (Palaquium ridleyi) 0,15% dengan kerapatan 4 ind/ha (Tabel 8). Total kerapatan pancang di Rimba lebih tinggi dari pada di Bebak yaitu 8.804 ind/ha, sedangkan di Bebak 7.932 ind/ha. Data nilai penting pancang di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 8 Nilai penting tingkat pancang di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Betor Belulang Calophyllum lanigerum Clusiaceae 17,27

2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,82

3. Meleman Psychotria malayana Rubiaceae 10,76

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,75

5. Pelawan Kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 10,59

Lima nilai penting tertinggi tingkat pancang yang diperoleh relatif merata. Hal ini menunjukkan dominasi lima spesies tersebut di Rimba relatif seimbang dan rapat. Jumlah spesies yang cukup banyak juga didukung dengan jumlah individu yang banyak. Hal inilah yang memberikan kenampakan Rimba relatif rapat dan didominasi tegakan yang kurus-kurus. Ciri-ciri hutan kerangas menurut MacKinnon et al. (1996) yaitu memiliki pohon-pohon yang kecil dan kurus.

Salah satu spesies tingkat pancang tersebut adalah pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Spesies ini sangat mudah dikenali di lokasi penelitian, karena memiliki batang yang berwarna merah dan kulit batang yang mengelupas (Gambar 9a). Kayu pelawan kiring cukup keras dan sering dimanfaatkan sebagai kayu pagar (Gambar 9b).

Gambar 9 Pelawan kiring (a), kondisi rimba yang didominasi pancang (b).

28

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Bebak diperoleh 76 spesies. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini juga menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Bebak. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu kiras (Garcinia hombroniana) sebesar 21,50% dengan kerapatan 1.292 ind/ha, jemang (Rhodamnia cinerea) dengan INP 18,11% dengan kerapatan 800 ind/ha (Tabel 9). Data nilai penting pancang di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 7.

Beberapa spesies tingkat semai masih tetap ditemukan hingga tingkat pancang, seperti kelebantuian (Syzygium euneura), jemang (Rhodamnia cinerea) dan seru (Schima wallichii). Spesies tumbuhan atau pohon tahunan juga mulai ditemukan misalnya durian (Durio zibethinus), cempedak (Artocarpus integer) dan jering (Archidendron pauciflorum). Menurut McNaughton dan Wolf(1990) menyebutkan bahwa suksesi sekunder pada lahan bekas pertanian akan didominasi oleh spesies tumbuhan semusim selama satu atau dua tahun sampai mereka digantikan oleh tumbuhan yang memiliki siklus hidupnya lebih panjang. Tabel 9 Nilai penting tingkat pancang di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kiras Garcinia hombroniana Clusiaceae 21,50

2. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 18,11

3. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 11,05

4. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 10,86

5. Seru Schima wallichii Theaceae 10,81

Tutupan vegetasi di Bebak relatif lebih terbuka dibandingkan Rimba (Gambar 10). Hal ini juga disebabkan oleh jumlah pancang Bebak lebih sedikit dari pada di Rimba. Selain itu juga disebabkan oleh pemilihan Bebak yang digunakan adalah Bebak yang baru berumur 10 tahun, sehingga proses suksesi masih berlangsung. Berdasarkan observasi di lapangan, Bebak yang berumur 30 tahun sudah hampir mirip dengan Rimba, baik dari spesies maupun kenampakan formasi yang relatif rapat. Namun belum dilakukan kajian lebih lanjut terkait Bebak berumur selain 10 tahun.

29

Gambar 10 Hutan kerangas sekunder (Bebak) yang relatif terbuka.

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Padang diperoleh 3 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 88,46% (Tabel 10) dengan kerapatan 20 ind/ha sama dengan kerapatan pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Nilai kerapatan spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Ekosistem padang memang didominasi oleh tumbuhan bawah. Kondisi tumbuhan di Padang relatif kurus dan kering karena kurangnya unsur hara.

Tabel 10 Nilai penting tingkat pancang di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pelawan kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 55,13

2. Gelam Malaleuca leucadendron Myrtaceae 56,41

3. Sekuncong Leptospermum flavescens Myrtaceae 88,46

Sekuncong (Leptospermum flavescens) merupakan jenis pohon kecil di Padang yang ditemukan pada tingkat pancang. Spesies ini cocok dijadikan tanaman bonsai karena tidak terlalu besar. Daunnya yang kecil-kecil dan agak tajam merupakan bentuk adaptasi morfologi terhadap kondisi ekosistem yang ekstrim untuk mengurangi penguapan.

