SUPLEMEN MINERAL PROTEINAT DAN KHITOSAN SERTA
EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT
S U N A R Y A D I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : “PEREDAMAN TOKSISITAS TIMBAL (Pb) DAN STIMULASI KINERJA PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA DENGAN SUPLEMEN PROTEINAT MINERAL DAN KHITOSAN SERTA EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2006
SUNARYADI. Peredaman toksisitas timbal (Pb) dan stimulasi kinerja produksi ternak ruminansia dengan suplemen mineral proteinat dan khitosan serta ekstrak rumput laut coklat. Dibawah bimbingan TOHA SUTARDI , SURYAHADI, DWIERRA EVVYERNIE, dan BAMBANG PURWANTARA.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari dan mengevaluasi peredaman toksisitas timbal (Pb) dan stimulasi kinerja produksi ternak ruminansia dengan suplemen mineral proteinat dan khitosan serta ekstrak rumput laut coklat. Sebanyak 24 ekor domba jantan (dengan berat sekitar 18.28±2.43 kg) digunakan sebagai hewan percobaan. Menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 kali ulangan (bobot badan sebagai blok). Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut R0 = Ransum dasar, R1 = R0 ditambah Pb-asetat, R2 = R1 ditambah Proteinat, R3 = R2 ditambah Mineral proteinat , R4 = R3 ditambah Khitosan, R5 = R3 ditambah ekstrak rumput laut coklat. Percobaan dilaksanakan selama 16 minggu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering ransum domba percobaan R2, R3, R4, R5 lebih tinggi dibandingkan R1 (p<0.01). Kecernaan bahan kering ransum domba percobaan R2, R3, R4, R5 lebih tinggi dibandingkan ransum R1 (p<0.01). Populasi dari protozoa, pH rumen dan kandungan Pb didalam urine tidak dipengaruhi oleh perlakuan (p>0.05). Suplementasi menggunakan proteinat (R2), mineral proteinat (R3), khitosan (R4) dan ekstrak rumput laut coklat dapat meningkatkan populasi dari bakteri rumen, produksi NH3, produksi asetat, butirat, pertambahan bobot badan dan dan kandungan Pb dalam feses (p<0.01). Produksi amonia dan produksi VFA yang dihasilkan dengan suplementasi proteinat, mineral proteinat, khitosan dan ekstrak rumput laut coklat dalam kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba rumen.
SUNARYADI. Damping toxicity of lead (Pb) and stimulation productivity ruminant animals with supplement proteinate mineral and chitosan also brown seaweed extract. Under the direction of TOHA SUTARDI , SURYAHADI, DWIERRA EVVYERNIE, and BAMBANG PURWANTARA.
The Objective of this study was to evaluate damping toxicity of lead (Pb) and stimulation productivity ruminant animals with supplement proteinate mineral and chitosan also brown seaweed extract. Twenty four sheep (initial weight 18.28±2.43 kg) were assigned into randomized design with 6 treatments, body weight was used as a block (4 block). The treatments were R0 : basal diet, R1 : R0 + Pb-acetate, R2 : R1 + Proteinate, R3 : R2 + Proteinate mineral, R4 : R3 + chitosan, R5 : R3 + Brown seaweed extract. The experimental diets were offered for 16 weeks.
The result of the experiment showed that dry matter intake of sheep fed R2, R3, R4, R5 diets were higher than those R1 diets (p<0.01). Dry matter digestibility of sheep fed R2, R3, R4, R5 diets were higher than those R1 diets (p<0.01). Population of protozoa, rumen pH and content Pb in urine was not affected by treatment (p>0.05). Supplementation of proteinate (R2), proteinat mineral (R3), chitosan (R4) and brown seaweed extract increased population of bacteria, NH3, acetate, butirate, daily gain and content Pb in feses (p<0.01). The levels of ammonia and VFA in supplementation proteinate, proteinate mineral, chitosan and brown seaweed extract were suitable for microbe growth.
© Hak cipta milik Sunaryadi, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
SUPLEMEN PROTEINAT MINERAL DAN KHITOSAN SERTA
EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT
S U N A R Y A D I
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Suplemen Mineral Proteinat dan Khitosan Serta
Ekstrak Rumput Laut Coklat
Nama Mahasiswa : S u n a r y a d i
NRP
: 995050
Program Studi
: Ilmu Ternak
Disetujui Komisi Pembimbing
ttd
Prof. Dr. Toha Sutardi, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Suryahadi, DEA Anggota
Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS, M.Sc. Dr. Bambang Purwantara, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Prof. Dr. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang harus selalu kita
ingat dan mohon ampun kepadanya, atas rahmat dan ridho-Nyalah penelitian dan
penulisan disertasi berjudul Peredaman Toksisitas Timbal (Pb) dan Stimulasi Kinerja
Produksi Ternak Ruminansia dengan Suplemen Mineral Proteinat dan Khitosan serta
Ekstrak Rumput Laut Coklat ini dapat diselesaikan.
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terselesaikan atas pengarahan serta
bimbingan dari Tim Komisi Pembimbing. Penulis menyampaikan terima kasih dengan
tulus dan penuh rasa hormat kepada Prof. Drh. Toha Sutardi, M.Sc., Ph.D. (Alm)
sebagai ketua komisi, Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA, Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A, MS, M.Sc
dan Dr. Bambang Purwantara, M.Sc masing-masing sebagai anggota.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor IPB dan Pimpinan Sekolah
Pascasarjana IPB atas kesempatan mengikuti studi program Doktor. Kepada Rektor
Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) dan Dekan Fakultas Pertanian UMB, serta
Koordinator Perguruan Tinggi Wilayah II Palembang disampaikan terima kasih atas ijin
melanjutkan studi Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Badan
Pengelola Pasca Sarjana (BPPS) yang telah membiayai studi penulis.
Kepada Ibunda tercinta dan mertua, serta kakak dan adik baik yang berada di
Bengkulu, Bogor ataupun yang di Madura, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya atas pengorbanan dan do’a restunya. Khusus kepada
istri tercinta Ir. Eva Oktavidiati, M.Si., Ananda tersayang Yesa Vadina Afrasari dan Divka
Rayadi Ichmantara, walaupun dalam keprihatinan tetap setia mendampingi penulis
dengan penuh kesetiaan, kesabaran, dan keceriaan penulis sampaikan ucapan terima
kasih. Kepada rekan-rekan satu bimbingan ibu Ade, Wisri, Wulan dan pak Kus, yang
saling mengingatkan dan bahu-membahu diucapkan banyak terima kasih. Terima kasih
juga untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kesempurnaan yang hakiki hanya milik Allah SWT, dan karena keterbatasan
manusia, penulis sadar bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu nutrisi dan usaha peternakan pada umumnya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
Bogor, Januari 2006
Penulis dilahirkan di Bangkalan Madura pada tanggal 2 Pebruari 1967,
merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan keluarga Bapak Aslihin (Alm.)
dan Ibu Hj. Soepatmi.
Pendidikan Sekolah Dasar dan Madrasah ditempuh di Kecamatan Socah,
sedangkan Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di tempuh di
Bangkalan dari tahun 1980 sampai tahun 1986. Pada tahun 1986 diterima menjadi
mahasiswa di Fakultas Peternakan, Jurusan Produksi ternak dengan sub program
Nutrisi Ternak, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan memperoleh gelar
sarjana peternakan tahun 1991. Pada tahun 1995 melanjutkan studi S2 di Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Ternak dan meraih gelar
Magister Sain tahun 1999. Selanjutnya pada tahun yang sama mendapat kesempatan
mengambil Program Doktor di Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor pada
program studi Ilmu Ternak dengan sub program Ilmu nutrisi dan makanan ternak
dengan biaya BPPS Dirjen DIKTI.
