• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi pakan merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk mengevaluasi ransum dalam suatu percobaan. Konsumsi pakan pada ternak ruminansia dikontrol oleh beberapa faktor yang tidak senantiasa sama seperti pada ternak nonruminansia. Ruminansia mampu memakan bahan yang kaya akan serat kasar dan mampu memecahnya menjadi produk yang dapat diasimilasi di dalam rumen. Produk asimilasi tersebut kemudian akan diabsorpsi dan beredar di darah yang selanjutnya akan mempengaruhi konsumsi pakan.

Tabel 4. Rataan konsumsi, kecernaan bahan kering dan bahan organik Perlakuan Parameter R0 R1 R2 R3 R4 R5 Konsumsi BK (g/e/h) 614.1±15.4 c 561.3±26.5a 622.5±14.1c 612.7±14.3c 604.5±8.8b 584.6±15.0b Konsumsi BO (g/e/h) 503.8±12.6 c 456.4±21.5a 512.7±11.6c 504.1±11.8c 496.2±7.2b 479.6±12.3b Kecernaan BK (%) 67.6±1.8 b 56.4±2.7a 71.0±1.6b 84.0±2.0c 70.2±1.0b 69.9±1.9b Kecernaan BO (%) 67.1±1.8 b 55.9±2.6a 70.6±1.6b 85.0±2.0c 70.4±1.0b 70.6±2.0b Keterangan :

a. R0 = ransum basal, R1 = R0+Pb-asetat, R2 = R1+Proteinat, R3 = R2+Mineral Proteinat, R4 = R3+Khitosan, R5 = R3+Ekstrak rumput laut coklat

b. Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda p<0.05

Hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering terjadi perbedaan antar perlakuan (p<0.5). Konsumsi terendah terjadi pada perlakuan R1, yaitu perlakuan yang diberi timbal tanpa suplementasi, sedangkan konsumsi tertinggi terjadi pada perlakuan yang diberi suplemen proteinat (R2). Hasil uji kontras menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering perlakuan yang diberi timbal dibandingkan dengan perlakuan suplementasi (proteinat, mineral proteinat, khitosan dan ekstrak rumput laut coklat) menunjukkan perbaikan dan peningkatan pada konsumsinya. Hal ini berarti bahwa suplementasi yang dilakukan dapat meredam efek negatif yang ditimbulkan oleh logam berat timbal. Penurunan konsumsi bahan kering dan bahan organik yang terjadi pada perlakuan R1, kemungkinan disebabkan oleh pengaruh timbal yang dapat menekan kontraksi rumen menjadi lebih lambat (Darmono 2001) sehingga aliran digesta di dalam saluran pecernaan menjadi lambat pula. Daya tampung organ pencernaan terbatas, ternak akan berhenti makan apabila kapasitas

rumennya terpenuhi, walaupun masih memerlukan tambahan nutrien. Kondisi ini dapat mengakibatkan ternak menjadi kurang nafsu makan yang berdampak pada turunnya konsumsi bahan kering. Hasil yang hampir sama terjadi pada konsumsi bahan organik domba percobaan, yang ternyata terdapat perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan (p<0.01). Fakta ini memperkuat bahwa pengaruh negatif penambahan timbal dapat dikurangi dengan melakukan suplementasi proteinat, mineral proteinat, khitosan dan ekstrak rumput laut coklat.

Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makanan atau penguraian molekul besar menjadi kecil. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dapat memberikan gambaran tentang kualitas ransum perlakuan, karena bagian yang dicerna merupakan selisih antara kandungan zat makanan dalam ransum yang digunakan dengan zat makanan yang keluar melalui feses. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0.01). Penambahan timbal berpengaruh terhadap menurunnya kecernaan, diduga logam Pb ini sudah meracuni mikroba di dalam rumen, hal ini terlihat dari populasi mikroba rumen yang relatif rendah (3.43x108 ±7.9x107 ) sehingga proses fermentasi pakan tidak berjalan secara optimal. Disamping itu, logam Pb ini diduga meracuni secara kronis permukaan mukosa saluran pencernaan sehingga kemungkinan terjadinya pembengkakan, penurunan kontraksi rumen dan gerakan peristaltik usus yang berdampak pada kecernaan dan absorbsi zat-zat makanan menjadi kurang optimal.