5.1.3 Komposisi pohon

Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Rimba diperoleh 51 spesies tumbuhan dari 22 famili. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Tingkat pohon didominasi oleh spesies dari Myrtaceae (23,5%). Namun spesies tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi dari famili Theaceae yaitu seru (Schima wallichii) dengan INP sebesar 53,36% dan kerapatan 105 ind/ha (Tabel 11). Spesies ini merupakan spesies yang sering dijumpai pada

30

hutan dataran tinggi di pulau Jawa. Spesies lain yang juga memiliki INP di atas 50% yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan kerapatan 144 ind/ha. Nilai penting spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 9.

Salah satu spesies tumbuhan khas hutan kerangas yaitu gerunggang (Cratoxylon glaucum) dengan INP sebesar 15,02%. Spesies ini juga merupakan spesies yang dominan ditemukan di hutan kerangas Taman Nasional Bako, Malaysia Timur (Katagiri et al. 1991).

Tabel 11 Nilai penting tingkat pohon di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Seru Schima walichii Theaceae 53,36

2. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 52,15

3. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 16,07

4. Gerunggang Cratoxylon glaucum Clusiaceae 15,02

5. Betor Padi Calophyllum depressinervosum Clusiaceae 14,69

Berdasarkan kelas diameter, pohon di Rimba didominasi oleh kelas

diameter 10 ≤ 20 cm yaitu 74,53% dari 683 individu pohon yang ditemukan atau 509 ind/ha (Gambar 11). Menurut Onrizal (2004), distribusi kelas diameter dari tegakan hutan kerangas Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat yang

tertinggi yaitu 2 ≤ 10 cm (6010 ind/ha), sedangkan 10 ≤ 20 cm memiliki

kerapatan 670 ind/ha. Hal ini juga ditemukan di hutan kerangas Kalimantan Timur yang memiliki pohon berdiameter 10 cm dengan kerapatan 454 – 750 ind/ha (Riswan 1982 diacu dalam MacKinnon et al. 1996).

31

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Bebak diperoleh 35 spesies tumbuhan dari 18 famili. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Tingkat pohon juga didominasi oleh spesies dari Myrtaceae (17,64%). Nilai penting tertinggi tingkat pohon dari famili Theaceae yaitu seru (Schima wallichii) dengan INP sebesar 103,00% dengan kerapatan 109 ind/ha (Tabel 12). Nilai penting spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tabel 12 Nilai penting tingkat pohon di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Seru Schima wallichii Theaceae 103,00

2. Jering Archidendron pauciflorum Fabaceae 48,18

3. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 15,48

4. Medang kalong Cinnamomum parthenoxylon Lauraceae 13,10

5. Mensira Ilex cymosa Aquifoliaceae 12,37

Seru (Schima wallichii) memiliki rentang kecocokan tempat tumbuh yang cukup lebar dari ketinggian 100 – 1600 mdpl (Boojh & Ramakrishnan 1982). Spesies ini juga termasuk spesies pionir sekaligus spesies klimaks, sehingga mampu tumbuh dengan baik di Rimba maupun Bebak (Vaidhayakarn & Maxwell 2010). Pertumbuhan seru (Schima wallichii) relatif cepat pada lahan yang baru terbuka, sehingga seru sangat mudah ditemukan di dalam maupun di luar kawasan hutan dengan warna pucuk daunnya kemerah-merahan. Bunga seru sangat mudah dikenali di permukaan tanah (Gambar 12). Menurut Sahoo dan Lalfakawma (2010), semakin banyak pohon induk semakin banyak anakannya dan kemampuan survival Schima wallichii pada lahan yang terganggu lebih tinggi daripada lahan yang tidak terganggu.

32

Di Bebak juga ditemui jering (Archidendron pauciflorum) yang merupakan spesies tumbuhan yang sudah biasa dibudidayakan. Spesies lain yang ditemukan yaitu Mensira (Ilex cymosa) yang biasanya berada di komunitas yang agak terbuka, dan cukup baik beradaptasi terhadap api (Whitmore 1984).

Pohon yang tumbuh di Padang memiliki kayu yang sangat keras, kering dan sangat jarang ditemukan. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Padang diperoleh 2 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 180,60% dengan kerapatan 2 ind/ha dan prepat (Combretocarpus rotundatus) sebesar 119,40% dengan kerapatan 1 ind/ha. Kedua spesies tersebut hanya ditemukan di satu plot pengamatan (Lampiran 11). Sedikitnya tingkat pohon di Padang semakin menunjukkan tingkat kerawanan ekosistem ini sebagai sebagai penyangga ekosistem.