Pada tahun 1993 diangkat sebagai staf pengajar tetap pada jurusan peternakan,
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu dpk dari Kopertis Wilayah II
Palembang sampai sekarang. Penulis menikah dengan Ir. Eva Oktavidati, M.Si. dan
dikaruniai seorang putri bernama Yesa Vadina Afrasari serta putra bernama Divka
Halaman
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang ………. 1
Tujuan ……… 3
Kegunaan ……… 3
Hipotesis ……… 3
TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4
Logam Berat Timbal ……… 4
Toksisitas Timbal (Pb) ……….. 5
Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia ……….. 8
Mikroorganisme Rumen ………. 10
Pencernaan Nutrien Pada Ternak Ruminansia ………. 12
Mineral Proteinat (Mineral Organik) ………. 16
Mineral Seng (Zn) ……… 17
Mineral Tembaga (Cu) ……… 18
Mineral Kromium (Cr) ……….. 19
Mineral Selenium (Se) ……….. 21
Khitin dan Khitosan ……….. 22
Rumput Laut Coklat ………. 25
Karakteristik Semen Ternak Domba ………. 27
Karakteristik Darah ……….. 30
MATERI DAN METODE ……….. 32
Tempat dan Waktu ……….. 32
Pembuatan Suplemen Mineral Proteinat ………. 32
Pembuatan Suplemen Khitin dan Khitosan ………. 34
Pembuatan Ekstrak Rumput Laut Coklat ………. 34
Percobaan pada Ternak Domba ………... 35
Analisis Konsentrasi Nitrogen-Amonia ………. 36
Analisis Volatil Fatty Acid Individual ……….. 37
Pencacahan Total Bakteri Rumen ……… 38
Pencacahan Populasi Protozoa ……… 38
Kecernaan Zat Makanan ……… 39
Pengukuran Logam Timbal ……… 40
Kualitas Semen ……….………. 40
Pengamatan Parameter Darah ……….. 42
Rancangan Percobaan ………... 44
HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 45
Produksi Volatil Fatty Acid Parsial ………. 52
Pertumbuhan Ternak dan Wol Domba ………. 55
Mineral Pb dalam Urin dan Feses ………. 56
Kualitas dan Kuantitas Semen Domba ………. 58
Dinamika Perubahan di dalam Darah ……….. 64
Analisis Komprehensif ………. 69
SIMPULAN DAN SARAN ……… 73
DAFTAR PUSTAKA ………. 74
Tabel Halaman
1. Kandungan Al, Pb dan Cd pada beberapa sumber pakan ternak …………. 6
2. Karakteristik seminal dan komposisi kimia semen domba ………. 29
3. Komposisi bahan pakan dan nutrient ransum percobaan ……….. 35
4. Rataan konsumsi, kecernaan bahan kering dan bahan organik ……… 45
5. Rataan populasi protozoa dan bakteri domba percobaan ………. 48
6. Rataan produksi nitrogen amonia, VFA total dan pH cairan rumen …….. 50
7. Rataan produksi Volatil Fatty Acid parsial ………. 52
8. Rataan niasbah A/P, NGR, metan dan efisensi konversi heksosa ………... 54
9. Rataan pertambahan bobot harian, wol, dan EPR ……….. 55
10. Rataan mineral Pb pada urin dan feses domba ………... 57
11. Warna ejakulat, konsistensi dan gerakan massa semen domba ………….. 58
12. Rataan kualitas sperma ternak domba ………. 60
13. Rataan hemoglobin, hematokrit, red blood cell, dan white blood cell ……… 65
14. Rataan komponen leukosit ……….. 67
Gambar Halaman
1. Jalur pencernaan karbohidrat didalam rumen ……….. 13
2. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen ……… 14
3. Struktur berulang khitin ……… 22
4. Struktur berulang khitosan ………... 23
5. Struktur berulang alginat ……… 26
6. Organ reproduksi jantan dan bagian-bagiannya ……….. 27
7. Spermatozoa dan bagian-bagiannya ………. 28
8. Tahapan pelaksanaan penelitian ………..………... 33
9. Abnormalitas spermatozoa karena pengaruh logam Pb ………. 63
Lampiran Halaman
1. Anova konsumsi bahan kering ………... 83
2. Anova konsumsi bahan organik ……….. 83
3. Anova kecernaan bahan kering ……….. 83
4. Anova kecernaan bahan organik ……… 84
5. Populasi bakteri total cairan rumen ……… 84
6. Populasi protozoa cairan rumen ………. 84
7. Anova produksi ammonia cairan rumen ……… 85
8. Anova pH cairan rumen ……… 85
9. Anova produksi VFA total cairan rumen ……… 85
10. Anova produksi VFA parsial asam asetat ………. 86
11. Anova produksi VFA parsial asam propionat ………. 86
12. Anova produksi VFA parsial asam n-butirat ………. 86
13. Anova produksi VFA parsial asam iso-butirat ……….. 87
14. Anova produksi VFA parsial iso-valerat ………. 87
15. Anova produksi VFA parsial n-valerat ……… 87
16. Anova nisbah Asetat per propionat ……….. 88
17. Anova nonglukogenik rasio cairan rumen ………. 88
18. Anova produksi gas metan ……….. 88
19. Anova efisiensi konversi glukosa ……… 89
20. Anova pertambahan bobot badan harian domba ………. 89
21. Anova produksi wool ………. 89
22. Anova kadar Pb dalam feses domba ………. 90
23. Anova kadar Pb dalam urin domba ……… 90
24. Anova pH spermatozoa domba ……….. 90
25. Anova motilitas spermatozoa domba ………. 91
26. Anova konsentrasi spermatozoa domba ………... 91
27. Anova persentase sperma hidup ……… 91
28. Anova persentase spermatozoa abnormal ………... 92
29. Anova haemoglobin darah domba ………. 92
30. Anova haematokrit darah domba ……… 92
31. Anova red blood cell (RBC) darah domba ……… 93
32. Anova white blood cell (WBC) darah domba ……… 93
33. Anova netrofil darah domba ……… 93
34. Anova eosinofil darah domba ………. 94
35. Anova monosit darah domba ……….. 94
Latar Belakang
Timbal (Pb) sangat berbahaya bagi ternak, walaupun yang diserap oleh ternak
jumlahnya kecil. Namun demikian logam tersebut berpotensi untuk berakumulasi dalam
tubuh ternak sehingga dalam jangka panjang dapat meracuni ternak. Organ-organ yang
terganggu antara lain sistem saraf, sistem gastrointestinal, hati dan ginjal. Sifat
neurotoksik Pb antara lain disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk komplek
dengan gugus karboksil (-COO-), gugus amino (-NH
3-) dan sulfhidril (-SH) asam amino, protein dan enzim (Bernal et al. 1997) sehingga enzim yang bersangkutan akan dapat mengalami denaturasi.
Pada saat ini pencemaran timbal tidak hanya terjadi di perkotaan, akan tetapi
sudah merambah ke daerah pedesaan yang merupakan basis peternakan disebabkan
oleh pengrusakan lingkungan hidup yaitu penggundulan hutan yang menyebabkan erosi
dan penggunaan bahan kimia untuk kebutuhan pertanian (pupuk, herbisida, insektisida
dan pestisida) yang banyak mengandung logam berat. Terjadinya erosi menyebabkan
humus dan mineral tanah terutama mineral esensial yang dibutuhkan oleh makhluk
hidup tercuci, sehingga yang muncul kepermukaan adalah logam-logam berat yang
membuat tanah menjadi masam. Tanah yang bersifat masam akan meningkatkan
kelarutan dan ketersediaan logam berat yang berlebihan dalam tanah sehingga
berbahaya bagi tumbuhan, ternak dan manusia. Ditambah lagi oleh pencemaran dari
asap kendaran bermotor, industri, pertambangan, dan limbah rumah tangga.
Logam-logam berat ini dapat terserap tanaman pakan dan pada gilirannya masuk ke dalam
tubuh manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak.
Untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia dilakukan dengan
pendekatan suplementasi mineral organik yaitu mineral yang berikatan dengan ligand
(pengikat). Mineral organik memiliki keutamaan karena lebih mudah larut dan lebih
mudah diserap (Georgievskii 1982; McDowell 1997) serta bebas dari gangguan
antagonisnya (Chase et al. 2000; Bailey et al. 2001). Untuk mengatasi kekurangan mineral esensial pada ternak maka dilakukan suplementasi. Suplemen mineral ini
diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim terkait sehingga dapat meningkatkan
produksi dan juga meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen.
Penelitian tentang mineral Zn memberikan pengaruh yang positif terhadap
ZnSO4, ternyata didapat Zn-lisin terserap lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya
yang digambarkan dengan kandungan Zn yang tinggi pada ginjal, liver dan pankreas.
Wedekind et al. (1992) membandingkan antara ZnSO4 dan Zn-metioninat, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa Zn-metioninat ketersediaannya lebih tinggi daripada
ZnSO4.
Mineral Cu adalah salah satu mineral yang sering dilaporkan defisien pada
ternak ruminansia (Underwood 1971). Suatu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hal di atas adalah dengan cara suplementasi mineral dalam bentuk tersedia
dan mempunyai antagonisme rendah. Suplementasi Cu-proteinat yang merupakan
kompleks mineral organik diharapkan dapat memenuhi kriteria tersebut. Mineral organik
mampu mecegah pembentukan kompleks tak larut dalam saluran pencernaan, asosiasi
Cu dengan protein atau asam amino dalam bentuk chelate atau kompleks meningkatkan ketersediaan Cu (Kardaya 2000).
Kromium (Cr) menjadi unsur mikro yang esensial karena berhubungan dengan kerja
insulin. Dalam bentuk kompleks, Cr memfasilitasi interaksi jaringan antara insulin dan reseptor
insulin (Mertz 1993). Menurut Kahn (1978), GTF-Cr meningkatkan pengikatan insulin oleh
reseptor pada membran sel sehingga entri glukosa ke dalam sel meningkat, peningkatan ini
akan terjadi walaupun insulin rendah.