Hasil uji kontras menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering yang terendah terjadi pada ransum yang ditambah timbal (R1), sedangkan perlakuan suplementasi dapat mengurangi toksisitas Pb dan mencapai nilai tertinggi pada perlakuan mineral proteinat (R3). Pembuatan mineral proteinat menggunakan sumber inokulum

Saccharomyces cereviseae sebagai carier mineral yang telah diketahui banyak dikembangkan sebagai probiotik. Oleh karena itu suplementasi mineral proteinat dapat mencapai nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik tertinggi disebabkan ragi tersebut dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat, protein dan vitamin sehingga pakan yang mendapat ragi menjadi lebih tersedia dan lebih cepat ke pasca rumen (Zelenak et al. 1994).

Suplementasi mineral proteinat atau mineral organik yang terdiri dari mineral seng, mineral tembaga, mineral kromium dan mineral selenium dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan ketersediaan biologis mineral. Mineral kompleks organik berpotensi meningkatkan ketersediaan biologisnya dibanding mineral anorganik sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dan dapat meningkatkan kecernaan ransum (Schell dan Kornegay 1996). Mineral yang dipakai dalam percobaan ini merupakan mineral esensial yang dapat memacu kinerja produksi, juga dapat berinteraksi dengan logam berat yang sering mencemari pakan ternak. Interaksi ini bersifat positif, karena keberadaan mineral yang disuplementasikan akan berkompetisi dan menekan logam berat, sehingga toksisitasnya dapat diredam dan dinetralisir. Pada tikus, absorsi Pb sangat meningkat bila pakannya kekurangan Zn, pada pemberian Zn yang tinggi dapat mengurangi absorsi Pb tersebut (Cerklewski dan Forbes 1976). Peneliti lain melaporkan bahwa ditemukan kandungan Pb yang lebih rendah dalam jaringan tikus yang diberi pakan mengandung 500 mg Zn/kg (Petering 1978). Pada babi yang diberi pakan mengandung Ca rendah dapat meningkatkan kandungan Pb dalam jaringan dan berakibat toksik bila diberi Zn tambahan (Hsu et al. 1975).

Populasi Protozoa dan Bakteri

Di dalam rumen terdapat empat jenis mikroorganisme seperti fungi, protozoa, bakteri dan virus. Berbagai jenis mikroorganisme tersebut memiliki produk fermentasi intermedier dan produk fermentasi akhir yang bermacam-macam, sehingga menyebabkan kehidupan di dalam menjadi sangat kompleks. Bakteri merupakan mikroba yang paling banyak jenisnya dan lebih beragam macam subtratnya. Bakteri di dalam rumen mempunyai populasi yang paling besar yaitu sekitar 1010-1011 per gram isi rumen (Yokohama dan Johnson 1988). Berbeda dengan bakteri, protozoa mempunyai populasi lebih sedikit yaitu 105-106 cacahan sel per mili isi rumen (Yokohama dan Johnson 1988), akan tetapi dari segi jumlah biomassa ternyata cukup besar karena ukuran protozoa lebih besar dari bakteri. Produk yang dihasilkan protozoa adalah asam asetat, asam butirat, asam laktat, gas CO2 dan gas hidrogen. Protozoa lebih menyukai substrat yang mudah dicerna seperti pati, gula dan bakteri (Russell dan Hespell 1981).

Rataan populasi protozoa hewan percobaan tersaji dalam Tabel 5 berada dibawah kisaran populasi yang normal yaitu sekitar 105 sampai dengan 106. Hasil sidik ragam tidak terdapat perbedaan yang nyata pada berbagai perlakuan perlakuan (p>0.05). Pada perlakuan ransum yang diberikan suplemen khitosan (R4) menghasilkan populasi tertinggi yaitu 2.01x104±6.1x103, sedangkan yang terendah populasinya terjadi pada perlakuan yang diberi suplemen mineral proteinat (R3) yaitu 1.18x104±2.9x103.