Permukaan batang sekuncong (Leptospermum flavescens) sangat keras dan kering yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan (Gambar 13). Kondisi tanah yang asam dan miskin hara tidak mendukung kelangsungan hidup spesies-spesies lain yang ditemukan pada tingkat semai hingga tingkat pancang maupun pohon. Namun hal ini memang merupakan ciri khas dari ekosistem padang.

Gambar 13 Kondisi batang pohon sekuncong (Leptospermum flavescens) yang keras dan kering.

Secara umum dapat dilihat adanya perbedaan spesies yang mendominasi di setiap tipe hutan kerangas dan pada setiap tingkat pertumbuhan. Spesies tingkat

33

semai yang mendominasi di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa), spesies ini bukan spesies yang mendominasi pada tingkat pancang dan pohon. Demikian juga yang terjadi di Bebak dan Padang. Pada tingkat pohon di Rimba dan Bebak didominasi seru (Schima wallichii). Berdasarkan Mosaic Theory, komposisi dan dominansi vegetasi di suatu ekosistem akan mengalami perubahan di masa depan (Richards 1952 diacu dalam Hikmat 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat survival suatu spesies tehadap dinamika eksosistem baik secara fisik maupun biotik serta gangguan dari luar.

5.1.4 Keanekaragaman spesies tumbuhan (H’)

Nilai keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di Rimba lebih tinggi daripada di Bebak dan Padang yaitu 3,73 dan 3,09 (Gambar 14). Semakin klimaks sebuah ekosistem maka akan diikuti dengan bertambahnya jumlah spesies yang dapat hidup disana pada tingkat semai dan hanya spesies- spesies tertentu saja yang dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, penurunan nilai keanekaragaman dari tingkat semai menuju tingkat pohon dapat terjadi.

Nilai keanekaragaman tingkat semai di Rimba lebih kecil daripada di Bebak, yaitu 3,86 sedangkan di Bebak 4,03. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah individu setiap spesies di Rimba tidak terdistribusi secara merata (Ludwig & Reynolds 1988). Nilai keanekaragaman semai, pancang dan pohon di Padang sangat rendah dibandingkan Bebak dan Rimba yaitu 2,34; 1,07 dan 0,67. Menurut Wells (1976) diacu dalam McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan bahwa beberapa spesies mempunyai kemampuan berkoloni yang cepat di tegakan pionir.

Gambar 14 Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan kerangas.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

Semai Pancang Pohon

Nila i indek s k ea nek a ra g a m a n Tingkat pertumbuhan Rimba Bebak Padang

34

Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh bervariasi berdasarkan tipe hutan dan tingkat pertumbuhan. Menurut Kissinger (2002) perubahan indeks keanekaragaman jenis terjadi sebagai akibat dari karakteristik biologis dari hutan yang selalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu, perubahan keanekaragaman juga dapat terjadi dalam waktu yang cepat sebagai akibat dari aktivitas manusia atau gejala alam lainnya.

5.1.5 Kekayaan spesies tumbuhan (R)

Nilai kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai di Rimba dan Bebak tidak berbeda jauh. Nilai kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai di Rimba yaitu 14,35, sedangkan di Bebak 14,44 (Gambar 15). Perbedaan yang tidak signifikan ini juga dapat disebabkan oleh kemiripan tipe ekosistem. Bebak merupakan hutan sekunder bekas ladang yang sudah ditinggalkan selama 10 tahun, sehingga jumlah spesies yang terdapat disana juga cukup banyak, terutama spesies pionir. Menurut Wells (1976) diacu dalam McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan bahwa beberapa spesies mempunyai kemampuan berkoloni yang cepat di tegakan pionir. Faktor yang memengaruhi nilai kekayaan spesies yaitu total jumlah individu semua spesies. Semakin besar total jumlah individu semua spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem maka nilai kekayaan akan semakin kecil, dengan pembanding ekosistem kedua memiliki jumlah spesies yang sama namun jumlah total individu semua spesies lebih kecil (Ludwig & Reynolds 1988).

Pada ekosistem padang, kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai, pancang dan pohon paling kecil, berturut-turut 3,27; 0,78 dan 0,91. Jumlah spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon selain sedikit juga memiliki jumlah individu yang sedikit. Pada tingkat pancang hanya diperoleh 3 spesies dengan jumlah individu sebanyak 52 ind/ha. Sedangkan pada tingkat pohon hanya diperoleh 2

Dokumen terkait