Selenium (Se) merupakan bagian integral dari enzim glutation peroksidase yang
fungsinya mereduksi peroksida. Dengan demikian Se merupakan salah satu unsur pertahanan
tubuh. Selain itu ada beberapa enzim yang juga aktivitasnya bergantung pada Se. Salah satu
diantaranya enzim deiodinase yang fungsinya mengubah T4 (tetraiododinase tiroksin) menjadi
triodiodinase (T3) yang merupakan bentuk aktif dari tiroksin. Hormon tersebut mengatur
metabolisme umum, karena itu dapat diharapkan bahwa suplementasi Se akan meningkatkan
produksi ternak dan menambah sistem kekebalan tubuh (Sutardi 2002).
Khitin dan khitosan banyak digunakan sebagai obat dibidang kesehatan veteriner (Senel
dan McClure 2004), dan treatmen untuk mengurangi polusi limbah logam yang terjadi pada air
terutama dalam bentuk mikrokristalin. Kemampuannya untuk mengurangi polusi air cukup baik
seperti halnya bahan organik lainnya. Khitosan dapat berfungsi sebagai ion exchange,
pengabsorpsi dan khelat (Struszczyk dan Kivekas 1991). Bahan alami lain yang diduga
mempunyai kemapuan untuk meredam toksisitas Pb adalah rumput laut coklat (Sargassum sp) yang diketahui banyak mengandung alginate (Schiewer 1999). Alginat diketahui pula dapat
potensi keberadaan yang cukup besar yaitu tiga perempat jumlah rumput laut dunia dan 13 juta
ton alga coklat masih belum dimanfaatkan secara optimal (Angka dan Suhartono 2000).
Permasalahan timbal ini akan semakin memburuk, apabila tidak ada kesadaran
dari semua pihak untuk segera mengambil tindakan nyata, baik secara fisik dengan cara
pengurangan sumber pencemar dan upaya secara biokimiawi pada setiap organisme
yang terkontaminasi dengan cara pemberian suatu suplemen yang dapat meredam
toksisitas timbal. Pemberian suplemen ini berupa kombinasi protein, mineral organik,
khitin khitosan, dan ekstrak rumput laut coklat sebagai penetral efek racun dari timbal
sehingga terbentuk ikatan timbal yang tidak beracun di dalam tubuh dan dapat
dikeluarkan secara aman melalui urin dan feses.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari penggunaan feed suplemen berupa campuran proteinat, mineral
proteinat atau mineral organik, khitosan dan ekstrak rumput laut coklat terhadap
kinerja produksi ternak.
2. Mempelajari efek peredaman feed suplemen terhadap timbal pada parameter nutrisi,
fisiologi dan reproduksi.
Manfaat Penelitian
Suplemen ini akan dikembangkan menjadi suplemen anti timbal atau peredam
toksisitas timbal dan logam berat lainnya. Disamping itu suplemen ini juga dirancang
untuk meningkatkan kinerja produksi dan menjaga vitalitas tubuh agar tetap terjaga,
sehingga tidak mudah terserang penyakit.
Hipotesis
1. Suplementasi campuran proteinat, mineral proteinat, khitosan dan ekstrak rumput
laut coklat dapat meningkatkan kinerja produksi ternak.
TINJAUAN PUSTAKA
Logam Berat Timbal (Pb)
Istilah logam berat lebih sering digunakan untuk mengartikan logam yang bersifat
toksik. Adapun definisi yang paling banyak digunakan untuk mengartikan logam berat
adalah logam yang mempunyai bobot jenis lebih besar dari 5 gram/cm3 (Martin dan
Loughtrey 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa kata berat digunakan untuk mengartikan
logam yang bertahan lama di lingkungan.
Logam berat timbal merupakan logam yang sangat banyak digunakan untuk
kepentingan industri, dan paling banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup.
Dalam tabel periodik unsur, timbal termasuk golongan IV dengan nomor atom 82 dan
berat atom 207.19. Timbal merupakan logam lunak berwarna abu-abu kebiruan, massa
jenis 11.34 gram/cm3. Pada tekanan 1 atmosfer logam tersebut meleleh pada suhu
327oC dan mendidih pada suhu 1740oC (Darmono 1995).
Timbal (Pb) secara alami terdapat sebagai sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat,
dan timbal klorofosfat. Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena
sifat-sifatnya yaitu (1) Timbal mempunyai titik cair yang rendah, sehingga jika digunakan
dalam bentuk cair dibutuhkan teknik sederhana dan tidak mahal, (2) Timbal merupakan
logam lunak, sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk, (3) Sifat kimia timbal
menyebabkan logam tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan
udara lembab (Fardiaz 1992).
Timbal dalam tanah dapat dibedakan antara timbal yang berasal dari
pencemaran dengan timbal yang terdapat secara alami. Jumlahnya berkisar 2-200 ppm
dengan kandungan rata-rata 16 ppm. Akibat aktifitas manusia terutama kendaraan
bermotor dan industri yang menggunakan bahan bakar mengandung timbal telah
meningkatkan jumlahnya di lapisan permukaan tanah, sehingga mencapai 1600-2400
ppm (NAS 1972). Partikel timbal sebagai salah satu logam berat berbahaya dalam
tanah dapat berasal dari aktivitas penambangan, pertanian, limbah pupuk, bahan bakar,
industri metalurgi, elektronik, bahan-bahan kimia dan industri manufaktur lainnya.
Sedangkan konsentrasi total logam berat dalam tanah bersumber dari bahan induk
tanah, deposisi atmosfirik, penumpukan sampah-sampah organik dan pencemar
anorganik, dikurangi kehilangan melalui serapan tanaman, pencucian dan volatilisasi
Konsentrasi Pb dalam tanaman mempunyai pola yang sama seperti yang terjadi
dalam tanah. Timbal merupakan unsur yang tidak esensial bagi tanaman. Masuknya
timbal ke dalam jaringan daun melalui proses penyerapan pasif. Penyerapan terjadi
karena partikel timbal di udara, jatuh dan mengendap pada permukaan daun.
Permukaan daun yang lebih kasar, berbulu, dan lebar akan lebih mudah menangkap
partikel dari pada permukaan daun yang halus, tidak berbulu dan sempit. Tingkat
akumulasi timbal pada vegetasi dan di tanah akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kepadatan arus lalu lintas, dan menurun dengan bertambahnya jarak dari
tepi jalan raya. (Harahap 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa timbal terakumulasi di
dinding dan di dalam sel xilem penyusun tulang daun, di dalam sel penyusun jaringan
bunga karang. Timbal juga menyebabkan terjadinya penurunan kerapatan stomata,
tebal daun, bunga karang, dan penurunan kandungan klorofil.
Toksisitas Timbal (Pb)
Toksisitas didefinisikan sebagai efek berbahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat
atau bahan atau senyawa pada organ yang dijadikan sasaran. Ada beberapa istilah
dalam pengkajian toksisitas yaitu toksisitas akut, sub akut dan kronis (Lu 1995).
Selanjutnya Soemirat (2005) menyatakan bahwa toksisitas adalah kemampuan racun
(molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi
organ yang rentan terhadapnya.
Toksisitas akut adalah pengaruh merugikan yang timbul segera setelah
pemberian dosis tunggal dari suatu zat atau bahan atau senyawa atau pemberian dosis
berulang dalam waktu 24 jam. Ada beberapa cara untuk pengujian toksisitas akut yaitu
oral, parenteral, inhalasi, kulit dan mata. Pengertian sub-akut adalah percobaan atau
penyelidikan toksisitas dari suatu zat dengan pemberian dosis berulang dalam jangka
pendek. Biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang
lebih 10% dari masa hidup hewan percobaan. Beberapa peneliti menggunakan jangka
waktu yang lebih pendek misalnya pemberian zat selama 14 dan 28 hari. Pengujian
toksisitas kronis adalah pengujian yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang,
dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang selama masa hidup hewan
percobaan atau sekurang-kurangnya sebagian besar hidupnya, misalnya 18 bulan
sampai 24 bulan (Lu 1995).