Namun demikian populasi protozoa ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi fermentabilitas rumen secara keseluruhan, karena peranan protozoa pada saat ini masih dipertanyakan keberadaannya di dalam sistem pencernaan. Sebagian ahli nutrisi ruminansia menganggap bahwa protozoa tidak esensial dengan alasan bahwa usaha mengkultur bakteri rumen dalam medium tanpa keberadaan protozoa ternyata berhasil dengan baik. Keberadaan populasi protozoa dan kondisi pakan yang rendah gula dan pati, maka protozoa ini akan memangsa bakteri yang merupakan mikroba utama dalam rumen. Yokohama dan Johnson (1988) menyatakan bahwa protozoa dan bakteri bersaing dalam menggunakan beberapa bahan makanan, protozoa akan menggunakan bakteri sebagai sumber protein untuk kehidupannya sehingga jumlah bakteri dalam rumen berkurang sampai setengah atau lebih. Pendapat senada dinyatakan oleh Arora (1989), protozoa menelan bakteri dan hidup dari bakteri serta memperoleh tambahan sumber protein dan pati dari ingesta rumen. Pemangsaan bakteri oleh protozoa akan mengurangi biomassa bakteri yang bebas dalam cairan rumen bisa mencapai sekitar 50-90 persen, dapat menurunkan kecepatan kolonisasi bakteri pencerna partikel makanan (Preston dan Leng 1987).

Tabel 5. Rataan populasi protozoa dan bakteri domba percobaan Perlakuan Parameter R0 R1 R2 R3 R4 R5 Protozoa 1.32x104 ± 4.8x103 a 1.41x104 ± 5.8x103 a 1.56x104 ± 2.7x103a 1.18x104 ± 2.9x103 a 2.01x104 ± 6.1x103b 1.78x104 ± 6.4x103 a Bakteri 1.18x109 ± 3.8x108b 3.43x108 ± 7.9x107 a 1.37x109 ± 4.5x108b 3.44x109 ± 5.7x108c 3.29x109 ± 4.6x108c 3.98x109 ± 7.8x108c Keterangan :

1) R0 = ransum basal, R1 = R0+Pb-asetat, R2 = R1+Proteinat, R3 = R2+Mineral Proteinat, R4 = R3+Khitosan, R5 = R3+Ekstrak rumput laut coklat

2) Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda p<0.05

Menurut Bird et al. (1990) dinyatakan bahwa protozoa memberikan sumbangan atau andil tidak begitu besar artinya bagi nutrisi ternak induk semang. Sebagian besar biomassa protozoa tidak tersedia bagi pencernaan pasca rumen, hal ini disebabkan karena protozoa dapat bergerak (motil) sehingga dapat terhindar dari aliran ingesta dan bertahan di dalam rumen. Akibat dari kenyataan ini maka protozoa memiliki nilai ‘turn over’ yang lambat. Hanya sebagian kecil saja protozoa yang mengalir ke organ pasca rumen (Leng et al. 1986).

Populasi protozoa rumen umumnya didominasi oleh spesies ciliata. Spesies flagellata biasanya banyak terdapat pada anak domba, sebelum populasi ciliata

berkembang dengan pesat. Spesies ciliate dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu holotrika (cilia ada disekitar tubuhnya) dan oligotrika (cilia hanya ada disekitar mulut). Kelompok holotrika memiliki morfologi yang sederhana, meliputi Isotricha dan

Dasytricha, dengan sumber energi utama pati dan gula. Sebaliknya kelompok oligotrycha yang meliputi spesies Entodinium, Epidinium, Diplodinium dan Ophyroscolex

memiliki aktifitas selulolitik (Russell dan Hespell 1981; Bird et al. 1990).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa rataan populasi bakteri mengalami perbedaan yang nyata pada berbagai ransum perlakuan (p<0.01). Populasi terendah terjadi pada ransum perlakuan yang ditambah Pb-asetat tanpa pemberian suplemen (R1) yaitu 3.43x108± 7.9x107. Hal ini diduga bahwa pemberian Pb asetat sudah meracuni secara kronis dan mengganggu sistem fermentasi di dalam rumen. Terganggunya bakteri ini diduga bahwa logam Pb ini bereaksi dengan enzim dan asam amino terutama yang mempunyai gugus sulfur pada membran dinding sel bakteri, sehingga bakteri tidak dapat berkembang secara optimal dan akhirnya mati. Sifat negatif logam Pb ini antara lain karena kemampuannya untuk membentuk komplek dengan gugus karboksil (-COO-), gugus amino (-NH3-) dan sulfhidril (-SH) asam amino protein dan enzim, enzim yang bersangkutan akan mengalami denaturasi (Bernal et al. 1997). Berbeda dengan ransum perlakuan yang diberi suplemen, ternyata memberikan respon yang sangat positif terhadap pertumbuhan bakteri. Hal ini menguatkan dugaan bahwa penambahan proteinat, mineral proteinat, khitosan, dan ekstrak rumput laut coklat dapat mengurangi dampak racun dari timbal atau Pb.

Hasil uji kontras antara perlakuan Pb (R1) tanpa suplemen dengan perlakuan yang mendapat suplemen (R2, R3, R4, dan R5) menunjukkan bahwa domba yang diberi suplemen mempunyai populasi bakteri lebih tinggi (p<0.01). Nilai tertinggi dicapai pada perlakuan pemberian suplemen mineral proteinat (R3) yaitu 3.44x109 ± 5.7x108, kemudian diikuti dibawahnya suplemen ekstrak rumput laut coklat, suplemen khitosan dan suplemen proteinat. Peningkatan populasi bakteri akibat pemberian mineral proteinat yang berbahan dasar Saccharomyces sp ini disebabkan potensi ragi yang cukup baik sebagai suplemen pakan sesuai dengan pendapat Dawson (1993) yang menyebutkan bahwa ragi dikenal sebagai pakan yang kaya akan vitamin, enzim, nutrient dan kofaktor penting lainnya yang membuat mikroorganisme tersebut menjadi atraktif sebagai sumber nutrisi utama. Disamping itu ragi juga mampu memanfaatkan O2 di dalam rumen sehingga keadaan anaerob bisa optimal, yang menyebabkan meningkatnya populasi mikroba yang hidup. Pendapat ini melengkapi pendapat

Wiedmeier et al. (1987) yang menyatakan bahwa ragi tape tidak bersifat selulolitik tetapi dapat menyediakan faktor perangsang tumbuh bagi bakteri selulolitik seperti vitamin B atau VFA rantai cabang. Mineral proteinat dalam penelitian ini juga digunakan sebagai wahana untuk memasok mineral yaitu mineral Zn, Cu, Cr dan Se. Seng di dalam rumen dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen (Putra 1999). Selanjutnya Suryahadi et al.

(1996) menyatakan bahwa penambahan Saccharomyces cereviceae dapat meningkatkan populasi mikroba rumen.

Produksi Nitrogen Amonia, VFA total dan pH cairan Rumen

Sumber protein untuk ruminansia dapat berasal dari protein ransum maupun non protein nitrogen (NPN). Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan peptida dan asam-asam amino. Produk ini akan mengalami katabolisme lebih lanjut atau deaminasi sehingga dihasilkan amonia (NH3). Amonia asal perombakan ransum sangat besar kontribusinya terhadap pool amonia rumen. Proses proteolitik dan deaminasi asam-asam amino menghasilkan amonia diduga bersifat konstitutif, artinya tidak ada kontrol metabolik. Degradasi protein dan deaminasi terhadap asam amino akan terus berlangsung, walaupun telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi di dalam rumen (Sutardi 1977). Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan amonia untuk mikroba, tetapi juga pasokan peptida yang dapat dimanfaatkan langsung oleh beberapa bakteri rumen untuk sintesis protein. Dari kenyataan ini maka suplementasi urea dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan amonia.

Tabel 6. Rataan produksi nitrogen amonia, VFA dan pH rumen ternak domba Perlakuan Parameter R0 R1 R2 R3 R4 R5 N-Amonia (mM) 6.81±1.48 b 3.80±0.62a 6.58±1.74b 7.52±1.93b 11.61±2.18c 5.69±1.00a VFA total (mM) 77.01±9.3 a 54.63±9.9a 96.35±20.3b 119.28±16.6c 101.60±24.4c 79.47±4.2b pH 6.80±0.24 6.48±0.25 6.54±0.36 6.44±0.44 6.50±0.45 6.41±0.49 Keterangan :

1) R0 = ransum basal, R1 = R0+Pb-asetat, R2 = R1+Proteinat, R3 = R2+Mineral Proteinat, R4 = R3+Khitosan, R5 = R3+Ekstrak rumput laut coklat

2) Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda p<0.05

Produksi amonia rumen ternak domba percobaan berbeda nyata pada setiap

khitin khitosan dengan nilai 11.61±2.18 mM, dan yang terendah pada perlakuan penambahan Pb-asetat (R1) dengan nilai 3.80±0.62 mM. Produksi yang relatif rendah ini berdampak pada aktivitas fermentasi mikroba rumen sehingga ada kecenderungan bahwa produk fermentasi yang lain pada perlakuan R1 ini juga terganggu. Konsentrasi amonia yang optimal dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba rumen. Menurut Satter dan Slyter (1974) konsentrasi amonia yang dibutuhkan sekitar 50 mg per liter atau 3.57 mM, atau sekitar 4 sampai 12 mM (Sutardi 1979). Sedangkan menurut Erwanto et al. (1993) mendapatkan kadar amonia yang optimum sekitar 7-8 mM. Amonia yang diproduksi tidak semua digunakan untuk sintesis protein mikroba, tetapi sebagian diserap oleh dinding rumen, masuk ke dalam sirkulasi portal dan dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi urea dan masuk ke sirkulasi darah.

Pada ternak ruminansia VFA merupakan sumber energi utama yang berasal dari hasil fermentasi karbohidrat dalam rumen. Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam bentuk VFA sebesar 80% dan 20 persen sisanya merupakan energi yang terbuang dalam bentuk produksi gas CO2, CH4, dan energi dalam bentuk ATP. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produksi VFA total berbeda sangat nyata (p<0.01). Produksi terendah terjadi pada ternak yang diberi penambahan Pb tanpa suplementasi (R1) yaitu 54.63±9.9 mM, sedangkan kadar VFA tertinggi dicapai pada perlakuan pemberian suplemen mineral proteinat (R3) dengan nilai 119.28±16.6 mM. Rendahnya produksi VFA pada perlakuan R1, menunjukkan bahwa sistem fermentasi di dalam rumen ternak domba terganggu dengan adanya logam berat timbal. Produksi VFA mulai mengalami perbaikan setelah dilakukan suplementasi proteinat dan mineral proteinat.

Nilai pH rumen dalam percobaan ini tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan nilai terendah terjadi pada perlakuan rumput laut coklat (R5) dengan nilai pH 6.41±0.49, dan nilai tertinggi pada perlakuan ransum basal (R0) dengan nilai pH 6.80±0.24. Namun demikian masih dalam kisaran pH normal untuk terjadinya fermentasi di

dalam rumen. Kondisi pH yang normal ini terjadi karena ransum yang digunakan mengandung serat tinggi. Keadaan ini mengharuskan domba banyak melakukan aktifitas pengunyahan (mastikasi) sehingga saliva yang disekresikan dan yang masuk ke dalam retikulorumen lebih banyak. Saliva domba banyak mengandung bahan bikarbonat dan fosfat serta berperan sebagai larutan penyangga atau buffer sehingga pH dapat dipertahankan tetap pada kisaran yang normal (Sutardi 1977).

Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) Parsial

Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrient seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.Ransum pertama kali mengalami pencernaan secara mekanik di dalam mulut, kemudian masuk ke dalam reticulum dan rumen untuk dicerna secara fermentatif. Hasil pencernaan fermentatif berupa VFA (Volatile Fatty Acid), NH3, CH4, dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum.Selanjutnya pakan yang tidak tercerna disalurkan abomasum dan dicerna secara hidroliltik oleh enzim-enzim pencernaan seperti halnya terjadi pada hewan monogastrik (Sutardi 1981).

Proses fermentasi ransum yang dilakukan oleh mikroba rumen menghasilkan asam lemak volatil (Volatile Fatty Acid atau VFA) yang telah diketahui merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Sumbangan energi yang berasal dari asam lemak volatil dapat mencapai 60-80 persen dari kebutuhan energi pada ternak ruminansia (Ensminger et al. 1990). Adapun yang termasuk dalam asam lemak volatil (VFA) rumen adalah asam asetat (CH3COOH), asam propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat (CH3(CH2)3COOH) dan asam lemak rantai cabang (asam isobutirat, 2-metilbutirat, dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang ini berasal dari katabolisme protein. Selain itu fermentasi juga menghasilkan produk gas meliputi gas CO2, gas CH4 dan gas hidrogen (Czerkawski 1986).