Timbal merupakan penyebab utama kejadian keracunan logam berat pada
seperti PbBrCl ke dalam bensin sebagai pelumas katup mesin. Ternyata kendaraan
bermotor yang menggunakan bensin bertimbal itu mengemisikan Pb ke udara, dan
kemudian masuk kedalam tubuh ternak melalui pernafasan dan pori-pori kulit (NRC
2001). Selain itu, dalam tanah yang mengalami erosi berat, kandungan Pb
kemungkinan besar tinggi. Dengan demikian adanya Pb di dalam pakan ternak
merupakan hal yang sering terjadi (Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan Al, Pb dan Cd beberapa sumber pakan ternak
Kandungan Mineral Toksik Pakan (mg/kg) Pakan
Aluminium (Al) Timbal (Pb) Cadmium (Cd)
Daun kelapa sawit 334 3.99 0.12
Pucuk Tebu 394 0.53 0.05
Sabut sawit 793 7.15 0.09
Lumpur sawit 2035 4.05 0.14
Bungkil inti kelapa sawit 129 0.21 0.02
Onggok 100 0.32 0.134
Bungkil kedelai 0 0.11 0.034
Jagung 149 1.60 0.033
Dedak gandum 50 0.11 0.081
Timbal (Pb) sangat berbahaya bagi ternak, walaupun yang diserab oleh ternak
jumlahnya kecil. Namun demikian logam tersebut berpotensi untuk berakumulasi dalam
tubuh ternak sehingga dalam jangka panjang dapat meracuni ternak. Organ-organ yang
terganggu antara lain sistem saraf, sistem gastrointestinal, hati dan ginjal. Sifat
neurotoksik Pb antara lain disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk komplek
dengan gugus karboksil (-COO-), gugus amino (-NH3-) dan sulfhidril (-SH) asam amino,
protein dan enzim (Bernal et al. 1997), enzim yang bersangkutan akan mengalami denaturasi. Salah satu akibatnya adalah rusaknya homeostasis Ca sehingga kinerja
saraf terganggu. Bogden et al. (1992) memperlihatkan bahwa peningkatan pemberian 0, 50 dan 100 mg/L Pb ke dalam air minum tikus yang disertai dengan pemberian 0.1,
0.5 dan 2.5% Ca dalam ransum menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan berikut :
Pb darah meningkat sejalan dengan meningkatnya pemberian Pb ke dalam air minum,
namun peningkatan itu dapat dikurangi secara signifikan bila kadar Ca ransum
ditingkatkan. Konsentrasi Pb dalam pakan yang dapat mengakibatkan keracunan kronis
pada ternak ruminansia menurut Fahey (1987) adalah sebagai berikut : pada anak sapi
6 ppm, sapi dewasa 7 ppm, domba 4.5 ppm. Sedangkan konsentrasi Pb yang
mengakibatkan keracunan akut pada anak sapi sekitar 400-600 ppm, dan pada sapi
Timbal masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga saluran yaitu saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan melalui kulit. Dari sejumlah timbal yang masuk
melalui saluran pencernaan, hanya 8-12 persen yang akan diabsorsi meskipun preparat
dalam bentuk garam yang larut. Sebagian besar absorsi terjadi di usus halus dan
sedikit di usus besar, sedangkan di dalam lambung tidak ada penyerapan . Diketahui
pula bahwa penyerapan timbal melalui saluran pernafasan mencapai 30-50 persen
dengan waktu lebih cepat dari pada penyerapan melalui saluran pencernaan. Timbal
yang masuk dan ditahan dalam tubuh akan terakumulasi di hati, ginjal dan tulang.
Akumulasi juga terjadi di limpa, pankreas dan paru-paru. Timbal terakumulasi di tingkat
seluler dalam inti sel, mitokondria dan mikrosom. Timbal diekskresikan terutama melalui
urin dan feses serta sedikit melalui keringat.
Masuknya timbal ke dalam tubuh akan meningkatkan kandungan timbal dalam
darah yang apabila melebihi nilai ambang batas dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan. WHO telah menetapkan nilai ambang batas timbal di dalam darah manusia
sebesar 40 mg per 10 ml darah (Soemarwoto 1985). Orang normal dengan intake 0.6
mg timbal sehari dalam jangka waktu yang lama dapat menderita keracunan. Intake
timbal lebih besar dari 0.6 mg per hari menyebabkan akumulasi dan gejala keracunan
lebih cepat. Misalnya intake 1 mg per hari dapat menyebabkan keracunan dalam
jangka waktu 8 tahun; 2.5 mg per hari memerlukan waktu 4 tahun; sedangkan intake 3.5
mg per hari dapat mengakibatkan keracunan dalam jangka waktu beberapa bulan.
Pembahasan tentang timbal biasanya dihubungkan dengan aktivitas racunnya
dan bukan karena pentingnya dalam metabolisme tubuh. Kelebihan timbal pada
manusia secara spesifik akan mempengaruhi metabolisme sel darah merah dengan
cara menghambat 2 enzim dalam biosintesis heme yaitu δ-aminolevulinate dehydratase
dan ferrochelatase yang menempatkan Fe+2 dalam cincin porfirin, sehingga
menimbulkan penyakit anemia. Timbal juga berpengaruh terhadap ATPase tertentu,
respirasi mitokondria sangat tertekan, eritrosit cenderung mengakumulasi timbal dan
menyebabkan mudah pecah dan selanjutnya mengakibatkan terjadinya anemia. Sel-sel
tubuli ginjal ternyata merupakan target pengrusakan oleh timbal dengan cara
mengganggu resorpsinya sehingga akan menyebabkan glukosuria dan aminoasiduria.
Kapasitas ginjal dalam mengaktifkan vitamin D (25-OH kolekalsiferol menjadi 1,25-di-OH
kolekalsiferol) juga dipengaruhi, hal ini terlihat pada kerusakan ginjal menyebabkan
Mineral timbal sangat berbahaya bagi tubuh, walaupun yang diserap oleh tubuh
dalam jumlah sedikit. Hal ini disebabkan oleh senyawa-senyawa Pb yang dapat
memberikan efek racun terhadap banyak fungsi organ tubuh. Organ-organ yang
dipengaruhi antara lain sistem saraf, sistem gastrointestinal, hati dan ginjal. Gangguan
pada sistem saraf mengakibatkan kelelahan, sakit kepala, tremor, halusinasi,
kemunduran intelektual, hydrocephalus dan kebutaan. Kelebihan juga dapat
mengakibatkan penumpukan Pb dalam gusi atau gusi menjadi berwarna hitam
keunguan, kulit menjadi pucat dan kehilangan berat badan (Cassarett dan Doul 1975).
Sedangkan keracunan timbal yang akut pada manusia dapat mengakibatkan
terbakarnya mulut, terjadinya perangsangan dalam sistem gastrointestinal yang disertai
diare. Keracunan yang kronis dapat mengakibatkan anemia, mual, sakit disekitar perut
serta kelumpuhan (Hamidah 1980).
Timbal juga berpengaruh terhadap sistem reproduksi yaitu terjadi penurunan
dalam ukuran, hambatan pada pertumbuhan janin dalam rahim dan setelah dilahirkan
(Fardiaz 1992). Kandungan Pb pada darah tikus diatas 30 µg/100ml berpengaruh
terhadap jumlah sperma dan testicural atropi pada tikus jantan , serta terhadap siklus
estrus pada tikus betina (Chowdhury et al. 1984). Kadar Pb darah antara 40-50 µg/100 ml pada pria menyebabkan disfungsi gonad termasuk penurunan jumlah sperma
(Assennato 1986).
Pengaruh timbal pada otak, mengakibatkan hiperaktivitas dan masalah kelainan
sifat pada anak, serta keterbelakangan intelektual (Underwood 1977). Anak kecil lebih
sensitif terhadap timbal atau keracunan, karena mempunyai kapasitas penyerapan yang
lebih besar. Hal ini banyak menimpa anak-anak yang kurang mampu di kota besar yang
secara tidak langsung mengkonsumsi timbal melalui mainan atau menelan bekas-bekas
cat dari dinding yang banyak mengandung timbal. Bila timbal sudah masuk dalam tubuh
akan didistribusikan melalui darah dan hampir semua ada di dalam eritrosit. Hampir 90
persen timbal dideposit dalam tulang, jaringan lemak terutama hati dan ginjal.
Kerusakan hati mengindikasikan adanya penyimpangan biokimia darah.
Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia
Pencernaan merupakan rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang
dialami oleh bahan makanan di dalam alat pencernaan. Proses pencernaan makanan
ternak lainnya. Menurut Sutardi (1980) proses pencernaan makanan pada ternak
ruminansia terjadi secara mekanis atau didalam mulut, secara fermentatif oleh
enzim-enzim pencernaan hewan induk semang. Lokasi proses pencernaan fermentatif
bervariasi antar jenis ternak, dan hal ini akan menentukan karakteristik pakan yang
sesuai untuk jenis ternak yang bersangkutan.
Organ sistem pencernaan ternak ruminansia terdiri dari 4 bagian penting yaitu
mulut, perut, usus halus dan organ pencernaan bagian belakang. Perut ternak
ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum atau perut jala, rumen dikenal
dengan perut beludru, omasum atau perut buku, dan abomasums atau perut sejati.
Dalam sudut pandang fisiologi sistem pencernaan ruminansia, rumen dan retikulum
sering dikenal sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum dikenal
sebagai perut buku karena dipenuhi oleh lembaran jaringan sekitar 100 lembar. Fungsi
omasum belum diketahui secara jelas, namun demikian pada organ ini terjadi
penyerapan air, amonia, asam lemak atsiri atau VFA dan elektrolit, serta ada produksi
amonia dan mungkin juga produksi VFA (Forbes dan France 1993). Organ sistem
percernaan ruminansia bagian belakang terdiri dari sekum, kolon dan rektum, yang
diduga mempunyai aktivitas fermentasi. Aktivitas fermentasi ini belum banyak
terungkap karena terletak pada bagian setelah organ penyerapan utama.
Proses pencernaan fermentatif di dalam organ retikulorumen terjadi sangat
intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar. Hal ini sangat menguntungkan karena
pakan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap.