Tabel 7. Rataan produksi Volatyle Fatty Acid parsial ternak domba Perlakuan Parameter R0 R1 R2 R3 R4 R5 Asetat (mM) 69.55±15.5 b 46.15±13.9a 86.18±17.0c 86.25±13.3c 77.75±18.4b 82.22±18.3b Propionat (mM) 30.81±10.8 a 24.18±4.3a 40.18±12.9c 45.04±6.0c 36.49±10.8b 35.89±5.4b N-Butirat (mM) 9.19±2.7 a 7.29±2.8a 16.03±3.1c 14.40±1.5c 14.92±2.2b 13.62±3.0c

Iso-Butirat (mM) 0.87±0.47 0.76±0.63 1.09±0.24 1.29±0.39 0.70±0.20 0.92±0.43 IsoValerat (mM) 1.38±0.68 0.75±0.53 1.39±0.59 1.78±1.24 0.89±0.40 2.27±0.31 N-Valerat (mM) 1.03±0.45 0.10±0.24 1.24±0.34 1.20±0.38 1.21±0.39 1.97±0.24 Keterangan :

1) R0 = ransum basal, R1 = R0+Pb-asetat, R2 = R1+Proteinat, R3 = R2+Mineral Proteinat, R4 = R3+Khitosan, R5 = R3+Ekstrak rumput laut coklat

2) Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda p<0.05

Produksi VFA parsial utama dalam hal ini asam asetat, propionat dan butirat menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Perbedaan produksi ini dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Pada percobaan ini terjadi laju produksi asam asetat yang paling tinggi dibandingkan dengan produk VFA lainnya. Laju produksi asam propionat sekitar sepertiga dari laju produksi asam asetat. Asam butirat diproduksi sekitar 10 persen dari VFA total, sedangkan asam valerat dan isovalerat masing-masing satu persen dari VFA total. Ransum yang berbahan dasar hijauan akan memberikan nisbah Asetat/Propionat lebih besar dibandingkan dengan ransum berbahan dasar konsentrat. Pada kondisi pola produksi VFA utama cairan rumen 65 persen asetat, 25 persen propionat dan 10 persen butirat, maka energi yang berasal ransum dalam bentuk VFA sekitar 75 persen. Sedangkan sisanya akan muncul gas metan 12.4 persen, panas fermentasi 6.4 persen dan sekitar 6.2 persen dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi dalam bentuk ATP (Clark dan Davis 1983).

Produksi asam asetat tertinggi diperoleh pada perlakuan R3 (mineral proteinat) dengan nilai 86.25±13.3 mM, sedangkan produksi terendah terjadi pada perlakuan R1, yaitu perlakuan yang diberi Pb-asetat dengan nilai 46.15±13.9 mM. Begitu juga dengan produksi asam propionat, produksi tertinggi dicapai pada perlakuan mineral proteinat dengan nilai 45.04±6.0 mM, dan produksi terendah pada perlakuan Pb asetat dengan nilai 24.18±4.3 mM. Berbeda dengan produksi asam butirat, dimana produksi tertinggi dicapai pada perlakuan R4 (khitin dan khitosan) dengan nilai 14.92±2.2 mM, dan nilai terendah tetap pada perlakuan yang diberi Pb asetat dengan nilai 7.29±2.8 mM. Dari kenyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sistem fermentasi di dalam rumen ternak domba percobaan mengalami gangguan yang cukup serius dengan adanya logam berat yaitu Pb atau timbal. Logam Pb dimungkinkan sudah mulai meracuni bakteri di dalam rumen, sehingga proses fermentasi yang dihasilkan menjadi menurun. Berbeda dengan perlakuan lain yaitu suplementasi proteinat (R2), mineral proteinat (R3), khitin khitosan (R4), rumput laut coklat (R5), menunjukkan produksi VFA parsial yang cukup tinggi. Kenyatan ini memberikan gambaran bahwa perlakuan suplementasi

tersebut di atas berhasil menekan efek racun dari Pb, sehingga suasana kondusif di dalam rumen terjaga yang berdampak pada produksi VFA yang cukup tinggi.

Produk akhir berupa VFA dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorsi melalui epitel rumen dan masuk kesirkulasi darah, dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan menjadi bagian cadangan glukosa hati. Asam butirat sebelum masuk ke sirkulasi darah dan dibawa ke hati bersama asetat dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat (â-hydroxybutyric acid / BHBA) di dalam epitil rumen. Asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui siklus asam sitrat dan sebagai substrat lipogenesis lemak susu, sedangkan propionat untuk glukonegenesis dan lipogenesis lemak tubuh (Forbes dan France 1993).