Ternak ruminasia akan mampu memanfaatkan pakan dalam jumlah lebih banyak dan
lebih efisien. Sebaliknya pada ternak kuda, babi dan kelinci proses pencernaan
fermentatif terjadi setelah usus halus, yaitu di organ sekum. Oleh karena itu kelompok
ternak ini menuntut bahan pakan yang lebih bermutu atau rendah kadar seratnya
dibandingkan dengan pakan ternak ruminansia.
Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang dikenal
dengan istilah memamah biak atau ruminasi. Pakan berserat atau hijauan yang
dimakan ditahan untuk sementara waktu di dalam rumen. Pada saat ternak beristirahat,
pakan dari dalam rumen lalu dikembalikan ke mulut atau dikenal dengan proses
regurgitasi untuk dikunyah kembali atau proses remastikasi, dan selanjutnya pakan akan
ditelan kembali atau proses redeglutasi. Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh
enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam
dan penyerapan nutrient. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk
pergerakan digesta meninggalkan retikulorumen ke organ pencernaan dibelakangnya.
Mikroorganisme Rumen
Didalam rumen terdapat empat jenis mikroorganisme seperti fungi, protozoa,
bakteri dan virus. Berbagai jenis mikroorganisme tersebut memiliki produk fermentasi
intermedier dan produk fermentasi akhir yang bermacam-macam, sehingga
menyebabkan kehidupan di dalamnya menjadi sangat kompleks (Preston dan Leng,
1987).
Bakteri didalam rumen merupakan bakteri yang paling banyak jenis dan lebih
beragam macam substratnya. Bakteri di dalam rumen mempunyai populasi yang paling
besar yaitu sekitar 1010-101 1 per gram isi rumen (Yokohama dan Johnson 1988).
Berdasarkan substrat yang difermentasi, bakteri dapat dikelompokkan sebagai bakteri
selulolitik (Fibrobacter succinogenes, Ruminococcusalbus, Butyrivibrio fibrisolvens),
bakteri hemiselulolitik (Butyrivibrio fibrisolvens, Prevotella ruminicola, Ruminococcus sp); bakteri amilolitik (Bacteriodes amilophylus, B. fibrisolvens, Succinomonas amylolytica, Streptococcus bovis, Lactobacillus albus, Prevotella ruminicola), pencerna gula (Lactobacillus ruminis), bakteri laktilitik (Selenomonas ruminantium, Megasphaera elsdenii, Anaerovibrio, Propionic bacterium), bakteriproteolitik (Ruminobacter amylophylus, Prevotella ruminicola, Butyrivibriofibrisolvens, Streptococcus bovis). Disamping bakteri di atas masih ada bakteri lain yaitu bakteri penghasil metan
(Methanobrevibacter ruminantium, Methanobacterium formicicum, Methanobacterium mobile) dan bakteri-bakteri ureolitik (Succinivibrio dextrinosolvens, Selonomonas sp, Prevotella ruminicola, Ruminicoccus bromii, Butyrivibrio sp, Treponema) (Hungate 1966; Sutardi 1977; Ogimoto dan Imai 1981; Yokohama dan Johnson 1988).
Proses fermentasi ransum yang dilakukan oleh mikroba rumen menghasilkan
asam lemak volatil (Volatile Fatty Acid atau VFA) yang telah diketahui merupakan
sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Sumbangan energi yang berasal dari
asam lemak volatil dapat mencapai 60-80 persen dari kebutuhan energi pada ternak
ruminansia (Ensminger et al. 1990). Adapun yang termasuk dalam asam lemak volatil (VFA) rumen adalah asam asetat (CH3COOH), asam propionat (CH3CH2COOH), asam
butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat (CH3(CH2)3COOH) dan asam lemak rantai
cabang ini berasal dari katabolisme protein. Selain itu fermentasi juga menghasilkan
produk gas meliputi gas CO2, gas CH4 dan gas hidrogen (Czerkawski 1986).
Stokiometri reaksi fermentasi karbohidrat (heksosa) oleh bakteri menjadi tiga
produk fermentasi utama dalam rumen dapat disederhanakan sebagai berikut (Orskov
dan Ryle 1990) :
C6H12O6 + H2O 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2
C6H12O6 + 2H2 2 CH3CH2COOH + 4 H2O
C6H12O6 CH3(CH2)2COOH + 2CO2 + 2H2
4H2 + CO2 CH4 + 2H2O
Dari reaksi stokiometri di atas tampak jelas bahwa pada proses sintesis asam
asetat banyak dihasilkan gas hidrogen. Demikian pula halnya pada proses sintesis
asam butirat. Sebaliknya pada proses sintesis asam propionat, gas hidrogen banyak
yang digunakan. Gas hidrogen dan gas CO2 merupakan prekusor untuk sintesis gas
metan. Gas metan sesungguhnya tidak bermanfaat bagi induk semang. Berdasarkan
proses tersebut maka pola fermentasi mikroba rumen yang mengarah pada sintesis
asam propionat jelas akan lebih menguntungkan daripada efisiensi penggunaan energi
pakan, karena dengan demikian produksi gas metan akan cenderung berkurang (Russel
dan Hespell 1981). Pada kondisi pola produksi VFA utama cairan rumen 65 persen
asetat, 25 persen propionat dan 10 persen butirat, maka energi yang berasal ransum
dalam bentuk VFA sekitar 75 persen. Sedangkan sisanya akan muncul gas metan 12.4
persen, panas fermentasi 6.4 persen dan sekitar 6.2 persen dimanfaatkan oleh mikroba
rumen sebagai sumber enrgi dalam bentuk ATP (Clark dan Davis 1983).
Berbeda dengan bakteri, protozoa didalam rumen mempunyai populasi lebih
sedikit yaitu 105-106 cacahan sel per mili isi rumen (Yokohama dan Johnson, 1988),
akan tetapi dari segi jumlah biomassa serta ternyata cukup besar karena ukuran
protozoa lebih besar dari bakteri. Produk yang dihasilkan protozoa adalah asam asetat,
asam butirat, asam laktat, gas CO2 dan gas hidrogen. Protozoa lebih menyukai substrat
yang fermentable seperti pati, gula dan bakteri (Russell dan Hespell 1981).
Populasi protozoa rumen umumnya didominasi oleh spesies ciliata. Spesies
flagellate biasanya banyak terdapat pada anak sapi (pedet), sebelum populasi ciliata
berkembang dengan pesat. Spesies ciliata dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu holotrika (cilia ada disekitar tubuhnya) dan oligotrika (cilia hanya ada disekitar
mulut). Kelompok holotrika memiliki morfologi yang sederhana, meliputi Isotricha dan
oligotrycha yang meliputi spesies Entodinium, Epidinium, Diplodinium dan Ophyroscolex
memiliki aktifitas selulolitik (Russell dan Hespell 1981; Bird et al. 1990)
Pada akhir-akhir ini studi tentang mikroba rumen mulai tertarik untuk mempelajari
peranan fungi anaerob misalnya Neocallimastic frontalis, Sphaeromonas communis dan
Piromonas communis. Kehadiran fungi di dalam rumen telah diakui sangat bermanfaat bagi kecernaan fraksi serat dalam pakan. Rhizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding
sel serat dalam pakan. Fungi dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa
partikel pakan. Fungi dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa partikel
pakan. Rhizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel serat tanaman, sehingga
dapat memberikan akses bagi bakteri dan enzim selulasenya untuk mencerna serat.
Dengan cara demikian fungi menjadi pelopor dalam aktifitas seluloltik pada pakan serat
(Fonty et al. 1990).
Pencernaan Nutrien Pada Ternak Ruminansia
Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrient seperti karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral. Ransum pertama kali mengalami pencernaan
secara mekanik di dalam mulut, kemudian masuk kedalam retikulum dan rumen untuk
dicerna secara fermentatif. Hasil pencernaan fermentatif berupa VFA (Volatile Fatty Acid), NH3, CH4, dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya pakan yang tidak tercerna disalurkan abomasum dan dicerna secara
hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan seperti halnya terjadi pada hewan monogastrik
(Sutardi 1981).
Karbohidrat ransum di dalam rumen mengalami 3 tahap pencernaan oleh
enzim-enzim yang dihasilkan mikroba rumen (Gambar 1). Komponen karbohidrat berupa
selulosa, hemiselulosa, pektin, pati, fruktan dan sukrosa mengalami perubahan menjadi
bentuk yang lebih sederhana. Selulosa dan hemiselulosa akan mengalami hidrolisis
oleh enzim â-1-4-glukosidase yang dihasilkan oleh mikroba menjadi sakarida sederhana
seperti heksosa, pentosa, selobiosa (pencernaan tahap I). Sementara karbohidrat yang
lain seperti pati, fruktan dan sukrosa akan dicerna menjadi maltosa dan glukosa. Hasil
pencernaan di atas segera memasuki tapak jalan glikolisis Embden-Meyerhoff untuk
mengalami pencernaan lebih lanjut menghasilkan piruvat (pencernaan tahap II).
Pada tahap pencernaan selanjutnya piruvat diubah menjadi VFA yang terdiri atas
asetat, butirat, dan propionat (tahap III). Asetat dihasilkan melalui dua jalan yaitu yang
asetil fosfat, selanjutnya menjadi asetat. Jalan yang kedua yaitu langsung dari piruvat
diubah menjadi asetil fosfat dan format. Format yang terbentuk oleh Methanobacterium
diurai menjadi CO2 dan H2 yang selanjutnya dihasilkan metan. Pembentukan propionat
juga dapat melalui dua jalur yaitu jalur laktat atau akrilat dan jalur suksinat (Collier 1985;
Arora 1989).
Fruktan Sukrosa
Pati
Selulosa
Hemiselosa Pektin
Maltosa Isomaltosa Selubiosa
I
Fruktosa
G l u k o s a
Pentosa
Glukosa-6-fosfat
Fruktosa-6-fosfat
II
Fruktosa-1-6-difosfat
Piruvat
Format
Asetil-CoA
Laktat
Oksaloasetat
Asetil- fosfat
Akrilik-CoA
Suksinat
III
CO
2+H
2CO
2+H
2Butiril-CoA Propionil Co-A
Metan Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 1. Jalur pencernaan karbohidrat dalam rumen (Collier 1985)
Produk akhir berupa VFA dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai
sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorsi melalui epitel
rumen dan masuk kesirkulasi darah, dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi
sirkulasi darah dan dibawa ke hati bersama asetat dikonversi menjadi asam beta
hidroksi butirat (â-hydroxybutyric acid / BHBA) di dalam epitil rumen. Asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan digunakan oleh jaringan sebagai sumber
energi melalui siklus asam sitrat dan sebagai substrat lipogenesis lemak susu,
sedangkan propionat untuk glukonegenesis dan lipogenesis lemak tubuh (Forbes dan
France 1993).
Urea, NPN Protein
Rumen
Oligopeptida
NH3 Asam Amino
Asam Keto-á
VFA
Protein Mikroba
Usus Protein Mikroba Asam keto- á Protein
Asam amino Oligopeptida
Gambar 2. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen
Sumber protein untuk ruminansia dari protein ransum maupun non protein nitrogen
(NPN). Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan
peptida dan asam-asam amino. Produk ini akan mengalami katabolisme lebih lanjut
atau deaminasi sehingga dihasilkan amonia (NH3). Amonia asal perombakan ransum
sangat besar kontribusinya terhadap pool amonia rumen. Proses proteolitik dan
deaminasi asam-asam amino menghasilkan amonia diduga bersifat konstitutif, artinya
tidak ada kontrol metabolik. Degradasi protein dan deaminasi terhadap asam amino
akan terus berlangsung, walaupun telah terjadi akumulasi ammonia yang cukup tinggi di
dalam rumen (Sutardi 1977). Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan
oleh beberapa bakteri rumen untuk sintesis protein. Dari kenyataan ini maka
suplementasi urea dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan amonia.
Konsentrasi amonia yang optimal dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba
rumen. Menurut Satter dan Slyter (1974) konsentrasi amonia yang dibutuhkan sekitar
50 mg per liter atau 3.57 mM, atau sekitar 4 sampai 12 mM (Sutardi 1979). Sedangkan
menurut Erwanto et al. (1993) mendapatkan kadar amonia yang optimum sekitar 7-8 mM. Amonia yang diproduksi tidak semua digunakan untuk sintesis protein mikroba,
sebagian diserap oleh dinding rumen, masuk kedalam sirkulasi portal dan dibawa ke hati
untuk selanjutnya diubah menjadi urea dan masuk ke sirkulasi darah.
Sumbangan protein asal mikroba rumen berkisar 40 sampai 80 persen (Sniffen
dan Robinson 1987), sedangkan sumbangan energi asal VFA berkisar 60 sampai 80
persen (Ensminger et al. 1990). Pada ternak yang berproduksi tinggi, pasokan protein asal mikroba saja tidak cukup, sehingga harus diberi protein dari pakan.
Lemak ransum di dalam rumen akan mengalami dua proses yang sangat penting
yaitu lipolisis dan hidrogenasi. Lemak mengalami lipolisis oleh enzim lipase mikroba
sehingga menghasilkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid, FFA), gliserol dan galaktosa. Gliserol dan galaktosa difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan VFA
terutama propionat, sedangkan FFA dengan cepat akan dihidrogenasi oleh mikroba
menjadi produk akhir berupa asam lemak jenuh (Preston dan Leng, 1987). Pada proses
hidrogenasi terjadi perubahan asam lemak tidak jenuh C18 seperti oleat, linoleat dan
linolenat menjadi stearat. Sedangkan asam lemak tidak jenuh berantai panjang lebih
dari C18 seperti arakhidonat, eikosa pentaenoat (EPA) dan dokosa heksaenoat (DHA) di
dalam rumen tidak mengalami hidrogenasi (Ashes et al. 1992).
Lipolisis pada beberapa lemak ransum terjadi sangat cepat di dalam rumen,
seperti yang dilaporkan Immig et al. (1993) tentang lipolisis minyak kedelai di rumen domba mencapai 90 persen selama satu jam setelah introduksi, dan dirumen sapi
mencapai 85-90 persen (Bauchart et al. 1990). Lipolisis menurun pada ransum berprotein rendah, atau berkadar pati atau sukrosa tinggi. Menurunnya lipolisis tersebut
berhubungan dengan turunnya pH rumen. Van Nevel dan Demeyer (1995) melaporkan
bahwa lipolisis minyak kedelai pada percobaan in vitro dengan pH 5.25 sangat lambat akibat terhambatnya mikroba lipolitik.
Asam lemak rantai pendek (C2-C14) dan VFA hasil pencernaan lemak langsung
diserap oleh dinding rumen, sedangkan penyerapan asam lemak jenuh rantai panjang
mukosa usus dan diubah menjadi triasilgliserol dan membentuk kilomikron. Kilomikron
dibebaskan kedalam jaringan limfe dan masuk peredaran darah untuk ditranspor ke
dalam sel jaringan yang membutuhkan yaitu jaringan perifer dan adipose (Collier 1985),
sisanya yang tidak diserap bersama-sama dengan hasil pencernaan karbohidrat dan
protein dibawa ke hati melalui sistem porta untuk dimetabolisasi lebih lanjut.
Mineral Proteinat (Mineral Organik)
Pembuatan mineral proteinat dapat menggunakan yeast sebagai senyawa
pengikat mineral. Mineral proteinat merupakan salah satu bahan yang dapat berperan
sebagai probiotik dan sebagai sumber mineral. Bahan ini berupa inokulum padat, yang
mengandung berbagai jenis kapang, kamir, dan bakteri yang mampu menghidrolisis
pati. Menurut Siti (1996) ragi tape mengandung beberapa jenis kapang yaitu
Chlamidomucor oryzae, Rhizopus oryzae, Mucor sp, sedangkan dari khamir adalah
Saccharomyces cereviceae, Saccharomyces verdomanni, Candida dan Hensenula.
Dari mikroba tersebut yang terpenting adalah Rhizopus, Mucor sp, dan Saccharomyces cereviceae.
Penggunaan kultur ragi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan
maupun produktivitas ternak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Menurut Wallace dan
Newbold (1993) penggunaan Saccharomyces cereviceae pada ruminansia adalah dalam level rendah (<1% dari DM pakan) untuk sapi laktasi. Martin dan Nisbet (1992)
menyatakan bahwa penggunaan Saccharomyces cereviceae pada ruminansia umumnya berkisar 3-110 g/ekor/hari. Selanjutnya dikatakan bahwa penambahan
Saccharomyces cereviceae secara in vitro dapat meningkatkan jumlah bakteri selulolitik, total VFA, dan NH3 cairan rumen. Menurut Wiedmeier et al. (1987) penggunaaan
Saccharomyces cereviceae 90 g/ekor/hari dapat meningkatkan VFA total, NH3 cairan rumen, total bakteri, bakteri selulolitik, kecernaan bahan kering, kecernaan protein,
kecernaan serat kasar dan kecernaan hemiselulosa.
Saccharomyces cereviceae adalah feed suplemen yang kaya vitamin, enzim, zat-zat makanan lain seperti karbohidrat dan protein (Dawson 1993). Pemanfaatan
Saccharomyces cereviceae untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan berserat tinggi dapat dijelaskan sebagai berikut, kultur ragi (Saccharomyces cereviceae) dapat memanfaatkan O2 sehingga keadaan rumen menjadi anaerob, yang dapat merangsang
pertumbuhan bakteri rumen tertentu. Dengan meningkatnya bakteri dalam rumen maka
optimum yang kemudian dapat meningkatkan populasi mikroba. Meningkatnya populasi
mikroba juga dapat menyebabkan peningkatan pemanfaatan amonia, peningkatan
kecernaan serat dan peningkatan sintesa protein mikroba. Peningkatan kecernaan
serat dan pembentukan mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus
lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dimakan dan pasokan
substrat ke usus halus dan akhirnya dapat meningkatkan produksi ternak (Wallace
1994).