Pada proses anabolis di dalam tubuh ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat, yaitu dari asam lemak atau dari asam-asam amino melalui proses

glukoneogenesis. Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk glukogenik adalah asam propionat yang dalam proses metabolismenya menjadi prekursor glukosa, sedangkan asam asetat dan butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik.

Tabel 8. Rataan nisbah A/P, NGR, metan dan efisiensi konversi heksosa Perlakuan Parameter R0 R1 R2 R3 R4 R5 Nisbah A/P 2.33±0.32 1.87±0.29 2.23±0.34 1.92±0.18 1.98±0.18 2.29±0.38 NGR 2.85±0.39 2.45±0.42 2.99±0.48 2.51±0.16 2.57±0.10 2.94±0.38 Metan 28.77±6.63 25.87±7.09 28.86±7.31 26.38±6.15 26.88±7.13 28.87±9.21 Efisiensi konversi 76.62±1.20 78.52±1.43 77.12±1.27 78.24±0.79 77.19±1.74 76.83±1.34 Keterangan :

1) R0 = ransum basal, R1 = R0+Pb-asetat, R2 = R1+Proteinat, R3 = R2+Mineral Proteinat, R4 = R3+Khitosan, R5 = R3+Ekstrak rumput laut coklat

2) Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda p<0.05

Hasil sidik ragam pada nisbah A/P, NGR, metan dan efisiensi konversi glukosa tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05). Nisbah A/P merupakan perbandingan antara proporsi asetat dan propionat yang dihasilkan dalam rumen. NGR (Non

Glukogenic Rasio) adalah perbandingan antara asam lemak volatil yang bersifat glukogenik dan non glukogenik. Sedangkan efisiensi konversi heksosa menjadi VFA energi menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Orskov dan Ryle (1980) sebagai berikut : E = ((0.622pa + 1.092pp + 1.560pb)/(pa+pp+pb))x100%; dimana pa = % molar asetat, pp = % molar propionat dan pb = % molar butirat. Secara umum kalau ditinjau dari nilai produksi VFA individual masing-masing perlakuan pada perlakuan suplementasi mempunyai produksi VFA lebih unggul, dibandingkan dengan ternak domba yang terpapar timbal tanpa suplementasi.

Pertumbuhan Ternak dan Wol Domba

Pertumbuhan merupakan suatu respon hasil dari akumulasi konsumsi, fermentasi rumen, metabolisme dan penyerapan nutrien dalam tubuh. Pengamatan yang dilakukan untuk parameter pertumbuhan ini adalah pertambahan bobot badan dan pertumbuhan wol ternak domba. Bobot badan dan pertambahan bobot badan berpengaruh terhadap produksi wol. Efisiensi penggunakan pakan untuk pertumbuhan wol dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan. Konsep ini didasari oleh asumsi bahwa perubahan jaringan tubuh akibat penurunan bobot badan sama halnya dengan suplai bahan organik dari makanan.

Tabel 9. Rataan pertambahan bobot harian, wol dan EPR domba percobaan Perlakuan Parameter R0 R1 R2 R3 R4 R5 PBBH (g) 91.5±16.6b 62.8±16.1a 88.5±18.3b 85.6±17.1b 87.1±22.11b 105.2±21.0c EPR (%) 12.0±2.24b 9.4±2.53a 12.1±2.84b 12.3±2.72b 12.4±2.56b 15.6±2.85c Wol (g/90 hari) 2.04±0.32 c 1.41±0.12c 1.03±0.23b 0.95±0.23a 1.02±0.31b 1.28±0.15b Keterangan :

1) R0 = ransum basal, R1 = R0+Pb-asetat, R2 = R1+Proteinat, R3 = R2+Mineral Proteinat, R4 = R3+Khitosan, R5 = R3+Ekstrak rumput laut coklat

2) Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda p<0.05

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada pertambahan bobot harian ternak domba (p<0.05). Hampir semua perlakuan suplementasi lebih tinggi pertambahan bobot badannya dibandingkan dengan perlakuan

Dokumen terkait