Untuk meningkatkan produksi ternak dilakukan dengan pendekatan
suplementasi mineral organik yaitu mineral yang berikatan dengan ligand (pengikat).
Mineral organik memiliki keutamaan karena lebih mudah larut dan lebih mudah diserap
(Georgievskii 1982; McDowell 1997) serta bebas dari gangguan antagonisnya (Chase et al. 2000; Bailey et al. 2001). Masalah mineral ini terkait dengan lingkungan yang mengalami kerusakan vegetasi akibat penataan lingkungan yang kurang baik sehingga
terjadi pengikisan mineral esensial dari tanah karena banjir. Untuk mengatasi
kekurangan mineral esensial pada ternak maka dilakukan suplementasi. Suplemen
mineral ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim terkait sehingga dapat
meningkatkan produksi dan juga meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen (Sutardi
2002).
Mineral Seng (Zn)
Kandungan mineral seng pada hijauan di Indonesia umumnya relative rendah.
Hal ini didasarkan laporan Little (1986), kandungan seng pada pakan ruminansia
berkisar antara 20 sampai 38 mg per kg bahan kering. Padahal kebutuhan seng bagi
ternak ruminansia sekitar 40-50 mg per kg dan untuk mikroorganisme rumen cukup
tinggi yaitu sekitar 130-220 mg per kg (Hungate 1966). Dengan demikian bisa
diperkirakan bahwa ternak yang dipelihara di Indonesia berpotensi mengalami
defisiensi seng.
Defisiensi Zn pada ternak berdampak luas terhadap performans produksi dan
reproduksi seperti (1) pertumbuhan akan lambat karena biosintesis asam nukleat dan
penggunaan asam amino atau sintesis protein terganggu, (2) spermatogenesis dan
produksi testoteron oleh sel leydig yang abnormal atau hipofungsi testikuler pada hewan
jantan karena gagalnya pertumbuhan testis, (3) parakeratosis atau hiperkeratinisasi kulit
usus, (4) menurunnya berat thymus dan sirkulasi limposit yang berpengaruh terhadap
berbagai fungsi sel-T (McDowell 1992).
Seng merupakan kofaktor pada lebih dari 70 macam enzim (Berdanier 1998),
enzim tersebut banyak terlibat dalam proses metabolisme dan penting untuk menjaga
stabilitas dan integritas biomembran. Sebagai bagian dari sistem enzim, mineral Zn
berperan banyak dalam metabolisme kerbohidrat, sintesis protein, dan metabolisme
asam nukleat (NRC 1988).
Penyerapan Zn dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain, kadar dan
bentuk Zn dalam ransum (Underwood 1977). Komponen pakan seperti fitat, kalsium,
fosfor, tembaga, cadmium dan kromium dapat menurunkan penyerapan Zn, sedangkan
kasein, ekstrak hati, minyak jagung, tepung darah, asam etilendiaminasetat (EDTA),
sitrat, pikolinat, vitamin D, asam amino (histidin, sistein dan asam glutamate) dapat
meningkatkan penyerapan Zn (McDowell 1992).
Peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan suplementasi mineral
esensial yang defisien. Masalah mineral ini terkait dengan lingkungan yang mengalami
erosi yang disebabkan oleh banjir. Little (1986) melaporkan bahwa kandungan seng (Zn)
pada pakan ruminansia berkisar antara 20 dan 38 mg.kg-1 bahan kering. Padahal kebutuhan
Zn bagi bagi ruminansia berkisar antara 40 dan 50 mg.kg-1, dan kebutuhan seng untuk mikroba
rumen yaitu antara 130 dan 220 mg kg-1 (Arora 1989). Dengan demikian secara alami
ternak-ternak yang dipelihara di Indonesia berpotensi terjadi defisiensi Zn. Apabila defisiensi Zn terus
berlanjut dapat menyebabkan parakeratosis pada jaringan usus yang pada akhirnya
produktivitas ternak menjadi rendah.
Mineral Tembaga (Cu)
Ternak ruminansia membutuhkan Cu untuk keperluan sejumlah enzim yang
terlibat dalam beberapa fungsi diantaranya (1) Oksidase sitokrom, berperan pada
transport elektron selama respirasi aerob, (2) oksidase lisil, berperan dalam
mengkatalisis pembentukan ikatan silang desmosine di dalam kolagen dan elastin untuk
memperkuat tulang dan jaringan ikat, (3) seruloplasmin berperan dalam penyerapan dan
transport Fe yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin, (4) tirosinase, berperan dalam
meproduksi pigmen melanin, dan (5) dismutase superoksidase (SOD) berperan dalam
perlindungan sel terhadap efek racun dari pengaruh metabolit oksigen yang penting
Bagi ternak ruminansia mineral digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan
juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi
defisiensi salah satu mineral maka aktivitas fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum
sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak. Beberapa faktor yang
menyebabkan rendahnya ketersediaan mineral, di antaranya adalah akibat antagonisme
dengan kation lain seperti Cu++ dan Pb++ (Davis dan Mertz 1987; McDowell 1992).
Secara umum tembaga (Cu) sangat sedikit diserap oleh ternak. Pada kebanyakan
ternak, Cu pakan diserap tidak lebih dari 5-10% oleh ternak dewasa, dan ternak muda sekitar
15-30%, dan hanya 1-3% diserap oleh ruminansia (McDowell 1992). Cu dibutuhkan untuk
respirasi seluler, formasi tulang, kerja jantung, perkembangan jaringan penghubung,
keratinisasi, dan pigmentasi jaringan. Cu merupakan komponen dari beberapa metaloenzim
yang penting seperti oksidase sitokrom, oksidase lisin, dismutase superoksida,
dopamin-â-hidroksilase, dan tirosinase.
Ketersediaan Cu yang berasal dari Cu anorganik dan Cu organik memberikan
respon terhadap ternak berbeda-beda. Kincaid et al. (1986) melaporkan bahwa ketersediaan Cu pada Cu proteinat lebih besar dari pada CuSO4 bagi anak sapi sedang
tumbuh dengan ransum hay alami. Kadar Cu dalam usus halus domba yang diberi Cu
proteinat lebih tinggi dibandingkan dengan CuSO4. Hal tersebut mungkin disebabkan
oleh pembentukan komplek Cu metallothionein lebih tersedia Cu proteinat dibandingkan
dari sumber CuSO4. Selanjutnya domba yang diberi Cu proteinat memiliki aktifitas
seruloplasmin lebih tinggi 23 persen dibandingkan Cu anorganik. Sedangkan
hematokrit, sel darah putih, Hb, dan Cu plasma tidak dipengaruhi oleh sumber Cu
(Eckert et al. 1999).
Mineral Kromium (Cr)
Status kebutuhan kromium (Cr) pada ternak belum diketahui secara pasti,
karena selalu berubah sesuai dengan kondisi ternak. Pada kondisi stres kebutuhan Cr
akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi cadangan Cr dalam tubuh akibat
peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan
glukosa pada otak, selanjutnya sebagian Cr itu akan dikeluarkan melalui urin (Burton
1995). Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan
cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm dalam bentuk CrCl3
(NRC 1988). Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga
Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan
dalam bentuk kompleks organik. Hal ini karena dalam bentuk anorganik Cr ditemukan
dapat meracuni terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+), walaupun tingkat
absorsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalent (Cr3+) yang tidak beracun sangat
sulit diserap. Dalam beberapa kasus Cr anorganik yang dikonsumsi lewat makanan 98
persen tidak diserap dan dikeluarkan lewat feses (Offenbacher et al. 1986). Sebaliknya ketersediaan Cr-organik cukup tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997).
Komplek organik Cr terdapat dalam bentuk chelate, Cr proteinat ragi (high
Cr-yeast) dan Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul
asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada
metabolisme triptofan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs 1992;
Groff dan Gropper 2000).
Kromium (Cr) menjadi unsur mikro yang esensial karena berhubungan dengan kerja
insulin. Dalam bentuk kompleks, Cr memfasilitasi interaksi jaringan antara insulin dan reseptor
insulin (Mertz et al. 1974). Menurut Kahn (1978), GTF-Cr (Glucose Tolerance Factor yang mengandung Cr), meningkatkan pengikatan insulin oleh reseptor pada membran sel sehingga
entri glukosa ke dalam sel meningkat. Peningkatan ini akan terjadi walaupun insulin rendah. Cr
ada yang bervalensi 3 (Cr +3) ada juga yang bervalensi 6 (Cr+6). Krom yang esensial adalah
Cr+3, namun sulit diserap, sedangkan Cr+6 mudah larut dan mudah diserap akan tetapi toksik.
Mengingat keadaan serba salah itu, maka satu-satunya jalan untuk memasok Cr+3 ke dalam
tubuh ternak ialah dengan memasoknya dalam bentuk ikatan dengan ligand organik (Sutardi
2002). Suplementasi Cr organik pada sapi perah menunjukkan peningkatan konsumsi, protein
susu, laktosa susu, lemak susu dan produksi susu (Muktiani 2002). Analisis darah pada jam 0,
3 dan 5 jam setelah makan terjadi peningkatan glukosa pada jam ke-3 dan menurun pada jam
ke-5. Keadaan ini sedikit banyak menunjukkan bahwa terjadi entri glukosa ke dalam sel. Hal ini
seiring dengan terjadinya peningkatan laktosa susu yang cukup tinggi. Untuk mengatasi
kekurangan mineral esensial pada ternak maka dilakukan suplementasi. Suplemen
mineral ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim terkait sehingga dapat
meningkatkan produksi dan juga meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen. Dalam
penelitian di laboratorium antara lain diperoleh petunjuk bahwa pemberian Cr pikolinat
sebesar 4 mg.kg-1 dapat mencapai pertumbuhan sapi 1.60 kg.hari-1. Berdasarkan
kandungan mineralnya serta ditingkatkan manfaatnya dengan suplemen-suplemen yang
bermanfaat bagi proses nutrisi protein.
Mineral Selenium (Se)
Selenium (Se) merupakan salah satu mineral yang mempunyai fungsi fisiologis
sebagai glutation peroksidase (GSH Px) berperanan dalam melindungi sel dan
subseluler dari kerusakan oksidatif dengan jalan mereduksi senyawa-senyawa
peroksida menjadi senyawa yang aman bagi sel. Peroksida ini terbentuk selama proses
metabolisme berlangsung. Glutation (GSH) adalah tripeptida yang mengandung tiga
asam amino yaitu glutamat, sistin dan glisin yang digunakan sebagai sumber asam
amino bersulfur (Baumrucker 1985). Disamping Se berperan sebagai anti oksidan,
mineral ini juga terlibat dalam sistem kekebalan, sehingga ketersediannya sangat
penting bagi ternak.
Kebutuhan selenium (Se) pada sapi perah 0.30 mg.kg-1 (NRC 2001). Penyerapan Se
tidak terjadi di dalam rumen atau abomasum. Absorpi terbesar terjadi di usus kecil (duodenum)
dan sekum (McDowell 1992). Selenium merupakan bagian integral dari enzim peroksidase
glutation yang fungsinya meredam peroksida. Dengan demikian Se merupakan salah satu
unsur pertahanan tubuh. Selain itu ada beberapa enzim yang juga aktivitasnya bergantung
pada Se. Salah satu di antaranya enzim deiodinase yang fungsinya mengubah T4
(tetraiodotironin) menjadi triodotironin (T3) yang merupakan bentuk aktif dari tiroksin. Hormon
tersebut mengatur metabolisme umum, karena itu dapat diharapkan bahwa suplementasi Se
akan meningkatkan produksi ternak dan menambah kekebalan tubuh (Sutardi 2002). Sapi
perah yang mengkonsumsi Se organik menghasilkan susu yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang mengkonsumsi Se anorganik (Awadeh et al. 1999). Penggunaan Se-proteinat pada sapi perah menunjukkan adanya kenaikan konsumsi, T3, sintesis protein susu, laktosa
susu, lemak susu dan produksi susu (Prayitno 2002).
Bentuk suplemen Se harus dipertimbangkan dalam penggunaannya, karena
sodium selenit yang biasa digunakan sebagai sumber Se diketahui bersifat merugikan.
Dengan valensi yang besar, Se dalam tubuh dapat mengikat protein, enzim dan hormon,
sehingga enzim menjadi tidak aktif (Mahan 1995). Disamping itu absorsi sodium selenit
kecenderungan rendah di dalam rumen dikarenakan tereduksi menjadi senyawa yang
Windisch et al. (1998) menyatakan bahwa secara umum Se organik dapat dideposisikan dalam jaringan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik. Bentuk
selenometionin dan selenosistein lebih mudah diabsorsi oleh ternak karena sel-sel tubuh
secara aktif memanfaatkannya sebagai nutrient organik. Dikemukakan lebih lanjut
bahwa suplementasi selenometionin menghasilkan konsentrasi Se yang tinggi pada
seluruh jaringan, dengan rataan peningkatannya 19 persen lebih tinggi dibandingkan
selenit. Hampir 75 persen Se dalam kapang merupakan selenometionin dan sisanya
berikatan dengan protein dan asam amino lainnya (Stone 1998).
Khitin dan Khitosan
Khitin merupakan biopolimer terbanyak kedua setelah selulosa yang berlimpah
dan tersebar di alam. Khitin termasuk komponen organik penting yang terdapat dalam
berbagai spesies binatang perairan, seperti pada kulit udang, cangkang rajungan
masing-masing sebesar 14-27 persen dan 13-15 persen bahan kering (Tsugita 1997).
Khitin merupakan biopolimer polisakarida dengan rantai lurus yang tersusun dari
2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin, monomer-monomer tersebut tersusun dengan
ikatan glikosidik â(1-4) dengan nama kimia poli-â(1-4)-N-asetil-D-glukosamin (Knorr
1994).
CH2OH CH2OH CH2OH O O O
O O
OH H OH H OH H
H HNCOCH3 H HNCOCH3 H HNCOCH3
Gambar 3. Struktur berulang khitin
Bentuk molekul khitin hampir sama dengan selulosa yaitu polisakarida yang
dibentuk dari molekul-molekul sederhana yang identik. Bedanya dengan selulosa
terletak pada gugus rantai C-2, dimana gugus hidroksil pada C-2 digantikan oleh gugus
asetil amino (NHCOCH3). Selulosa mengandung monomer glukosa yang terlihat dalam
bentuk â(1-4), sedangkan khitin mengandung monomer N-asetil-D-glukosamin (Ornum
Khitin tidak larut dalam air, basa, alkohol atau pelarut organik lainnya, tetapi
khitin dapat larut dalam larutan HCl pekat, H2SO4 pekat, asam fosfat 78-79 persen atau
asam format anhidrat (angka dan Suhartono 2000). Khitin mudah mengalami degradasi
secara biologis, tidak beracun, tidak beracun, dengan warna putih, berbentuk kristal
dengan berat molekul lebih dari 1.2x105 dalton (Knorr 1984).
Khitosan merupakan turunan khitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi
atau penghilangan gugus COCH3. Pemrosesan khitin dengan alkali akan menghasilkan
khitosan yang merupakan substansi heterogen dari proses deasetilasi. Dari sekian
banyak sumber khitosan hanya kulit udang dan rajungan yang sudah dimanfaatkan
secara komersial. Cangkang rajungan merupakan sumber utama dari industri yang
memproduksi khitin dan khitosan, karena cangkang rajungan relatif kaya khitin, sedikit
mengandung CaCO3, dan mudah didapat dalam jumlah besar sebagai hasil samping
industri pengolahan rajungan (Hirano 1989).
CH2OH CH2OH CH2OH O O O
O O
OH H OH H OH H
[image:37.612.74.515.328.457.2]H NH2 H NH2 H NH2
Gambar 4. Struktur berulang khitosan
Khitosan merupakan produk deasetilasi khitin yang bersifat unik, dengan unit
penyusun berupa disakarida (1-4)-2-amino-2-dioksi-á-D-glukosa dengan ikatan â
(Angka dan Suhartono 2000). Berat molekul khitosan sekitar 1.036x106 dalton,
tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya. Semakin
banyak gugus asetil yang hilang dari polimer khitin, maka berat molekulnya semakin
rendah dan sebaliknya interaksi antar ion dan ikatan hydrogen dari khitosan semakin
kuat (Ornum 1992).
Penampilan fungsional khitosan ditentukan oleh sifat fisik dan kimianya. Seperti
halnya dengan polisakarida lain, khitosan memiliki kerangka gula tetapi dengan sifat
yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif , sedangkan
polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif (Angka dan Suhartono
asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan khitosan
membentuk ion netral. Khitosan mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak
beracun, kationik kuat, flokulan dan koagulan yang baik, mudah membentuk membran
atau film serta membentuk gel dengan anion bervalensi ganda.
Khitin dan khitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri,
hidrofilik, memiliki reaktifitas kimia tinggi karena mengandung gugus –OH dan gugus
NH2 untuk ligan yang bervariasi sebagai penukar ion. Selain itu ketahanan kimia
keduanya cukup baik yaitu khitosan larut dalam larutan asam tetapi tidak larut dalam
basa dan posisi silang khitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan khitin, serta
tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Muzarelli 1977). Khitosan tidak larut
dalam alkali pada pH diatas 6.5 dan pelarut organik, tetapi dapat larut cepat dalam asam
organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain
kecuali sulfur (Austin 1984). Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dan asam
asetat dengan konsentrasi 0.2-1.0% dan 1-2% (Ornum 1992). Sifat kelarutan khitosan
dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifik yang bervariasi
serta tergantung dari sumber dan metode isolasinya (Austin 1984).
Molekul khitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah bersifat
lebih kompak dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya, hal ini disebabkan
densitas muatan yang tinggi. Akan tetapi, dalam larutan berkekuatan ionik tinggi ikatan
hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul khitosan terganggu sehingga
konformasinya menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul ini yang menjadikannnya dapat membentuk baik konformasi kompak maupun me